LP Thypoid
LP Thypoid
TINJAUAN TEORITIS
b. Lesu
c. Nyeri kepala
d. Pusing
e. Diare
f. Anoreksia
g. Batuk
h. Nyeri otot
Menyusul gejala klinis yang lain demam yang berlangsung 3 minggu (Rahmad Juwono,
1996) :
a. Demam
1) Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore
1) Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang
disertai tremor
c. Gangguan kesadaran
2) Gejala lain “Roseola” (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit )
5. Pemeriksaan Diagnostik / Penunjang
Menurut Corwin (2000) Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan kasus febris typhoid antara
lain :
a. Pemeriksaan Leukosit
Pada febris typhoid terhadap ileumopenia dan limfobrastis relatif tetap kenyataan leukopenia
tidaklah sering dijumpai. Pada kasus febris typhoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi pada
berada dalam batas normal, walaupun kadang-kadang terikat leukositanis tidak ada komplikasi
berguna untuk febris typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
Sering kali meningkat tetapi kembali normal setelah sembuhnya febris typhoid, kenaikan SGOT
dan SGPT tidak memerlukan pembatasan pengobatan.
c. Kenaikan Darah
Gerakan darah (+) memastikan febris typhoid tetapi biakan (-) tidak menyingkirkan febris
typhoid. Hal ini karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor, yaitu :
1) Tekhnik pemeriksaan laboratorium.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
3) Laksinasi di masa lampau.
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
d. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan anatibodi (aglutinin). Aglutin
adalah yang spesifik terhadap salmonella typoid terdapat dalam serum klien dengan typoid juga
terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah
suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium . Tujuan dari uji widal ini
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typoid.
Akibat infeksi oleh salmonella typi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
Aglutin O yang dibuat karena rangsangan antigen H( berasal dari tubuh kuman
Aglutin H yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman)
Aglutin Vi yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (bersal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutin tersebut hanya aglutin O dan H yang ditentukan titernya unuk diagnosa,
makin tinggi titernya makin besar klien menderita typoid.
6. Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi dalam (Patriani Sarasan, 2008) :
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus
2) Perforasi usus
3) Ileus paralitik
dan tromboflebitie.
paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi sering terjadi pada keadaan tokremia berat
7. Penatalaksanaan
Menurut (Soedarto, 2007) penatalaksanaannya adalah :
a. Secara Fisik
1) Mengawasi kondisi klien dengan : Pengukuran suhu secara berkala setiap 4-6 jam.
Perhatikan apakah anak tidur gelisah, sering terkejut, atau mengigau. Perhatikan pula
apakah mata anak cenderung melirik ke atas atau apakah anak mengalami kejang-kejang.
Demam yang disertai kejang yang terlalu lama akan berbahaya bagi perkembangan otak,
karena oksigen tidak mampu mencapai otak. Terputusnya suplai oksigen ke otak akan
berakibat rusaknya sel-sel otak. Dalam keadaan demikian, cacat seumur hidup dapat
terjadi berupa rusaknya fungsi intelektual tertentu.
2) Bukalah pakaian dan selimut yang berlebihan
3) Memperhatikan aliran udara di dalam ruangan
4) Jalan nafas harus terbuka untuk mencegah terputusnya suplai oksigen ke otak yang akan
berakibat rusaknya sel – sel otak.
5) Berikan cairan melalui mulut, minum sebanyak –banyakny Minuman yang diberikan dapat
berupa air putih, susu (anak diare menyesuaikan), air buah atau air teh. Tujuannnya adalah
agar cairan tubuh yang menguap akibat naiknya suhu tubuh memperoleh gantinya.
6) Tidur yang cukup agar metabolisme berkurang
7) Kompres dengan air biasa pada dahi, ketiak,lipat paha. Tujuannya untuk menurunkan
suhu tubuh dipermukaan tubuh anak. Turunnya suhu tubuh dipermukaan tubuh ini dapat
terjadi karena panas tubuh digunakan untuk menguapkan air pada kain kompres. Jangan
menggunakan air es karena justru akan membuat pembuluh darah menyempit dan panas
tidak dapat keluar. Menggunakan alkohol dapat menyebabkan iritasi dan intoksikasi
(keracunan).
8) Saat ini yang lazim digunakan adalah dengan kompres hangat suam-suam kuku.
