PENDAHULUAN
Kematian akibat cedera terjadi pada satu dari tiga periode. Periode pertama adalah
dalam beberapa detik hingga menit dari cedera. Pada masa periode awal ini,
kematian umumnya merupakan akibat dari cedera otak berat atau cedera tulang
belakang atas berat, hilangnya jalan nafas, atau rupturnya jantung, aorta, dan
pembuluh darah besar lainnya. Sedikit dari pasien ini yang dapat diselamatkan
oleh karena beratnya cedera mereka, dan pencegahan adalah satu-satunya cara
untuk menreduksi kematian terkait cedera. Periode kedua terjadi dalam beberapa
menit hingga jam setelah cedera. Kematian ini biasanya terjadi akibat dari
hematom subdural dan epidural, hemopneumothoraks, ruptur organ solid (limfa
dan hati), fraktur pelvis, atau cedera lainnya yang berkaitan dengan hilangnya
darah. “Golden Hour” setelah trauma dikarakteristikkan oleh kebutuhan akan
penilaian dan resolusi yang cepat dari cedera-cedera ini. Periode ketiga terjadi
beberapa hari hingga minggu setelah cedera inisial dan paling sering terjadi oleh
karena sepsis dengan kegagalan organ multipel terkait.
Tiga prinsip menjadi pedoman dalam menangani cedera. Yang paling penting
adalah ancaman yang paling berbahaya untuk hidup harus ditangani pertama.
Sebagai contoh, ketidakmampuan untuk bernafas membunuh lebih cepat daripada
perdarahan. Prinsip kedua adalah tidak menentukan diagnosis pasti sebelum
1
melakukan penanganan menolong hidup. Yang ketiga adalah riwayat terperinci
tidak esensial untuk memulai penanganan dalam kondisi cedera akut.
Manajemen dini dari pasien dengan cedera serius membutuhkan evaluasi dan
penanganan secara simultan. Tujuan pertama adalah memastikan pasokan oksigen
yang adekuat ke organ-organ vital dengan mengikuti sebuah urutan-urtan prioritas
yang telah disusun, yang dapat mengidentifikasi dan menangani cedera yang dapat
mengancam nyawa dengan segera (penilaian primer). Manajemen pasien harus
dimulai dengan evaluasi primer segera dengan resusistasi fungsi vital secara
simultan, diikuti dengan penilaian sekunder yang lebih detil (pemeriksaan dari
kepala-kaki), dan akhirnya, menjalankan perawatan definitif. Proses ini dimulai
dengan ABCD dari penanganan trauma,yang mana memandu identifikasi dari
kondisi yang mengancam nyawa melalui peilaian inisial terhadap jalan nafas,
pernafasan, sirkulasi, disabilitas, dan paparan (Tabel 9-1).
Ahli bedah yang terampil dalam manajemen trauma harus dimintai konsultasinya sedini
mungkin dalam rangkaian dari semua kasus-kasus trauma serius. Ketika ahli bedah tidak
tersedia pada saat itu juga atau ketika pasien sedanga dalam proses menunggu untuk
ditransfer, evaluasi yang sementara berlangsung (penilaian tersier) dan intervensi harus
tetap dilanjutkan.
2
A. Penilaian Primer: Evaluasi dan Resusitasi Awal
Jika pasien tidak dapat berkomunikasi secara verbal, jalan nafas mereka
tampaknya berada dalam masalah: meskipun demikian, penilaian berulang
terhadap patensi jalan nafas adalah penting. Pasien dengan cedera kepala hebat
(skor GCS 8 atau kurang) biasanya membutuhkan pemasangan jalan nafas
definitif dan protektif. Respon motorik yang kurang baik sangat mendukung untuk
dilakukannya manajemen jalan nafas dengan segera.
Jalan nafas harus pertama dinilai untuk patensinya. Penilaian untuk tanda-tanda
obsturksi jalan nafas termasuk inspeksi untuk adanya benda asing dan fraktur
fasial, mandibular atau tracheal/laryngeal yang mungkin menyebabkan obstruksi
jalan nafas. Pasien dapat menghasilkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas setelah
presentasi benigna awal di departemen emergensi. Perdarahan hebat dari cedera
orofaring mungkin menjadi jaminan untuk dilakukannya pemasangan jalan nafas
definitif.
