Anak merupakan kelompok yang memerlukan perhatian dalam upaya
pembinaan kesehatan masyarakat, karena mereka akan berperan sebagai calon orang tua, tenaga kerja, bahkan pemimpin bangsa di masa depan. Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan anak di Indonesia diperlukan upaya pembinaan kesehatan anak yang komprehensif dan terarah pada semua permasalahan kesehatan akibat penyakit maupun masalah lainnya. Pelecehan dan penelantaran anak mengakibatkan terjadinya gangguan proses pada tumbuh kembang anak. Keadaan ini jika tidak ditangani secara dini dengan baik, akan berdampak terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia.1 Pelecehan seksual masih menjadi masalah di masyarakat. The United States Department of Health and Human Services (2007) melaporkan bahwa 84.000 anak-anak Amerika yang didukung oleh anak layanan pelindung menjadi korban pelecehan seksual pada tahun 2005. Namun, sebagian besar pelecehan seksual tetap tidak terdeteksi. Studi retrospektif dari orang dewasa memperkirakan bahwa 20% sampai 25% dari wanita dan 5% sampai 15% pria mengalami pelecehan seksual sebagai anak-anak.2 Kasus pelecehan seksual terhadap anak merupakan salah satu kasus yang mengalami peningkatan secara signifikan belakangan ini. Tidak saja meningkat secara kuantitatif tapi juga secara kualitatif. Dari waktu ke waktu pelecehan terhadap anak jumlahnya tak terbendung dan modus operandinyapun semakin tidak berperikemanusiaan. Kuantitas pelecehan seksual terhadap anak, akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan pengamatan dan pendampingan Yayasan KAKAK khususnya pada kasus pelecehan seksual terhadap anak di Eks- Karesidenan Surakarta selama 3 tahun terakhir (periode 2005-2008), anak korban pelecehan seksual berjumlah 73 anak. Berdasarkan sejumlah studi 1 dari 3 wanita dan 1 dari 6 pria pernah mengalami pelecehan seksual pada masa kanak-kanak. Fenomena tersebut menunjukkan tingginya angka prevalensi pelecehan seksual pada anak.3 Pelecehan seksual adalah setiap aktivitas pada anak, di mana umur belum mencukupi menurut izin hukum, yang digunakan untuk sumber kepuasan seksual orang dewasa atau anak yang sangat lebih tua. Belakangan ini banyak muncul kasus perilaku seks bebas yang melanda anak-anak di bawah umur, dimana anak merupakan kelompok yang rentan baik fisik maupun mental. Seksual abuse termasuk oral-genital, genital-genital, genital-rektal, tangan-genital, tangan-rektal atau kontak tangan-payudara; pemaparan anatomi seksual, melihat dengan paksa anatomi seksual, dan menunjukkan pornografi pada anak atau menggunakan anak dalam produksi pornografi. Penelitian tentang “Pelecehan Pada Anak” yang dilakukan oleh Sudaryono menyatakan selama tiga dasawarsa masalah anak baik sebagai pelaku maupun korban pelecehan (pelecehan) dapat dikatakan kurang mendapat perhatian.1
1. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Rujukan Kasus Pelecehan Terhadap
Anak Bago Petugas Kesehatan, diakses tanggal 10 April 2017 dari http://www.gizikia.depkes.go.id/wp- content/uploads/downloads/2011/01/PEDOMAN-RUJUKAN-KASUS-KtA- BAGI-PETUGAS-KESEHATAN.pdf. 2011 2. Hornor, G. (2009) Journal Of Pediatric Health Care, 23, 283-288. 3. Etherington, K. (2000). Counselling in action: Supervising counselors who work with survivors of childhood sexual abuse. Journal of Counselling Psychology Quarterly,13, 4, 377-389. Gifford, R. (19..). Environmental Psychology: Pri