Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Steven-Johnson syndrome (SJS) pertama kali ditemukan pada tahun 1922. Steven-
Johnson syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh kompleks
imun dengan gambaran eritema multiformis yang berat. Sindrom ini dikenal sebagai eritema
multiformis mayor, tetapi banyak literatur yang tidak setuju dengan pendapat ini.
Steven-Johnson syndrome (SJS) merupakan reaksi akut pada mukokutaneus yang
mengancam nyawa dengan karakteristik nekrosis dan hilangnya lapisan epidermis. Steven
dan Johnson pertama kali melaporkan dua kasus erupsi kutaneus diseminata yang berkaitan
dengan stomatitis erosif dan gangguan okular hebat. SJS melibatkan kulit dan membran
mukosa. Ketika muncul gambaran minor yang dapat melibatkan membran mukosa mulut,
hidung, mata, vagina, uretra, gastroinstestinal dan saluran pernafasan bawah yang dapat
berkembang selama perjalanan penyakit. Keterlibatan saluran cerna dan saluran pernafasan
dapat berubah menjadi nekrosis. SJS merupakan gangguan sistemik serius yang berpotensi
meningkatkan morbiditas dan bahkan kematian. Sering terjadi kesalahan diagnosis pada
penyakit ini.
Patofisiologi penyakit ini masih belum jelas, namun sekarang ini obat-obatan menjadi
faktor penyebab utama. Lebih dari 100 jenis obat dilaporkan menjadi penyebab yang
diperkirakan sekitar 70% kasus. Selain itu, peran agen infeksi juga dilaporkan pada beberapa
kasus. Virus herpes simpleks ditemukan pada beberapa kasus, terutama pada anak-anak.
Selain itu, beberapa faktor lain juga dapat menyebabkan SJS namun kasus ini masih harus
diidentifikasi lebih lanjut.
Tingginya mortalitas SJS/TEN yang dilaporkan, bahkan pada kasus berat dapat
mencapai 30%. Selain itu, karena penggunaan obat yang merupakan penyebab utama,
sehingga diperlukan identifikasi dan pengenalan pada penyakit ini untuk menghilangkan
penyebab dan perbaikan kondisi serta mencegah kekambuhan dan komplikasinya.

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 1


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) ditemukan oleh Dr. Albert Mason Stevens dan Dr. Frank
Chambliss Johnson pada tahun 1922, merupakan tipe reaksi hipersensitivitas pada
mukokutaneus dengan kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit
berupa eritema, vesikel/ bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir
orifisium serta mata disertai gejala umum bervariasi dari ringan sampai berat yang terjadi
akibat respon obat-obatan, infeksi maupun penyakit lainnya
Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger- Rendu, eritema poliform bulosa,
sindrom mukokutaneo-okular, dermatostomatitis, eritema eksudativum multiform mayor,
eritema multiformis tipe Herba, dan ektodermosis erosiva pluriorifisialis.

2.2. Etiologi
Terdapat empat kategori etiologi, antara lain :
a) Infeksi
Hampir setengah pasien dengan SJS dilaporkan dengan infeksi saluran pernafasan atas.
Agen penyebab infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur maupun protozoa. Bakteri
penyebab SJS diantaranya streptokokus beta grup A, difteri, Brucellosis, mikobakteria,
Mycoplasma pneumonia, tuleremia, dan tifoid. Kasus “incomplete” dilaporkan setelah
terdapat infeksi Mycoplasma pneumonia. Virus penyebab SJS yang dilaporkan antara lain
virus herpes simpleks (HSV), AIDS, virus coxsackie, dan variola. Pada anak, virus penyebab
yang teridentifikasi yaitu virus Epsteins-Barr dan enterovirus. Mungkin juga disebabkan oleh
jamur seperti coccidioidomycosis, dermatofitosis, dan histoflasmosis. Protozoa juga
dilaporkan sebagai penyebab seperti malaria dan trichomoniasis.

b) Induksi Obat
SJS/TEN paling sering disebabkan obat-obatan. Patogenesisnya multifaktor dan mungkin
disebabkan dinamika antara faktor didapat dan konstisional yang berkaitan dengan obat
maupun metabolismenya. Ditemukan berbagai macam obat yang telah diidentifikasi dapat
menyebabkan SJS/TEN dan berkaitan dengan penyakit lokal dan peresepan obat. Tabel di
bawah ini merupakan obat-obatan yang dapat menginduksi SJS.
Tabel 2.1. Obat-obatan yang dapat menginduksi SJS/TEN

