PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kavum nasi atau yang sering disebut sebagai rongga hidung memiliki
bentuk seperti terowongan yang dipisahkan oleh septum nasi pada bagian
tengahnya sehingga akan menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi
ini mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding lateral, medial, superior dan inferior.
Kavum nasi berbatasan secara lateral dengan dinding lateral hidung.
Struktur-struktur penting terdapat pada dinding lateral ini yaitu konka nasalis,
ostium sinus dan orifisium duktus lakrimal. Konka nasalis terdiri dari konka
inferior, konka media, konka superior dan suprema. Konka suprema ini
rudimenter. Diantara ketiganya yang terbesar adalah konka inferior.1
Konka nasalis mempunyai segmen yang terbagi atas 3 segmen yaitu
segmen anterior atau head, segmen media atau body dan segmen posterior atau
tail. Konka suprema, superior dan media merupakan bagian dari labirin etmoid.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada labirin etmoid dan
tulang maksila. Diantara tiap konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
kecil atau yang sering disebut sebagai meatus. Berdasarkan letaknya terdapat tiga
macam meatus yaitu meatus superior, media dan inferior. Meatus superior
merupakan muara dari sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis. Meatus
2
media merupakan muara dari sinus frontalis, sinus maksilaris dan sinus etmoidalis
anterior, sedangkan meatus inferior merupakan muara dari duktus nasolakrimalis.1
Konka mempunyai peran penting dalam fisiologi hidung. Hal ini
dikarenakan struktur konka yang terdiri atas lapisan mukosa pada bagian luar dan
lapisan tulang pada bagian dalam. Bagian medial lebih tebal dari bagian lateral.
Lapisan mukosa konka merupakan mukosa respiratory (mukosa pernapasan) yang
tersusun atas epitel kolumnar pseudostratifed bersilia dengan sel goblet dan
banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar lendir. Epitel dipisahkan
dengan lamina propria oleh lamina basalis. Lamina propria bagian medial lebih
tebal dari bagian lateral. Mukosa ini berisi jaringan penunjang yang mengandung
sedikit limfosit, kelenjar seromukus, banyak sinus venosus pada dinding lateral
yang tipis dan sedikit arteri.2
Konka terdiri atas tulang dan soft tissue. Baik tulang maupun soft tissue
dapat membesar. Pada kebanyakan pasien, pembesaran soft tissue dari konka
merupakan masalah utama ketika konka membengkak. Ketika konka tersebut
besar, itulah yang disebut dengan hipertrofi konka. 1
3
2.3 Etiologi Hipertrofi Konka
Mink menggambarkan katup hidung pada tahun 1903. Katup hidung
dibentuk oleh septum medial, dan lateral oleh tepi caudal tulang rawan lateralis
atas dan bagian ini menyumbang sekitar 50% dari total resistensi saluran napas
bagian atas. Ujung anterior konka inferior ditemukan di hidung wilayah katup,
dan hipertrofi struktur ini dapat menyebabkan peningkatan jumlah resistensi
saluran napas. 3
Hipertrofi konka inferior merupakan hasil dari hipertrofi mukosa,
hipertrofi tulang, maupun keduanya. Hipertrofi tulang menyebabkan obstruksi
struktural tetap dan lebih baik diobati dengan operasi. Lebih umumnya, masalah
hipertrofi mukosa menabrak katup hidung, meningkatkan resitensi hidung, dan
sumbatan hidung. Hal ini dapat dikelola secara obat-obatan atau operasi
tergantung pada tingkat hipertrofi dan responsifitas terhadap manajemen medis. 3
4
Gambar 3 Septum nasi dan konka inferior (Sumber: Horacio G, et al, 2014)
Hidung adalah organ yang kompleks dan sangat khusus yang berperan
dalam penciuman, pertukaran panas, produksi kemampuan berbicara, respirasi,
humidifikasi, filtrasi, dan pertahanan antimikroba. 3
Mucous diproduksi oleh sel goblet, submukosa dan kelenjar
seromucous. Produksi mucous terutama dikendalikan oleh persarafan
parasimpatis. Lapisan mucous berfungsi untuk melembabkan dan membersihkan
udara inspirasi dan menghilangkan kotoran dari saluran napas hidung. 3
Sumbatan hidung dapat disebabkan oleh aktitivitas yang berlebihan dari
persarafan parasimpatis atau kurang optimalnya aktivitas dari persarafan simpatis.
