Anda di halaman 1dari 36

CASE BASED DISSCUSSION

BRONKOPNEUMONIA

Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat Menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Di Rumah Sakit Umum Daerah Sunan Kalijaga Demak

Diajukan Kepada :
dr. Diana Primadianti, Sp.PD

Disusun Oleh :
Anita Kusuma Wardhana
30101206594

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK
2017
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
SMF PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUNAN KALIJAGA DEMAK

Nama Mahasiswa : Anita Kusuma Wardhana


NIM : 30101206594
Dokter Pembimbing : dr. Diana Primadianti, Sp.PD
I. IDENTITAS PASIEN
Namalengkap : Ny. M Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 53 Tahun Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : Tidak sekolah
Alamat : Demak Tgl Masuk RS : 11 – 12 – 2017

II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 13 Desember 2017 pukul 07.00 WIB di
bangsal Teratai dan status rekam medik.
Keluhan Utama
Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Sunan Kalijaga Demak dengan keluhan sesak,
batuk, dan nyeri dada ketika untuk bernafas dan ketika batuk.
± 4 bulan SMRS pasien mengalami batuk. Keluhan disertai tenggorokan nyeri,
suara serak dan sulit mengeluarkan dahak.
1 bulan SMRS pasien merasakan badan lemas dan demam naik turun. Pasien
juga merasakan keringat dingin keluar pada malam hari yang tidak dipicu oleh
aktifitas dan merasakan nafsu makan turun serta mual.
3 hari SMRS keluhan batuk tidak membaik, dirasakan semakin memberat
dengan disertai nyeri dada dan pasien merasa badannya semakin kurus.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
 Riwayat Hipertensi (+), DM (-), Berobat OAT (-), Asma (-) Penyakit Jantung (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan seperti pasien
 Riwayat Hipertensi, DM dan Alergi disangkal
 Riwayat keluarga berobat OAT (-)
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS.

III.PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS
 Kesadaran : Compos mentis
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Tanda Vital
 Tekanan darah : 120/70 mmHg

2
 Nadi : 120 kali/menit
 Suhu : 38C
 Pernapasan : 40 kali/menit
 Kepala : Mesocephal, rambut hitam sebagian putih berdistribusi
merata, nyeri kepala (-), pusing (-).
 Mata : Conjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-), Mata
cekung (+/+). Injeksi konjungtiva (-/-), eksoftalmus (-/-),
Pupil bulat isokor, Reflek cahaya (+/+)
 Hidung : Deviasi septum (-), rhinorrhea (-/-), epistaksis (-/-)
 Telinga : Nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tarik telinga (-/-)
 Mulut
Bibir : Sianosis (-), kering (-), sariawan (-)
Lidah : Lidah kotor (-), deviasi (-), tremor (-), atrofi papil (–),
bercak putih (-)
Gusi & mukosa: warna merah muda, perdarahan (-)
Faring : Hiperemis (-), tonsil T1-T1
 Leher : Trakea di tengah, pembesaran KGB (-)
 Thorax
Dada Bagian Belakang
Inspeksi : Bentuk skapula simetris.

Tidak ditemukan bekas luka ataupun benjolan.

Retraksi sela iga (-), sela iga melebar (-).

Palpasi : Nyeri tekan (-)

Perbandingan gerakan nafas sama kuat


Pergerakan dada simetris
Vocal fremitus menurun
Perkusi : Sonor

Auskultasi :

 Kanan : Suara napas bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing


-/-

3
 Kiri : Suara napas bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing
-/-

Dada Bagian Depan


Inspeksi : Bentuk dada bagian depan normal
Retraksi intercostae (-), retraksi suprasternal (-),
retraksi supraclavicular (-), sela iga tidak melebar
Pergerakan dada simetris.
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perbandingan gerakan nafas sama kuat
Pergerakan dada simetris
Vocal fremitus menurun
Perkusi : Sonor

Auskultasi
 Kanan : Suara napas bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing
-/-
 Kiri : Suara napas bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing
-/-
 Jantung
Inspeksi : Tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Iktus cordis teraba kuat angkat
Perkusi :
 Batas atas jantung berada di ICS 2 linea sternalis sinistra
 Batas pinggang jantung berada di ICS 3 linea parasternalis sinistra
 Batas bawah jantung kanan berada di ICS 5 linea sternalis dextra
 Batas bawah jantung kiri berada di ICS 5 linea midclavicula sinistra 2 cm
ke medial
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II terdengar regular, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
 Inspeksi: bentuk datar, sikatrik (-), striae (-), caput medusa (-),
hiperpigmentasi (-), spider nevi (-)