Setera trauma benda tumpul, kontrol jalan nafas harus dilanjutkan dengan asumsi
bahwa fraktur yang tidak stabil atau cedera ligament dari servikal spinal (C-spine)
ada. Patensi jalan nafas harus diadakan, oksigen supplemental disediakan, dan
ventilasi yang adekuat dipastikan, seperti yang telah didiskusikan pada Bab 2. Jika
intervensi jalan nafas aktif dibutuhkan sebelum evaluasi radiologis untuk
kemungkinan fraktur C-spine, teknik yang dipilih untuk kontrol jalan nafas
(intubasi, atau pembedahan jalan nafas) harus masuk dalam perhitungan daripada
ketersediaan personil, tipe peralatan yang tersedia, faktor pasien, dan cederanya.
Jika pasien apnu atau memburuk kondisinya dengan cepat, ventilasi bag-mask
yang efektif dapat menolong nyawa. Intubasi orotrakheal standar harus dicoba
dengan penggunaan stabilisasi manual pada kepala dan leher. Stabilisasi yang
sesuai dapat dilakukan dari depan atau samping pasien. Salah seorang penyedia
layanan menyokong oksipital dan mandibular dengan kedua tangan untuk
mempertahankan alignment leher tanpa mengaplikasikan traksi atau distraksi.
3
Dengan stabilisasi yang aman, bagian anterior dari kolar servikal dapat dilepas
agar intervensi jalan nafas dapat dilakukan. Stabilisasi in-line dapat berlanjut
hingga kolar servikal diganti dengan tuba endotrakheal atau alat jalan nafas
lainnya telah diamankan. Jika jalan nafas tidak dapat diamankan, masker jalan
nafas laryngeal, esophageal-tracheal double lumen airway device, atau
krikotiroktomi pembedahan, diindikasikan.
Pasien yang sadar dan tidak mengalami perubahan status neurologis atau
nyeri leher dapat dipertimbangkan untuk memiliki C-spine yang stabil dan
tidak memerlukan pemeriksaan radiologis. Berhati-hatilah terhadap cedera
yang dapat mengalihkan pasien dengan cedera C-spine.
CT-scan lebih awal dapat memfasilitasi evaluasi C-spine pada semua jenis
cedera kepala atau pasien yang terintubasi. Menambahkan evaluasi CT
untuk C-spine pada CT-scan awal kepala adalah strategi yang tepat setelah
cedera.
4
Kehadiran paraplegia tau quadriplegi adalah bukti persumptif dari
instabilitasi spinal.
b. Cedera-cedera penting
5
2. Sirkulasi
Studi Kasus
Seorang pria muda dating ke ruang emergensi dengan luka tusuk epigastrium,
tetapi jenis senjatanya tidak diketahui. Tekanan darah sistolik adalah 90 mm Hg
dan pasien mengalami takikardi. Tekanan darah sistoliknya membaik (>100 mm
Hg) dengan pemberian cairan intravena tetapi memburuk ketika bolus cairan
diberhentikan. Ekstermitas dingin dan pasien gelisah.
Penyebab utama dari syok pada pasien trauma adalah perdarahan. Penanganan
empiris awal pada orang dewasa meliputi infusi kritaloid isotonic (2 L ringer
laktat atau cairan saline normal) melalui kateter iv dua jalur dan kontrol
perdarahan eksternal dengan kompresi manual. Target dari terapi cairan empiris
adalah normalisasi tekanan darah, reversal takikardia, dan perawatan perfusi organ
yang adekuat (Bab 7). Pasien tanpa cedera otak traumatic, tetapi dengan
perdarahan ekstensif yang mungkin membutuhkan intervensi operasi, adalah lebih
baik ditangani dengan resusitasi hingga tekanan darah sistolik mencapai 90 hingga
100 mm Hg. Dukungan ini mengontrol pembuluh darah yang mungkin telah
mengalami thrombosis dan tidak tampak mengalami perdarahan, tetapi mungkin
akan berdarah kembali jika tekanan darah dinormalkan. Ketika hipoperfusi dan
kompensasi vaskular membatasi akses perifer, kanulasi daripada vena sentral
(idealnya dengan introducer 7E, 8.5E, atau 9F) adalah merupakan sebuah
alternative, sebagaimana pemotongan vena saphena atau akses intraosseus. Studi
diagnostik konkomitan untuk sumber perdarahan dapat termasuk radiografi dada
(hemothoraks), radiografi pelvis (fraktur pelvis, open book, atau cedera pelvis
vertikal), focused assessment sonography in trauma (FAST), atau diagnostic
6
peritoneal lavage (DPL) (perdarahan intraperitoneal). Jika pasien secara
hemodinamik stabil, sebuah CT scan terhadap abdomen dan pelvis mungkin dapat
dilakukan untuk menggambarkan cedera, kecuali sebuah indikasi definitive untuk
operasi ada. Seorang pasien yang secara hemodinamik tidak stabil sebaiknya tidak
dipindahkan untuk dilakukan CT scan. Kontrol segera terhadap perdarahan
eksternal harus dilakukan secara simultan dengan resusitasi cepat. Pada trauma
ekstermitas, tekanan langsung direkomendasikan. Clamping secara buta pada
pembuluh darah yang mengalami perdarahan sangat tidak dianjurkan untuk
menghindari cedera potensial pada struktur-struktur di atasnya.