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 2


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
(Sumber : Allanore IV dan Roujeau JC. 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis) Dalam Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. Volume 1 & 2.
United States of America : Mc-Graw Hill. Companies. Section 6. Hal 349-355.)

c) Kehamilan
Kasus SJS pada kehamilan sangat jarang namun pernah dilaporkan pada wanita usia 23
tahun, G2A1 usia gestasi 37 minggu, dengan tanda klinis SJS setelah disuntik dengan
cefotaxim. Terdapat juga satu kasus stenosis vaginal diikuti SJS pada kehamilan. SJS pada
kehamilan dapat berakibat fatal karena imunocompromise. Walaupun demikian, diagnosis
awal dan penatalaksanaan yang tepat dapat menyelamatkan ibu dan anak.
d) Idiopatik
Penyakit ini merupakan penyakit idiopatik (penyebabnya tidak diketahui). SJS diketahui
sebagai sindrom hipersensitivitas kompleks.

2.3. Patogenesis
SJS memiliki karakteristik khas dengan onset akut terjadinya eritema yang diikuti
nekrosis secara meluas dan menyerang epidermis serta membrane mukosa. Patogenesis SJS
sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe
III dan IV. Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi alergi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersensitisasi oleh suatu antigen, berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang. Oleh karena proses hipersensitivitas,
maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi:
a) Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
b) Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuriat
PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 3
Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
c) Kegagalan termoregulasi
d) Kegagalan fungsi imun
e) Infeksi

2.3.1. Marker Genetik yang Beperan dalam SJS


Dalam beberapa tahun terakhir telah banyak laporan kasus yang membahas mengenai
hubungan genetik antara HLA dan SJS. Korelasi kuat antara dua komponen genetik tersebut
pertama kali ditemukan di Han, China, pada tahun 2004. Pasien-pasien SJS yang diinduksi
(Carbamazepine) CBZ ditemukan 100% membawa genetik HLA-B*1502, dan hanya 3% dari
pembawa genetik HLA-B*1502 yang toleransi dengan Carbamazepine. Pada ras Eropa dan
Jepang kasus SJS yang diinduksi CBZ sangat jarang ditemukan. Namun, HLA-B*1502
ternyata secara unik hanya ditemukan pada orang Han China keturunan Asia dan hal ini
mungkin bisa memberi penjelasan tentang resiko yang sangat besar terjadinya SJS yang
diinduksi CBZ di Asia Tenggara dibandingkan Bangsa Eropa dan Jepang.
Selain itu, ditemukan juga HLA-B*5801yang menjadi marker genetik pada pasien-
pasien SJS yang diinduksi Allupurinol. Dalam penelitian lain juga disebutkan selain HLA-
B*1502, HLA-B*5902, HLA-B*4801, HLA-B*5701, HLA-DR7, HLA-DQ3, dan HLA-
A*0206 mungkin juga memiliki peran penting sebagai marker genetik penyebab SJS. Namun
hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut.

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 4


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
Gambar 2.1. Marker genetik dan sinyalnya pada SJS/TEN
(Sumber : Chung WH dan Hung S. 2010. Genetic Markers and Danger Signals in Stevens-Johnson Syndrome
and Toxic Epidermal Necrolysis. J Allergology International. Vol 59 No. 4. Hal : 325-332)

2.3.2. Obat-obatan, HLA, dan T-Cell Mediated Immunity pada SJS


Patogenesis terjadinya respon sitotoksik pada SJS dimulai akibat kesalahan pengenalan
obat oleh molekul HLA kelas I yang menginisiasi aktivasi sel T dan menyebabkan terjadinya
ekspansi klonal sel T sitotoksik CD8+ di kulit. Hal ini dipengaruhi immun HLA-restricted.
Lebih jauh lagi, ditemukan 5 peptida yang menunjukkan afinitas tinggi penyebab kesalahan
pengenalan HLA terhadap beberapa obat yang lokasinya berada di Antigen Presenting Cell
(APC).