4
 Auskultasi : bising peristaltik (+) à 10 kali/menit, bising pembuluh darah
(-)
 Perkusi :
o Perkusi 4 regio : timpani
o Hepar : pekak (+), liver span dextra 10 cm, sinistra 6 cm.
o Lien : troube space (-)
o Ginjal : nyeri ketok ginjal (-)
 Palpasi :
o Superfisial à Nyeri tekan abdomen (-), Massa (-), defence
muscular (-)
o Dalam à Nyeri tekan dalam (-)
o Organ à Hepar tidak teraba, lien schuffner tidak teraba, ginjal
tidak teraba membesar
 Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary Refill < 2 detik / < 2 detik < 2 detik / < 2 detik
Gerak Dalam batas normal Dalam batas normal
5/5 5/5
5/5 5/5

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium
Tanggal 11/12/2017 pukul 13.32
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

HEMATOLOGI
Hemoglobin L 8.5 g/dl 13.2 – 17.3
Hematokrit L 26.4 % 40 – 52
Lekosit 6.2 103 / µL 3,8 – 10,6
Trombosit 253 103 / µL 150 – 400
Eritrosit 4.07 106 / µL 4–6
Netrofil H 74.2 % 50 - 70
Limfosit L 12.7 % 25 – 40
Monosit H 12.7 % 2–8
Eosinofil L L 0.2 % 2–4
Basofil 0.2 % 0–1
MCH L 20.9 pg 26 – 34
MCHC 32.2 % 32 – 36
MCV L 64.9 fL 80 – 100

5
RDW H 18.4 % 11.5 – 14.5
MPV Negatif
PDW Negatif
KIMIA KLINIK
GDS 94 mg/dL 70 – 115
CKMB H 32 U/L <24
SERO IMUNOLOGI
Widal
S typhi O POS 1/100 Negatif
S typhi H Negatif Negatif

Tanggal 11/12/2017 pukul 16.59


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

KIMIA KLINIK
GDS 94 mg/dL 70 – 115
Ureum 19 mg/dL 0 – 40
Creatinin 0.5 mg/dL 0.5 – 1.2
Kolesterol 180 mg/dL < 200
Trigliserida 101 mg/dL < 150
SGOT 19 U/L < 37
SGPT 16 U/L 9 – 43
Uric acid 2.7 mg/dL 1.4 – 5.8

B. X Foto Thorax AP Lateral

6
Kesan :
Cor tidak membesar, bentuk dan letak normal
Cenderung gambaran TB aktif pada kedua paru

V. DATA ABNORMALITAS
Anamnesis :
1. Sesak
2. Demam
3. Nyeri dada
4. Batuk 4 bulan
5. Lemas/ malaise
6. Keringat malam hari
7. Nafsu makan menurun
8. Mual

Pemeriksaan Fisik
1. Mata : Mata cekung, konjungtiva anemis
2. Sterm fremitus pulmo dex=sin menurun
3. Auskultasi pulmo dex=sin ronkhi

Pemeriksaan Penunjang
1. Kadar Hb : 8,5 g/dL
2. X-Foto Thoraks AP : terdapat gambaran TB aktif pada kedua paru

7
VI. INITIAL PLAN

1. Bronkopneumonia
DD : TB Paru
Ip. Dx: Batuk, sesak, nyeri dada, badan lemas, keringat dingin malam hari

tanpa aktfitas, nafsu makan turun, mual, X-Foto thoraks, TCM.


Ip. Tx:
o Farmakologi :
 Terapi di bangsal
 Oksigen nasal kanul 2L/menit
 Inf RL 20 tpm
 Inj ranitidin 2 x 1 A
 Inj. Ceftriaxon 1x1gr
 Inj. Dexamethason 3x1
 Paracetamol Tab 500 mg 3x1
 N-Asetyl cystein tab 200mg 3x1
 Nebulizer flumocil / 12 jam

Ip. Mx: Monitoring gejala, tanda klinis dan komplikasi


Ip. Ex:
• Istirahat cukup
• Pengaturan pola makan yang baik dan benar
• Rutin mengkonsumsi obat
• Etika batuk yang benar
• Penggunaan masker
Prognosis :
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

2. Anemia
Ip. Dx: konjungtiva anemis, sesak, pemeriksaan GDT.
Ip. Tx:
o Farmakologi :
• Inf RL 20 tpm
• Asam folat Tab 1x1
Ip. Mx: Monitoring gejala, tanda klinis dan komplikasi
Ip. Ex:

8
• Istirahat cukup
• Rutin mengkonsumsi obat
Prognosis :
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

9
TINJAUAN PUSTAKA

BRONCHOPNEUMONIA
Bronchopneumonia merupakan salah satu bagian dari penyakit
Pneumonia. Bronchopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut
bagian bawah dari parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang
berupa distribusi berbentuk bercak-bercak yang disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.