Kompres air hangat atau suam-suam kuku maka suhu di luar terasa hangat dan tubuh akan
menginterpretasikan bahwa suhu diluar cukup panas. Dengan demikian tubuh akan
menurunkan kontrol pengatur suhu di otak supaya tidak meningkatkan pengatur suhu tubuh
lagi. Di samping itu lingkungan luar yang hangat akan membuat pembuluh darah tepi di
kulit melebar atau mengalami vasodilatasi, juga akan membuat pori-pori kulit terbuka
sehingga akan mempermudah pengeluaran panas dari tubuh.
b. Obat-obatan Antipiretik
Antipiretik bekerja secara sentral menurunkan suhu di pusat pengatur suhu di
hipotalamus. Antipiretik berguna untuk mencegah pembentukan prostaglandin dengan
jalan menghambat enzim cyclooxygenase sehinga set point hipotalamus direndahkan
kembali menjadi normal yang mana diperintah memproduksi panas diatas normal dan
mengurangi pengeluaran panas tidak ada lagi.
Penderita tifus perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi (agar penyakit ini tidak menular
ke orang lain). Penderita harus istirahat total minimal 7 hari bebas panas. Istirahat total
ini untuk mencegah terjadinya komplikasi di usus. Makanan yang dikonsumsi adalah
makanan lunak dan tidak banyak berserat. Sayuran dengan serat kasar seperti daun
singkong harus dihindari, jadi harus benar-benar dijaga makanannya untuk memberi
kesempatan kepada usus menjalani upaya penyembuhan.
Pengobatan yang diberikan untuk pasien febris typoid adalah antibiotika golongan
Chloramphenicol dengan dosis 3-4 x 500 mg/hari; pada anak dosisnya adalah 50-100
mg/kg berat badan/hari. Jika hasilnya kurang memuaskan dapat memberikan obat
seperti :
1) Tiamfenikol, dosis dewasa 3 x 500 mg/hari, dosis anak: 30-50 mg/kg berat
badan/hari.
2) Ampisilin, dosis dewasa 4 x 500 mg, dosis anak 4 x 500-100 mg/kg berat badan/hari.
3) Kotrimoksasol ( sulfametoksasol 400 mg + trimetoprim 80 mg ) diberikan dengan
dosis 2 x 2 tablet/hari. Dan untuk pencegahan agar tidak terjangkit penyakit febris typoid
perlu memperhatikan beberpa hal sebagai berikut :
1. Harus menyediakan air yang memenuhi syarat. Misalnya, diambil dari tempat
yang higienis, seperti sumur dan produk minuman yang terjamin. Jangan gunakan
air yang sudah tercemar. Apabila menggunakan air yang harus dimasak terlebih
dahulu maka dimasaknya harus 1000C.
2. Menjaga kebersihan tempat pembuangan sampah.
3. Upayakan tinja dibuang pada tempatnya dan jangan pernah membuangnya secara
sembarangan sehingga mengundang lalat karena lalat akan membawa bakteri
Salmonella typhi.
e) Daya tahan tubuh juga harus ditingkatkan ( gizi yang cukup, tidur cukup dan teratur, olah
raga secara teratur 3-4 kali seminggu). Hindarilah makanan yang tidak bersih. Belilah
makanan yang masih panas sehingga menjamin kebersihannya. Jangan banyak jajan
makanan/minuman di luar rumah.
f) Diet
bubur kasar, dan akhirnya diberikan nasi sesuai tingkat kesembuhan. Namun
b. Konsentrasi suspensi antigen: konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspense antigen : ada karya tulis yang
berpendapat bahwa daya aglutinasi suspense antigen dari strain salmonella setempat lebih
B. Konsep Keperawatan
Menurut Doenges (2002)
1. Pengkajian
a. Identitas
Didalam identitas meliputi nama,umur, jenis kelamin, alamat,pendidikan, nomor registrasi
,status perkawinan,agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, medical record
b. Keluhan Utama
Kaji data mengenai penyakit mayor, pembedahan, pengunaan obat 0bat masa lalu ,perdarahan
gastrointestinal ,penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya ,perubahan dan
kebiasaan defekasi , mula dan muntah
c. Riwayat kesehatan sekarang gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam
hari ,nyeri kepala,lidah kotor,tidak napsu makan ,epistaksi ,penurunan kesadaran,
Kaji adanya
d. Riwayat Kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga tentang penyakit yang berhubungan dengan Gastrointestinal,
penyakit keturunan seperti Diabetes Melitus, kesehatan saat ini dan masalah seperti karsinoma.
e. Riwayat Kebutuhan
1) Pola nutrisi : Kebiasaan mengkomsumsi maknan yang tidak diolah dengan baik
2) Pola Cairan : Sumber air minum yang tidak sehat , kebiasaan minum kopi,soda alkohol
3) Pola eliminasi : Kebiasaan dalam buang air kecil dan buang besar dan perubahan
pada kebiasaan defekasi dan karekteristik feces
4) Pola hygiene :Kebersihan perseorangan yang cukup
5) Pola aktivitas : kelemahan fisik serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak
akibat penyakitnya
f. Riwayat psikososial
Faktor-faktor sosiologis dan psikologis serta lingkungan fisik dapat menyebabkan pengaruh
kesehatan. Pekerjaan mempengaruhi status kesehatan klien meliputi apakah ada zat toksik yang
dicerna atau diabsorbsi misalnya arsenik merkuri atau karbon tetraklorida.
g. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada typus abdominalis
1) Keadaan umum biasanya pada pasien typus abdominalis mengalami badan lemas,
panas,pucat mual,perut tidak enak ,anorexia
2) Mulut stomatitis ,bibir kerung dan pecah -pecah ,lidah tertutupselaput putih
kotorsementara ujung dan tepinya berwarna kemerahan dan jarang disertai tremor.