Sebagaimana tabel 9-2 tunjukkan, tekanan darah sistolik, denyut jantung, laju
nafas, dan status mental pasien dapat digunakan untuk menilai hilangnya darah.
The American College of Surgeons juga memvalidasi sebuah penurunan pada
denyut nadi sebagai tanda daripada hipoperfusi okulta. Volume darah yang
bersirkulasi sesuai dengan 7% dari berat badan normal (70 mL/kg) pada orang
dewasa, dan 8% hingga 9% (80-90 mL/kg) berat badan normal pada anak.
Perdarahan kelas II adalah syok yang tidak komplikatif, tetapi resusitasi kristaloid
tetap dibutuhkan. Perdaraha kelas III membutuhuhkan resusitasi kristaloid dan
biasanya penggantian darah. Perdarahan kelas IV dapat dianggap preterminal dan
membutuhkan penanganan agresif untuk memulihkan volume intravaskular dan
massa sel darah merah serta kontrol perdarahan. Penanganan harus difokuskan pada
respon awal terhadap terapi daripada dengan skema klasifikasi. Pasien akan berespon
terhadap resusitasi cairan dalam satu dari tiga jalur. Satu kelompok pasien akan
memperoleh kembali tanda vital normal dengan volume cairan yang sedikit. Kelompok
pasien yang kedua pada mulanya akan berespon terhadap resusitasi cairan, tetapi akan
menunjukkan tanda-tanda perburukan hemodinamik seiring dengan berjalannya waktu
atau pada saat berkurangnya cairan resusitasi mereka membutuhkan cairan tambahan
dan memfokuskan evaluasi terhadap etiologi dan penanganan daripada cedera.
Kelompok pasien yang ketiga tidak akan menunjukkan tanda-tanda perbaikan fisiologis
terlepas dari volume resusitasinya; pasien-pasien ini biasanya membutuhkan intervensi
operatif sesegera mungkin.
7
Tabel 9-2. Klasifikasi Perdarahan
Kelas
Variabel I II III IV
8
Resusitasi kristaloid istonik, biasanya dengan 2 hingga 3 L cairan ringer laktat
atau saline 0.9% (normal) (>50 mL/kg), harus diikuti dengan pemberian sel darah
merah dikemas (PRBCs). Darah yang sepenuhnya telah dicocok silang sangat
langka tersedia untuk resusitasi trauma emergensi. Darah tipe-spesifik yang tidak
dicocok silangkan dapat diberikan dengan aman dan tersedia pada hampir semua
rumah sakit dalam 15 hingga 20 menit setelah permintaan diterima. Jika darah
tipe-spesifik tidak tersedia dan pasien tidak stabil, PRBCs O-negatif dapat
digunakan. Ketika mereka tidak tersedia, PRBCs O-positif dapat digunakan.
Pasien mungkin akan mengalami sensitasi terhadap faktor Rh, tetapi hal ini
signifikan hanya pada pasien wanita dalam usia kehamilan (yang mana harus
ditangani dengan Rh, (D) injeksi immunoglobulin untuk mencegah formasi
antibody).
Transfusi dari produk darah lainnya, seperti fresh frozen plasma, trombosit atau
kriopresipitat, biasanya bukan merupakan bagian dari resusitasi, tetapi mungkin
secara urgen dibutuhkan jika perdarahan tetap ada dan/atau koagulopati terbentuk.
