Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik


yang disebut ion jika berada dalam larutan. Elektrolit terdapat pada seluruh cairan tubuh.
Cairan tubuh mengandung oksigen, nutrien, dan sisa metabolisme (seperti
karbondioksida), yang semuanya disebut ion. Beberapa jenis garam akan dipecah menjadi
elektrolit. Contohnya NaCl akan dipecah menjadi Na+ dan Cl-. Pecahan elektrolit tersebut
merupakan ion yang dapat mengahantarkan arus litrik. Elektrolit adalah substansi ion-ion
yang bermuatan listrik yang terdapat pada cairan. Satuan pengukuran elektrolit
menggunakan istilah milliequivalent (mEq). Satu milliequivalent adalah aktivitas secara
kimia dari 1 mg dari hidrogen.
 Ion-ion positif disebut kation. Contoh kation antara lain natrium, kalium, kalsium,
dan magnesium
 ion-ion negatif disebut anion. Contoh anion antara lain klorida, bikarbonat, dan
fosfat.
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi tubuh tetap
sehat. Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan salah satu
bagian dari fisiologi homeostatis. Cairan dan elektrolit merupakan bagian dalam tubuh
yang berperan dalam memelihara fungsi dari organ tubuh. Keseimbangan cairan dan
elektrolit sangat penting dalam proses hemostasis baik untuk meningkatkan kesehatan
maupun dalam proses penyembuhan penyakit. Keseimbangan cairan dan elektrolit
melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai cairan tubuh. Cairan dan elektrolit
masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan intravena (IV) dan
didistribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya
distribusi yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh.
Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya, jika
salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang lainnya.

Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa pasien dalam kegawatan yang
kalau tidak dikelola dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan kematian. Usaha

1
pemulihan kembali volume serta komposisi cairan dan elektrolit tubuh dalam kondisi
yang normal disebut resusitasi cairan dan elektrolit. Penyebab utama gangguan cairan dan
elektrolit adalah diare, muntah-muntah, peritonitis, ileus obstruktif, puasa, terbakar, atau
karena perdarahan yang banyak. Tiap penyakit memiliki gangguan tersendiri sehingga
sasaran terapinya juga berbeda. Agar terapi cairan tepat pada sasaran, diperlukan selain
pengetahuan tentang patofisiologi penyakit, juga fisiologi dari cairan tubuh kita.
Gangguan elektrolit sering dikaitkan dengan abnormalitas dan kegawatan
kardiovaskular dan neurologis. Abnormalitas ini jika tidak dikelola akan dapat
menimbulkan henti jantung yang menyulitkan proses resusitasi. Pada beberapa kasus,
gangguan elektrolit harus segera di koreksi dan di terapi sesegera mungkin tanpa harus
menunggu hasil laboratorium keluar.

2
BAB II

ISI

2.1. Konsep Dasar Kebutuhan Cairan Dan Elektrolit

2.1.1. Definisi

Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses dinamik karena metabolisme
tubuh membutuhkan perubahan yang tetap untuk berespon terhadap stressor fisiologi
dan lingkungan. Cairan tubuh mengandung oksigen, nutrien, dan sisa metabolisme,
seperti karbondioksida, yang semuanya disebut dengan ion. Elektrolit adalah substansi
yang menghantarkan arus listrik. Elektrolit berdisosiasi menjadi ion positif dan negatif
dan diukur dengan kapasitasannya untuk saling berikatan satu sama lain. Elektrolit
terdiri dari kation dan anion. Kation adalah ion-ion yang membentuk muatan positif
dalam larutan. Kation ekstraseluler utama adalah natrium (Na+), sedangkan kation
intraseluler utama adalah kalium (K+). Sistem pompa terdapat di dinding sel tubuh
yang memompa natrium ke luar dan kalium ke dalam. Sedangkan anion adalah ion-
ion yang membentuk muatan negatif dalam larutan. Anion ekstraseluler utama adalah
klorida (Cl-), sedangkan anion intraseluler utama adalah ion fosfat (PO43-). Selain
elektrolit, cairan tubuh juga mengandung non-elektrolit. Non elektrolit merupakan
substansi seperti glukosa dan urea yang tidak berdisosiasi dalam larutan dan diukur
berdasarkan berat (mg/100ml atau mg/dl). Non-elektrolit lainnya yang secara klinis
penting mencakup kreatinin dan bilirubin.

2.1.2. Pengaturan Keseimbangan Elektrolit

Pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit dalam tubuh diatur oleh ginjal,
kulit, paru, dan gastrointestinal. Selain itu pengaturan keseimbangan cairan dapat
melalui sistem atau mekanisme rasa haus yang harus dikontrol oleh sistem
hormonal, yakni ADH (anti diuretik hormon), sistem aldosteron, prostaglandin,
dan glukokortikoid

3
1. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang memiliki peran cukup besar dalam
pengaturan kebutuhan cairandan elektrolit. Hal ini terlihat pada fungsi ginjal,
yakni sebagai pengatur air, pangatur konsentrasi garam dalam darah. Pengatur
keseimbangan asam-basa darah, dan eksresi bahan buangan atau kelebihan garam.
Proses pengaturan kebutuhankeseimbangan air ini, diawali oleh
kemampuan bagian ginjal seperti glomerulus sebagai penyaring cairan. Rata-rataa
setiap satu liter darah mengandung 500 cc plasma yang mengalir melalui
glomerulus, 10 persennya disaring keluar. Cairan yang tersaring (filtrat
glomerulus) , kemudian mengalir melalui tubuli renalis yang sel-selnya menyerap
semua bahan yang dibutuhkan. Keluaran urin yang diproduksi ginjal dapat
dipengaruhi oleh ADH dan aldosteron dengan rata-rata 1 ml/kgbb/jam
2. Kulit
Kulit merupakan bagin penting dalam pengaturan cairan yang terkait
dengan proses pengaturan panas. Proses ini diatur oleh pusat pengatur panas yang
disarafi oleh vasomotorik dengan kemampuan mengendalikan arteriol kutan
dengan cara vasodilatasi dan vasaukontriksi. Proses pelepasan panas dapat
dilakuakan dengan cara penguapan. Jumlah keringat yang dikeluarkan tergantung
pada banyaknya darah yang mengalir melalui pembuluh darah dalam kulit. Proses
pelepasan panas lainnya dilakukan melalui cara pemancaran yaitu dengan
melepaskan panas ke udara sekitarnya. Cara tersebut berupa cara konduksi, yaitu
pengalihan panas ke benda yang disentuh dan cara konveksi,yaitu denga
mengalrkan udara telah panas ke permukaan yang lebih dingin.
Keringat merupakan sekresi aktif dari kelenjar keringat dibwah
pengendalian saraf simpatis. Melalui kelenjar keringat ini, suhu dapat diturunkan
dengan cara pelepasan air yang jumlahnya kurang lebih setengah liter sehari.
Perangsangan kelejar keringat yang dihasilkan dapat diperoleh dari aktifitas otot,
suhu, lingkungan, melalui kondisi tubuh yang panas.

3. Paru

4
Organ paru berperan dalam pengeluaran cairan denganmenghasilkan
insensible waterpa loss kurang lebih 400 ml/hari. Proses pengeluaran cairan
terkait dengan respon akibat perubahan terhadap upaya kemampuan bernafas..
4. Gastrointestinal
Gatrointestinal merupakan organ saluran pencernaan yang berperan dalam
mengeluarkan cairan melalui proses penyerapan dan pengeluaran air. Dalam
kondisi optimal, cairan yang hilang dalam sitem ini sekitaar 100-200 ml/hari.
5. Sistem endokrin
a. ADH
Hormon memiliki peran dalam meningkatka sriabsorsi air sehingga dapat
mengendalikan keseimbangan air dalam tubuh. Hormon ini dibentuk oleh
hipotalamus yang ada di hipofisis posterior yang mensekresi ADH dan
meningkatkan osmolaritas dan menunrunkan cairan ekstrasel
b. Aldosteron
Hormon ini berfungsi pada absorbsi natrium yang disekresi oleh kelenjer
adrenaldi tubulus ginjal. Proses pengeluaan aldosteron ini diatur oleh adanya
perubahan konsentrasi kalium, natrium dan sistem angiotensin renin.
c. Prostaglandin
Prostaglandin merupakan asam lemak yang ada pada jarinagan yang
berfungsi merespon radang. Pengendalian tekanan darah, kontraksi uterus, dan
pengaturan pergerakkan gastroinstestinal. Pada ginjal asam lemak ini berperan
dalam mengatur sirkulasi ginjal.
d. Glukokortikoid
Hormon ini berfungsi mengatur peningkatan reabsorpsi natrium dan air
yang menyebabkan volume darah meningkat sehingga terjadi retensi natrium
e. Mekanisme rasa haus
Mekanisme rasa haus diatur dalam rangka memenuhi kebuthan cairan dengan
cara merangang pelepasan renin yang dapat menimbulkan produksi
angiotensin , sehingga meragsang bipotalamus sehingga menimbulkan rasa
haus.

