Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang
diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat menempatkan tenaga
keperawatan sebagai tenaga kesehatan mayoritas yang sering berhubungan dengan
pasien sebagai pengguna jasa pelayanan rumah sakit. Perawat hadir 24 jam bersama
pasien dan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan pasien dibandingkan tenaga
kesehatan lain. Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya
kelemahan fisik dan/atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan
melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1996. Perawat diposisikan sebagai salah satu dari profesi
tenaga kesehatan yang menempati peran yang setara dengan tenaga kesehatan lain.
Perjalanan awalnya perawat hanya dianggap okuvasi (pekerjaan) saja yang tidak
membutuhkan profesionalisme. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan praktek
keperawatan, perawat sudah diakui sebagai suatu profesi, sehingga pelayanan atau
asuhan keperawatan yang diberikan harus didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawat harus terlebih dahulu
memberikan informed consent kepada pasien. Persetujuan tindakan medik atau
informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas
dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan, tetapi setiap tindakan
medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan.
Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa
yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga
kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat
keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.
Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan medik pasal 6
ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal tindakan
bedah adalah dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada, dokter lain

1
dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam hal tindakan
yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya, informasi dapat diberikan
oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang
bertanggung jawab.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam
melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk
menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan
tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap
tindakan yang akan dilakukan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah Informed Consent pada pasien ?
C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Menjelaskan Informed Consent pada pasien
b. Tujuan Khusus
1. Menjelaskan pengertian Informed consent
2. Menjelaskan komponen-komponen Informed consent
3. Menjelaskan tujuan pelaksanaan Informed Consent
4. Menjelaskan fungsi pemberian Informed Consent
5. Menjelaskan ruang lingkup informed consent
6. Menjelaskan peran perawat dalam pemberian Informed Consent
7. Menjelaskan hal – hal yang di informasikan pada pasien
8. Menjelaskan aspek hukum Informed Consent
9. Menjelaskan hal-hal yang mempengaruhi proses Informed Consent
10. Menjelaskan kualitas Informasi yang di berikan
D. Manfaat
1. Agar mampu memahami tentang bagaimana pemberian informed consent
pada pasien agar dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat.
2. Agar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang pemberian
informed consent pada pasien dan dapat lebih banyak menyediakan referensi-
referensi buku tentang etika dan hukum kesehatan.
3. Agar lebih mengerti dan memahami tentang pemberian informed consent
pada pasien untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah
mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti
persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu
persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed
consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan
sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan
dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya
medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai
segala resiko yang mungkin terjadi.

B. Tujuan Pelaksanaan Informed Consent

Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis
(pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk:
a) Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala
tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan
pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang
bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta
penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization”
yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya
b) Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari
tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang
tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak
mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta
sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas
tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar
karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang
sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
3
C. Fungsi Pemberian Informed Consent

1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia


2. Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk menentukan
nasibnya sendiri
3. Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health care
receiver = HCR)
4. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
5. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
6. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
7. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
8. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan
9. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi
terhadap diri sendiri.
D. Ruang Lingkup Informed Consent
Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada
pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu
mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.
Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki
hak dasar menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan
penghentian pengobatan yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa pengadilan
membolehkan dokter untuk tidak memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan.
Dalam mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang
berat, faktor emosional pasien harus dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa
pengungkapan tersebut dapat mengancam kemungkinan pulihnya pasien.
Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya
penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif. Hak-
hak pasien dalam pemberian inform consent adalah:
1. Hak atas informasi
Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan
medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan
tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya,
perkiraan biaya pengobatan.

4
2. Hak atas persetujuan (Consent)
Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa
paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia
berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria
consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang
betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi
beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya.
Hak persetujuan atas dasar informasi (Informed Consent).
1. Hak atas rahasia medis
2. Hak atas pendapat kedua (Second opinion)
3. Hak untuk melihat rekam medik
4. Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya (lansia, gangguann mental, anak
dan remaja di bawah umur)
5. Hak pasien dalam penelitian
Hak pasien membuat keputusan sendiri untuk berpartisipasi, mendapatkan informasi
yang lengkap, menghentikan partisipasi dalam penelitian tanpa sangsi, bebas bahaya,
percakapan tentang sumber pribadi dan hak terhindar dari pelayanan orang yang
tidak kompeten.
1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di
rumah sakit
2. Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi
3. Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai
dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi
4. Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
sesuai dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit
5. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan
mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah
memperoleh informasi yg jelas tentang penyakitnya
6. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
7. Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya
8. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah
sakit

5
9. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap
dirinya
10. Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual
11. Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter

E. Peran Perawat dalam Pemberian Informed Consent


Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi dalam
masyarakat. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Berhubungan dengan
profesi keperawatan, orang lain dalam definisi ini adalah orang-orang yang berinteraksi
dengan perawat baik interaksi langsung maupun tidak langsung terutama pasien sebagai
konsumen pengguna jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Peran perawat professional dalam pemberian informed consent adalah dapat
sebagai client advocate dan educator. Client advocate yaitu perawat bertanggung jawab
untuk membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai
pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk
mengambil persetujuan (informed consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan
kepadanya. A client advocate is an advocate of client’s rights. Sedangkan educator
yaitu sebagai pemberi pendidikan kesehatan bagi klien dan keluarga.

F. Hal – hal yang dapat di informasikan

1. Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah
diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
2. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya
antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi
idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang
diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut
juga harus diberitahu pada pasien.
Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan
terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya
pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk

6
melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat
melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
3. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan
terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang
ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi
hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan
subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan
kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.
4. Rujukan atau konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan
dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-
pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa
tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia
mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik
darinya.
5. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele,
ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak
mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak
mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua
ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter.
Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed
consent.