ETIOLOGI
Berbagai bentuk klinis pneumonia sering kali di klasifikasikan berdasarkan
pembagian serta penyebaran anatomis dan etiologinya.
1. Berdasarkan anatominya pneumonia di bagi atas :
a. Pneumonia Lobaris
b. Pneumonia Lobularis (Bronchopneumonia)
c. Pneuminia Interstitialis (Bronkiolitis)
2. Berdasarkan etiologinya dibagi atas :
a. Bakteri : Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus, Streptococcus
hemolyticus, Streptococcus aureus, Hemophilus influenza, Bacillus
friedlander, Mycobacterium tuberculosis
b. Virus : Respiratory syncytial virus, Virus influenza, adenovirus, Virus
sitomegalik
Virus penyebab pneumonia yang paling lazim adalah virus respiratori
sinsitial, virus para influenza, virus influenza, virus adeno, virus
cytomegalo virus. virus respiratori sinsitial yang paling sering
menyebabkan pneumonia terutama pada bayi. Pneumonia virus paling
sering terjadi pada bulan-bulan musim dingin. Angka serangan puncak
untuk pneumonia virus adalah 2-3 tahun dan menurun untuk sesudahnya.
c. Jamur : Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformis, Blastomyces
dermalitides, Coccidiodes limmitis, Aspergylus species, Candida albicans.
d. Aspirasi : Makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion, benda
asing.
e. Pneumonia hipostatik

10
Disebabkan oleh tidur terlentang terlalu lama, misalnya pada anak yang
sakit dengan kesadaran menurun, penyakit lain yang harus istirahat di
tempat tidur yang lama sehingga terjadi kongesti pada paru belakang
bawah. Kuman yang tadinya komensal berkembang biak menjadi patogen
dan menimbulkan radang. Oleh karena itu pada anak yang menderita
penyakit dan memerlukan istirahat panjang seperti tifoid harus diubah –
ubah posisi tidurnya.
f. Sindrom Loeffler (Etiologi oleh larva A. Lumbricoedes.)
Secara klinis biasa, berbagai etiologi ini sukar dibedakan. Untuk
pengobatan tepat, pengetahuan tentang penyebab pneumonia perlu sekali,
sehingga pembagian etiologis lebih rasional dari pada pembagian
anatomis.
Pneumokokus merupakan penyebab utama pneumonia. Pneumokokus
dengan serotipe 1 sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa
lebih dari 80 % sedangkan pada anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9.

PATOGENESIS
Mikroorganisme masuk ke dalam paru melalui jalan nafas secara percikan
(droplet), proses radang pneumonia dapat dibagi atas 4 stadium, yaitu
1. Stadium kongesti (4-12 jam pertama)
Kapiler melebar dan kongesti serta di dalam alveolus terdapat eksudat jernih,
bakteri dalam jumlah banyak, beberapa neutrofil dan makrofag.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam berikutnya)
Lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat dan tidak mengandung udara,
warna menjadi merah. Dalam alveolus didapatkan fibrin, leukosit netrofil,
eksudat dan banyak sekali eritrosit dan kuman. Stadium ini berlangsung sangat
pendek.
3. Stadium hepatisasi kelabu (3-8 hari)
Lobus masih tetap padat dan warna merah menjadi pucat kelabu. Permukaan
pleura suram karena diliputi oleh fibrin. Alveolus terisi fibrin dan leukosit,
tempat terjadi fagositosis pneumokokus. Kapiler tidak lagi kongestif.
4. Stadium resolusi (8-11 hari)

11
Eksudat berkurang. Dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit
mengalami nekrosis dan degenerasi lemak. Fibrin diresorbsi dan menghilang.
Secara patologi anatomis bronkopneumonia berbeda dari pneumonia lobaris
dalam hal lokalisasi sebagai bercak – bercak dengan distribusi yang tidak
teratur. Dengan pengobatan antibiotika urutan stadium khas ini tidak terlihat.

