Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Degenerasi makula terkait usia atau Age related macular degeneration (ARMD)
atau yang sering disebut sebagai degenerasi makula senilis adalah kemunduran makula
yang menyebabkan hilangnya fungsi penglihatan sentral. Penyakit ini dicirikan dengan
adanya perubahan degeneratif yang meliputi bagian luar retina, sel epitel pigmen retina,
membran Bruch, dan koriokapilare. National Health and Nutrition Eye Study
mendefinisikannya sebagai suatu keadaan hilangnya refleks makular, disperse dan
penggumpalan dari pigmen retina, serta terbentuknya drusen yang berhubungan dengan
ketajaman penglihatan.

Insidensi dari penyakit ini diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan
meningkatnya angka harapan hidup. Menurut World Health Organization (WHO),
ARMD merupakan salah satu penyebab terbanyak kebutaan di dunia yang menempati
urutan ke-4 sebesar 8,7%. Diperkirakan 15 juta warga negara Amerika Utara menderita
ARMD. Prevalensi ARMD adalah 85-90% pada AMD non eksudatif dan 10 – 15 % pada
eksudatif AMD. Di Indonesia sendiri, hingga saat ini belum ada data pasti tentang
insidens dan angka morbiditas AMD. Salah satu penelitian dari Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia periode 03 Maret 2008 - 05 Januari 2009 di Jakarta Timur, yang
menggunakan 1259 responder didapati prevalensi non eksudatif dan eksudatif ARMD
didapatkan pada 52 orang (4,1%) and 3 orang (0,2%). Prevalensi ARMD didapatkan
semakin meningkat dengan bertambahnya usia, dimana 3,4% pada kelompok usia 40-49
tahun, 4,8% pada kelompok usia 50-59 tahun, dan 7,4% pada usia > 70 tahun.

Penderita biasanya mengeluhkan adanya distorsi penglihatan, kehilangan


kemampuan membedakan warna secara jelas, adanya gelap di pusat penglihatan,
kesulitan membaca, baik secara tiba-tiba ataupun perlahan akan terjadi kehilangan fungsi
penglihatan tanpa rasa nyeri.

Terpai profilaksis seperti laser, nutrisi, dan antioksidan ditujukan untuk mencegah
progresivitas dari proses degeneratif. Namun, sampai saat ini belum ada terapi yang

1
sangat efektif sehingga dokter diharapkan dapat memberikan konseling yang baik pada
pasien. Prognosis penyakit ini tergantung jenisnya, dimana tipe eksudat memiliki
prognosis yang lebih buruk daripada tipe non eksudat.

Tujuan penulisan referat ini untuk memahami aspek-aspek terkait definsi,


etiologi, patogenesis, klasifikasi, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis
dari penyakit degenerasi makula terkait usia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Retina

Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang
melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke
depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan akhirnya di tepi ora serrata. Pada
orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sistem
temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal.

Secara garis besar retina dibagi atas 2 bagian: kutub posterior dan perifer yang
dipisahkan oleh ekuator retina. Kutub posterior sampai ekuator retina, ini merupakan area
posterior retina. Kutub posterior retina terbagi atas 2 area: optik disk dan makula lutea.
Retina perifer di posterior dibatasi oleh ekuator retina dan anterior dengan oraserrata.
Oraserrata merupakan batas yang paling perifer tempat retina berakhir, terbagi dalam 2
bagian; anterior pars plikata dan posterior pars plana. Ora serrata juga tempat melekat
vitreous dan koroid.

Gambar 2.1 Ketebalan dari retina


Sumber: (Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-11. United States of
America: W.B Saunders Company; 2000. Hlm. 627)

3
Secara mikroskopis lapisan retina mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai
berikut: (1) membrana limitans interna; (2) lapisan sel saraf, yang mengandung akson-akson
sel ganglion yang berjalan menuju ke nervus optikus; (3) lapisan sel ganglion; (4) lapisan
pleksiformis dalam yang mengandung sambungan-sambungan sel ganglion dengan sel
amakrin dan sel bipolar; (5) lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin, dan sel horisontal;
(6) lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel bipolar dan sel
horisontal dengan fotoreseptor; (7) lapisan inti luar sel fotoreseptor; (8) membran limitans
eksterna; (9) lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut; dan (10)
epitelium pigmen retina. Lapisan dalam membrana Bruch sebenarnya adalah membrana
basalis epitelium pigmen retina.1,5,7

Gambar 2.2 Histologi lapisan-lapisan retina


Sumber: (Sherwood L. Human Physiology: From Cells to Systems. Ed ke-4. United States of
America: Thomson Brookes/Cole; 2007. Hlm. 192)