2.1.3. Mekanisme Pergerakan Cairan Elektrolit

5
Cairan dan elektrolit dalam tubuh selalu bergerak di antara ketiga tempat cairan
tersebut, yaitu intraseluler, interstitial, dan intravaskuler.

Mekanisme pergerakan cairan tubuh melalui tiga proses, yaitu:

a. Difusi
Difusi merupakan proses perpindahan partikel cairan dari konsentrasi tinggi ke
konsentrasi rendah sampai terjadi keseimbangan. Cairan dan elektrolit didifusikan
menembus membran sel. Kecepatan difusi dipengaruhi oleh ukuran molekul,
konsentrasi larutan, dan temperatur.
b. Osmosis
Osmosis merupakan bergeraknya pelarut bersih seperti air, melalui membran
semipermeabel dari larutan yang berkonsentrasi lebih rendah ke konsentrasi yang lebih
tinggi yang sifatnya menarik.
c. Transpor Aktif
Partikel bergerak dari konsentrasi rendah ke tinggi karena adanya daya aktif dari
tubuh seperti pompa jantung.

2.1.4. Komposisi Cairan Dan Elektrolit Dalam Tubuh

Semua cairan tubuh adalah air (larutan pelarut), substansi terlarut (zat terlarut).

1. Air
Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O: satu molekul air tersusun
atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom oksigen. Air
bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu pada
tekanan 100 kPa (1 bar) and temperatur 273.15 K (0°C). Zat kimia ini merupakan suatu
pelarut yang penting, yang memiliki kemampuan untuk melarutkan banyak zat kimia
lainnya, seperti garam-garam, gula, asam, beberapa jenis gas dan banyak macam
molekul organik. Air (H20) merupakan komponen utama yang paling banyak terdapat
di dalam tubuh manusia. Sekitar 60% dari total berat badan orang dewasa terdiri dari
air.
Namun bergantung kepada kandungan lemak dan otot yang terdapat di dalam tubuh,
nilai persentase ini dapat bervariasi antara 50-70% dari total berat badan orang dewasa.
Oleh karena itu maka tubuh yang terlatih dan terbiasa berolahraga seperti tubuh

6
seorang atlet biasanya akan mengandung lebih banyak air jika dibandingkan tubuh non
atlet.

Faktor-faktor yang mempengaruhi air dalam tubuh meliputi:

a. Sel-sel lemak: Mengandung sedikit air, sehingga air tubuh menurun dengan
peningkatan lemak tubuh.
b. Usia: Sesuai aturan, cairan tubuh menurun dengan peningkatan usia.
c. Jenis kelamin: Wanita mempunyai air tubuh yang kurang secara proposional, karena
lebih banyak mengandung lemak tubuh.
Untuk mempertahankan status hidrasi, setiap orang dalam sehari rata-rata
memerlukan 2.5 L air. Jumlah tersebut setara dengan cairan yang dikeluarkan tubuh
baik berupa keringat, uap air, maupun cairan yang keluar bersama tinja. Pemasukan
air dalam tubuh terdiri dari air minum dan air yang terkandung dalam makanan.
Metabolisme air diproduksi oleh proses oksidasi dari karbohidrat, protein, dan lemak.
Air yang diminum atau air dalam makanan diserap di usus, masuk ke pembuluh
darah, beredar ke seluruh tubuh. Di kapiler air difiltrasi ke ruang interstisium,
selanjutnya masuk ke dalam sel secara difusi, dan sebaliknya, dari dalam sel keluar
kembali. Dari darah difiltrasi di ginjal dan sebagian kecil dibuang sebagai urin, ke
saluran cerna dikeluarkan sebagai liur pencernaan (umumnya diserap kembali), ke
kulit dan saluran nafas keluar sebagai keringat dan uap air. Keringat dihasilkan
kelenjar keringat yang tersebar di sebagian besar kulit. Bila suhu tubuh meningkat,
secara refleks terjadi sekresi keringat. Komposisi air keringat mirip dengan cairan
ekstraseluler tetapi kadar garamnya lebih rendah (hipotonis). Keringat lebih berperan
sebagai pengatur suhu tubuh, bukan sebagai pengatur cairan tubuh
2. Solut (terlarut)
Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis substansi terlarut (zat terlarut) yaitu
elektrolit dan non elektrolit. Elektrolit dalam cairan tubuh terdiri dari kation dan
anion. Kation utama dalam cairan tubuh adalah natrium (Na+) dan kalium (K+),
sedangkan anion utama adalah klorida (Cl- ).

a.) Natrium
Di dalam produk pangan atau di dalam tubuh, natrium biasanya berada dalam
bentuk garam seperti natrium klorida (NaCl). Di dalam molekul ini, natrium

7
berada dalam bentuk ion sebagai Na+ . Diperkirakan hampir 100 gram dari ion
natrium (Na+) terkandung di dalam tubuh manusia. Garam natrium merupakan
garam yang dapat secara cepat diserap oleh tubuh dengan minimum kebutuhan
untuk orang dewasa berkisar antara 1.3-1.6 gr/hari (ekivalen dengan 3.3-4.0 gr
NaCl/hari). Setiap kelebihan natrium yang terjadi di dalam tubuh dapat
dikeluarkan melalui urin dan keringat. Hampir semua natrium yang terdapat di
dalam tubuh akan tersimpan di dalam soft body tissue dan cairan tubuh. Ion
natrium (Na+) merupakan kation utama pada cairan ekstraselular (ECF) dengan
konsentrasi berkisar antara 135-145 mmol/L. Ion natrium juga berada pada cairan
intraseluler (ICF) namun dengan konsentrasi lebih kecil yaitu ± 3 mmol/L.
Sebagai kation utama dalam cairan ekstraselular, natrium akan berfungsi untuk
menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh, menjaga aktivitas saraf, kontraksi otot
dan juga berperan dalam proses absorpsi glukosa. Pada keadaan normal, natrium
(Na+) bersama dengan pasangan (terutama klorida, Cl-) akan memberikan
kontribusi lebih dari 90% terhadap efektif osmolalitas di dalam cairan
ekstraseluler .
b.) Kalium
Kalium merupakan kation utama yang terdapat pada cairan intraseluler
dengan konsentrasi ± 150 mmol/L. Sekitar 90% dari total kalium tubuh berada
dalam kompartemen ini. Sekitar 0.4% dari total kalium tubuh akan terdistribusi
ke ruangan vascular yang terdapat pada cairan ekstraseluler dengan konsentrasi
3.5-5.0 mmol /L. Konsentrasi total kalium dalam tubuh diperkirakan sebanyak 2
g/kg berat badan. Namun jumlah ini dapat bervariasi tergantung pada jenis
kelamin, umur dan massa otot. Kebutuhan minimum kalium diperkirakan sebesar
782 mg/hari. Di dalam tubuh kalium akan mempunyai fungsi dalam menjaga
keseimbangan cairan-elektrolit dan keseimbangan asam basa. Selain itu, bersama
dengan kalsium (Ca+ ) dan natrium (Na+ ), kalium akan berperan dalam transmisi
saraf, pengaturan enzim dan kontraksi otot. Hampir sama natrium, kalium juga
merupakan garam yang dapat secara cepat diserap oleh tubuh. Setiap kelebihan
kalium yang terdapat di dalam tubuh akan dikeluarkan melalui urin serta keringat.
c.) Klorida