GEJALA KLINIS
Bronchopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran napas bagian
atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik sangat mendadak sampai 39 – 40 0 C
dan mungkin disertai kejang demam yang tinggi. Anak megalami kegelisahan,
kecemasan, dispnoe pernapasan. Kerusakan pernapasan diwujudkan dalam bentuk
napas cepat dan dangkal, pernapasan cuping hidung, retraksi pada daerah
supraclavikular, ruang-ruang intercostal, sianosis sekitar mulut dan hidung,
kadang-kadang disertai muntah dan diare. Pada awalnya batuk jarang ditemukan
tetapi dapat dijumpai pada perjalanan penyakit lebih lanjut, mula-mula batuk
kering kemudian menjadi produktif.
Pada bronkopneumonia, pemeriksaan fisik tergantung dari pada luas
daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak ditemukan kelainan. Pada
auskultasi mungkin terdengar ronki basah nyaring halus – sedang.
Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens), mungkin pada
perkusi terdengar keredupan dan suara pernapasan pada auskultasi terdengar
mengeras. Pada stadium resolusi, ronki terengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya
penyembuhan dapat terjadi sesudah 2 – 3 minggu.

PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara
napas melemah dan ronki .

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Darah perifer lengkap

Pada pneumonia virus atau mikoplasma ditentukan leukosit dalam batas


normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan

12
leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000/mm 3 dengan predominan
PMN. Leukopenia menunjukkan prognosis yang buruk , yaitu kurang dari
5000/mm3. Leukositosis hebat, yaitu lebih dari 30.000/mm3 hampir selalu
menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemuakn pada keadaan bakteriemi
dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Chlamydia
pneumoniae kadang-kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan
cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300 - 100.000/mm3, protein
lebih dari 2,5g/dl dan glukosa relatif lebih rendah dari glukosa darah. Kadang-
kadang terdapat anemia ringan dan LED yang meningkat. Secara umum, hasil
pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara
infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti

2. C-Reactive Protein

C-Reactive Protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh
hepatosit, Sebagai respon inflamasi atau infeksi jaringan,produksi CRP
distimulasi secara cepat oleh sitokin terutama IL-6 dan tumor necrosis factor.
Meskipun fungsi pastinya belum diketahui CRP sangat mungkin berperan dalam
opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak.Secara klinis CRP digunakan
sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non-infeksi,
infeksi virus dan bakteri atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar
CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri superfisialis daripada
bakteri profunda. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terhadap
antibiotik. Suatu penelitian melaporkan bahwa CRP cukup sensitif tidak hanya
untuk mendiagnosis empiema torasis, tetapi juga untuk memantau respon
pengobatan. Dengan pengobatan antibiotik , kadar CRP turun secara
meyakinkan pada hari pertama pengobatan.

3. Uji Serologis

Uji serologis untuk membedakan antigen dan antibodi pada infeksi


bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Akan tetapi
infeksi Streptococcus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer
antibodi seperti anti-streptolisin O, sterptozim atau anti-Dnase B. Peningkatan

13
titer juga berarti adanya infeksi terdahulu. Untuk konfirmasi diperlukan serum
fase akut dan serum fase konvalesen.

Secara umum uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis


infeksi bakteri tipik. Akan tetapi unutk mendeteksi bakteri atipik seperti
Mycoplasma dan Chlamidia serta beberapa virus seperti RSV, Sitomegalo,
Campak, Parainfluenza 1,2,3, Influenza A dan B dan adeno peningkatan antibodi
IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.

4. Pemeriksaan Mikrobiologis

Pemeriksaan mikrobiologis untuk mendiagnosis pneumonia anak tidak


rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk
pemeriksaan mikrobiologis, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura atau aspirasi paru. Diagnosis
dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, pleura atau aspirasi paru.
Kecuali pada masa neonatus, kejadian bakteriemia sangat rendah sehingga kultur
darah jarang yang positif. Pada anak besar dan remaja spesimen untuk
pemeriksaan dapat berasal dari sputum, baik untuk pewarnaan Gram maupun
untuk kultur. Spesimen yang memenuhi syarat adalah yang mengandung lebih
dari 25 leukosit dan kurang dari 40 sel epitel/lapang pembesaran kecil. Spesimen
dari nasofaring kurang bermanfaat karena tingginya kuman yang berkolonisasi
di nasofaring.