G. Aspek Hukum Informed Consent

Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter,
dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan
kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu
yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang
dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga
7
tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum
pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur
yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan
kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara
umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti
rugi”. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah
“kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada
pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan
sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan
medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan
digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini
karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus
menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu
tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa
tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
“informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara
pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-
masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan.
Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya
tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup
diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-
yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam
lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.

8
H. Hal-hal yang Mempengaruhi Proses Informed Consent

1. Bagi pasien
a) Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
b) Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada
waktu untuk tanya jawab
c) Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna
informasi
d) Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
2. Bagi petugas kesehatan
a) Pasien tidak mau diberitahu.
b) Pasien tak mampu memahami.
c) Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
d) Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

I. Kualitas Informasi yang di berikan

Kualitas informasi sangat ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman, selera, dan


iman seseorang mengolah stimulus menjadi informasi. Burch (1986:5) mengatakan
bahwa sebuah informasi yang berkualitas sangat ditentukan oleh kecermatan (accuracy),
tepat waktu (timeliness) dan relevansinya (relevancy). Keakuratan informasi adalah bila
informasi tersebut terbebas dari bias. Informasi dikatakan tepat waktu bila dihasilkan
pada saat diperlukan. Adapun relevansi suatu informasi berhubungan dengan
kepentingan pengambilan keputusan yang telah direncanakan.
Informasi yang tidak adekuat sering menimbulkan masalah dalam
menginterpretasikan perawatan klien di Rumah Sakit seperti kecemasan pada keluarga
menolak dilakukan tindakan medik atau tindakan keperawatan invasif.
Adekuatnya informasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat dalam
menyampaikan pesan melalui komunikasi terapeutik, pengetahuan dan pemahaman dasar
tentang penyakit. Dalam melaksanakan tindakan invasif hal-hal yang perlu
diinformasikan adalah:
1. Alasan dilakukan tindakan tersebut.
2. Manfaat atau kegunaannya.
3. Langkah-langkah yang akan dilakukan.
4. Persiapan yang akan dibutuhkan.

9
5. Cara perawatan setelah pemasangan alat tersebut.
Dengan telah dijelaskannya kegunaan dari pemasangan alat tersebut oleh perawat
diharapkan akan meningkatkan kerja sama perawat dan orang tua yang pada gilirannya
diharapkan akan menurunkan tingkat kecemasan orang tua(Setiawan,1992,Sachari,
1996, Whaley and Wong’s, 1999).
Penerimaan informasi bagi seseorang dipengaruhi oleh:
1. Tingkat pendidikan
Semakin tinggi pendidikan orang tua akan semakin luas wawasan pengetahuan
dan akan semakin mudah untuk menerima dan mengangkat informasi yang
disampaikan. Tingkat pendidikan ini akan berpengaruh terhadap kondisi sosial
ekonomi, penerimaan informasi oleh petugas kesehatan serta menentukan penilaian
objektif dan kognitif terhadap pengalaman prioritas yang lain (Andrew, MC. Ghie,
1999).
2. Pengalaman
Pengalaman adalah sesuatu yang telah dihayati (Purwardaminta, 1991).
Pengalama baik bersifat efektif dan kognitif akan mempengaruhi seseorang dalam
mengambil keputusan terhadap kehidupannya, pengalaman juga dapat terjadi setelah
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, sebagian
besar pengethuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Andrew, MC. Ghie,
1999).
3. Nilai sosial dan budaya
Nilai sosial adalah segala sesuatu yang mendasari perilaku seseorang yang
ditinjau dari segi nilai-nilai, kemanusiaan pengaruh dari individu lain dan sebagainya.
Sistem nilai yang dianut oleh sesorang akan dapat mempengaruhi pola pikir, sikap,
dan tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan. Dalam pembangunan kesehatan,
aspek tingkah laku yang didasari oleh faktor sosial budaya perlu mendapat perhatian,
karena umumnya program kesehatan lebih berhasil apabila intensitas tingkah laku
sosial budaya individu ataupun masyarakat tidak begitu kuat (Azwar, 1996).

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah hak atas

11
informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi
(informed consent). Jadi, informed consent merupakan implementasi dari kedua hak
pasien tersebut. Hak pasien tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
dilindungi Undang-Undang.
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif
antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa
yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum
bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan
sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.
Peran perawat dalam informed consent terutama adalah membantu pasien untuk
mengambil keputusan pada tindakan pelayanan kesehatan sesuai dengan lingkup
kewenangannya setelah diberikan informasi yang cukup oleh tenaga kesehatan. Dasar
filosofi tersebut bertujuan untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
terintegrasi sehingga dapat mewujudkan keadaan sejahtera.
B. Saran
a. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mampu memahami tentang bagaimana pemberian informed consent
pada pasien agar dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat.
b. Bagi Institusi
Diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang pemberian
informed consent pada pasien dan dapat lebih banyak menyediakan referensi-
referensi buku tentang etika dan hukum kesehatan.
c. Bagi Masyarakat
Diharapkan lebih mengerti dan memahami tentang pemberian informed consent
pada pasien untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. 2005. Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka
Dwipar.

12
J. Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004.
M.jusuf H & Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta. 1999.
Anonim. (2012). Persetujuan dan Penolakan terhadap Tindakan Medis.
http://informedconsent_a1.webs.com/persetujuanpenolakan.htm. Diakses pada tanggal 01
November 2012, pukul 11.35 WIB
Anonim. (2012). Mengenal “Informed Consent”. http://www.scribd.com/doc/ 22040447/All-
About-Informed-Consent. Diakses pada tanggal 01 November 2012, pukul 11.35 WIB

13

Anda mungkin juga menyukai