8
Elektrolit utama yang berada di dalam cairan ekstraseluler (ECF) adalah
elektrolit bermuatan negatif yaitu klorida (Cl- ). Jumlah ion klorida (Cl- ) yang
terdapat di dalam jaringan tubuh diperkirakan sebanyak 1.1 g/kg berat badan
dengan konsentrasi antara 98-106 mmol/L. Konsentrasi ion klorida tertinggi
terdapat pada cairan serebrospinal seperti otak atau sumsum tulang belakang,
lambung dan juga pankreas. Sebagai anion utama dalam cairan ekstraseluler, ion
klorida juga akan berperan dalam menjaga keseimbangan cairan elektrolit. Selain
itu, ion klorida juga mempunyai fungsi fisiologis penting yaitu sebagai pengatur
derajat keasaman lambung dan ikut berperan dalam menjaga keseimbangan asam
basa tubuh. Bersama dengan ion natrium (Na+ ), ion klorida juga merupakan ion
dengan konsentrasi terbesar yang keluar melalui keringat.

2.2. Kalium
2.2.1. Definisi Kalium
Kalium merupakan kation utama yang terdapat pada cairan intraseluler dengan
konsentrasi ± 150 mmol/L. Sekitar 98% dari total kalium tubuh berada dalam
kompartemen ini. Sekitar 2%dari total kalium tubuh akan terdistribusi ke ruangan
vascularyang terdapat pada cairan ekstraseluler dengan konsentrasi 3.5-5. 0 mmo l /L.
Konsentrasi total kalium dalam tubuh diperkirakan sebanyak 2 g/kg berat badan.
2.2.2. Fungsi Kalium
Kalium berperan penting dalam fungsi tubuh normal, berikut adalah beberapa fungsi
dari kalium pada tubuh:

 Fungsi biokimia. Kalium berperan penting dalam fungsi sistem saraf, serta
berperan terhadap keseimbangan tekanan osmotik antara cairan di dalam sel
(intrasel) dengan cairan pada ruang antar sel (interstitial), yang dimediasi oleh
oleh suatu mekanisme yang disebut sebagai pompa Na+/K+-ATPase.
 Polarisasi membran. Kalium berperan dalam kerja otot serta penghantaran
seluruh impuls saraf melalui potensial aksi. Rendahnya kadar kalium dalam serum
darah dapat menyebabkan suatu kondisi yang mengancam jiwa, kondisi tersebut
dapat disebabkan oleh diare, muntah, dan atau peningkatan frekuensi berkemih.
 Filtrasi dan ekskresi. Kalium bersama dengan natrum dan calsium berperan dalam
regulasi proses filtrasi serta ekskresi cairan dan mineral pada tubuh manusia

9
2.2.3. Fisiologi Kalium
Kalium (K) adalah kation utama kompartemen cairan intraseluler ( CIS ).
Sekitar 90% asupan kalium diekskresikan di urin dan 10 % di feses. Konsentrasi normal
kalium di plasma adalah 3,5 – 4,8 mmol/L, sedangkan konsentrasi intraseluler dapat 30
kali lebih tinggi, dan jumlahnya mencapai 98 % dari jumlah K keseluruhan. Walaupun
kadar kalium di dalam CES hanya berkisar 2 % saja, akan tetapi memiliki peranan yang
sangat penting dalam menjaga homeostasis. Perubahan sedikit saja pada kalium
intraseluler, akan berdampak besar pada konsentrasi kalium plasma.
Konsentrasi total kalium di dalam tubuh diperkirakan sebanyak 2g/kg berat
badan. Namun jumlah ini dapat bervariasi bergantung terhadap beberapa faktor seperti
jenis kelamin, umur dan massa otot (muscle mass). Kebutuhan minimum kalium
diperkirakan sebesar 782 mg/hari.
Kalium sangat penting bagi sistem saraf dan kontraksi otot, kalium juga
dimanfaatkan oleh sistem saraf otonom (SSO), yang merupakan pengendali detak
jantung, fungsi otak, dan proses fisiologi penting lainnya. Kalium ditemukan di hampir
seluruh tubuh dalam bentuk elektrolit dan banyak terdapat pada saluran pencernaan.
Sebagian besar kalium tersebut berada di dalam sel, sebagian lagi terdapat di luar sel.
Mineral ini akan berpindah secara teratur dari dan keluar sel, tergantung kebutuhan tubuh.
Di dalam tubuh, kalium biasanya bekerja sama dengan natrium (Na) dalam
mengatur keseimbangan muatan elektrolit cairan tubuh dan keseimbangan asam basa.
Keseimbangan ini dijaga dengan menyesuaikan jumlah asupan kalium dari makanan dan
jumlah kalium yang dibuang. Selain itu, bersama dengan kalsium (Ca ) dan natrium (Na),
kalium akan berperan dalam transmisi saraf, pengaturan enzim dan kontraksi otot.
Hampir sama dengan natrium, kalium juga merupakan garam yang dapat secara cepat
diserap oleh tubuh.
Dalam keadaan normal, organ ginjal berperan menyesuaikan antara asupan dan
jumlah kalium yang dibuang tubuh. Sebagian besar kalium dibuang melalui urin,
walaupun ada juga yang keluar bersama tinja.
Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada di dalam cairan intrasel.
Konsentrasi kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan konsentrasi kalium ekstrasel 4-5
mEq/L (sekitar 2%). Jumlah konsentrasi kalium pada orang dewasa berkisar 50-60 per
kilogram berat badan (3000-4000 mEq). Jumlah kalium ini dipengaruhi oleh umur dan

10
jenis kelamin. Jumlah kalium pada wanita 25% lebih kecil dibanding pada laki-laki dan
jumlah kalium pada orang dewasa lebih kecil 20% dibandingkan pada anak-anak.
Perbedaan kadar kalium di dalam plasma dan cairan interstisial dipengaruhi oleh
keseimbangan Gibbs-Donnan, sedangkan perbedaan kalium cairan intrasel dengan cairan
interstisial adalah akibat adanya transpor aktif (transpor aktif kalium ke dalam sel
bertukar dengan natrium). Jumlah kalium dalam tubuh merupakan cermin keseimbangan
kalium yang masuk dan keluar. Pemasukan kalium melalui saluran cerna tergantung dari
jumlah dan jenis makanan. Orang dewasa pada keadaan normal mengkonsumsi 60-100
mEq kalium perhari (hampir sama dengan konsumsi natrium). Kalium difiltrasi di
glomerulus, sebagian besar (70- 80%) direabsorpsi secara aktif maupun pasif di tubulus
proksimal dan direabsorpsi bersama dengan natrium dan klorida di lengkung henle.
Kalium dikeluarkan dari tubuh melalui traktus gastrointestinal kurang dari 5%, kulit dan
urine mencapai 90%.

Nilai Rujukan Kalium

Nilai rujukan kalium serum pada:

- serum bayi : 3,6-5,8 mmol/L

- serum anak : 3,5-5,5 mmo/L

- serum dewasa : 3,5-5,3 mmol/L

- urine anak : 17-57 mmol/24 jam

- urine dewasa : 40-80 mmol/24 jam

- cairan lambung : 10 mmol/L

2.2.4. Jalur Pemberian Kalium


- Kalium Oral
Bila garam kalium diberikan untuk mencegah hipokalemia dosis kalium klorida 2
– 4 g (kira-kira 25 – 50 mmol) tiap hari peroral dapat diberikan pada pasien dengan diet
normal. Dosis yang lebih kecil harus digunakan bila terdapat insufisiensi ginjal (biasanya
terjadi pada penderita lanjut usia) bila tidak ada bahaya hiperkalemia.