Pemeriksaan PCR perlu dilakukan di laboratorium yang canggih,


disamping itu tidak selalu menentukan diagnosis yang pasti sehingga jarang
dilakukan

5. Pemeriksaan Rontgen Toraks

Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen
toraks tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-kadang
bercak-bercak sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala
klinis. Akan tetapi, resolusi inflitrat sering memerlukan waktu yang lebih lama

14
setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan penumonia tanpa
komplikasi ulangan foto rontgen toraks tidak diperlukan. Ulangan foto rontgen
toraks diperlukan apabila gejala klinis menetap, penyakit memburuk atau untuk
tindak lanjut.

Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk mendiagnosis pneumonia


di IGD hanyalah foto rontgen toraks posisi AP. Tambahan foto rontgen lateral
tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis
pneumonia pada anak. Foto rontgen toraks AP dan lateral hanya dilakukan pada
pasien dengan tanda dan gejala klinik distres pernapasan seperti takipnea, batuk
dan ronki, dengan atau tanpa suara napas yang melemah.

Secara umum gambaran foto rontgen toraks sebagai berikut :

1. Infiltrat interstitial, ditandai dengan corakan bronkovaskular, peribronchial


cuffing, dan hiperaerasi

2. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.


Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal
sebagai round pneumonia.

3. Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,


berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

15
ANEMIA

1. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit
(red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).
Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit
atau hitung eritrosit (red cell count). (Bakta, 2011)

2. Etiologi

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: (Bakta,2011)

a. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang


b. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
c. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)

3. Kriteria Anemia
Kriteria Anemia menurut WHO (2012) :
Anak
Usia 6 bulan – 6 tahun Hb < 11 gr/dL
Usia 6 -14 tahun Hb < 12 gr/dL
Dewasa
Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL
Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL
Wanita hamil Hb < 11 gr/dL

4. Klasifikasi Anemia
Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : (Bakta.2011)
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastic
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
B. Anemia akibat perdarahan
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik

16
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati) - Thalasemia -
Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang
kompleks
 Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: (Bakta.2011)
1. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik

Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks
eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %). Penyebab
anemia mikrositik hipokrom:

i. Berkurangnya zat besi: Anemia Defisiensi Besi.


ii. Berkurangnya sintesis globin: Thalasemia dan
Hemoglobinopati.
iii. Berkurangnya sintesis heme: Anemia Sideroblastik.
2. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik

Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan


akut, hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada
sumsum tulang. Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai
dengan perubahan konsentrasi hemoglobin (Indeks eritrosit normal

17
pada anak: MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31 pg , MCHC 26 – 35 %),
bentuk dan ukuran eritrosit.

3. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
i. Anemia defisiensi asam folat
ii. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
i. Anemia pada penyakit hati kronik
ii. Anemia pada hipotiroidisme
iii. Anemia pada sindrom mielodisplastik

Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal.
(Indeks eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC =
> 35 %). Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin
B12, asam folat), serta anemia makrositik non-megaloblastik
(penyakit hati, dan myelodisplasia)

5. Gejala Anemia

Gejala umum anemia tergantung pada : (Bakta.2011)

a. Derajat penurunan hemoglobin


b. Kecepatan penurun hemoglobin

Gejala khas infeksi cacing tambang :

a. pucat
b. lemah, mudah lelah
c. sakit perut
d. pembengkakan parotis
e. warna kuning pada telapak tangan.

Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia,
apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga tertentu.
Gejala umum anemia ini timbul karena : (Bakta.2011)

