PENDAHULUAN
Steven-Johnson syndrome (SJS) pertama kali ditemukan pada tahun 1922. Steven-
Johnson syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh kompleks
imun dengan gambaran eritema multiformis yang berat. Sindrom ini dikenal sebagai eritema
multiformis mayor, tetapi banyak literatur yang tidak setuju dengan pendapat ini.
Steven-Johnson syndrome (SJS) merupakan reaksi akut pada mukokutaneus yang
mengancam nyawa dengan karakteristik nekrosis dan hilangnya lapisan epidermis. Steven
dan Johnson pertama kali melaporkan dua kasus erupsi kutaneus diseminata yang berkaitan
dengan stomatitis erosif dan gangguan okular hebat. SJS melibatkan kulit dan membran
mukosa. Ketika muncul gambaran minor yang dapat melibatkan membran mukosa mulut,
hidung, mata, vagina, uretra, gastroinstestinal dan saluran pernafasan bawah yang dapat
berkembang selama perjalanan penyakit. Keterlibatan saluran cerna dan saluran pernafasan
dapat berubah menjadi nekrosis. SJS merupakan gangguan sistemik serius yang berpotensi
meningkatkan morbiditas dan bahkan kematian. Sering terjadi kesalahan diagnosis pada
penyakit ini.
Patofisiologi penyakit ini masih belum jelas, namun sekarang ini obat-obatan menjadi
faktor penyebab utama. Lebih dari 100 jenis obat dilaporkan menjadi penyebab yang
diperkirakan sekitar 70% kasus. Selain itu, peran agen infeksi juga dilaporkan pada beberapa
kasus. Virus herpes simpleks ditemukan pada beberapa kasus, terutama pada anak-anak.
Selain itu, beberapa faktor lain juga dapat menyebabkan SJS namun kasus ini masih harus
diidentifikasi lebih lanjut.
Tingginya mortalitas SJS/TEN yang dilaporkan, bahkan pada kasus berat dapat
mencapai 30%. Selain itu, karena penggunaan obat yang merupakan penyebab utama,
sehingga diperlukan identifikasi dan pengenalan pada penyakit ini untuk menghilangkan
penyebab dan perbaikan kondisi serta mencegah kekambuhan dan komplikasinya.
2.1. Definisi
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) ditemukan oleh Dr. Albert Mason Stevens dan Dr. Frank
Chambliss Johnson pada tahun 1922, merupakan tipe reaksi hipersensitivitas pada
mukokutaneus dengan kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit
berupa eritema, vesikel/ bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir
orifisium serta mata disertai gejala umum bervariasi dari ringan sampai berat yang terjadi
akibat respon obat-obatan, infeksi maupun penyakit lainnya
Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger- Rendu, eritema poliform bulosa,
sindrom mukokutaneo-okular, dermatostomatitis, eritema eksudativum multiform mayor,
eritema multiformis tipe Herba, dan ektodermosis erosiva pluriorifisialis.
2.2. Etiologi
Terdapat empat kategori etiologi, antara lain :
a) Infeksi
Hampir setengah pasien dengan SJS dilaporkan dengan infeksi saluran pernafasan atas.
Agen penyebab infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur maupun protozoa. Bakteri
penyebab SJS diantaranya streptokokus beta grup A, difteri, Brucellosis, mikobakteria,
Mycoplasma pneumonia, tuleremia, dan tifoid. Kasus “incomplete” dilaporkan setelah
terdapat infeksi Mycoplasma pneumonia. Virus penyebab SJS yang dilaporkan antara lain
virus herpes simpleks (HSV), AIDS, virus coxsackie, dan variola. Pada anak, virus penyebab
yang teridentifikasi yaitu virus Epsteins-Barr dan enterovirus. Mungkin juga disebabkan oleh
jamur seperti coccidioidomycosis, dermatofitosis, dan histoflasmosis. Protozoa juga
dilaporkan sebagai penyebab seperti malaria dan trichomoniasis.
b) Induksi Obat
SJS/TEN paling sering disebabkan obat-obatan. Patogenesisnya multifaktor dan mungkin
disebabkan dinamika antara faktor didapat dan konstisional yang berkaitan dengan obat
maupun metabolismenya. Ditemukan berbagai macam obat yang telah diidentifikasi dapat
menyebabkan SJS/TEN dan berkaitan dengan penyakit lokal dan peresepan obat. Tabel di
bawah ini merupakan obat-obatan yang dapat menginduksi SJS.