Resistance penting dalam fungsi hidung dan turbulensi mengoptimalkan kontak
udara inspirasi dengan membran mukosa. Resistance harus tetap dalam batas-
batas tertentu untuk persepsi pernapasan normal. Jika terlalu tinggi atau terlalu
rendah, perasaan obstruksi (tertutup) mungkin terjadi. Sebuah perubahan siklik
dari penyempitan dan pelebaran konka inferior, yang dikenal sebagai siklus
hidung, terjadi kira-kira setiap 2-7 jam. 3
Katup hidung menyebabkan sekitar 50% dari keseluruhan resistensi
saluran napas. Katup hidung adalah wilayah jalan napas hidung yang memanjang
mulai dari ujung ekor dari kartilago lateralis atas dan berakhir pada anterior konka
inferior. Dengan masuknya aliran udara pada segmen yang menyempit ini, hal ini
mempercepat dan menurunkan tekanan (prinsip Bernoulli), yang dapat
menyebabkan katup hidung kolaps jika kartilago lateralis atas memiliki anatomi
lemah. Jaringan erectile dari septum hidung dan konka inferior dapat mengenai
katup hidung dan meningkatkan resistensi. Karena luas penampang dari katup
hidung kecil, perubahan kecil dalam kongesti konka inferior dapat menandai efek
pada resistensi. Sebuah penentu utama resistensi aliran udara adalah jari-jari
kubah hidung. Meskipun demikian, bahkan dengan radius normal sekalipun,
sensasi obstruksi dapat terjadi dari aliran turbulen. 3
5
2.5 Gejala Klinis Hipertrofi Konka
Gejala utama konka hipertrofi adalah sumbatan hidung. Sekret hidung
biasanya banyak, kental dan mukopurulen. Sekret mukopurulen yang banyak
biasanya ditemukan di antara konka inferior dan septum, dan di dasar rongga
hidung. Beberapa penderita mengeluhkan sakit kepala, rasa berat di kepala, dan
gangguan penghidu. Pada stadium awal dari pemeriksaan tampak membran
mukosa membengkak dan merah kemudian terjadi konka hipertrofi.4
Gejala dari septum deviasi/konka hipertrofi: 5
Kongesti hidung atau hidung tersumbat
Gangguan pernafasan pada malam hari disertai mendengkur
Mimisan kronis
Sinusitis kronis
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan klinis
sebagai berikut:
2.6.1 Anamnesis
Hidung tersumbat merupakan keluhan umum. Membedakan etiologi
penting agar pengobatan yang tepat dapat dimulai. Riwayat mengenai
perubahan apapun ataupun obstruksi yang unilateral, mungkin menunjukkan
masalah perubahan daripada masalah struktural. 3
Gejala rhinitis. Sumbatan, rhinorrhea, dan bersin dapat terjadi pada
rhinitis alergi dan rhinitis nonallergi. Gejala sistemik yag didapatkan pada
alergi yakni seperti mata gatal berair, asma, dan variasi musiman. Pemeriksaan
umum awal harus mencatat "allergic shiners" atau penampilan wajah yang
mungkin menunjukkan tanda-tanda obstruksi hidung kronis. Rhinitis
vasomotor jenis rhinitis yang gejalanya diperburuk oleh iritasi, suhu atau
perubahan kelembaban, atau faktor psikologis. Nonallergic eosinophilic
rhinitis umumnya tahunan tanpa alergen yang menginduksi gejala. Rhinitis
atrofi ditandai dengan hidung yang kering dan krusta, sering dengan bau busuk.
