Anda di halaman 1dari 2

Antagonis leukotrien

Leukotrien merupakan mediator inflamasi yang terbentuk dari proses pemecahan asam arakidonat
oleh 5-lipoxygenase (5-LO), dan dibentuk dari berbagai jenis sel inflamatorik termasuk eosinofil dan
sel mast (53). Akivitas leukotriene C4 synthase (LTC4S) dibutuhkan secara spesifik untuk
memproduksi leukotrien sisteinil (CysLT) (9). CysLT meningkatkan produksi mukosa, menyebabkan
edema mukosa, pelepasan sitokin sel mast, dan memicu kemotaksis neutrofil dan eosinofil (54-56).
CysLT memiliki keterlibatan dalam patogenesis CRSwNP (9). Peningkatan metabolisme asam
arakidonat (57, 58) dan kadar CysLT maupun reseptor CysLT terjadi pada mukosa nasal pasien
dengan CRSwNP dibandingkan dengan CRSsNP dan kontrol (55, 59-61). Kadar 5-LO, LCT4S, dan
CysLT meningkat secara signifikan pada jaringan nasal pasien dengan CRSwNP dibandingkan dengan
CRSsNP dan kontrol (62). Inhibisi aktivitas LT, baik oleh antagonisme dari reseptor LT dengan
montelukast, zafirlukast atau pranlukast (antagonis kompetitif reseptor CysLT1; LTA) atau inhibisi
sintesis CysLT dengan zileuton (inhibitor selektif enzim 5-LO) telah dipertimbangkan sebagai terapi
potensial untuk CRSwNP.

Antagonis LT (LTA) telah digunakan sebagai terapi adjuvan untuk CRSwNP (55) meskipun tidak
didukung oleh guideline praktik akhir-akhir ini. Tidak ada rekomendasi penggunaan LTA pada
guideline praktik AAO-HNS 2015 untuk CRSwNP dan guideline EPOS 2012 secara spesifik menentang
penggunaan LTA (derajat rekomendasi A) (1, 9). Bagaimanapun juga, dua literature review baru-baru
ini menunjukkan adanya manfaat LTA terhadap gejala dan tanda dari CRSwNP (55, 56). Wentzel et
al. (56) telah melakukan randomized controlled trial (RCT) dengan kontrol 2 placebo, RCT dengan 3
kontrol non-placebo, dan 7 rangkaian kasus yang mengevaluasi pemberian LTA baik sebagai terapi
sendiri ataupun adjuvan untuk CRSwNP. Smith dan Sautter (55) mereview 4 percobaan yang sama,
termasuk penelitian in vitro yang mengaktivasi sel mast dnegan CysLT kemudian memblok aktivasi
ini dengan kombinasi montelukast (LTA) dan zileuton (inhibitor 5-LO) (56). Secara keseluruhan, LTA
ditemukan dapat menurunkan gejala secara signifikan baik poliposis maupun mediator inflamasi
dibandingkan dengan placebo. LTA yang diberikan sebagai tambahan untuk terapi steroid oral
maupun topikal juga menunjukkan adanya perbaikan gejala secara signifikan pada individu
dibandingkan dengan steroid oral/ topikal itu sendiri, tetapi perbaikan ini langsung menghilang
setelah LTA dihentikan (63).

Percobaan dengan kontrol 2 placebo dilakukan oleh Schaper et al. pada tahun 2011 dan Pauli et al.
pada tahun 2007. Schaper et al. pada tahun 2011 mengobati pasien CRSwNP (n = 24) dengan
montelukast 10 mg setiap hari selama 6 minggu dan melakukan evaluasi pada pasien yang sama
dengan placebo dalam desain crossover, separuh diacak untuk placebo sebelum terapi dan separuh
setelah terapi. Penelitian ini menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan dengan pemberian
montelukast, dari batas dasar dan dibandingkan dengan placebo, terhadap gejala pada nasal,
penemuan objektif pada rinoskopi, pembauan dan aliran udara nasal. Montelukast juga berkaitan
dengan penurunan yang signifikan pada mediator inflamasi rongga hidung dan eosinofil baik perifer
maupun nasal. Tidak ada efek samping yang ditemukan selama percobaan (64). Pauli et al.
melakukan percobaan secara acak pada pasien CRSwNP dengan memberikan 10 mg montelukast
setiap hari (n = 20) atau placebo (n = 10) selama 4 minggu dan menemukan perbaikan yang
signifikan pada gejala nasal, masalah praktis, sakit kepala, dan gejala non-nasal dengan pemberian
montelukast dibandingkan dengan placebo, meskipun tidak ada perubahan yang signifikan pada
protein kationik eosinofilik ataupun ukuran polip (65).