11
Jika terdapat kekurangan kalium yang berat dosis yang lebih besar dapat diberikan,
jumlahnya tergantung dari besarnya kehilangan kalium.
- Intravena,
KCL dapat diberikan intravena sebagai tambahan terapi pengganti oral pada
pasien dengan hipokalemia berat simtomatik. Keterbatasan utama untuk terapi intravena
termasuk risiko kelebihan cairan pada pasien risiko tinggi dan hiperkalemia karena
koreksi berlebih.Perlunya terapi kalium intravena agresif terutama pada pasien-pasien
dengan ketoasidosis atau hiperkalemia nonketotok yang datang dengan hipokalemia oleh
karena kehilangan kalium berat. Terapi dengan kalium dan insulin akan memperberat
hipokalemia. Sisi baiknya, pada pasien-pasien ini juga mempunyai kekurangan cairan,
sehingga terapi kalium klorida 40-60 mEq/L dalam ½ NS dapat diberikan untuk
perbaikan cairan dan kalium, dengan risiko rendah kongesti pulmonar pada keadaan
ini.Meskipun NS merupakan cairan utama yang dipakai pada keadaan ketoasidosis
diabetikum atau hiperglikemia nonketotik, penambahan kalium akan membuat cairan ini
hipertonik (oleh karena kalium juga aktif secara osmotik), oleh karenanya menghambat
pemulihan hiperosmolaritas yang terutama bertanggung jawab untuk gejala neurologis
pada kelainan ini. Pada sisi lain, kombinasi 40-60 mEq/L kalium dalam ½ NS mempunyai
kadar osmotik setara dengan normal salin.Pemberian kalium intravena yang
direkomendasikan berkisar antara 10-20 mEq/jam; pemberian dengan laju yang lebih
tinggi mempunyai risiko tinggi hiperkalemia. Meskipun demikian, pemberian sebanyak
40-100 mEq/jam dapat diberikan pada pasien-pasien tertentu dengan paralisis atau aritmia
mengancam jiwa. Pada keadaan ini, larutan mengandung 200-400 mEq kalium per liter
telah digunakan; pada praktisnya larutan dengan konsentrasi 100-200 mEq/L lebih sering
digunakan. Konsentrasi setinggi ini harus disipakan sebagai larutan 10-20 mEq/L kalium
dalam 100 cc cairan untuk menghindari pemberian kalium intravena dalam jumlah besar
secara tidak sengaja. Apabila konsentrasi tinggi digunakan, usaha-usaha untuk menjaga
keamanan harus dilakukan dengan pemberian menggunakan pompa infus. Larutan kalium
dengan konsentrasi lebih dari 60 mEq/L seringkali nyeri dan harus diberikan lewat vena
sentral.Pemantauan efek fisiologis hipokalemia berat (kelainan EKG, kelemahan otot
atau paralisis) penting, terutama apabila koreksi cepat digunakan (lebih dari 20 mEq/jam).
Segera setelah permasalahan ini tidak lagi berat, laju penggantian kalium harus

12
diturunkan (10 sampai 20 meQ/jam) atau diganti hanya dengan koreksi oral, bahkan bila
terjadi hipokalemia persisten.

2.3. Gangguan Keseimbangan Kalium

Penting memahami bahwa perubahan dalam simpanan kalium tubuh tidak selalu
terjadi dalam arah yang sama seperti perubahan dalam konsentrasi kalium plasma
sehingga dengan mengukur kalium plasma hanya mendapatkan pandangan terbatas atas
perubahan kalium tubuh total. Pada umumnya perubahan 1 mmol/l kalium plasma berarti
perubahan 200 mmol kalium tubuh. Dalam prakteknya biasanya derajat abnormalitas
keseimbangan kalium secara klinis digambarkan benar-benar adekuat oleh konsentrasi
kalium plasma dan pengukuran kalium sel-sel tidak siap untuk dapat dilakukan. Hantaran
neuromuskuler dan perubahan elektrografi yang karakteristik bagi kadar kalium plasma
yang abnormal mungkin tergantung atas gradien kalium ekstraseluler/intraseluler dan
tidak atas konsentrasi kalium plasma. kalium bisa abnormal jika konsentrasi kalium
plasma berubah.

2.3.1. Hipokalemia

2.3.1.1. Definisi

Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah) adalah suatu keadaan dimana
konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3.8 mEq/L darah.

2.3.1.2. Etiologi

 Penurunan asupan kalium


Asupan kalium normal berkisar antara 40-120mEq per hari, kebanyakan
diekskresikan kembali di dalam urin. Ginjal memiliki kemampuan untuk menurunkan
ekskresi kalium menjadi 5 sampai 25 mEq per hari pada keadaan kekurangan kalium.
Oleh karena itu, penurunan asupan kalium dengan sendirinya hanya akan menyebabkan
hipokalemia pada kasus-kasus jarang. Meskipun demikian, kekurangan asupan dapat
berperan terhadap derajat keberatan hipokalemia, seperti dengan terapi diuretik atau
penggunaan terapi protein cair untuk penurunan berat badan secara cepat.
 Peningkatan jumlah insulin

13
insulin membantu masuknya kalium ke dalam otot skeletal dan sel hepatik, dengan cara
meningkatkan aktivitas pompa Na-K-ATPase(gambar 3).Efek ini paling nyata pada
pemberian insulin untuk pasien dengan ketoasidosis diabetikum atau hiperglikemia
nonketotik berat.
Konsentrasi kalium plasma juga dapat menurun oleh karena pemberian karbohidrat. Oleh
karenanya, pemberian kalium klorida di dalam larutan mengandung dekstrosa pada terapi
hipokalemia dapat menurunkan kadar kalium plasma lebih lanjut dan menyebabkan
aritmia kardiak.

Gambar 3
Hormon hormon penyebab perpindahan kalium ke dalam sel, yang terutama adalah
insulin dan beta adrenergik.
 Peningkatan aktivitas beta adrenergik
Katekolamin yang bekerja melalui reseptor-reseptor beta 2 adrenergik, dapat
membuat kalium masuk ke dalam sel, terutama dengan meningkatkan aktivitas Na-K-
ATP ase
Sebagai akibatnya, hipokalemia transien dapat disebabkan oleh keadaan-keadaan di
mana terjadi pelepasan epinefrin oleh karena stres, seperti penyakit akut, iskemia koroner
atau intoksikasi teofilin. Efek yang sama juga dapat dicapai oleh pemberian beta agonis
(seperti terbutalin, albuterol atau dopamin) untuk mengobati asma, gagal jantung atau
mencegah kelahiran prematur.
 Peningkatan kehilangan sekresi gastrik
Kehilangan sekresi gastrik atau intestinal dari penyebab apapun (muntah, diare,
laksatif atau drainase tabung) dikaitkan dengan kehilangan kalium dan kemungkinan
hipokalemia. Konsentrasi kalium pada kehilangan kalium saluran cerna bawah cukup
tinggi (20-50 mEq/L) pada sebagian besar kasus. Sebagai perbandingan, konsentrasi