Rhinitis juga dapat dikaitkan dengan kehamilan dan dengan gangguan sistemik
seperti hipotiroidisme. 3
6
Obat juga dapat menyebabkan rhinitis dan sumbatan hidung. Rhinitis
medikamentosa merupakan hasil dari rebound vasodilatasi setelah penggunaan
jangka panjang dari dekongestan hidung topikal. Biasanya pasien
menggunakan agen topikal untuk mengobati gangguan yang mendasarinya
menyebabkan sumbatan hidung. Obat lain yang dapat menyebabkan
peningkatan hidung tersumbat termasuk antihipertensi tertentu, antidepresan,
antipsikotik, dan kontrasepsi oral. 3
7
penyalahgunaan kokain atau dekongestan topikal, atau penyakit radang. Krusta
yang signifikan atau kelainan penampakan mukosa dapat mengindikasikan
adanya gangguan sistemik. 3
Riwayat atau gejala dan tanda-tanda gangguan sistemik lainnya dapat
mempengaruhi hidung dan konka harus dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
Wegener granulomatosis dan sarcoid dapat mengakibatkan sumbatan hidung
dan pengerasan kulit. Rhinitis infeksi dapat disebabkan oleh berbagai macam
organisme-misalnya disebabkan oleh rhinoscleroma, TBC, sifilis,
rhinosporidiosis, histoplasmosis, dan aspergillosis. dicurigai, jika
menunjukkan riwayat pajanan dan perjalanan, dan menunjukkan pengujian
lebih lanjut yang sesuai. Riwayat epistaksis yang signifikan dapat
meningkatkan dugaan pada proses inflamasi atau neoplastik. 3
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Medikamentosa 6
Terapi medis merupakan pendekatan lini pertama yang digunakan
untuk menatalaksana disfungsi konka. Namun, pilihan yang tepat dari terapi
bergantung pada diagnosis yang tepat. Beberapa kategori obat yang tersedia
yang memiliki efek pada mukosa konka dan mempengaruhi gejala pasien.
Dekongestan hidung, dalam dua bentuk berupa topikal dan oral, merupakan
obat yang paling defektif yang dapan mengurangi kongesti dari mukosa
konka. Topical sprays, oxymetazoline and phenylephrine, merupakan
antagonis-alpha yang sangat kuat, dan memiliki masa kerja yang panjang
yang memiliki efek rebound. Rebound muncul 4-5 hari dan jika berlangsung
lama disebut rhinitis medikamentosa. 7
Dekongestan oral juga sangat efektif untuk mengurangi kongesti dan
tidak menyebabkan pembengkakan kembali pada mukosa (rebound) dengan
penggunaan jangka panjang. Pseudoefedrin dan fenilefrin merupakan 2
bentuk umum dari dekongestan oral. Perhatian utama sehubungan dengan
penggunaan dekongestan oral ini yakni peningkatan tekanan darah pada
pasien hipertensi dan retensi urin pada pasien dengan hipertrofi prostat jinak.