3) Abdomen
Kaji lokasi nyeri, frekuensi bising usus, massa abdomen. Adanya temuan abnormal harus dicatat
seperti nyeri tekan pada hipokondilum kanan atau epigastrium Pemeriksaan abdomen dilakukan
dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
3.Gangguan
Tujuan : Pasien 1) Jelaskan pada klien dan 1) Untuk meningkatkan
pemenuhan
kebutuhan mampu keluarga tentang manfaat pengetahuan klien tentang
nutrisi kurang
mempertahankan makanan/nutrisi. nutrisi sehingga motivasi
dari kebutuhan
berhubungan kebutuhan nutrisi 2) Timbang berat badan untuk makan meningkat.
dengan
adekuat. klien setiap 2 hari. 2) Untuk mengetahui
anoreksia.
Kriteria hasil : 3) Beri nutrisi dengan diet peningkatan dan penurunan
1) Nafsu makan lembek, tidak mengandung berat badan.
meningkat banyak serat, tidak 3) Untuk meningkatkan
2) Pasien mampu merangsang, maupun asupan makanan karena
menghabiskan menimbulkan banyak gas mudah ditelan.
makanan sesuai dan dihidangkan saat masih 4) Beri makanan dalam
dengan porsi yang hangat. porsi kecil dan frekuensi
diberikan. 4) Beri makanan dalam sering.
porsi kecil dan frekuensi Rasional : Untuk
sering. menghindari mual dan
5) Kolaborasi dengan muntah.
dokter untuk pemberian 5) Antasida mengurangi
antasida dan nutrisi rasa mual dan muntah.Nutrisi
parenteral. parenteral dibutuhkan
terutama jika kebutuhan
nutrisi per oral sangatkurang.
4)Intoleransi
Tujuan : pasien bisa 1) Beri motivasi pada 1) Agar pasien dan keluarga
aktivitas
berhubungan melakukan aktivitas pasien dan kelurga untuk mengetahui pentingnya
dengan
kehidupan sehari-hari melakukan mobilisasi mobilisasi bagi pasien yang
kelemahan/bedr
est (AKS) optimal. sebatas kemampuan bedrest.
Kriteria hasil : (misalnya : Miring kanan, 2) Untuk mengetahui
1) Kebutuhanpersona miring kiri).. sejauh mana kelemahan yang
lterpenuhi 2) Kaji kemampuan terjadi.
2) Dapat melakukan pasien dalam beraktivitas 3) Untuk mempermudah
gerakkan yang (makan, minum) pasien dalam melakukan
bermanfaat bagi tubuh 3) Dekatkan keperluan aktivitas.
memenuhi AKS pasien dalam jangkauannya 4) ; Untuk menghindari
dengan teknik 4) Berikan latihan kekakuan sendi dan
penghematan energi. mobilisasi secara bertahap mencegah adanya dekubitus.
sesudah demam hilang.
1. Arif Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit
Media Aesculapius. FKUI Jakarta. 2000.
2. Arjatmo Tjokronegoro & Hendra Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke
Tiga. FKUI. Jakarta. 1997.
3. Behrman Richard. Ilmu Kesehatan Anak. Alih bahasa: Moelia Radja Siregar & Manulang.
Editor: Peter Anugrah. EGC. Jakarta. 1992.
4. Joss, Vanda dan Rose, Stephan. Penyajian Kasus pada Pediatri. Alih bahasa Agnes Kartini.
Hipokrates. Jakarta. 1997.
5. Ranuh, Hariyono dan Soeyitno, dkk. Buku Imunisasi Di Indonesia, edisi pertama. Satgas
Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2001.
6. Samsuridjal Djauzi dan Heru Sundaru. Imunisasi Dewasa. FKUI. Jakarta. 2003.
7. Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998.
8. Soegeng Soegijanto. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Salemba
Medika. Jakarta. 2002.
9. Suriadi & Rita Yuliani. Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak.
Edisi I. CV Sagung Seto. Jakarta. 2001.
10. Widiastuti Samekto. Belajar Bertolak dari Masalah Demam Typhoid. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. Semarang. 2001