14
kalium pada sekresi gastrik hanya 5-10 mEq/L; sehingga deplesi kalium pada keadaan ini
utamanya disebabkan oleh karena kehilangan urin.
Keadaan berikut ini yang menyebabkan kehilangan kalium urin pada kebocoran
asam lambung. Alkalosis metabolik terkait meningkatkan konsentrasi bikarbonat plasma
dan oleh karenanya beban bikarbonat pada filtrasi ginjal berada di atas ambang batas
reabsorptif. Sebagai akibatnya, lebih banyak natrium bikarbonat dan air yang dihantarkan
kepada lokasi sekresi kalium distal dalam kombinasi peningkatan aldosteron terinduksi
hipovolemia.Efek nettonya adalah peningkatan sekresi kalium dan kehilangan kalium
urin secara besar-besaran. Pada keadaan ini juga terjadi pengeluaran natrium secara tidak
wajar, sehingga hanya rendahnya kadar klorida urin yang menunjukkan adanya deplesi
volume.
Kebocoran kalium urin yang diamati pada kehilangan sekresi gastrik biasanya
paling jelas pada beberapa hari pertama, setelah itu, kemampuan reabsorsi bikarbonat
meningkat, sehingga terjadi pengurangan kehilangan natrium, bikarbonat dan kalium urin
secara signifikan. Pada saat ini, pH urin jatuh dari di atas 7,0 menjadi asam (di bawah
6,0).
Sebaliknya kehilangan dari saluran cerna bagian bawah (terutama karena diare)
biasanya dikaitkan dengan kehilangan bikarbonat dan asidosis metabolik. Meskipun
demikian, beberapa pasien dengan diare faktisiosa atau penggunaan laksatif berlebihan
dapat mengalami hipokalemia dengan metabolik alkalosis.
Hipokalemia oleh karena kehilangan saluran cerna bagian bawah paling sering
terjadi pada saat kehilangan timbul dalam jangka waktu lama, seperti pada adenoma
vilosa atau tumor pensekresi peptida intestinal vasoaktif (VIPoma). Subyek normal
biasanya mendapatkan asupan kalium sekitar 80 mEq per hari. Ekskresi kalium normal
harus turun di bawah 15-25mEq/hari pada keadaan defisit kalium.
 Diuretik,
Jenis apapun yang beraksi pada daerah proksimal lokasi sekresi kalium,
asetazolamid, diuretik ansa henle dan tiazid, akan meningkatkan hantaran distal dan juga,
lewat induksi penurunan volume, mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Sebagai akibatnya, ekskresi kalium urin akan meningkat, menyebabkan hipokalemia
apabila kehilangan ini lebih besar dari asupan
(diagram 1)

15
Diagram 1.
Efek diuretik terhadap penurunan kadar kalium di dalam darah.
 Kelebihan mineralokortikoid primer,
Kebocoran kalium urin dapat juga merupakan ciri dari keadaan hipersekresi
primer mineralokortikoid, seperti adenoma adrenal penghasil aldosteron. Pasien-pasien
ini hampir selalu hipertensif, dan diagnosis diferensialnya meliputi terapi diuretik pada
pasien dengan hipertensi dan penyakit renovaskular, di mana terjadi peningkatan sekresi
renin yang pada akhirnya meningkatkan pelepasan aldosteron.Anion tak-terserap, gradien
elektronegatif lumen yang diciptakan oleh reabsorpsi natrium di tubulus koledokus
kortikal sebagian ditekan oleh reabsorpsi klorida. Namun demikian, terdapat beberapa
keadaan klinis dimana natrium berada di nefron distal dalam jumlah yang banyak oleh
karena adanya anion tak-terserap, termasuk bikarbonat pada vomitus atau asidosis tubular
ginjal tipe2, beta-hidroksibutirat pada ketoasidosis diabetikum, hipurat setelah
penggunaan toluen atau turunan penisilin. Pada keadaan-keadaan ini, sebagian besar

16
natrium akan diserap kembali ditukar dengan kalium, sehingga menghasilkan ekskresi
kalium yang meningkat. Sebagai contoh, konsentrasi kalium plasma dilaporkan sampai
di bawah 2 mEq/L pada seperempat pasien dengan metabolik asidosis terinduksi
toluen.Efek anion tak terserap paling nyata pada saat terjadi kehilangan cairan bersamaan.
Pada keadaan ini, penurunan hantaran klorida distal dan peningkatan sekresi aldosteron
keduanya meningkatkan sekresi kalium.
 Asidosis metabolik,
Peningkatan kehilangan kalium lewat urin juga dapat timbul pada beberapa
bentuk asidosis metabolik, melalui mekanisme yang kurang lebih sama dengan di atas.
Pada ketoasidosis diabetikum sebagai contoh, hiperaldosteronisme terinduksi
hipovolemia dan beta-hidroksibutirat berperan sebagai anion tak-terserap semua dapat
berkontribusi kepada kehilangan kalium.Kebocoran kalium juga dapat timbul pada
asidosis tubular ginjal tipe 1 (distal) dan 2 (proksimal).
Pada kedua keadaan ini, derajat kehilangan kalium tersamar oleh kecenderungan
asidemia untuk menggerakkan kalium keluar dari sel. Oleh karenanya, konsentrasi kalium
plasma lebih tinggi daripada yang seharusnya terjadi dibandingkan dengan kehilangan
kalium. pada beberapa pasien, konsentrasi kalium plasma dapat normal atau bahkan
meningkat, walaupun koreksi asidemia akan menyingkapkan keadaan keseimbangan
kalium sebenarnya.
 Nefropati
Penyakit-penyakit ginjal dikaitkan dengan penurunan reabsorpsi natrium di
tubulus proksimal, ansa henle atau distal dapat menyebabkan hipokalemia melalui
mekanisme yang mirip dengan diuretik. Keadaan ini dapat dijumpai pada sindroma
Bartter atau Gitelman, penyakit tubulointerstitial (seperti nefritis interstitial oleh karena
sindrom Sjogren atau Lupus)), hiperkalsemia dan juga trauma tubular terinduksi lisozim
pada pasien dengan leukemia. Peningkatan asupan kalium oleh sel leukemik juga dapat
berkontibusi pada penurunan konsentrasi kalium plasma.
 Poliuria
Orang normal, pada keadaan kekurangan kalium, dapat menurunkan konsentrasi
kalium sampai 5 –10 mEq/L. Namun apabila produksi urin sampai melebihi 5-10 L/hari,
maka kehilangan kalium wajib dapat di atas 50-100 mEq per hari. Permasalahan ini paling
mungkin terjadi pada keadaan polidipsia primer, di mana produksi urin dapat meningkat

17
selama jangka waktu lama. Derajat poliuria yang sama juga dapat dijumpai pada diabetes
insipidus sentral, namun biasanya pasien dengan keadaan ini cepat mencari bantuan
medis segera setelah poliuria dimulai.

2.3.1.3. Manifestasi Klinis

Derajat manifestasi cenderung seimbang dengan keberatan dan lama hipokalemia.


Gejala biasanya tidak timbul sampai kadar kalium berada di bawah 3,0 mEq/L, kecuali
kadar kalium turun secara cepat atau pasien tersebut mempunyai faktor-faktor yang
memperberat seperti kecenderungan aritmia karena penggunaan digitalis. Gejala biasanya
membaik dengan koreksi hipokalemia.Kelemahan otot berat atau paralisis, kelemahan
otot biasanya tidak timbul pada kadar kalium di atas 2,5 mEq/L apabila hipokalemia
terjadi perlahan.
Namun, kelemahan yang signifikan dapat terjadi dengan penurunan tiba-tiba,
seperti pada paralisis hipokalemik periodik, meskipun penyebab kelemahan pada keadaan
ini mungkin lebih kompleks.Pola kelemahan kurang lebih mirip dengan yang diamati
pada hiperkalemia, biasanya dimulai dengan ekstremitas bawa, meningkat sampai ke
batang tubuh dan ekstremitas atas serta dapat memburuk sampai pada titik paralisis.
Hipokalemia juga dapat menyebabkan hal berikut ini: kelemahan otot pernapasan
yang dapat begitu berat sampai menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian.
Keterlibatan otot-otot pencernaan, menyebabkan ileus dan gejala-gejala yang
diakibatkannya seperti distensi, anoreksia, nausea dan vomitus. Kram, parestesia, tetani,
nyeri otot dan atrofi.
Aritmia kardiak dan kelainan EKG, beberapa tipe aritmia dapat dilihat pada pasien
dengan hipokalemia. kelainan ini termasuk denyut atrial dan ventrikel prematur,
bradikardia sinus, takikardia atrial atau junctional paroksismal, blok atrioventrikular
sampai kepada takikardi atau fibrilasi ventrikel. Hipokalemia menghasilkan perubahan-
perubahan karakteristik pada EKG. Biasanya dapat ditemukan depresi segmen ST,
penurunan amplitudo gelombang T dan peningkatan amplitudo gelombang U yang timbul
setelah akhir gelombang T (gambar 4). Gelombang U seringkali dapat dilihat pada lead
prekordial V4 sampai V6.