Pada pasien dengan perdarahan yang berlansung signifikan, profil koagulopati
serial (misalnya, waktu prorthrombin, waktu thromboplastin parsial, hemoglobin,
hematocrit, dan hitung trombosit) harus diperoleh. Hitung trombosit
<50.0000/mm3 biasanya ditangani dengan transfusi trombosit dalam kondisi
perdarahan yang sementara berlangsung. Demikian juga, abnormalitas dari waktu
prorthrombin dan waktu thromboplastin parsial pada pasien yang megalami
perdarahan harus ditangani dengan fresh frozen plasma (10-20 mL/kg secara
inisial). Perdarahan yang bukan merupakan akibat dari koagulopati harus
ditangani secara langsung, biasanya pada ruang operasi. Pemberian cairan
kristaloid dalam jumlah yang besar, sebuah penyebab umum dari faktor
koagulopati yang berkurang dan thrombositopenia delusional, membutuhkan
transfusi trombosit dan fresh frozen plasma. Manifestasi klinis dari disfungsi
penyumbatan harus ditangani secara empiris dengan trombosit dan fresh frozen
plasma ketika evaluasi laboratorium dari parameter-parameter ini tidak tersedia.
3. Disabilitas/Paparan
9
Evaluasi neurologis cepat telah dilakukan pada bagian emergensi dan termasuk
penentuan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupul, tanda-tanda lateralisasi,
dan tingkat cedera korda spinal. Skor GCS adalah metode yang cepat dan
sederhana untuk menentukan tingkat kesadaran. Penurunan daripada tingkat
kesadaran dapat mencerminkan penurunan perfusi serebral atau mungkin oleh
karena akibat dari cedera otak direk. Hipoglikemia, ethanol, narkotika dan obat-
obatan lainnya mungkin juga terlibat. Langkah-langkah awal untuk menentukan
kehadiran dari cedera korda spinal dan kranial yang terlokalisasi harus dilakukan,
jika kondisi pasien memungkinkan.
Selama peride resusitasi awal, usaha harus dilakukan untuk mengontrol dan
mencegah hipotermi. Pasien biasanya sering mengalami hipotermia setelah
paparan lingkunganm dan suhu tubuh mungkin jatuh lebih rendah bahkan setelah
pemberian cairan-cairan resusitasi sesuai suhu ruangan dan darah dingin,
membuka pakaian untuk kepentingan pemeriksaan, hilangnya reflex temerpatur-
regulasi pada syok, dan hasil akhir yang buruk, sehingga harus dihindari dan
ditangani. Cairan intravena yang hangat, gas-gas respirasi yang dipanaskan dalam
ventilasi mekanik, dan lampu penghangat dapat digunakan.
4. Pemantauan
Peningkatan pada parameter seperti laju jantung, tekanan darah, denyut nadi, laju
ventilatorik, status asam-basa, suhu tubuh, dan output urin adalah panduan terbaik
untuk resusitasi yang adekuat. Evaluasi dimulai ketika survei awal dan harus
diulang-ulang secara periodic. Oksimetri denyut nadi adalah tambahan yang
berharga untuk memantau saturasi hemoglobin dengan oksigen pada pasien yang
cedera, tetapi tidak berguna untui mengevauasi keadekuatan dari ventilasi.
Tekanan darah, sebagai satu-satunya marker untuk resusitasi, mungkin merupakan
pengukur yang buruk untuk perfusi jaringan aktual. Marker metabolic tambahan,
seperti serum laktat, defisit basa, dan ph, akan membantu dalam menentukan
keadekuatan dari resusitasi. Perfusi ekstremitas dapat dievaluasi dengan
10
memeriksa pengisian kapiler dan formasi hematoma, dan juga kehadiran dari
pulsasi perifer.
Kateter urin harus dimasukkan sesegera mungkin untuk memantau output urin
sebagai ukuran dari perfusi ginjal, meskipun hal tersebut dikontraindikasikan pada
pasien pria ketika dicurigai adanya cedera urethral (misalnya, darah pada meatus
urethral, hematoma scrotal, atau prostat abnormal pada pemeriksaan rektal).
5. Syok Perdarahan
a. Hemothoraks
Sebuah radiografi dada (idealnya denga pasien berada pada posisi trendelenburg
terbalik jika secara hemodinamis stabil) merupakan sebuah skrining yang dapat
diandalkan untuk perdarahan intrathorakal. USG dada juga dengan andal dapat
mendeteksi hemothoraks atau cairan pericardial. Hemothoraks harus didrainase
segera dengan tuba thorakostomi, dengan radiografi subsekuensial untuk
memastikan lokasi chest tube, evakuasi darah, dan ekspansi paru-paru.