Penggunaan berkepanjangan dekongestan oral dapat menyebabkan toleransi
dan ketidakefektifan. Fenilpropanolamin telah ditarik oleh Food and Drug
8
Administration (FDA) karena kasus stroke hemoragik yang terjadi pada
wanita. Obat ini saat ini tidak tersedia untuk digunakan sebagai dekongestan
oral. 7
Antihistamin adalah agen yang mempengaruhi konka dengan
menghalangi efek histamin pada reseptor H1. Banyak antihistamin yang
tersedia OTC (Over The counter Drugs) maupun dengan resep dokter. Obat-
obat ini hanya diindikasikan pada pasien dengan rhinitis alergi. Digunakan
bersama dengan dekongestan oral, antihistamin dapat mengurangi gejala
tersumbat dan drainase. Efek samping obat tertentu dan berkisar dari efek
sedasi dan memori (dengan antihistamin generasi sebelumnya yang melintasi
penghalang darah-otak) kekeringan yang berlebihan. Antihistamin
kontraindikasi pada pasien dengan glaukoma. 7
Semprotan steroid intranasal berguna untuk disfungsi konka. Obat-
obat ini diberi label untuk pengelolaan rhinitis alergi tetapi, seperti semua
steroid, juga memiliki efek anti-inflamasi nonspesifik. Semprotan terbaru di
kelas ini sangat aman dan tidak memiliki penekanan yang signifikan dari
hipotalamus-hipofisis axis (HPA). 7
Steroid intranasal diberikan setiap hari dan butuh kelanjutan dalam
penggunaan sehari-hari untuk manfaat yang signifikan. Arah yang tepat dari
semprot hidung pada dinding lateral hidung mencegah efek samping yang
umum terjadi berupa hidung kering, termasuk epistaksis dan perforasi septum
(jarang). Toleransi tidak terjadi dengan penggunaan jangka panjang.
Kontroversi terbaru tentang penggunaan steroid nasal pada anak-anak adalah
terhambatnya pertumbuhan. Penelitian terbaru menyelidiki penggunaan oral
steroid inhalers, yang memiliki tingkat penyerapan lebih tinggi, tidak
mendukung kekhawatiran ini pada setidaknya 2 semprotan steroid yang
tersedia. 7
Montelukast antagonis reseptor leukotriene juga bisa digunakan dalam
kasus rhinitis musiman dan perennial allergic rhinitis. Memperbaiki
munculnya gejala hidung tersumbat yang terjadi pada siang hari, rhinorrhea,
dan bersin yang nyata pada studi klinis. Efek samping yang serupa dengan
plasebo. 7
9
Suntikan steroid intra konka juga digunakan untuk mengobati
hipertrofi mukosa yang inflamasi. Perawatan harus dilakukan karena kasus
kebutaan telah dilaporkan dengan teknik ini. Sebuah laporan awal injeksi
intra konka dari botulinum toxin A untuk rhinitis vasomotor menunjukkan
perbaikan gejala dibandingkan dengan plasebo dalam studi kohort kecil. 7
2.6.1 Pembedahan
Upaya harus dilakukan untuk menemukan penyebab dan
menghilangkan sumbatan hidung. Sumbatan hidung dapat dihilangkan
dengan pengurangan ukuran konka. Berbagai macam metode yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut: 6
a. Linier cauterisation.
b. Submucosal diathermy.
c. Cryosurgery dari turbinates.
d. Partial or total turbinectomy. Hipertrofi konka inferior dapat di angkat
sebagian pada ujung anterior. Perbatasan inferior atau ujung posterior.
Konka media, jika hipertrofi, juga dapat diangkat sebagian atau
seluruhnya. Penghapusan berlebihan pada konka harus dihindari
karena menyebabkan krusta persisten.
e. Turbinoplasty
f. Submucous resection of turbinates bone, dengan mengangkat tulang yang
mengobstruksi tetapi mempertahankan mukosa konka untuk
mempertahankan fungsinya.
g. Laser juga telah digunakan untuk mengurangi ukuran konka.