18
Gambar 4
Gambaran khas gelombang U yang dapat dilihat pada akhir gelombang T, terutama dapat
ditemukan pada lead V4-6.
Terdapat variabilitas yang besar dalam konsentrasi kalium aktual terkait dengan
progresivitas perubahan EKG. Pada suatu penelitian terkontrol terapi tiazid
(hidroklorotiazid 50mg/hari) terdapat peningkatan sampai dua kali lipat dalam kejadian
aritmia ventrikular pada pasien-pasien dengan konsentrasi kalium di bawah 3,0 mEq/L.
Sebagai tambahan, beberapa faktor komorbid seperti iskemia koroner, digitalis,
peningkatan aktivitas beta-adrenergik dan kekurangan magnesium dapat menyebabkan
aritimia, setidaknya dua terakhir dapat menyebabkan penurunan kadar kalium lebih
lanjut. Efek yang sama dapat dilihat pada terapi bronkodilator dengan agonis beta
adrenergik. Penurunan kadar magnesium yang diinduksi diuretik dapat menyebabkan
aritmia, terutama pada pasien-pasien yang juga diterapi dengan obat-obatan penyebab
pemanjangan interval QT(gambar 5) sebuah kombinasi yang dapat menyebabkan torsade
de pointes. Hipomagnesemia juga dapat menyebabkan peningkatan kehilangan kalium
urin dan menurunkan kadar kalium plasma

.
Gambar 5
Pemanjangan QT, dapat menjadi salah satu gambaran EKG pada penderita dengan
hipokalemia. Interval QT terkoreksi dapat dihitung dengan membagi interval QT (0,6 s)
dengan akar interval RR (0,84 s) sehingga pada EKG ini QTc adalah 0,65 s.

19
Rhabdomiolisis, penurunan kadar kalium berat (kurang dari 2,5 mEq/L) dapat
menyebabkan keram otot, rhabdomiolisis dan mioglobinuria. Pelepasan kalium dari sel
otot secara normal menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke
otot selama olah raga. Penurunan pelepasan kalium oleh karena hipokalemia berat dapat
menurunkan aliran darah ke otot sebagai respons olah raga.
Kelainan ginjal, hipokalemia dapat menginduksi beberapa kelainan ginjal yang
kebanyakan dapat dipulihkan dengan perbaikan kadar kalium. keadaan-keadaan ini
termasuk gangguan kemampuan konsentrasi urin (dapat timbul sebagai nokturia, poliuria
dan polidipsia), peningkatan produksi amonia renal oleh karena asidosis intraselular,
peningkatan reabsorpsi bikarbonat renal dan juga nefropati hipokalemik. Hipokalemia
dapat menyebabkan polidipsia yang berkontribusi terhadap poliuria.

2.3.1.4. Penatalaksanaan

Koreksi dilakukan menurut kadar Kalium :


1.Kalium 2,5 – 3,5 mEq/L
Berikan 75 mEq/kgBB per oral per hari dibagi tiga dosis.
2.Kalium < 2,5 mEq/L
Ada 2 cara, berikan secara drip intravena dengan dosis :
a) [(3,5 – kadar K +terukur) x BB (kg) x 0,4] + 2 mEq/kgBB/24 jam,
dalam 4 jam pertama [ ( 3 , 5 – k a d a r K +t e r u k u r ) x B B ( k g )
x 0 , 4 ] + ( 1 / 6 x 2 m E q / k g B B / 2 4 j a m ) dalam 20 jam berikutnya.
b)(3,5 – kadar K +terukur) + (1/4 x 2 mEq/kgBB/24 jam), dalam 6 jam.

Keterangan :

Kalium diberikan secara intravena, jika pasien tidak bisa makan atau hipokalemi
berat.Pemberian kalium tidak boleh lebih dari 4 0 mEq per L (jalur perifer)
atau 80 mEq per L (jalursentral) dengan kecepatan 0,2 – 0,3 mEq/kgBB/jam. Jika
keadaan mengancam jiwa dapat diberikan dengan kecepatan s/d 1
mEq/kgBB/jam (via infuse pump dan monitor EKG)
ATAU

20
Koreksi kalium secara intravena dapat diberikan sebanyak 10 mEq
dalam 1 jam, diulang s/dkadar K +serum > 3,5 mEq/L. J i k a keadaan
mengancam jiwa, kalium diberikan secara intravena dengan
k e c e p a t a n maksimal 20 mEq/jam) Pemberian kalium s e b a i k n ya
d i e n c e r k a n d e n g a n N a C l 0 , 9 % b u k a n d e k s t r o s a . P e m b e r i a n dekstrosa
menyebabkan penurunan sementara K +serum sebesar 0,2 – 1,4 mEq/L. Pemberian
kalium 40 – 60 mEq dapat menaikkan kadar K+serum sebesar 1 – 1,5 mEq/L

2.3.2.Hiperkalemia

2.3.2.1. Definisi

Hiperkalemia merupakan suatu keadaan di mana kadar kalium dalam


darah tinggi. Walaupun hiperkalemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalium
dalam darah > 5 mEq/L, masih dibagi lagi menjadi ringan 5 – 6 mEq/L, sedang 6
– 7 mEq/L dan berat > 7 mEq/L.

2.3.2.2. Etiologi

- Perpindahan Kalium Interkompartemen


Perpindahan kalium keluar dari sel dapat terlihat pada asidosis, lisis sel
setelah kemoterapi, hemolisis, rhabdomiolisis, trauma masif jaringan, overdosis
digitalis, pemberian arginin hidroklorida, dan blokade β2-adrenergik.
Blokade β2-adrenergik mencetuskan peningkatan kadar kalium plasma
yang terjadi setelah olahraga. Digitalis menghambat Na+–K+ ATPase pada
membran sel; overdosis digitalis telah dilaporkan menyebabkan hiperkalemia
pada beberapa pasien. Arginin hidroklorida, yang digunakan untuk mengobati
alkalosis metabolik, dapat menyebabkan hiperkalemia saat kation arginin
memasuki sel dan ion kalium keluar dari sel untuk menjaga netralitas muatan.
- Penurunan Ekskresi Kalium pada Ginjal
Penurunan ekskresi kalium pada ginjal merupakan hasil dari (1) reduksi
filtrasi glomerulus, (2) penurunan aktivitas aldosteron, atau (3) defek sekresi
kalium di nefron distal.

21
Filtrasi glomerulus rata-rata kurang dari 5 mL/menit hampir selalu
berhubungan dengan hiperkalemia. Pasien dengan penurunan tingkat kerusakan
ginjal dapat juga berkembang menjadi hiperkalemia jika terjadi peningkatan
beban kalium (makanan, katabolik, atau iatrogenik). Uremia juga dapat
mengganggu aktivitas Na+–K+ ATPase.
Hiperkalemia karena menurunnya aktivitas aldosteron dapat merupakan
hasil dari defek primer pada sintesis hormon adrenal atau defek pada sistem renin-
angiotensian-aldosteron. Pasien dengan insufisiensi primer adrenal (penyakit
Addison) dan yang berhubungan dengan defisiensi enzim 21-hidroksilase telah
diketahui berhubungan dengan gangguan sintesis aldosteron.
Obat yang menginterferensi sistem renin-angiotensin-aldosteron
berpotensi untuk menimbulkan hiperkalemi, terutama yang memiliki kerusakan
ginjal. NSAID menghambat pelepasan prostaglandin-mediated renin. Obat ACEI
(Angiotensin Converting Enzym Inhibitor) menginterferensi angiotensin II
mediated release of aldosterone. Dosis besar heparin dapat menginteferensi
sekresi aldosteron. Diuretik hemat kalium Spironolakton secara langsung
mengantagonis aktivitas aldosteron di ginjal.
Penurunan ekskresi kalium dapat juga terjadi akibat defek intrinsik atau
didapat pada kemampuan ginjal untuk mengsekresi kalium pada nefron distal.
Defek seperti ini dapat terjadi pada fungsi ginjal yang normal dan tidak responsif
terhadap terapi mineralokortikoid. Ginjal pasien dengan pseudohipoaldostero-
nisme menunjukkan resistensi intrinsik terhadap aldosteron.
- Peningkatan Intake Kalium
Peningkatan beban kalium jarang terjadi pada individu normal kecuali
kalium dalam jumlah yang besar diberikan secara cepat dan intrvena.
Hiperkalemia, bagaimanapun, dapat terlihat meningkat pada pasien yang
menerima β-bloker atau dengan gangguan fungsi ginjal atau defisiensi insulin.
Sumber kalium yang tidak disadari termasuk penisilin kalium, pengganti natrium
(terutama garam kalium), dan transfusi whole blood yang disimpan. Kadar kalium
plasma pada satu unit whole blood dapat meningkat menjadi 30 mEq/L setelah
penyimpanan 21 hari. Resiko hiperkalemia dari transfusi berulang dapat direduksi

22
(tetapi tidak dieliminasi) dengan meminimalkan volume plasma yang diberikan
melalui transfusi Packed Red Cell (PRC).