 Affinitas oksigen yang berkurang Untuk peningkatan pengangkutan oksigen


ke jaringan yang efisien, dilakukan dengan cara mengurangi affinitas

18
hemoglobin untuk oksigen. Aksi ini meningkatkan ekstraksi oksigen dengan
jumlah hemoglobin yang sama.
 Peningkatan perfusi jaringan Efek dari kapasitas pengangkutan oksigen yang
berkurang pada jaringan dapat dikompensasi dengan meningkatkan perfusi
jaringan dengan mengubah aktivitas vasomotor dan angiogenesis.
 Peningkatan cardiac output Dilakukan dengan mengurangi fraksi oksigen
yang harus diekstraksi selama setiap sirkulasi, untuk menjaga tekanan
oksigen yang lebih tinggi. Karena viskositas darah pada anemia berkurang
dan dilatasi vaskular selektif mengurangi resistensi perifer, cardiac output
yang tinggi bisa dijaga tanpa peningkatan tekanan darah.
 Peningkatan fungsi paru Anemia yang signifikan menyebabkan peningkatan
frekuensi pernafasan yang mengurangi gradien oksigen dari udara di
lingkungan ke udara di alveolar, dan meningkatkan jumlah oksigen yang
tersedia lebih banyak daripada cardiac output yang normal.
 Peningkatan produksi sel darah merah Produksi sel darah merah meningkat
2-3 kali lipat pada kondisi yang akut, 4-6 kali lipat pada kondisi yang kronis,
dan kadangkadang sebanyak 10 kali lipat pada kasus tahap akhir. Peningkatan
produksi ini dimediasi oleh peningkatan produksi eritropoietin. Produksi
eritropoietin dihubungkan dengan konsentrasi hemoglobin. Konsentrasi
eritropoietin dapat meningkat dari 10 mU/mL pada konsentrasi hemoglobin
yang normal sampai 10.000 mU/mL pada anemia yang berat. Perubahan
kadar eritropoietin menyebabkan produksi dan penghancuran sel darah merah
seimbang.

6. Diagnosis Anemia
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease
entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease).
Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Tahaptahap dalam diagnosis
anemia adalah: (Bakta.2011)
a. Menentukan adanya anemia
b. Menentukan jenis anemia
c. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
d. Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi
hasil pengobatan.

ANCYLOSTOMIASIS

19
1. Infeksi Cacing Tambang (Hookworm)

Pada manusia disebabkan oleh Necator americanus (nekatoriasis) dan


Ancylostoma duodenale (ankilostomiasis). Cacing tambang mempunyai siklus
hidup yang kompleks, infeksi oleh larva melalui kulit dan mengalami migrasi ke
paru – paru dan berkembang menjadi dewasa pada usus halus. Infeksi cacing
tambang menyebabkan anemia mikrositik dan hipokromik karena kekurangan
zat besi akibat kehilangan darah secara kronis. Cacing dewasa terutama hidup di
daerah yeyunum dan duodenum. Telur dikeluarkan melalui tinja dan tidak
infektif pada manusia. Larva filariform yang bersifat infektif hidup secara bebas
di dalam tanah dan air (Ideham, 2010).

Infeksi cacing tambang pada manusia disebabkan oleh infeksi parasit cacing
nematoda N. americanus dan Ancylostoma duodenale yang penularannya
melalui kontak dengan tanah yang terkontaminasi. Cacing ini merupakan
penyebab infeksi kronis yang paling sering, dengan jumlah orang yang terinfeksi
diperkirakan mencapai seperempat dari populasi penduduk dunia di negara
tropis dan subtropis. A. duodenale penyebarannya secara geografis sangat
terbatas Cacing dewasa hidup dan melekat pada mukosa jejunum dan bagian
atas ileum. Cacing betina A. duodenale memproduksi 20.000 telur sehari.

Dalam kondisi yang memungkinkan; tanah berpasir yang hangat dan


lembab, telur di tanah tumbuh dan berkembang menjadi embrio dalam 24-48
jam pada suhu 23 sampai 30 °C.Penularan terjadi karena penetrasi larva
filariform melalui kulit atau pada Ancylostoma duodenale lebih sering tertular
karena tertelan larva filariform dari pada penetrasi larva tersebut melalui kulit.
Selanjutnya cacing ini tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa, kawin
dan mulai bertelur empat sampai tujuh minggu setelah terinfeksi. Larva
filariform A. duodenale yang tertelan tumbuh dan berkembang menjadi cacing
dewasa tanpa migrasi paru. Cacing dewasa dapat hidup selama satu tahun
(Strikland, G.T. dkk, 2010).

2. Siklus Hidup

20
a. Fase cutaneus, yaitu cutaneus larva migrans, berupa efek larva yang
menembus kulit. Larva ini menyebabkan dermatitis yang disebut Ground
itch. Timbul rasa nyeri dan gatal pada tempat penetrasi.
b. Fase pulmonary, berupa efek yang disebabkan oleh migrasi larva dari
pembuluh darah kapiler ke alveolus. Larva ini menyebabkan batuk kering,
asma yang disertai dengan wheezing dan demam.
c. Fase intestinal, berupa efek yang disebabkan oleh perlekatan cacing dewasa
pada mukosa usus halus dan pengisapan darah. Cacing ini dapat mengiritasi
usus halus menyebabkan mual, muntah, nyeri perut, diare, dan feses yang
berdarah dan berlendir. Anemia defisiensi besi dijumpai pada infeksi cacing
tambang kronis akibat kehilangan darah melalui usus akibat dihisap oleh
cacing tersebut di mukosa usus. Jumlah darah yang hilang per hari per satu
ekor cacing adalah 0,15 mL pada infeksi Ancylostoma duodenale. Jumlah
darah yang hilang setiap harinya adalah 5 mL/1000 telur/gram tinja pada
infeksi Ancylostoma duodenale, sehingga kadar hemoglobin dapat turun
mencapai level 5 gr/dl atau lebih rendah. Pada anak, infeksi cacing ini dapat
menganggu pertumbuhan fisik dan mental.