10
anterior untuk mengurangi gejala-gejala pada waktu tidur dan sepanjang hari
sesuai yang diperlukan. Rhinitis atrofi (ozena) dapat berkembang pada pasien
dengan over-reseksi konka inferior. Peningkatan kebersihan hidung diperlukan
dalam situasi tersebut. 7
3. Penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan
ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina
4. Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka
dihadapannya disebut sinekia. Bentuk ini akan menambah beratnya
obstruksi.11
11
2. Penonjolan unilateral yang mengganggu fungsi katup hidung
4. Satu penonjolan di bagian atas konka nasalis media dan satu penonjolan
lainnya di sisi yang berlawanan
12
Pada pemeriksaan fisis, Tampilan luar dari hidung dapat memberikan
petunjuk tentang apa yang terjadi pada struktur bagian dalam. Inspeksi pada
rongga hidung akan memberikan kesan pergeseran septum ke salah satu sisi
sehingga terjadi obstruksi pada salah satu sisi. Ujung kaudal septum atau area 1
dapat dilihat dan dipalpasi tanpa menggunakan peralatan yang mahal. Area 2 atau
area katup dapat diobservasi hanya dengan menggunakan ujung spekulum hidung
atau melihat dengan cahaya lampu senter ke dalam regio katup. Abnormalitas
lainnya pada area 3,4, dan 5, seperti deviasi, obstruksi, impaksi, dan kompresi
konka media dapat mudah dilihat setelah dilakukan dekongesti topikal atas
struktur intranasal.12
Ada 2 jenis tindakan operatif yang dapat dilakukan pada pasien dengan
keluhan yang nyata yaitu reseksi submukosa dan septoplasti. Reseksi
13
subkumukosa (submucous septum resection, SMR) menjadi operasi yang
mencapai puncaknya pada hari-hari peloporannya di awal abad XX1,4. Pada
operasi ini mukoperikondrium dan mukperiosteum kedua sisi dilepaskan dari
tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan septum
kemudian diangkat, sehingga mukoperikondrium dan mukoperiosteum sisi kiri
dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah. Pada umumnya operasi ini
telah digantikan oleh rekonstruksi atau reposisi septum nasi.13
Septoplasti atau reposisi septum. Pada operasi ini tulang rawan yang
bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan.
Prosedur ini memakan waktu kira-kira 30 menit hingga 1 jam dengan pasien di
bawah pengaruh sedasi intravena atau anestesi umum. Insisi kecil dibuat pada
hidung sehingga tulang dan tulang rawan hidung dapat diinspeksi dengan baik.
Tonjolan-tonjolan tulang yang ada disingkirkan. Tulang rawan yang menyimpang
dikembalikan ke posisinya yang normal. Tulang-tulang juga dikembalikan ke
tengah untuk menjamin aliran udara yang normal. Setelah itu sepasang splint/stent
intranasal dipasang selama beberapa hari biasanya 5 – 7 hari, tergantung luas
tindakan, dan biasanya pasien menggunakan pembalut hidung luar. Splint ini
memungkinkan pasien dapat bernapas dengan melalui hidung dan memudahkan
untuk menelan makanan.12
Tidak akan ditemukan pembengkakan di sebelah luar karena tulang-tulang
hidung tidak diintervensi. Pasien dapat langsung pulang ke rumah pada hari yang
sama setelah operasi.Terdapat sedikit rasa ketidaknyamanan di dareah nasal untuk
24 – 36 jam setelah operasi. Untuk itu dapat digunakan analgesik oral atau
penempatan kantong es di daerah nasal untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan
tersebut. Irigasi nasal dan suplementasi nasal dengan steroid semprot dapat
digunakan bila penyembuhan telah dicapai dengan sempurna.13
14
BAB III
KESIMPULAN
15
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Hidung tersumbat
16
Pasien adalah seorang mahasiswa, dengan riwayat merokok satu bungkus sehari
selama 15 tahun.