2.3.3. Keikutsertaan Sel Natural Killer (NK) pada SJS


Selain Sel T sitotoksik, sel Natural Killers juga terlibat dalam terjadinya SJS. Dalam
beberapa penelitian terakhir, disebutkan bahwa granulosin yang disekresi oleh Sel T
Sitotoksik dan sel Natural Killers, merupakan kunci utama yang bertanggung jawab dalam
kematian keratinosit pasa SJS.

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 5


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
2.3.4. Sinyal dan Mediator Berbahaya yang Menginduksi Terjadinya Apoptosis
Keratinosit pada SJS
 Apoptosis yang Diinduksi Fas-FasL
Beberapa penelitian menemukan dalam perjalanan terjadinya apoptosis keratinosit,
banyak ditemukan Fas-FasL yang disebut menjadi salah satu faktor pencetus kematian sel.
Namun teori ini masih banyak mengalami perdebatan karena beberapa peneliti
memperkirakan bahwa Fas-Fasl tidak mempengaruhi apoptosis. Fas-FasL hanya ditemukan
disekresikan oleh keratinosit, namun tidak menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu,
temuan ini diperkuat dengan sebuah penelitian yang mengatakan Fas-FasL tidak berada di
permukaan membran keratinosit, melainkan lebih cenderung melakukan perpindahan ke
permukaan sel selama terjadinya kerusakan keratinosit.
 Perforin/Granzim B dalam Perjalanan Apoptosis
Dalam cairan pada ruam penyakit TEN, ditemukan granzyme B dalam konsentrasi tinggi.
Perforin dan Granzim B dihasilkan oleh granula sekretori hasil aktivasi Sel Limfosit T
Sitotoksik dan sel NK. Perforin mengikat dan mengaktifkan sebuah channel di membran sel
target untu memasukkan Granzim B untuk mengkativasi tahapan-tahapan dalam perjalanan
apoptosis.
 Sinyal dan Sitokin Lain yang Berhubungan dengan Patogenesis SJS
Selain yang disebutkan diatas, ada beberapa mediator lain yang berperan dalam
patogenesis SJS antara lain tumor necrosis factor (TNF)-α, interferon (IFN)-γ, dan
interleukin (IL)-10. Lesi berupa bulla pada SJS mensekresi IFN-γ dan menstimulasi
keratinosit untuk mengekspresikan TNF-α, FasL, and IL-10, sehingga ketiganya ditemukan
dalam konsentrasi tinggi pada cairan bulla sebagai mekanisme pertahanan melawan sel
limfosit T-sitotoksik. TNF-α ini memiliki mekanisme regulasi terhadap Fas-FasL, sehingga
mengaktifasi TNF-reseptor 1 (TNF-R1) dan menginisisasi FADD (Fas-associated death
domain protein).
 Granulisin Sebagai Faktor Mayor Penyebab Terjadinya Apoptosis Keratinosit pada
SJS
Telah dapat dipastikan bahwa RNA granulosin yang banyak ditemukan dalam sel-sel
yang melepuh merupakan molekul sitotoksik yang paling signifikan menjadi penyebab
apoptosis keratinosit. Analisis Westernblot menunjukkan bahwa granulosin dalam cairan
bulla merupakan bentuk utama sekret 15 kDa. Secara in vitro granulosin 15 kDa murni dapat

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 6


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
mencetus sitotoksisitas secara signifikan yang menyebabkan terjadinya kulit melepuh pada
SJS.
Meskipun telah banyak penelitian tentang patogenesis SJS, namun masih banyak hal dari
SJS yang tetap menjadi misteri. Sebagai contoh, bagaimana proses ketikan orang minum obat
dapat mencetuskan sekresi granulosin. Kemudian bagaimana Sel T CD8+/NK bisa
menyebabkan sekresi granulosin pada SJS. Lalu apa hubungan spesifik obat, dengan HLA,
dan sinyal-sinyal sitotoksik, yang semuanya masih perlu penelitian lebih lanjut.