3. Pemberantasan Infeksi Cacing


Strategi pemberantasan kecacingan di masyarakat tergantung
bagaimana Intervensi yang dilakukan pada salah satu siklus hidup

21
parasit, akan mempengaruhi transmisi parasit tersebut. Berdasarkan berbagai
hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa prevalensi infeksi soil-transmitted
helminths berhubungan dengan higiene dan sanitasi serta sikap masyarakat.
Penggunaan obat-obat antelmintik saat ini tidak hanya terbatas pada pengobatan
infeksi soiltransmitted helminths yang simptomatis saja, tetapi juga dipakai
dalam skala besar guna mengurangi angka morbiditas pada masyarakat di daerah
endemis. Banyak sekali bukti yang menunjukkankan bahwa infeksi kronis soil-
transmitted helminths dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, status gizi
yang buruk dan daya kognitif yang rendah pada anak (Bundy dkk, 2012).
a. pembinaan air bersih,
b. jamban keluarga
c. kesehatan lingkungan,
d. sesudah pengobatan cacing secara massal pada penduduk dapat mengurangi
penularan dan menurunkan prevalensi infeksi soil-transmitted helminths di
pedesaan, terutama pada anak usia kurang dari 10 tahun.

4. Penatalaksanaan
Pengobatan secara berkala dengan obat antelmintik golongan
benzimidazol (Pirantel Pamoat, mebendazol, Levamisol hidrokhlorit) pada anak
usia sekolah dasar dapat mengurangi dan menjaga cacing-cacing tersebut berada
pada kondisi yang tidak dapat menimbulkan penyakit (Bundy dkk, 2012).
Keuntungan pemberantasan kecacingan secara berkala pada kelompok anak usia
sekolah meliputi :
a. Meningkatkan cadangan besi.
b. Meningkatkan pertumbuhan dan kondisi fisik.
c. Meningkatkan daya kognitif dan tingkat kehadiran sekolah.
d. Mengurangi kemungkinan terkena infeksi sekunder. (Jukes, 2013).

22
TUBERKULOSIS

1. Pengertian

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

2. Epidemiologi TB

Pada tahun 1990-an, situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB


meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama pada negara yang
dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries).
Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai
kedaruratan dunia (global emergency).

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:

 Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat seperti pada negara-negara


yang sedang berkembang.

 Kegagalan program TB selama ini.

Hal ini diakibatkan oleh:

 Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan.

 Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh


masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak
terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar dan sebagainya).

 Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak
standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis).

 Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas 9 Bacillus Calmettee Guerin


(BCG) .

23
 Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami
krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.

 Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan


struktur umur kependudukan.

 Dampak pandemi HIV

3. Riwayat Alamiah TB

Pasien TB dapat mengeluarkan kuman TB dalam bentuk droplet yang infeksius ke


udara pada waktu pasien TB tersebut batuk (sekitar 3.000 droplet) dan bersin
(sekitar 1 juta droplet). Droplet tersebut dengan cepat menjadi kering dan menjadi
partikel yang sangat halus di udara. Ukuran diameter droplet yang infeksius tersebut
hanya sekitar 1 – 5 mikron.

Pada umumnya droplet yang infeksius ini dapat bertahan dalam beberapa jam
sampai beberapa hari. Pada keadaan gelap dan lembab kuman TB dalam droplet
tersebut dapat hidup lebih lama sedangkan jika kena sinar matahari langsung (sinar
ultra-violet) maka kuman TB tersebut akan cepat mati.

Pasien TB yang tidak diobati maka setelah 5 tahun akan:

 50% meninggal.

 30% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi.

 20% menjadi kasus kronik yang tetap menular.

(Tuberculosis, A Manual for medical students by Nadia ait-Khaled and Donaldo.