Keadaan Umum
Tanda Vital
Nadi : 82 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Temperatur : 36.7 oC
Kepala
Mata : Palpebra tidak bengkak, Pupil isokhor RCL: (+/+) RCTL : (+/+)
Leher
Thoraks Anterior
Perkusi : sonor/sonor
17
Thoraks Posterior
Perkusi : sonor/sonor
Jantung
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler (+), bising (-), gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Ekstremitas
Ekstremitas Superior : sianosis (-), tofus (-), dan pitting edema (-/-)
Ekstremitas Inferior : sianosis (-), tofus (-), dan pitting edema (-/-)
Telinga
18
Radang Tidak ada Tidak ada
Membran timpani
Jumlah
Tidak ada Tidak ada
Perforasi perforasi
19
Tidak ada
Weber Tidak ada lateralisasi
lateralisasi
Kesimpulan Normal
Audiometri -
Hidung
Sinus Paranasal
Rinoskopi Anterior
20
Konka Inferior Hipertrofi (+), edema Hipertrofi (+), edema
(-), warna merah muda (-), warna merah muda
Simetris/tidak Simeris
Ukuran T1 T1
Kripta Tidak
Tidak Melebar
Tonsil Melebar
Perlengketan dengan
Tidak Ada Tidak ada
pilar
21
Edema Tidak Ada Tidak Ada
Hematokrit 40 45-55 %
MCV 87 80-100 Fl
MCH 31 27-31 Pg
MCHC 35 32-36 %
22
3.4.2 Pemeriksaaan Radiologi
Foto CT Scan
Gambar 3. Ct Scan-Nasal
Kesimpulan: Deviasi septum nasi ke kiri disertai hipertrofi concha nasi medial
dan inferior kanan. Sinusitis frontalis kiri
3.5 DIAGNOSIS
3.6 PENATALAKSANAAN
Operatif
- Turbinoplasti bilateral
Non-Operatif
-IVFD RL 20 gtt/menit
23
-Inj. Cefotaxim 1 gr/jam (IV)
3.8 PROGNOSIS
BAB IV
PEMBAHASAN
24
pengecilan konka kanan pada tahun 2015 dan keluhan membaik setelah operasi.
Namun, beberapa bulan terakhir keluhan kembali muncul. Riwayat alergi dan
trauma maksilofasial disangkal. Dari hasil anamnesis tidak ada keluarga pasien
yang mengalami keluhan yang sama.
Berdasarkan teori, deviasi septum ringan tidak memberikan gejala
sehingga tidak mengganggu. Akan tetapi, bila deviasi itu cukup berat, maka akan
mengakibatkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian akan
mengganggu fungsi hidup dan menyebabkan komplikasi. Oleh karena itu, hidung
tersumbat yang dirasakan pasien merupakan manifestasi klinis septum deviasi
yang disebabkan oleh hipertrofi konka akibat mekanisme kompensasi.1
Pada pemeriksaan fisik rhinoskopi anterior didapatkan mukosa kiri dan
kanan tenang, konka hipertrofi (+/-), septum deviasi ke kanan, sekret (-/-). Untuk
menegakkan diagnosis dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium dan CT-Scan Sinus Coronal tanpa kontras. Hasil laboratorium tidak
dapat kelainan, sedangkan pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan deviasi septum
nasi ke kiri disertai hipertrofi konka medial dan inferior kanan.