Gambar 2.2. Patogenesis penyebab terjadinya apoptosis


(Sumber : Chung WH dan Hung S. 2010. Genetic Markers and Danger Signals in Stevens-Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. J Allergology International. Vol 59 No. 4. Hal : 325-332)

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa
didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di
mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga
terbentuk trias (stomatitis, konjungtivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik,
dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa
sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir,
mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat
penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik.
2.4. Manifestasi Klinis
PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 7
Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
SSJ dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa
demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia
yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien
mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian
meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata.
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di
orifisium, dan kelainan mata.
a) Kelainan kulit
Gejala kulit tampak berupa makula eritematus yang menyerupai morbiliform rash, timbul
pada muka, leher, dagu, tubuh dan ekstremitas. Lesi target (target lesions) dan bula dengan
Nikolsky sign positif sering didapatkan. Lesi membesar dan bertambah banyak. Lesi dimulai
sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae, dan plak urtikaria. Lesi
mungkin menjadi bulosa dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan
kulit yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan
terhadap infeksi sekunder.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kulit lepuh sangat longgar dan mudah
lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10% dari permukaan tubuh
yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis epidermis toksik, 30% atau lebih dari
permukaan tubuh yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena akan terasa sakit. Pada
beberapa orang, rambut dan kuku rontok.

Tabel 2.2 Klasifikasi Reaksi Eksfoliatif Kulit

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 8


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
Gambar a Gambar b Gambar c
Gambar 2.3 Kelainan Kulit SJS. Keterangan : eritema-deskuamasi (gb.a), eritema-erosi-
krusta-hemoragic (gb.b) , dan plak(gb.c).

b) Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%), kemudian disusul
oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung (8%), dan anus (4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir
kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam yang tebal. Stomatitis ulseratif dan krusta
hemoragis merupakan gambaran utama. Kerusakan pada lapisan mulut biasanya sangat
menyakitkan dan mengurangi kemampuan pasien untuk makan atau minum dan sulit
menutup mulut sehingga air liurnya menetes. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di
faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Adanya pseudomembran di faring
dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. Kelainan pada lubang alat genital akan
menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran
pencernaan dan pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak napas.

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 9


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
Gambar a Gambar b Gambar c
Gambar 2.4 Kelainan Mukosa SJS. Keterangan : vesikel-krusta (gb.a), eritema-erosi
(palatum durum) (gb.b), dan krusta (gb.c).

c) Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis
kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, blefarokonjungtivitis,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh dengan
nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa sakit. Pada kasus berat terjadi erosi dan
perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan
faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan
mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa
bulan sampai 31 tahun.

Gambar a Gambar b
Gambar 2.5 Kelainan Mata SJS. Keterangan : eritema-erosi (gb.a) dan konjungtivitis (gb.b)

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 10


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
2.5. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan dengan gambaran histologikal.
Gejala klinis khas berupa makula eritematus dan livid pada kulit, dengan Nikolsky sign positif
yang diinduksi tekanan mekanis pada kulit, yang diikuti beberapa menit sampai jam setelah
onset terjadi. Nikolsky sign tidak spesifik pada SJS/TEN. Selain itu didukung pemeriksaan
laboratorium antara lain :
 Pemeriksaan Laboratorium
Hilangnya cairan transdermal masif mengakibatkan ketidakseimbangan elektrolit,
hipoalbunemia, dan hiponaproteinemia, insufisiensi renal transien, dan azotemia prerenal.
Meningkatnya kadar BUN juga menjadi tanda kegawatan. Anemia dengan leukositosis
sedang dan trombositopenia dapat terjadi. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan
perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi bila meninggi penyebabnya
adalah infeksi sekunder, terdapat peningkatan eosinofil jika penyebabnya alergi. Kadar IgG
dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya
kompleks imun yang beredar. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah
dalam urin. Pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah di lakukan untuk mengetahui apakah
terjadi gangguan keseimbangan asam basa. Pemeriksaan kultur darah, kulit dan luka
dilakukan untuk menilai insiden infeksi bakterial pada darah dan sepsis yang berkontribusi
terhadap morbiditas dan mortalitas. Pemeriksaan lain yang dianjurkan berdasarkan skor
SCORTEN.
 Pemeriksaan Histopatologi
Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada ini merupakan cara untuk menyingkirkan
diagnosis banding.. Gambaran histopatologinya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi
dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Pada fase
awal, gangguan epidermal memiliki karakteristik apoptosis keratinosit yang tipis pada lapisan
suprabasal, kemudian dengan cepat mengenai sub-epidermal. Infiltrat sel mononuklear tebal
pada dermis papiler juga tampak, terutama direpresentasikan lomfosit dan monosit. Di antara
populasi sel T, limfosit CD8+ dengan fenotipe gambaran sel sitotoksik yang menunjukkan
reaksi imunologi. Eosinofil jarang terlihat. Hasil imunofloresensi langsung negatif.Kelainan
be rupa :
 Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial
 Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
 Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 11


