Anda di halaman 1dari 9

Pemeriksaan penunjang pada kasus

1. Pemeriksaan Penunjang (Test Diagnostik) Pada Gagal Jantung Kongestif


Seperti yang dapat dilihat pada tabel sensitifitas dan spesifitas
pemeriksaan klinis baik pada anamnesa dan pemeriksaan fisik dalam
mendiagnosa gagal jantung relatif rendah. Karenanya pemeriksaan
penunjang memiliki peranan penting dalam mendiagnosa gagal jantung.
Tujuan dilakukannya pemeriksaan penunjang antara lain : (1) menentukan
apakah terdapat kelainan jantung baik struktural atau fungsional yang
dapat menjelaskan gejala pasien, (2) mengidentifikasi kelainan yang dapat
diatasi oleh intervensi spesifik, dan (3) menentukan berat dan prognosis
gagal jantung.9
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal
jantung antara lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na &
K), ureum & kreatinine, SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak
harus dilakukan pada pasien gagal jantung yang bertujuan: (1) untuk
mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi gangguan elektrolit
(hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi ginjal
dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic peptide (beratnya
gangguan hemodinamik).9
Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-
sedang, namun dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat
ketika dosis obat ditingkatkan. Kadar serum kalsium biasanya normal,
tapi penggunaan diuretik kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik
dapat mengakibatkan hipokalemia. Derajat hiponatremia juga
merupakan penanda beratnya gagal jantung karena kadar natrium
secara tidak langsung mencerminkan besarnya aktivasi sistem renin
angiotensin yang terjadi pada gagal jantung. Selain itu, retriksi garam
dengan terapi diuretik yang intensif dapat mengakibatkan
hiponatremia. Gangguan elektrolit lainnya termasuk hipofasfatemia,
hipomagnesemia, dan hiperurisemia.9 Anemia dapat memperburuk
gagal jantung untuk meningkatkan kardiak output sebagai kompensasi
memenuhi metabolisme jaringan. Hal ini akan meningkatkan volume
overload miokard. Penelitian juga telah menunjukkan bahwa anemia
(kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25% penderita gagal jantung.
Pemeriksaan Biomarker BNP sangat disarankan untuk diperiksa
pada semua pasien yang dicurigai gagal jantung untuk menilai
beratnya gangguan hemodinamik dan untuk menentukan prognosis.
Biomarker Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan BNP disekresikan
sebagai respon terhadap meningkatnya tekanan pada dinding jantung
dan/atau neurohormon yang bersirkulasi. Karena ANP memiliki waktu
paruh yang pendek, hanya NT-ANP yang secara klinis berguna. Untuk
BNP, N-Terminal Pro-BNP dan BNP memiliki nilai klinis yang
bermakna. Kadar ANP dan BNP meningkat pada pasien dengan
disfungsi sistolik, sementara disfungsi diastolik, peningkatan kadarnya
lebih rendah. Pada disfungsi sistolik, kadar BNP berbanding lurus
dengan wall stress, ejeksi fraksi, dan klasifikasi fungsional.
Pemeriksaan BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung
berdasarkan kelas fungsionalnya.7

Diagram Kadar BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal


jantung menurut kelas fungsionalnya. Dikutip dari: Maisel AS dkk.7
Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi
ventrikel dan gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama
pada glomerular filtration rate (GFR), menurut NYHA adalah
prediktor mortalitas yang lebih kuat dibandingkan klasifikasi kelas
fungsional.9
Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung
sebagai akibat hepatomegali yang menyertai. Aspartate
aminotransferase (AST/SGOT) dan alanine aminotransferase
(ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time (PT) dapat
memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi
hiperbilirubinemia.9
Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal
jantung untuk mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan
mikrohematuri. Konsentrasi dan volume urine harus mendapat
perhatian seksama terutama pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal dan yang mendapat diuretik.9
b. Pemeriksaan Foto Toraks
Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama, selain menilai
ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari paru dapat
dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic
ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih
besar dari setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter
penting pada follow-up pasien dengan gagal jantung. Bentuk dari
jantung menurut CXR dapat dibagi menjadi ventrikel yang
mengalami pressure-overload atau volume-overload, dilatasi dari
atrium kiri dan dilatasi dari aorta asenden. 9
Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan gambaran
hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial, sementara
pasien dengan gagal jantung kronik tidak memilikinya. Kongesti
paru pada CXR ditandai dengan adanya Kerley-lines, yaitu gambaran
opak linear seperti garis pada lobus bawah paru, yang timbul akibat
meningkatnya kepadatan pada daerah interlobular intersitial akibat
adanya edema. Edema intersitial dan perivaskular terjadi pada dasar
paru karena tekanan hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi.
Temuan tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien gagal
jantung kronis karena pada gagal jantung kronis telah terjadi adaptasi
sehingga meningkatkan kemampuan sistem limfatik untuk
membuang kelebihan cairan interstitial dan/atau paru. Hal ini
konsisten dengan temuan tidak adanya ronkhi pada kebanyakan
pasien gagal jantung kronis, walau tekanan arteri pulmonal sudah
meningkat. Keberadaan dan beratnya efusi pleura juga merupakan
informasi penting dalam evaluasi pasien dengan gagal jantung, dan
terbaik dinilai melalui CXR dan CT-scan.8 Temuan pada foto toraks
dengan penyebab dan implikasi klinisnya dapat di lihat pada Tabel
berikut.
Tabel Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi Klinis
Kelainan Penyebab Implikasi Klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekhokardiografi,
ventrikel kanan, atria, doppler
efusi perikard
Hipertropi Hipertensi, stenosis Ekhokardiografi,
ventrikel aorta, kardiomiopati doppler
hipertropi
Kongesti Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri
vena paru pengisian ventrikel kiri