Hal ini sesuai dengan teori, yaitu tanda yang akan didapatkan pada
pemeriksaan fisik berupa hipertrofi konka dan deviasi septum. Hipertrofi konka
dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Dari hasil laboratorium tidak didapatkan
kelainan yang menandakan pasien tidak mengalami infeksi saluran napas maupun
alergi. Dari hasil CT-Scan didapatkan deviasi septum ke kiri dengan hipertrofi
konka. CT-Scan dengan potongan sinus koronal dapat menegakkan diganosis dan
memberikan gambaran bentuk deformitas septum.1,2,6
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, pasien
akan direncanakan untuk dilakukan turbinoplasti bilateral dikarenakan saat
dirawat, didapatkan konka inferior hipertrofi lebih dominan dibandingkan septum
deviasi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa inflamasi kronik yang tidak respon
dengan medikamentosa, perlu dilakukan operasi pembedahan. Adapun teknik
turbinoplasti dilakukan untuk memperbaiki pernafasan hidung dan
mempertahankan fungsi fisiologis hidung. Teknik ini memiliki keuntungan risiko
perdarahan krusta lebih sedikit dibandingkan teknik lainnya. Keberhasilan teknik
ini mencapai 93%, dengan insidensi perdarahan sedikit. Adapun komplikasi dan
25
risiko turbinoplasti adalah terjadinya perdarahan dan terbentuk jaringan parut
atau krusta di dalam hidung. Jadi setelah tindakan operasi, perlu dievaluasi
perdarahan yang terjadi dan evaluasi post operasi untuk mencegah terjadinya
sinekia dari konka inferior sampai ke septum pasca turbinoplasti.5
Setelah dilakukan tindakan operasi pasien mendapatkan terapi berupa
antibiotik cefotaxim 1 gr/12 jam untuk menghindari adanya infeksi selama dan
sesudah operasi. Pasien juga diberikan transamin 500 mg/8 jam untuk
menghentikan perdarahan dan ketorolac 3% 1 amp/8 jam sebagai anti nyeri post
operasi. Tampon hidung akan dibuka pada hari keempat setelah operasi dan akan
dievalusi perdarahan .
DAFTAR PUSTAKA
26
3. Mangunkusumo E, Nizar NW. Kelainan Septum dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: FKUI
Press, 2001; hal 99 – 100
Former SEJ, Eccles R. Chronic inferior turbinate enlargement and
implications for surgical intervention. Rhinology 2006; 44:234-8.
4. Mangunkusumo E, Rifki N. Infeksi hidung. In: Soepardi EA, Iskandar N
(Ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-5. Balai Penerbit FK UI:
Jakarta; 2001.p.111-2.
5. Ginros G, Kartas I, Balatsauras D, Kandilaros, Mathos AK.
Mucosal change in chronic hypertrophic rhinitis after surgical
turbinate reduction. Eur Arch Otorhinolaryngol 2009; 266:1409-16.
6. Fradis M, Golz A, Danino J, et al. Inferior turbinectomy versus
submucosal diathermy for inferior turbinate hypertrophy. Annals of
Otology Rhinology & Laryngology 2000;109:1040-5
7. Quinn FB, Ryan MW, Reddy SS. Turbinate dysfunction: focus on the role
of the inrferior turbinates in nasal airway obstruction. Grand Rounds
Presentations UTMB, Dept of Otolaryngol 2003:1-11.
8. Lufti H, Mangunkusumo E, Soetjipto D. Pematahan multipel tulang konka
submukosal pada hipertrofi konka inferior. In: Kumpulan Naskah
Ilmiah Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis
Telinga, Hidung, Tenggorok Indonesia. Batu-Malang; 1999.p.715-9
9. Gindros G, Kartas I, Balatsoures D, Kandilaros, Mathos AK, Kardoglow.
Mucosal change in chronic hypertrophic rhinitis after surgical turbinate
reduction. Eur Arch Otorhinolaryngology 2009;266:1409-116
10. Kontantinilais MN. Endoscopic management of inferior turbinate
hypertrophy. In: Stucker FJ, Souza CD, Keryon GS, Lias TS, Draf W,
Schick B. Rhinology and Facial Plastic Surgery.Berlin: Springer; 2009. P.
545-51
11. Deviated Nasal Septum. [on line] 2003. [cited 2018 January 3]; [1 screen]
Available at : http://ww2.kgw.com/global/story.asp?s=1230508
12. Colman BH. Disease of The Nasal Septum in Hall & Collman's Disease
of The Nose, Ear and Throat, and Head and Neck A Handbook for
Students and Practitioners. Oxford: ELBS, 1992; p.19 – 21
27
13. Casano P. Anatomy of The Nasal Structure. [on line] 2006. [cited 2018
January3]Available at:http://www.polychondritis.com/Nasal_Anatomy/Na
salAnatomy.html
28