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
 Nekrosis sel epidermal di adneksa
 Spongiosis dan edema intrasel di epidermis

2.6. Diagnosis banding



Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
Dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk
daripada SSJ. Pada penyakit ini terdapat epidermolisis yang menyeluruh yaitu lebih dari 30%
epidermis yang terkelupas (tanda Nikolsky positif).

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease)
Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya
mukosa jarang terkena.

Tabel 2.3 Perbedaan SSJ, NET dan SSSS


SSSS NET SSJ
Etiologi Staphylococcus aureus, Obat Obat, infeksi,
infeksi mata, infeksi THT Reaksi graft vs host keganasan, post
vaksinasi, radiasi,
makanan.
Pasien Anak-anak, bayi < 5 tahun Dewasa Dewasa, anak > 3 tahun
Gejala klinis – Eritem muka, leher, – Akut – Gejala prodormal
– Gejala prodormal – Trias :
inguinal, axila (24 jam) →
– KU buruk Kulit: eritem, vesikel,
generalis (24-48 jam) → – Eritem generalisata,
bula dan purpura,
bula dinding kendur. vesikel, bula, purpura Mukosa:orifisium
– Epidermolisis – Kulit, mukosa bibir-
mulut, faring, traktus
– Nikolsky sign +
mulut, orifisium
– Mukosa jarang respiratorius,
– PA : celah pada sratum genital
esophagus
– Epidermolisis +
granulosum
– Nikolsky sign + (pseudomembran)
– PA : celah pada Mata
– Epidermolisis –
subepidermal
– Nikolsky sign –
– PA : kelainan dermis
sedikit sampai
nekrolisis epidermal
Komplikasi Selulitis, pneumonia, Akut Tubular Nekrosis Bronkopneumonia
septikemia
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi 5,
2007.

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 12


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018

Eritema multiforme (EM)
Onset mendadak progresif cepat, distribusi simetris, mengenai kulit dan atau mukokutan,
dengan perubahan warna konsentris dalam beberapa atau semua lesi. Lesi menyebar secara
sentripetal yaitu mengenai telapak tangan dan telapak kaki, punggung tangan, dan permukaan
ekstensor ekstremitas dan wajah. Pada keadaan berat mengenai seluruh tubuh.
Gejala prodromal terjadi pada 50% kasus, biasanya 1-14 hari sebelum lesi kulit
berkembang. Gejala berupa demam, malaise, mialgia, arthralgia, sakit kepala, sakit
tenggorokan, batuk, mual, muntah, dan diare. Timbul sensasi terbakar di daerah yang terkena.
Lesi berupa eritem, meluas menjadi makula atau papula berevolusi menjadi lesi yang
khas bentuk iris (target lesion), terdiri 3 bagian yaitu bagian tengah berupa vesikel atau
eritema keunguan dikelilingi lingkaran konsentris yang pucat kemudian lingkaran yang
merah. Vesikulobulosa berkembang dalam makula yang sudah ada sebelumnya, papula, atau
bercak. Keterlibatan mata terjadi pada 10% kasus EM, konjungtivitis purulen kebanyakan
bilateral dengan lakrimasi yang meningkat. Membran mukosa terjadi pada sekitar 25% dari
kasus EM, biasanya ringan, dan biasanya melibatkan rongga mulut.