Edema Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri


interstisial pengisian ventrikel kiri

Efusi pleura Gagal jantung dengan Pikirkan diagnosis non


peningkatan pengisian kardiak
tekanan jika ditemukan
bilateral, infeksi paru,
keganasan
Garis Kerley Peningkatan tekanan Mitral stenosis atau
B limfatik gagal jantung kronis
c. Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk
setiap pasien yang dicurigai gagal jantung. Dampak diagnostik
elektrokardiogram (ECG) untuk gagal jantung cukup rendah, namun
dampaknya terhadap terapi cukup tinggi. Temuan EKG yang normal
hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Gagal jantung
dengan perubahan EKG umum ditemukan. Temuan seperti
gelombang Q patologis, hipertrofi ventrikel kiri dengan strain, right
bundle branch block (RBBB), left bundle branch block (LBBB), AV
blok, atau perubahan pada gelombang T dapat ditemukan. Gangguan
irama jantung seperti takiaritmia supraventrikuler (SVT) dan fibrilasi
atrial (AF) juga umum. Ekstrasistole ventrikular (VES) dapat sering
terjadi dan tidak selalu menggambarkan prognosis yang buruk,
sementara takikardi ventrikular sustained dan nonsustained dapat
dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Jenis aritmia seperti
ini biasanya tidak terdeteksi pada resting ECG tapi dapat terdeteksi
pada monitoring holter 24- atau 48- jam.9
d. Pemeriksaan Uji Latih Beban Jantung
Pemeriksaan uji latih beban jantung (ULBJ) ini memiliki
keterbatasan dalam diagnosis gagal jantung, walau demikian hasil
yang normal pada pasien yang tidak mendapat terapi hampir selalu
menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Nilai pemeriksaan ini adalah
dalam penilaian kapasitas fungsional dan stratifikasi prognosis.
Kapasitas fungsional ditentukan melalui aktivitas yang secara
progresif ditingkatkan hingga pasien tidak dapat meneruskan. Pada
saat aktivitas maksimal, uptake maksimal oksigen (Vo2 MAX ) dapat
dihitung. Parameter ini mencerminkan kemampuan aerobik pasien
dan berkorelasi dengan mortalitas kardiovaskular pada pasien
dengan gagal jantung. Pemeriksaan ini juga untuk menentukan
ambang batas metabolisme anaerob. Secara praktis prinsip
perhitungan ULBJ dihentikan ketika: (1) Vo2 tidak meningkat lagi
saat intensitas latihan ditingkatkan, (2) pasien menghentikan latihan
karena timbulnya gejala berat seperti sesak atau letih. Hasil dari
ULBJ memiliki arti prognostik yang penting. Puncak Vo 2 <10
ml/kg/menit dikategorikan sebagai pasien berisiko tinggi, >18
ml/kg/menit adalah pasien berisiko ringan. Nilai diantaranya adalah
zona abu-abu dengan risiko sedang. Nilai Vo2 max digunakan sebagai
batasan untuk menentukan kapan pasien dengan gagal jantung yang
progresif harus dipertimbangkan untuk menjalani transplantasi
jantung. Walau demikian harus tetap diingat bahwa puncak Vo 2 max
dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, massa otot, dan status
pelatihan aerobik. Hal ini menjelaskan mengapa pada beberapa
pasien dengan Vo2 max yang rendah (<14 ml/kg/menit) masih tetap
memiliki prognosis yang cukup baik.9
Karena pasien dengan gagal jantung umumnya memiliki
kemampuan latihan yang terbatas dan ULBJ tidak ditoleransi baik
oleh banyak pasien, latihan submaksimal atau symptom-driven
exercise test yang dikenal dengan 6-minutes walking test menjadi
popular digunakan untuk evaluasi rutin. Pada test ini diukur jarak
yang dapat ditempuh dalam 6 menit pada koridor yang datar dimana
pasien dapat berjalan sesuai kemampuannya, berjalan lebih pelan,
lebih cepat, atau berhenti. Test ini memperkirakan puncak Vo2 max
dan merupakan faktor independen yang berhubungan erat dengan
morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Karena kemudahannya,
test ini semakin sering digunakan pada uji klinis multisenter untuk
menilai efektivitas suatu terapi.
e. Echocardiography
Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik
umum digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung,
myokardium dan perikadium, dan mengevaluasi gerakan regional
dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis
pada gagal jantung. Pemeriksaan ini non-invasif, dapat dilakukan
secara cepat di tempat rawat, dapat dengan mudah diulang secara
serial, dan memungkinkan penilaian fungsi global dan regional
ventrikel kiri. Pada penilaian gagal jantung echocardiography adalah
metode diagnostik yang dapat dipercaya dengan banyak fitur seperti
doppler echo, doppler tissue imaging, strain rate imaging, dan
cardiac motion analysis.9
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah
penilaian Left-ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya
remodelling ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi diastolik. 2
Echo dua dimensi sangat berharga dalam menilai fungsi sistolik dan
diastolik pada pasien dengan gagal jantung. Tabel di bawah ini
mendeskripsikan temuan ekokardiografi yang sering ditemukan pada
gagal jantung.
Tabel Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung
Disfungsi
Temuan Umum Disfungsi Sistolik
Diastolik
 Ukuran dan bentuk  Ejeksi fraksi ventrikel  Ejeksi fraksi
ventrikel kiri berkurang <45% ventrikel kiri
 Ejeksi fraksi ventikel  Ventrikel kiri membesar normal > 45-
 Dinding ventrikel kiri
kiri (LVEF) 50%
 Gerakan regional tipis  Ukuran ventrikel
 Remodelling eksentrik
dinding jantung, kiri normal
ventrikel kiri
synchronisitas  Dinding
 Regurgitasi ringan-
kontraksi ventrikular ventrikel kiri
sedang katup mitral*
 Remodelling LV
 Hipertensi pulmonal* tebal, atrium kiri
(konsentrik vs  Pengisian mitral berdilatasi
eksentrik) berkurang*  Remodelling
 Hipertrofi ventrikel  Tanda-tanda eksentrik
kiri atau kanan meningkatnya tekanan ventrikel kiri.
(Disfungsi Diastolik : pengisian ventrikel*  Tidak ada mitral
hipertensi, COPD, regurgitasi, jika
kelainan katup) ada minimal.
 Morfolofi dan  Hipertensi
beratnya kelainan pulmonal*
 Pola pengisian
katup
 Mitral inflow dan mitral
aortic outflow; abnormal.*
 Terdapat tanda-
gradien tekanan
tanda tekanan
ventrikel kanan
 Status cardiac output pengisian
(rendah/tinggi) meningkat.