Tabel 2.1. Obat-obatan yang dapat menginduksi SJS/TEN
c) Kehamilan
Kasus SJS pada kehamilan sangat jarang namun pernah dilaporkan pada wanita usia 23
tahun, G2A1 usia gestasi 37 minggu, dengan tanda klinis SJS setelah disuntik dengan
cefotaxim. Terdapat juga satu kasus stenosis vaginal diikuti SJS pada kehamilan. SJS pada
kehamilan dapat berakibat fatal karena imunocompromise. Walaupun demikian, diagnosis
awal dan penatalaksanaan yang tepat dapat menyelamatkan ibu dan anak.
d) Idiopatik
Penyakit ini merupakan penyakit idiopatik (penyebabnya tidak diketahui). SJS diketahui
sebagai sindrom hipersensitivitas kompleks.
2.3. Patogenesis
SJS memiliki karakteristik khas dengan onset akut terjadinya eritema yang diikuti
nekrosis secara meluas dan menyerang epidermis serta membrane mukosa. Patogenesis SJS
sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe
III dan IV. Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi alergi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersensitisasi oleh suatu antigen, berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang. Oleh karena proses hipersensitivitas,
maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi:
a) Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
b) Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuriat
PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 3
Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
c) Kegagalan termoregulasi
d) Kegagalan fungsi imun
e) Infeksi
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa
didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di
mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga
terbentuk trias (stomatitis, konjungtivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik,
dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa
sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir,
mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat
penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik.
2.4. Manifestasi Klinis
PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN JOHNSON 7
Raden Roro Ananda Gusti Utamiputri
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Periode 11 Desember – 20 Januari 2018
SSJ dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa
demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia
yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien
mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian
meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata.
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di
orifisium, dan kelainan mata.
a) Kelainan kulit
Gejala kulit tampak berupa makula eritematus yang menyerupai morbiliform rash, timbul
pada muka, leher, dagu, tubuh dan ekstremitas. Lesi target (target lesions) dan bula dengan
Nikolsky sign positif sering didapatkan. Lesi membesar dan bertambah banyak. Lesi dimulai
sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae, dan plak urtikaria. Lesi
mungkin menjadi bulosa dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan
kulit yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan
terhadap infeksi sekunder.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kulit lepuh sangat longgar dan mudah
lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10% dari permukaan tubuh
yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis epidermis toksik, 30% atau lebih dari
permukaan tubuh yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena akan terasa sakit. Pada
beberapa orang, rambut dan kuku rontok.
c) Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis
kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, blefarokonjungtivitis,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh dengan
nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa sakit. Pada kasus berat terjadi erosi dan
perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan
faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan
mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa
bulan sampai 31 tahun.
Gambar a Gambar b
Gambar 2.5 Kelainan Mata SJS. Keterangan : eritema-erosi (gb.a) dan konjungtivitis (gb.b)
2.7. Tatalaksana
SJS adalah penyakit yang mengancam jiwa dan membutuhkan managemen optimal
dengan cepat mendeteksi dan menarik obat yang kemungkinan menjadi penyebab serta
perawatan suportif yang tepat di rumah sakit.
Perawatan simtomastis
Pasien dengan gejala di kulit yang tidak terlalu luas atau pasien dengan SCORTEN 0
sampai 1 dapat ditangani di tempat rawat biasa. Namun jika pasien mengalami gejala klinis
yang lebih berat dengan nilai SCORTEN yang lebih tinggi, seharusnya dirawat di Intensif
Care Unit atau di Burn Center.
Pengobatan suportif ini terdiri dari pemantauan dan perbaikan hemodinamik dan
pencegahan komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Tujuannya kurang lebih sama dengan
penatalaksanaan pada penyakit luka bakar.