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 13


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 14
Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
Gambar 2.6 Perbedaan EM, SJS dan NET

2.7. Tatalaksana
SJS adalah penyakit yang mengancam jiwa dan membutuhkan managemen optimal
dengan cepat mendeteksi dan menarik obat yang kemungkinan menjadi penyebab serta
perawatan suportif yang tepat di rumah sakit.
 Perawatan simtomastis
Pasien dengan gejala di kulit yang tidak terlalu luas atau pasien dengan SCORTEN 0
sampai 1 dapat ditangani di tempat rawat biasa. Namun jika pasien mengalami gejala klinis
yang lebih berat dengan nilai SCORTEN yang lebih tinggi, seharusnya dirawat di Intensif
Care Unit atau di Burn Center.
Pengobatan suportif ini terdiri dari pemantauan dan perbaikan hemodinamik dan
pencegahan komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Tujuannya kurang lebih sama dengan
penatalaksanaan pada penyakit luka bakar.
Pada kasus epidermal nekrolisis ini, dapat terjadi kehilangan cairan yang signifikan akibat
erosi kulit, yang akhirnya dapat menyebabkan hipovolemik dan ketidakseimbangan elektrolit.
Karena itu harus segera dilakukan pergantian cairan harian secara adekuat. Jumlah cairan
yang diberikan tidak harus sama dengan kasus pada pasien luka bakar, karena pada kasus SJS
tidak terjadi edema intertisial.
Suhu lingkungan harus diatur diatas 280C sampai 300C (82,40F-860F). Bisa digunakan
tempat tidur khusus yang dapat mengatur suhu pasien untuk membuat pasien merasa nyaman.
Pemberian nutrisi yang adekuat dengan NGT bila diperlukan untuk mempercepat
kesembuhan dan untuk mencegah resiko translokasi bakteri dari saluran gastrointestinal.
Untuk mengurangi infeksi, diperlukan tindakan aseptik dan penanganan luka secara hati-
hati. Bila perlu dilakukan kultur kulit, darah, dan urin, secara rutin untuk melihat bakteri dan
jamur yang mungkin menginfeksi.

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 15


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
Pemberian antibiotik sebagai profilaksis tidak terlalu dianjurkan, namun bila ditemukan
tanda-tanda infeksi, antibiotik bisa menjadi pilihan. Bisa diberikan profilaksis antikoagulan
selama perawatan di rumah sakit. Tindakan debridement pada epidermis yang mengalami
nekrosis, tidak terlalu dianjurkan.
Belum ada standar khusus untuk perawatan luka, tetapi tetap sesuai prosedur antiseptik.
Dan ini membutuhkan pengalaman, kehati-hatian, dan protokol ketat serta penatalaksanaan
yang adekuat. Untuk mata, perlu dilakukan pemeriksaan harian oleh dokter spesialis mata.
Bila perlu diberikan tetes mata, antibiotik dan antiseptik topical, dan vitamin A setiap 2 jam
pada fase akut. Untuk mulut harus di kompres setiap hari dengan cairan antifungal dan
antiseptik.

 Penatalaksanaan Spesifik
a) Pemberian Kortikosteroid
Pada dasarnya, pemberian kortikosteroid sistemik dalam kasus ini masih kontroversial.
Pada beberapa kasus ditemukan, pemberian steroid pada fase awal dapat mencegah
perburukan gejala penyakit. Namun di beberapa kasus lain, steroid tidak mamu mencegah
progresifitas penyakit, bahkan membuat meningkatnya mortalitas, terutama akibat sepsis.

b) Imunoglobulin Intravena
Pemberian immunoglobulin belum menjadi standar pengobatan, namun jika tetap
diberikan adalah bertujuan untuk mencegah potensi nefrotoksik.

c) Cyclosporin A
Cyclosporin A merupakan suatu agen immunosupressif yang sangat baik untuk
penatalaksanaan SJS. Obat ini mengaktivasi sitokin T helper 2, menginhibisi mekanisme
sitotoksik CD8+, dan sebagai anti apoptosis efek dengan menginhibisi Fas-L, faktor nukleus
k B, dan TNF-.

d) Plasmaforesis atau Hemodialisis


Plasmaforesis atau Hemodialisis digunakan untuk menghilangkan efek obat penyebab
SJS, hasil metabolismenya, atau membuang mediator inflamasi seperti sitokin.

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 16


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
e) Agen Anti-TNF

Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang
diberikan adalah :

Segera menghentikan penggunaan obat penyebab yang dicurigai

Kortikosteroid parenteral: deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama
3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada
yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang
menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antibiotika yang diberikan jarang menimbulkan
alergi,berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya
klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari. Selain itu obat lain
juga dapat digunakan misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg iv dan seftriakson 2 g iv sehari.

Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat(Avil)
dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15
mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk cetirizin dapat diberikan dosis untuk
usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari, > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.

Pada SSJ yang berat diiberikan terapi cairan dan elektrolit, serta diet tinggi kalori dan
protein secara parenteral. Dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, Nacl 9%, dan
Ringer laktat berbanding 1:1:1 dalam satu labu, setiap 8 jam.

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin perak.
 Pada kasus purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg iv
sehari.
 Lesi mulut diberi kenalog in orabase, betadine gargle, dan untuk bibir yang kelainannya
berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim urea 10%.
 Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2
jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola
mata.
 Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya
perlekatan konjungtiva.

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 17


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
 Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dengan dosis 0,2-0,75 g / kg berat badan per hari
selama empat hari berturut-turut. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam
proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.
 Transfusi darah 300 cc selama 2 hari jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari.
 Efek transfusi darah (whole blood) ialah imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia
prognosisnya menjadi buruk, setelah pemberian transfusi leukosit cepat menjadi normal.
Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi meningkatkan daya
tahan tubuh. Indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET ialah :
- Bila telah diobati dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan.
- Bila terdapat purpura generalisata
- Jika terdapat leukopenia

2.8 Komplikasi
Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi lain ialah
kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok, pada mata dapat
terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan karena gangguan lakrimasi. Pada
gastroenterologi teriadi esofageal striktur, pada genitourinari dapat terjadi nekrosis tubular
ginjal, gagal ginjal, jaringan parut pada penis, vagina stenosis, dan pada kutaneus terdapat
jaringan parut dan deformitas kosmetik. Infeksi dapat kambuh karena penyembuhan ulserasi
yang lambat.

2.9. Prognosis
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam nyawa.
Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup
memuaskan.
Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi sekunder.
Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan
umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat menyebabkan kematian.
Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan
kebutaan, menentukan prognosis. Sampai dengan 15% dari semua pasien dengan sindrom
Stevens-Johnson (SSJ) meninggal akibat kondisi ini. Bakteremia dan sepsis meningkatkan
resiko kematian.

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 18


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variable yang digunakan untuk meramalkan
faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN.

Tabel 2.4 Skor SCORTEN

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 19


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi


mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata
disertai gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan
dengan pasti, pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat yang paling
sering adalah oxicam NSAID, sulfonamide, fenitoin, dan penisilin. Patogenesis SSJ sampai
saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan
reaksi hipersensitivitas tipe IV.
SSJ menyebabkan pengelupasan kulit kurang dari 10% permukaan tubuh, pada
selaput lendir dapat menimbulkan krusta kehitaman, dan pada mata menyebabkan
konjungtivitis purulenta. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk mendiagnosis
SSJ kecuali pemeriksaan histopatologis. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson
yaitu Nekrolisis Epidermal Toksik, Staphylococcal Scalded Skin Syndrom, dan Eritema
Multiforme. Dan komplikasi pada SSJ yang paling sering terjadi adalah bronkopneumonia.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dilakukan dengan menghentikan obat
penyebab, memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada
penderita dengan keadaan umum berat. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. IVIG
dapat diberikan untuk mencegah kerusakan kulit yang lebih lanjut dan antibiotik spektrum
luas untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam
nyawa. Jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan. Pada kasus
ini tingkat mortalitas dapat ditentukan dengan nilai SCORTEN.

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 20


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
DAFTAR PUSTAKA

1. Stevens-Johnson Syndrome. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1197450-

overview. Accessed on April 11, 2012.

2. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition.

Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142

3. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of

Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: April 1, 2012. Available at:

www.jipmer.edu

4. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita

Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

5. Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.

6. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2 nd edition. EGC.

Jakarta. 2004. hal 141-142.

7. Viswanadh, B. : Ophthalmic complications and management of Steven Johnson syndrome

at a tertiary eye vare centre in South India. L V Prasad Eye Institute. 2002. Access on :

April 01, 2012. Available at : www.indianjournalofophthalmology.com

8. Sharma, V.K. : Proposed IADVL Consensus Guidelines 2006: Management of Stevens-

Johnson Syndrome ( SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis ( TEN). IADVL.2006

PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 21


Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018

Anda mungkin juga menyukai