2.3.2.3. Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda yang muncul pada hiperkalemia antara lain,


kelemahan/weakness, paralisis ascending, dan gagal nafas. Terjadi berbagai
perubahan pada EKG pada pasien dengan hiperkalemia. Pada tahap awal
ditemukan peaked T waves (tenting). Karena serum kalium yang terus meningkat
lebih tinggi lagi akan terjadi gelombang P yang mendatar, interval PR yang
memanjang (tanda – tanda Blokade jantung derajat 1 ), kompleks QRS yang
melebar, gelombang S yang lebih dalam, dan bersatunya gelombang S dan T dapat
dilihat pada EKG. Jika hiperkalemia diacuhkan tidak mendapatkan terapi dapat
berkembang menjadi sine wave pattern, irama idioventricular, dan henti jantung
asistol.

2.3.2.4. Penatalaksaan

Terapi pada pasien dengan hiperkalemia ditentukan oleh keparahan dan


kondisi klinis pasien.

Stop source of external Potassium


Administration
• (eg, consider supplements and maintenance IV fluids)

and evaluate drugs that can increase serum


potassium
• (eg, potassium-sparing diuretics, angiotensin- converting
enzyme [ACE] inhibitors, nonsteroidal antiinflammatory
agents).

Hentikan segala sumber kalium dari luar dan bila perlu pertimbangkan
pemberian suplemen dan maintenance cairan intravena. Kemudian evaluasi obat
– obatan yang menyebabkan hiperkalemia. Beberapa obat – obatan seperti ;

23
diuretic hemat kalium, ACE-I, NSAIDs. Terapi lanjutan adalah sesuai dengan
tingkat keparahan hiperkalemia dan konsekuensi klinis yang terjadi .

Untuk peningkatan Kalium ringan (5-6 mEq/L)  keluarkan Kalium dari tubuh

1. Diuretik furosemid 40 – 80 mg IV
2. Resin : Keyexalate 15 – 30 g pada 50 - 100 ml larutan sorbitol 20% baik
melalui oral ataupun enema retensi.

Untuk peningkatan Kalium sedang (6-7 mEq/L)  geser Kalium menuju


intraselular

1. Glukosa + insulin : campur 25 g ( 50 ml larutan D50) glukosa dan 10 U


insulin regular dan berikan secara IV selama 15 – 30 menit.
2. Sodium Bikarbonat :50 mEq/L IV selama 5 menit ( Sodium Bikarbonat
tunggal tidak lebih efektif dari pada glukosa + insulin atau nebulisasi albuterol,
terutama pada pasien dengan gagl ginjal, lebih baik terapi konjungsi seperti terapi
ini).
3. Nebulisasi Albuterol : 10 -20 mg nebulisasi selama 15 menit.

Untuk peningkatan yang parah (>7 mEq/L dengan perubhan EKG yang toksik)
anda harus mengeliminasi kalium dari tubuh dan menggeser Kalium menuju
intraselular. Terapi dengan cara menggeser Kalium ke intraselular akan berefek
cepat terhadap perubahan serum Kalium namun hal ini berlangsung sementara.
Jika serum kalium rebound / kembali pada kadar yang tinggi/ lebih tinggi maka
anda harus mengulangi terapi tersebut. Maka dari itu urut – urutan terapi nya
adalah sebagai berikut :

Geser Kalium ke Intraselular

1. Calcium Chloride (10%) : 500 – 1000 mg (5 – 10ml) IV selama 2 – 5


menit, untuk mengurangi efek Kalium terhadap membrane sel miokardium dan
mengurangi resiko untuk terjadinya resiko fibrilasi ventrikel (VF).
2. Sodium Bikarbonat : 50 mEq/L selama 5 menit ( mungkin kurang efektif
untuk pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir /ESRD)

24
3. Glukosa + Insulin : campur 25 g ( 50 ml larutan D50) glukosa dan 10 U
insulin regular dan berikan secara IV selama 15 – 30 menit.
4. Nebulisasi Albuterol : 10 -20 mg nebulisasi selama 15 menit.

Eksresikan Kalium

5. Diuresis dengan furosemid 40 – 80 mg IV


6. Kayexalate enema : 15 – 50 g + sorbitol PO atau Per-rectal
7. Dialisis

2.3.3. Hipokalemia Periodic Paralysis

2.3.3.1. Definisi

Paralisis periodik hipokalemik (PPH) merupakan salah satu spektrum


klinis akibat hipokalemia yang disebabkan oleh redistribusi kalium secara akut ke
dalam cairan intraselular

2.3.3.2. Etiologi

Paralisis periodik hipokalemik familial (PPHF) terjadi karena adanya


redistribusi kalium ekstraselular ke dalam cairan intraselular secara akut tanpa
defi sit kalium tubuh total. Kelemahan otot terjadi karena kegagalan otot rangka
dalam menjaga potensial istirahat (resting potential) akibat adanya mutasi gen
CACNL1A3, SCN4A, dan KCNE3, yakni gen yang mengontrol gerbang kanal
ion (voltage-gated ion channel) natrium, kalsium, dan kalium pada membran sel
otot.
Kadar kalium plasma adalah hasil keseimbangan antara asupan kalium
dari luar, ekskresi kalium, dan distribusi kalium di ruang intra- dan ekstraselular.
Sekitar 98% kalium total tubuh berada di ruang intraselular, terutama di sel otot
rangka. Secara fisiologis, kadar kalium intrasel dipertahankan dalam rentang nilai
120-140 mEq/L melalui kerja enzim Na+-K+-ATPase. Kanal ion di membran sel
otot berfungsi sebagai pori tempat keluar-masuknya ion dari/ke sel otot. Dalam
keadaan depolarisasi, gerbang kanal ion akan menutup dan bersifat impermeabel
terhadap ion Na+dan K+, sedangkan dalam keadaan repolarisasi (istirahat),

25
gerbang kanal ion akan membuka, memungkinkan keluar-masuknya ion natrium
dan kalium serta menjaganya dalam keadaan seimbang. Mutasi gen yang
mengontrol kanal ion ini akan menyebabkan influks K+ berlebihan ke dalam sel
otot rangka dan turunnya infl uks kalsium ke dalam sel otot rangka sehingga sel
otot tidak dapat tereksitasi secara elektrik, menimbulkan kelemahan sampai
paralisis. Mekanisme peningkatan influks kalium ke dalam sel pada mutasi gen
ini belum jelas dipahami. Sampai saat ini, 30 mutasi telah teridentifi kasi pada gen
yang mengontrol kanal ion. Tes DNA dapat mendeteksi beberapa mutasi;
laboratorium komersial hanya dapat mengidentifi kasi 2 atau 3 mutasi tersering
pada PPHF sehingga tes DNA negatif tidak dapat menyingkirkan diagnosis.

2.3.3.3. Manifestasi Klinis

Durasi dan frekuensi serangan paralisis pada PPHF sangat bervariasi,


mulai dari beberapa kali setahun sampai dengan hampir setiap hari, sedangkan
durasi serangan mulai dari beberapa jam sampai beberapa hari. Kelemahan atau
paralisis otot pada PPHF biasanya timbul pada kadar kalium plasma <2,5 mEq/L.
Manifestasi PPHF antara lain berupa kelemahan atau paralisis episodik yang
intermiten pada tungkai, kemudian menjalar ke lengan. Serangan muncul setelah
tidur/istirahat dan jarang timbul saat, tetapi dapat dicetuskan oleh, latihan fisik.
Ciri khas paralisis pada PPHF adalah kekuatan otot secara berangsur membaik
pascakoreksi kalium.