Pada kasus epidermal nekrolisis ini, dapat terjadi kehilangan cairan yang signifikan akibat
erosi kulit, yang akhirnya dapat menyebabkan hipovolemik dan ketidakseimbangan elektrolit.
Karena itu harus segera dilakukan pergantian cairan harian secara adekuat. Jumlah cairan
yang diberikan tidak harus sama dengan kasus pada pasien luka bakar, karena pada kasus SJS
tidak terjadi edema intertisial.
Suhu lingkungan harus diatur diatas 280C sampai 300C (82,40F-860F). Bisa digunakan
tempat tidur khusus yang dapat mengatur suhu pasien untuk membuat pasien merasa nyaman.
Pemberian nutrisi yang adekuat dengan NGT bila diperlukan untuk mempercepat
kesembuhan dan untuk mencegah resiko translokasi bakteri dari saluran gastrointestinal.
Untuk mengurangi infeksi, diperlukan tindakan aseptik dan penanganan luka secara hati-
hati. Bila perlu dilakukan kultur kulit, darah, dan urin, secara rutin untuk melihat bakteri dan
jamur yang mungkin menginfeksi.
Penatalaksanaan Spesifik
a) Pemberian Kortikosteroid
Pada dasarnya, pemberian kortikosteroid sistemik dalam kasus ini masih kontroversial.
Pada beberapa kasus ditemukan, pemberian steroid pada fase awal dapat mencegah
perburukan gejala penyakit. Namun di beberapa kasus lain, steroid tidak mamu mencegah
progresifitas penyakit, bahkan membuat meningkatnya mortalitas, terutama akibat sepsis.
b) Imunoglobulin Intravena
Pemberian immunoglobulin belum menjadi standar pengobatan, namun jika tetap
diberikan adalah bertujuan untuk mencegah potensi nefrotoksik.
c) Cyclosporin A
Cyclosporin A merupakan suatu agen immunosupressif yang sangat baik untuk
penatalaksanaan SJS. Obat ini mengaktivasi sitokin T helper 2, menginhibisi mekanisme
sitotoksik CD8+, dan sebagai anti apoptosis efek dengan menginhibisi Fas-L, faktor nukleus
k B, dan TNF-.
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang
diberikan adalah :
Segera menghentikan penggunaan obat penyebab yang dicurigai
Kortikosteroid parenteral: deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama
3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada
yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang
menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antibiotika yang diberikan jarang menimbulkan
alergi,berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya
klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari. Selain itu obat lain
juga dapat digunakan misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg iv dan seftriakson 2 g iv sehari.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat(Avil)
dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15
mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk cetirizin dapat diberikan dosis untuk
usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari, > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Pada SSJ yang berat diiberikan terapi cairan dan elektrolit, serta diet tinggi kalori dan
protein secara parenteral. Dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, Nacl 9%, dan
Ringer laktat berbanding 1:1:1 dalam satu labu, setiap 8 jam.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin perak.
Pada kasus purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg iv
sehari.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase, betadine gargle, dan untuk bibir yang kelainannya
berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim urea 10%.
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2
jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola
mata.
Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya
perlekatan konjungtiva.
2.8 Komplikasi
Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi lain ialah
kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok, pada mata dapat
terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan karena gangguan lakrimasi. Pada
gastroenterologi teriadi esofageal striktur, pada genitourinari dapat terjadi nekrosis tubular
ginjal, gagal ginjal, jaringan parut pada penis, vagina stenosis, dan pada kutaneus terdapat
jaringan parut dan deformitas kosmetik. Infeksi dapat kambuh karena penyembuhan ulserasi
yang lambat.
2.9. Prognosis
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam nyawa.
Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup
memuaskan.
Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi sekunder.
Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan
umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat menyebabkan kematian.
Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan
kebutaan, menentukan prognosis. Sampai dengan 15% dari semua pasien dengan sindrom
Stevens-Johnson (SSJ) meninggal akibat kondisi ini. Bakteremia dan sepsis meningkatkan
resiko kematian.
2. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: April 1, 2012. Available at:
www.jipmer.edu
4. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita
5. Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas
6. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2 nd edition. EGC.
at a tertiary eye vare centre in South India. L V Prasad Eye Institute. 2002. Access on :