Enarson, WHO, 2003).

4. Patogenesis TB

Seseorang akan terinfeksi kuman TB kalau dia menghirup droplet yang mengandung
kuman TB yang masih hidup dan kuman tersebut mencapai alveoli paru (catatan:
Seseorang yang terinfeksi biasanya asymptomatic/tanpa gejala). Sekali kuman

24
tersebut mencapai paru maka kuman ini akan ditangkap oleh makrofag dan
selanjutnya dapat tersebar ke seluruh tubuh.

Orang yang terinfeksi kuman TB dapat menjadi sakit TB bila kondisi daya tahan
tubuhnya menurun. Sebagian dari kuman TB akan tetap tinggal dormant dan tetap
hidup sampai bertahun-tahun dalam tubuh manusia. Hal ini dikenal sebagai infeksi
TB laten. Seseorang dengan infeksi TB laten tidak mempunyai gejala TB aktif dan
tidak menular.

5. Klasifikasi TB

TUBERKULOSIS PARU
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak
respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
 Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu :

a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)

25
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga
dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
 Infeksi sekunder
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan/pindah
d. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2
minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita
tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Kasus Gagal
 Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan)
 Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau
gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
g. Kasus bekas TB
 Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif
dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih
gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap.
Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung

26
 Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun
setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologik

TUBERKULOSIS EKSTRA PARU

Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis
sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti
klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya
dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus
penuh. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit,
yaitu :
1. TB di luar paru ringan Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2. TB diluar paru berat

Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa


bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

Catatan : ƒ Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru.


Sebab itu TB pada pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada kelainan
radiologik paru, dianggap sebagai penderita TB di luar paru. ƒ Bila seorang
penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan
pencatatan penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita TB paru. ƒ Bila
seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstra
paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

27
Skema klasifikasi tuberkulosis
6. DIAGNOSIS

GAMBARAN KLINIK
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang
lainnya

Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik
(atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
 batuk ≥ 3 minggu

28
 batuk darah
 sesak napas
 nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak
ke luar.

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas &
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

2. Gejala sistemik
 Demam
 gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat
badan menurun

Pemeriksaan Jasmani Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai


tergantung dari organ yang terlibat.

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus
inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya


cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas
yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering


di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”

29
Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau dengan
cara:
• Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
• Dahak Pagi ( keesokan harinya )
• Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : 2


kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif 1 kali positif, 2 kali negatif →
ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik
positif bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif

Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-
macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi
TB aktif :
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
• Kalsifikasi atau fibrotik
• Kompleks ranke
• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Luluh Paru (Destroyed Lung ) :

30
• Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh
paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologik tersebut.
• Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
• Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4
atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti
• Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

31
32
7. Pengobatan

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan.

OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) Obat yang dipakai:


1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
 Rifampisin
 INH
 Pirazinamid
 Streptomisin
 Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap ini
terdiri dari :

33
 Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
 Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
 Kanamisin
 Kuinolon
 Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
 Derivat rifampisins dan INH

Dosis obat anti tuberkulosis (OAT)

Obat Dosis harian Dosis 2x/minggu Dosis 3x/minggu


(mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari)
15-40 (maks. 900
INH 5-15 (maks 300 mg) 15-40 (maks. 900 mg)
mg)
10-20 (maks. 600
Rifampisin 10-20 (maks. 600 mg) 15-20 (maks. 600 mg)
mg)
Pirazinamid 15-30 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g)
Etambutol 15-25 (maks. 1,25 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g)
Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS

34
35
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta I. Made. Hematologi Klinik. Anemia Mikrositik hipokromik. Edisi 2

Penerbit Jakarta 2011.


2. Bundy dkk. Ancylostoma infection in child and multiple helmint infectons:

Impack and control. Parasitology. 2012 ; 122 : S73-S81.


3. WHO. Anemia In Child And the World Nutrition Situation- Nutrtion Life Cycle.

ACC-SCN : 2012

4. Sectish T. Pneumonia. In: Behrman M., Kliegman S., editors. Nelson Textbook

of Pediatric. 17th edition. Wisconsin. Elsevier.2004. p. 1432-1435.

5. Ideham, B. 2010 . Helmitologi Kedokteran. Surabaya : Airlangga University

Press, 77-81, 89-99.


6. Konsensus TB
7. Zulkifli Amin, Asri Bahar, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI,

Edisi ke enam, Jakarta 2014 : 863-873

36

Anda mungkin juga menyukai