Otot yang sering terkena adalah otot bahu dan pinggul; dapat juga
mengenai otot lengan, kaki, dan mata. Otot diafragma dan otot jantung jarang
terkena; pernah juga dilaporkan kasus yang mengenai otot menelan dan otot
pernapasan.Kelainan elektrokardiografi (EKG) yang dapat timbul pada PPHF
berupa pendataran gelombang T, supresi segmen ST, munculnya gelombang U,
sampai dengan aritmia berupa fibrilasi ventrikel, takikardia supraventrikular, dan
blok jantung

2.3.3.4. Penatalaksaan

26
Terapi PPHF biasanya simtomatik, bertujuan menghilangkan gejala
kelemahan otot yang disebabkan hipokalemia. Terapi PPHF mencakup pemberian
kalium oral, modifikasi diet dan gaya hidup untuk menghindari pencetus, serta
farmakoterapi. Dibeberapa literatur, disarankan pemberian kalium oral dengan
dosis 20-30 mEq/L setiap 15-30 menit sampai kadar kalium mencapai normal.
Kalium klorida (KCl) adalah preparat pilihan untuk sediaan oral. Suplementasi
kalium harus diberikan hati-hati karena hiperkalemia akan timbul saat proses
redistribusi trans-selular kalium berhenti.
Pada kasus paralisis hipokalemik berat atau dengan manifestasi perubahan
EKG, harus diberikan kalium intravena (IV ) 0,5 mEq/kg selama 1 jam, infus
kontinu, dengan pemantauan ketat. Pasien yang memiliki penyakit jantung atau
dalam terapi digoksin juga harus diberi terapi kalium IV dengan dosis lebih besar
(1 mEq/kg berat badan) karena memiliki risiko aritmia lebih tinggi.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian kalium ialah kadar
kalium plasma, gejala klinis, fungsi ginjal, dan toleransi pasien. Suplementasi
kalium dibatasi jika fungsi ginjal terganggu. Pemberian oral lebih aman karena
risiko hiperkalemia lebih kecil.
Pemberian asetazolamid inhibitor anhidrase karbonat, dengan dosis 125-
250 mg 2-3 kali sehari pada anak terbukti cukup efektif mengatasi serangan,
mengurangi frekuensi serangan, dan mengurangi derajat keparahan. Mekanisme
kerja asetazolamid sampai saat ini masih belum jelas, tetapi penelitian terakhir
mengungkap bahwa obat ini bekerja dengan menstimulasi langsung calcium
activated K channels sehingga kelemahan otot berkurang.Spironolakton, dengan
dosis 100-200 mg/hari terbukti efektif. Sebuah penelitian acak terkontrol pada
tahun 2000 menunjukkan bahwa diklorfenamiddosis 50-200 mg/hari terbukti
efektif menurunkan serangan dibandingkan plasebo. Triamteren bermanfaat karena
dapat meningkatkan ekskresi natrium dan menahan kalium di tubulus ginjal. Di
beberapa negara, effervescent kalium sitrat adalah sediaan yang paling efektif dan
ditoleransi dengan baik oleh saluran cerna.Belum ada penelitian pada pasien anak
yang membandingkan efektivitas asetazolamid, spironolakton, diklorfenamid, dan
triamteren, serta belum ada kesepakatan yang jelas di antara para ahli mengenai
kapan dianjurkan menggunakan asetazolamid, spironolakton, atau obat lain.

27
Sebagian besar penelitian masih terbatas pada pasien dewasa. Tata laksana utama
PPHF pada anak lebih ditekankan pada edukasi dan suplementasi kalium per oral
mengingat efek samping farmakoterapi. Penelitian yang berkembang saat ini lebih
berfokus pada penelitian biomolekuler untuk mencari dasar kelainan
chanellopathydi tingkat gen, tidak banyak berpusat pada aspek tata laksana. Terapi
gen sebagai terapi definitif untuk PPHF saat ini belum ada

28
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Kalium (K) adalah kation utama kompartemen cairan intraseluler ( CIS ).


Sekitar 90% asupan kalium diekskresikan di urin dan 10 % di feses. Konsentrasi
normal kalium di plasma adalah 3,5 – 4,8 mmol/L, sedangkan konsentrasi
intraseluler dapat 30 kali lebih tinggi, dan jumlahnya mencapai 98 % dari jumlah
K keseluruhan. Walaupun kadar kalium di dalam CES hanya berkisar 2 % saja,
akan tetapi memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga homeostasis.
Perubahan sedikit saja pada kalium intraseluler, akan berdampak besar pada
konsentrasi kalium plasma.Kalium berperan penting dalam fungsi tubuh normal
fungsi biokimia, polarisasi membran dan regulasi filtrasi serta eksresi cairan dan
mineral tubuh manusia.

Apabila terjadi gangguan keseimbangan kalium berupa penurunan


konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3.5 mEq/L disebut hipokalemia,
apabila terjadi peningkatan konsentrasi kalium dalam darah lebih dari 5 mEq/L
disebut hiperkalemia. Terdapat suatu keadaan yang disebut hipokalemia paralisis
parsial yang terjadi apabila redistribusi kalium secara akut ke dalam cairan
intraselular. Penatalaksanaan pada pasien dengan gangguan kalium sesuai dengan
keadaan pasien.

29
DAFTAR PUSTAKA

KOREKSI HIPOKALEM I
Hipokalemi adalah penurunan kadar Kalium (K +) serum < 3,5 mEq/L.
Koreksi dilakukan menurut kadar Kalium :
1.Kalium 2,5 – 3,5 mEq/L
Berikan 75 mEq/kgBB per oral per hari dibagi tiga dosis.
2.Kalium < 2,5 mEq/L
Ada 2 cara, berikan secara drip intravena dengan dosis :
a)[(3,5 – kadar K +terukur) x BB (kg) x 0,4] + 2 mEq/kgBB/24 jam, dalam 4 jam
pertama[ ( 3 , 5 – k a d a r K +t e r u k u r ) x B B ( k g ) x 0 , 4 ] + ( 1 / 6 x 2
m E q / k g B B / 2 4 j a m ) dalam 20 jam berikutnya.(IDAI, 2004)
b)(3,5 – kadar K +terukur) + (1/4 x 2 mEq/kgBB/24 jam), dalam 6 jam.
(Setiati, Tatty Ermin)
Keterangan :

Kalium diberikan secara intravena, jika pasien tidak bisa makan atau hipokalemi
berat.Pemberian kalium tidak boleh lebih dari 40 mEq per L (jalur perifer)
atau 80 mEq per L (jalursentral) dengan kecepatan 0,2 – 0,3
mEq/kgBB/jam. Jika keadaan mengancam jiwa dapat diberikan dengan
kecepatan s/d 1 mEq/kgBB/jam (
viainfuse pump
dan monitor EKG).(Cronan, Kathleen M & Kost, Susanne I, 2006)

ATAU

Koreksi kalium secara intravena dapat diberikan sebanyak 10 mEq dalam


1 jam, diulang s/dkadar K +serum > 3,5 mEq/L. J i k a k e a d a a n
mengancam jiwa, kalium diberikan secara intravena
d e n g a n k e c e p a t a n maksimal 20 mEq/jam.(Darwis, Darlan, 2006)P e m b e r i a n
k a l i u m s e b a i k n ya d i e n c e r k a n d e n g a n N a C l 0 , 9 % b u k a n d e k s t r o s a .
P e m b e r i a n dekstrosa menyebabkan penurunan sementara K +serum sebesar 0,2 –

30
1,4 mEq/L.Pemberian kalium 40 – 60 mEq dapat menaikkan kadar K+serum sebesar
1 – 1,5 mEq/L.(Darmawan, Iyan, 2009)
Sumber :
1.IDAI. Standart pelayanan medis kesehatan anak. Edisi I. Badan penerbit
IDAI. Jakarta.2004

31
32

Anda mungkin juga menyukai