Sebagaimana dicatat sebelumnya, kehilangan darah dengan cepat sebesar 1.000
mL ketika insersi chest tube atau kehilangan darah secara kontinyu hingga >200
ml/jam untuk 4 jam dapat mengharuskan dilakukannya thorakotomi. Jika tersedia,
alat-alat autotransfusi harus dipasangkan pada kaleng drainase tuba mana saja
yang dipasang untuk hemothoraks masif.
b. Perdarahan intra-abdominal
11
Pemeriksaan abdominal biasanya dapat menyesatkan dalam mendeteksi
perdarahan akut, khususnya pada pasien dengan trauma dada bagian bawah,
fraktur iga, cedera tulang belakang, intoksikasi atau perubahan tingkat kesadaran.
Semua pasien yang mengalami cedera tubuh akibat benda tumpul dari hantaman
langsung atau deselerasi, atau cedera tubuh penetrans harus dipertimbangkan
mengalai cedera visceral atau vaskular abdominal. Ultrasound yang fokus untuk
trauma dan DPL merupakan metode yang dapat diandalkan untuk
mengidentifikasi perdarahan intraperitoneal yang signifikan, meskipun
pemeriksaan FAST telah sebagian besar mengganti penggunaan DPL pada
sebagian besar institusi. Ketika telah siap tersedia dan digunakan oleh individu-
individu yang terlatih, FAST memiliki sensitifitas, spesifisitas, dan akurasi dari
DPL dalam mendeteksi hemoperitoneum, sebuah cedera yang membutuhkan
evaluasi pembedahan segera untuk menentukan kebutuhan akan sebuah intervensi
operatif. Pada kasus yang stabil, CT scan abdomen dapat berguna untuk
mengidentifikasi sumber perdarahan. Perdarahan abdominal biasanya berasal dari
laserasi limfa atau hati, cedera visceral lainnya, atau hematoma retroperitoneum.
Pasien dengan tanda-tanda vital yang tidak stabil atau abnormal biasanya bukan
merupakan kandidat untuk CT scan dan membutuhkan operasi untuk mengontrol
perdarahan.
c. Perdarahan Pelvis
Penilaian dari stabilitas tulang dalam arti pemeriksaan fisik dan radiografi polos
dari pelvis adalah krusial untuk identifikasi dini terhadap fraktur pelvis mayor.
Pasien dengan fraktur pelvis (open book atau vertikal shear) berada pada risiko
tinggi untuk mengalami perdarahan mayor, yang mana biasnaya adala vena.
Manajemen awal termasuk penggatian volume darah yang banyak dan,
kemungkinan, tamponade mekanikal dengan seprei diikiat kuat di sekitar pelvis
atau strategi lainnya untuk memperoleh kompresi sirkumferensial. Fiksasi skeletal
eksternal dapat berguna jika anatomi fraktur sesuai, dan ahli bedah ortopedi harus
dimintai konsultasinya lebih awal dalam rangkaian penanganan. Pada pasien
dengan perdarahan arterial yang berkaitan dengan cedera pelvis, CT scan akan
12
menunjukkan hilangnya kontras. Angiografi pelvis untuk embolisasi harus
dipertimbangkan pada pasien dengan hipotensi persisten akibat dari peningkatan
perdarahan arterial. Angiografi mungkin dibutuhkan pada setidaknya 10% pasien
dengan fraktur pelvis.
Pasien dengan fraktur tulang panjang mungkin akan mengalami perdarahan terkait
pada jaringan yang cedera di sekitarnya. Fraktur humerus dan femur dapat
mengakibatkan 1 hingga 3 unit dari kehilangan darah. Hal ini dapat menjadi
probelmatik pada pasien dengan fraktur tulang panjang multipel. Pemeriksaan
fisik berulang terhadap pembengkakan jaringan lunak dan perubahan pada
diameter daripada ekstermitas akan membantu dalam manajemen pasien ini.
e. Perdarahan eksternal
6. Syok Non-Hemoragik
Diferensial diagnosis dari syok non-hemoragik pada pasien trauma termasuk syok
obstruktif (tension pneumothoraks, tamponade jantung), cedera jantung akibat
benda tumpul, emboli udara, dan syok neurogenik dengan cedera tulang belakang
akut. Cedera kepala adalah penyebab langka terjadinya hipotensi, tetapi bila hal
ini terjadi, biasanya merupakan kejadian preterminal.