Randomized controlled trial oleh Vuralkan et al. pada tahun 2011 (66) dilakukan pada 50 pasien
dengan poliposis nasal sampai post-terapi FESS dengan memberikan montelukast 10 mg setiap hari
(n = 25) atau semprot hidung mometasone furoate 400 mcg dua kali sehari ( n = 25) selama 6 bulan.
Tetapi tidak ada perbedaan signifikan antara dua kelompok tersebut. Bagaimanapun juga, insidensi
kekambuhan polip pada kelompok terapi LTA (48%) lebih besar secara signifikan dibandingkan
kelompok steroid nasal (20%). Penelitian sejenis yang dilakukan oleh Mostafa et al. (67) pada tahun
2005 tidak menemukan adanya perbedaan dalam angka kekambuhan antara pasien dengan polip
nasal post ESS yang diberikan baik montelukast 10 mg setiap hari (n=25) maupun semprot hidung
beclometasone 400 mcg setiap hari (n=20) selama follow up 1 tahun, meskipun terdapat perbaikan
yang serupa dan signifikan dilihat dari skor gejala selama periode penelitian pada dua kelompok
tersebut.

Hampir semua penelitian telah melakukan evaluasi pada antagonis reseptor CysLT, khususnya
montelukast, dan data mengenai manfaat inhibitor 5-LO (zileuton) masih terbatas jumlahnya. Dua
penelitian menggunakan zileuton atau zafirlukast sebagai terapi untuk CRSwNP dan menemukan
adanya perbaikan gejala dan penurunan poliposis yang serupa dengan penelitian yang menggunakan
montelukast (68, 69). Penelitian crossover double blind randomized placebo controlled trial (DBRCT)
yang dilakukan oleh Dahlen et al. (70) pada tahun 1998 juga menunjukkan penurunan gejala nasal
seperti disfungsi olfaktori dan rinorea, dan peningkatan peak nasal inspiratory flow (PNIF), ketika
zileuton dtambahkan pada terapi yang sudah ada berupa steroid oral maupun topikal pada terapi
pasien dengan asma yang intoleran terhadap aspirin. Penelitian yang menggunakan zileuton pada
CRSwNP tidak merekomendasikan penggunaannya saat ini, meskipun penggunaannya secara teoritis
merupakan hal yang menarik yang dikembangkan oleh Smith dan Sautter (55). Mereka menemukan
bahwa dengan meningkatnya reseptor CysLT2 di mukosa hidung pasien dengan CRSwNP, tetapi
minimnya aksi antagonis montelukast, pranlukast, dan zafirlukast pada reseptor ini (semua aksi
tertuju pada reseptor CysLT1), inhbisi sintesis CysLT dengan inhibisi 5-LO (zileuton) mungkin
merupakan strategi yang lebih baik. Percobaan kultur sel menunjukkan adanya kemungkinan
manfaat kombinasi dari CysLTA dan inhibitor 5-LO (55).

Meskipun data penggunaan LTA untuk CRSwNP terbatas jumlahnya, terdapat bukti dari 2 RCT yang
menunjukkan perbaikan yang signifikan dengan pemberian montelukast dibandingkan placebo
dalam hal gejala, tanda, maupun tanda imunologis dari penyakit. Terapi kombinasi LTA dengan
steroid oral ataupun topikal menunjukkan manfaat yang belum jelas melalui terapi modalitas
tunggal. Meskipun tidak ada efek samping major dilaporkan dalam literatur-literatur yang disertakan
di sini, LTA dilaporkan berkaitan dengan munculnya ruam kulit, perubahan perilaku, tremor atau
potensial memburuknya gejala sinus dan asma (9, 65). Secara spesifik, montelukast menunjukkan
efek samping yang minimal, sedangkan zileuton berkaitan dengan abnormalitas tes fungsi hati dan
berpotensial terhadap hepatoksisitas dan zafirlukast diketahui dapat menurunkan clearance
warfarin (66, 67). Manfaat terapi LTA segera menghilang setelah terapi dihentikan (56), tetapi
penggunaan jangka panjang termasuk aman secara relatif. Secara keseluruhan, LTA memiliki
manfaat untuk terapi CRSwNP dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan peran obat-
obatan ini sebagaimana inhibitor 5-LO sebagai terapi untuk CRSwNP.

Anda mungkin juga menyukai