Keterangan : * Temuan pada echo-doppler.


Dikutip dari: Mann DL8

7. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P,
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease.
Philadelphia: Saunders; 2007
8. Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. 2007
9. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed.
New York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.

Perbeedaan etiologi setiap DD

 Gagal jantung kongestif

Penyebab gagal jantung antara lain adalah infark miokardium, miopati


jantung, defek katup, malformasi congenital dan hipertensi kronik. Penyebab
spesifik gagal jantung kanan adalah gagal jantung kiri, hipertensi paru dan
PPOK. Factor resiko terjadi nya gagal jantung diantaranya adalah: infeksi
pada paru, demam atau sepsis, anemia menahun dan akut, emboli paru, stress,
emosional, hipertensi yang tidak terkontrol.1
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis
penyakit jantung kongestif maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang
menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan
beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas miokardium.
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi: regurgitasi aorta
dan cacat septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan
dimanater jadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas
miokardium dapat menurun pada imfark miokardium dan kardiomiopati.1
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanan asirkulasi yang mendadak dapat berupa: aritmia, infeksi sistemik
dan infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Pennganan yang efektif terhadap
gagal jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap
mekanisme fisiologis dan penyakit yang mendasarinya, tetapi juga terhadap
faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung.1

Wilson Lorraine M, Patofisiologi (KonsepKlinis Proses-Proses


Penyakit), Buku 2, Edisi 4, Tahun 1995,

 Kor polmunal
Kor pulmunal terjadi karena adanya penyakit paru yang
berkepanjangan. Penyakit paru yang bersifat kronis akan menyebabkan
kerusakan paru dan semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang
mengembang yang akan menyebabkan berkurangnya vascular bed pada paru.
Selain itu, penyakit paru krons juga menyebabkan asidosis, hiperkapnia,
hipoksi alveolar (akan menyebabkan terjadinya vasokontriksi pada pembuluh
darah paru) serta terjadi polisitemia dan hiperviskositas darah. Semua hal ini
akan menyebabkan terjadinya hipertensi pulmunal. Jika hal ini terjadi dalam
waktu yang lama, maka aka terjadi hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan,
yang akan berlanjut menjadi gagal jantung kanan.

Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta:
InternaPublishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2010.

Anda mungkin juga menyukai