13
a. Tension pneumothoraks
b. Tamponade jantung
14
Diagnosis dari cedera jantung akibat benda tumpul harus dicurigai pada pasien
yang mengalami kecelakan tubrukan secara frontal berkecapat tinggi, yang mana
memiliki hipotensi atau aritmia yang tak dapat dijelaskan, atau yang jarang terjadi,
syok kardiogenik. Perubahan pada EKG biasanya tidak spesifik dan dapat
termasuk kontraksi ventrikel premature, bundle branch block, fibrilasi atrial, sinus
takikardi yang tak dapat dijelaskan, dan perubahan segmen ST. Jika cedera tumpul
pada jantung adalah sebuah kemungkinan, skrining EKG harus diperoleh di
bagian emergensi. Abnormalitas selain takikardia mengharuskan pemantauan 24
jam untuk aritmia. Individu yang stabil secara hemodinamik tanpa kelainan EKG
tidak membutuhkan evaluasi jantung atau observasi. EKG dapat diindikasikan
pada pasien hipotensi untuk mengevaluasi fungsi jantung. Penggunaan troponin
jantung dalam mendiagnosis cedera tumpul jantung kadang-kadang membantu.
Penanganan termasuk koreksi asidosis, hipoksia, dan kelainan elektrolit;
pemberian cairan secara bijak; dan penanganan farmakologis pada aritmia yang
mengancam nyawa.
d. Syok neurogenic
Syok neurogenik terjadi ketika cedera tulang belakang atau servikal (di atas
tingkat T6) menyebabkan simpatektomi. Ia memiliki karakteristik hipotensi,
seringya dikaitkan dengan bradikardi relatif atau absolut. Paralisis flaksid,
hilangnya reflex ekstremitas, dan priapismus dapat dikaitkan dengan penemuan
neurologis. Penanganan untuk hipotensi termasuk resusitasi cairan dan
vasopressor (phenylephrine, norepinefrin, atau dopamine) jika volume loading
tidak membalikkan hipotensi. Atropin diindikasikan jika terdapat bradikardia
berkaitan dengan instabilitas hemodinamik.
15
B. Penilaian Sekunder: Diagnosis dan Penanganan dari Cedera Lainnya
Sebagian besar pasien dengan cedera akut dapat diresusitasi hingga berada pada
kondisi yang stabil secara hemodinamis. Pemantauan primer harus dengan segera
mengidentifikasi cedera akut yang mengancam nyawa. Tujuan berikutnya adalah
untuk menyelesaikan penilaian sekunder untuk mengidentifikasikan atau
menangani cedera lainnya. Penilaian ini krusial untuk membuat triase yang sesuai
di ruang operasi, ruang radiologi, atau ICU.
1. Riwayat
Komponen penting dari riwayat pasien termasuk rincian dari mekanisme cedera,
riwayat penyakit sebelumnya, penggunaan obat saat ini, alergi, dan imunisasi
tetanus.
2. Pemeriksaan Fisik
Pasien harus diperiksa dari kepala hingga kaki. Tengkorak diperiksa dengan hati-
hati untuk mengidentifikasi cedera okulta. Tanda-tanda fraktur basis kranii
termasuk hematotimpanum, rhinorea, atau otorea; battle sign (ekimosis pada kulit
di sekitar mastoid); dan raccoon eyes. Tulang-tulang wajah, mandibular, dan leher
dipalpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan dan krepitus. Skor GCS dan
pemeriksaan neurologis terbatas dari pemeriksaan awal digunakan untuk
mengevaluasi trauma kepala (Bab 8). Pergerakan mata ekstraokuler diperiksa
untuk mengekslusikan jebakan saraf atau otot. Leher diinspeksi jika terdapat
distensi vena leher, posisi trachea, atau emfisema subkutis. Cedera leher atau nyeri
tekan di atas tulang servikal mengharuskan pemeriksaan radiografi tambahan
( Bagian “Evaluasi Radiologi”), CT, atau MRI. Dada diauskultasi dan dipalpasi
untuk mengetahui adanya krepitasi dan nyeri tekan. Pasien di log-roll sehingga
tulang belakang dan thoraks dapat dipalpasi untuk mengetahui adanya nyerin
tekan atau cedera lainnya dapat dideteksi. Pada trauma penetrans, tidak termasuk
cedera okulta keluar atau masuk pada region aksiler, servikal, atau inguinal.
Abodmen juga diinspeksi, diauskultasi, dan dipalpasi. Tulang-tulang pelvis dinilai
untuk stabilitasnya dengan kompresi lateral, kompresi anterior-posterior, dan
16
goyang gerak secara perlahan; ketiadaan nyeri dengan gerakan ini pada pasien
yang sadar tanpa adanya nyeri yang menandingi biasnya sudah cukup untuk
mengesampingkan fraktur tulang pelvis yang signifikan. Rektum dievaluasi
tonusnya dan kehadiran atau ketiadaan darah dan memastikan bahwa glandula
prostat tidak berpindah atau sulit untuk dipalpasi. Kehadiran dari hematoma
perineal/scrotal dan darah pada meatus urethra menunjukkan adanya cedera
urogenital, yang mana merupakan risiko dari insersi kateter urin. Ektermitas
diperiksa, dipalpasi, dan dievaluasi untuk ruang lingkup geraknya dan integritas
neurovaskularnya.
3. Studi Laboratorium
4. Evaluasi Radiologis
a. Umum
17
dimulai. Foto polos pelvis adalah krusial untuk identifikasi dini fraktur-fraktur
mayot.
b. Kepala
CT scan adalah esensial untuk evaluasi awal dari pasien dengan cedera kepala
atau pada semua pasien dengan penururan atau perubahan tingkat kesadaran.
Banyak pusat juga akan memperoleh CT scan pada tulang belakang ketika
pemindaian kepala diperoleh.
c. Spine
d. Dada
18
Pada saat tulang belakang telah bebas dari fraktur, sebuah radiografi thoraks tegak
lurus (atau trendelenburg terbalik) diindikasikan untuk definisi yang lebih baik
atau mengidentifikasi pneumothoraks, hemothoraks, pelebaran mediastinal atau
irregularitas, atau fraktur dan untuk mengkonfirmasi posisi dari berbagai jenis
tuba. Radiografi dada tidak adekuat untuk mengesampingkan cedera aorta ketika
terdapat tubrukan lateral yang signifikan atau cedera deselerasi. Curigailah cedera
lethal ini di mana mediastinum melebar pada radiografi dada dan sebuah
mechanism yang sesuai terlibat. CT angiografi dengan pemindai helical terbaru
menyediakan sebuah metode alternative untuk menskrining cedera aorta dan
menentukan cedera thoraks lainnya. Angiografi aorta telah sebagian besar
mengganti CT angiografi untuk mendeteksi cedera aorta.
e. Abdomen
Radiografi abdomen polos biasanya tidak membantu. Pada pasien yang secara
hemodinamik stabil, sebuah CT scan terhadap abdomen dan pelvis dan
pemeriksaan FAST tetap menjadi andalan untuk evaluasi abdominal pada pasien
trauma. FAST dapat diikuti dengan CT scan abdomen jika cairan bebas periotenal
teridentifikasi. DPL tetap dapat digunakan pada kondisi-kondisi tertentu, tetapi
telah secara umum telah digantikan oleh CT scan abdomen dan pelvis dan FAST.
DPL dapat digunakan dengan trauma abdominal penetrans untuk menentukan
kehadiran perdarahan.
f. Traktus genitourinaria
g. Fraktur skeletal
19
Foto dari ekstermitas (gambaran anterior, posterior dan lateral) harus diperoleh
pada basis dari pemeriksaan fisik atau keluhan pasien. Foto harus menyertakan
persendiaan di atas dan di bawah letak cedera.
5. Masalah lainnya
Tuba nasogastric hadir untuk mendekompresi perut dan dapat menurunkan risiko
dari aspirasi pulmoner; meskipun demikian, ia harus ditempatkan secara oral pada
pasien dengan fraktur midfasial atau kemungkinan fraktur basis kranii. Darah
pada aspirasi lambung dapat menjadi satu-satunya tanda dari sebuah cedera okulta
pada perut atau duodenum, dan investigasi lebih lanjut pun akhirnya dibutuhkan.
Profilaksis tetanus adalah hal yang rutin (Lampiran 10). Antibiotik sistemik harus
sering ditahan hingga indikasi yang spesifik telah ditentukan, tetapi merak akan
diberikan pada tiga situasi: (1) pasien yang menjalani pemantauan tekanan
intrakranial atau tuba thorakostomi biasanya memperoleh paparan gram positif
ketika alat tersebut diinsersi; (2) pasien dengan cedera abdominal penetrans dapat
terpapar organisme aerobik da anaerobik gram negatif untuk 24 jam pertama
setelah cedera; dan (3) pasien dengan fraktur terbuka terpapar gram positif selama
24 jam ketika evaluasi ortopedi sementara disusun.
Studi Kasus
20
Lelaki paruh baya mengalami laserasi hati multipel pada sebuah kecelakan
kendaraan bermotor. Dia juga mengalami laserasi mesenterika dan reseksi usus
pun telah dilakukan. Ujung daripada usus dijepit dan abdomen telah diisi dengan
pak untuk mengontrol perdarahan vena dari hati. Ia tetap memperoleh cairan
resusitasi dan pemberian produk darah oleh karena koagulopati. Beberapa jam
setelah dimasukkan ke dalam ICU, tekanan jalan nafas meningkat dan
berkurangnya output urin telah dicatat.
Setelah cedera yang mengacam nyawa dan anggota badan telah ditangani dan
gangguan metabolic telah dikoreksi, penilaian sistemik secara periodic telah
dilakukan untuk mengidentifikasi cedera okulta yang tidak tampak pada
presentasi.
1. Cedera Kepala
Evaluasi dari pasien dengan cedera kepala adalah sebuah proses berkelanjutan
yang membutuhkan konsultasi ahli bedah saraf lebih awal. Penilaian serial dari
skor GCS, ukuran dan respon pupil, dan kehadiran atau ketiadaan tanda-tanda
lateralisasi neurologis adalah krusial. Segala jenis perubahan pada hasil
pemeriksaan telah dicatat dan ditindaki pada saat mereka ditemukan.
2. Cedera Pulmoner
21
Pasien trauma biasanya memiliki isi perut yang penuh pada waktu cedera dan
benda asing.
syndrome yang terjadi mungkin tidak akan tampak jelas hingga beberapa jam
oksimetri dan/atau pengukuran tekanan gas darah arteri, radiografi dada, dan
mekanisme ventilatorik.
3. Cedera Jantung
adalah kewajiban pada bagian emergensi dan ICU. Pemantauan tekanan darah
disfungsi kontraktil jantung atau aritmia pada pasien trauma yang diresusitasi
4. Cedera Abdominal
22
Penyalahgunaan zat atau cedera neurologis tidak dapat menghasilkan pemeriksaan
fisik awal yang terpercaya. Perforasi dari viskus berlubagn pada cedera tumpul
biasanya sulit untuk didiagnosis. Udara bebas di bawah diafragma pada foto
radiografi dada tegak lurus, di atas hati pada radiografi lateral decubitus kiri, atau
Kondisi ini terjadi ketika terdapat peningkatan tekanan intra-abdominal akibat dari
menurunkan output dan jantung dan mengompres bantalan vaskuler serta ginjal.
menurunkan tekanan darah hingga hati dan ginjal dengan disfungsi resultan.
intrakranial.
5. Cedera Muskuloskeletal
23
Evaluasi neurologis dan vaskular terhadap ekstermitas merupakan proses yang
penurunan respon. Pada pasien yang sadar, pemeriksaan fisik serial adalah
monitor terbaik. Tanda-tanda klasik meliputi nyeri, pucat, nadi tak teraba,
paling akhir. Tanda-tanda awal yang paling membantu adalah keluhan nyeri di
luar proporsi pada saat pemeriksaan fisik dan nyeri berat pada stretching pasif
terhadap kelompok otot yang terlibat. Pada pasien yang tidak sadar atau ketika
fasiotomi.
dari cedera lainnya atau ketika status mentalnya membaik, untuk mengidentifikasi
rasa sakit atau nyeri tekan yang baru. Radiografi polos harus diperoleh untuk
termasuk fraktur scapula, thoraks dan lumbal tulang belakang, pelvis, pergelangan
cedera terhadap massa otot yang besar terlibat, kompresi berkepanjangan telah
24
fosfor, dan kalsium. Manifestasi dari sindorm ini termasuk disritmia jantung,
reperfusi dari massa otot yang hancur biasnya dilakukan sebelum datang ke rumah
reperfusi, cairan normal harus diberikan (1- hingga 2-L bolus atau 10-15
cedera ginjal terkait pigmen heme. Ajuvan seperti bikarbonat dan manitol dapat
digunakan.
6. Pertimbangan Lainnya
normalisasi tekanan darah, denyut jantung, dan output urin mungkin tidak selalu
tanda vital normal dapat terjadi bahkan pada kondisi hipoperfusi jaringan yang
asidosis metabolic dapat menyediakan hasil akhir defintif lebih untuk keadekuatan
volume, transfusi sel darah merah, atau dukungan dengan agen vasoaktif dapat
diidnikasikan dalam waktu 24 jam pertama pasca cedera. Asidosis metabolik yang
25
indikator awal untuk komplikasi, termasuk perdarahan terus menerus atau
perbaikan dari fraktur, pada saat periode stabilisasi berkelanjutan ini. Keputusan
untuk lanjut dengan operasi harus dibuat setelah konsultasi dengan pemberi
Dalam periode resusitasi segera, penilaian ulang secara periodic adalah penting.
Sesaat setelah pasien stabil, semua situs akses intravena harus dinilai ulang. Jika
26