4
Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis, makula dapat
didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal atau
xantofil. Definisi alternatif secara histologis adalah bagian retina yang lapisan ganglionnya
mempunyai lebih dari satu lapis sel. Secara topografi makula terdiri dari umbo, foveola,
fovea, parafovea, dan perifovea. Umbo adalah pusat dari foveola, secara histologis terdiri
dari suatu lamina basal yang tipis, sel-sel muller dan sel kerucut. Foveola merupakan area
pusat cekunan di dalam fovea, dengan lokasi ± 4 mm ke arah temporal dan ± 8 mm ke
inferior dari pusat papil optik, dengan diameter sekitar 0,35 mm dan ketebalan sekitar 0,1
mm pada pusatnya. Berisi sel – sel kerucut, sel –sel muller, dan sel-sel glial. Fovea adalah
pusat dari makula berupa cekungan dengan diameter ± 1,5 mm. Pada daerah ini sel kerucut
akan terdorong ke rah tepi, lapisan plesiforma luar (lapisan Henle) menjadi horisontal,
sedangkan seat sel muller tersusun secara miring. Di dalam fovea, dengan diameter 250-
600µm terdapat fovea avascular zone (FAZ). Parafovea setebal 0,5 mm mengelilingi fovea.
Para fovea terdiri dari sepuluh lapisan retina. Perifovea mengelilingi parafovea setebal 1,5
mm, area ini merupakan bagian yang paling luar dari makula.

Gambar 2.3 Topografi regio makula 1. Umbo, 2. Foveola, 3. Fovea, 4. Parafovea, 5. Perifovea
Sumber: (Vaughan D.G, Asbury T., Riordan E.P, Editor. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta
EGC:2009.

5
Retina menerima darah dari dua sumber : khoriokapilaris yang berada tepat di luar
membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan fleksiformis luar
dan lapisan inti luar, fotoresptor, dan lapisan epitel pigmen retina; serta cabang-cabang dari
sentralis retina, yang mendarahi 2/3 sebelah dalam. Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh
khoriokapilaria dan mudah terkena kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina
mengalami ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang,
yang membentuk sawar darah-retina. Lapisan endotel pembuluh koroid dapat ditembus.
Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.

2.2 Fisiologi Retina

Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor
kompleks, dan sebagai suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan
fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang
dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks
penglihatan. 5 Retina mengandung sel batang lebih dari tiga puluh kali lebih banyak dari sel
kerucut ( 100 juta sel batang dibandingkan 3 juta sel kerucut per mata). Makula bertanggung
jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian
besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1 antara
fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin
penglihatan yang paling tajam.11Di retina perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel
ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari
susunan seperti itu adalah bahwa makula terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan
warna (penglihatan fototopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri
dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam
(skotopik).

Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler pada
retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mencetuskan
proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung rodopsin, yang merupakan
suatu pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk sewaktu molekul protein opsin
bergabung dengan 11-sis-retinal. Sewaktu foton cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal

6
segera mengalami isomerisasi menjadi bentuk ali-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid
membran yang separuh terbenam di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar
fotoreseptor. Penyerapan cahaya puncak oleh terjadi pada panjang gelombang sekitar 500
nm, yang terletak di daerah biru-hijau pada spektrum cahaya.

Penelitian-penelitian sensitivitas spektrum fotopigmen kerucut memperlihatkan


puncak penyerapan panjang gelombang di 430, 540, dan 575 nm masing-masing untuk sel
kerucut peka-biru, -hijau, dan –merah. Namun demikian, sel –sel kerucut juga berespon
terhadap panjang gelombang lain dalam derajat yang berbeda-beda. Persespsi kita mengenai
warna dunia bergantung pada berbagai rasio stimulasi ketiga jenis kerucut sebagai respon
terhadap berbagai panjang gelombang. Suatu panjang gelombang yang tampak sebagai biru
merupakan satu-satunya yang merangsang sel kerucut biru 100 %. Fotopigmen sel kerucut
terdiri dari 11-sis-retinal yang terikat ke berbagai protein opsin.

Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang. Pada


bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa abu-abu, tetapi
warna tidak dapat dibedakan. Sewaktu retina telah beradaptasi penuh terhadap cahaya,
sensitivitas spektral retina bergeser dari puncak dominasi rodopsin 500 nm ke sekitar 560
nm, dan muncul sensasi warna. Suatu benda akan berwarna apabila benda tersebut
mengandung fotopigmen yang menyerap panjang-panjang gelombang dan secara selektif
memantulkan atau menyalurkan panjang-panjang gelombang tertentu di dalam spektrum
sinar tampak (400-700 nm). Penglihatan siang hari terutama diperantarai oleh fotoreseptor
kerucut, senjakala oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan penglihatan malam oleh
fotoreseptor batang.

7
2.3 Degenerasi Makula terkait Usia
2.3.1 Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya degenerasi makula terkait usia, dimana
faktor risiko yang telah banyak diteliti adalah usia, ras, riwayat keluarga, dan
merokok, sedangkan beberapa faktor risiko yang mungkin lainnya adalah jenis
kelamin, status sosioekonomi, warna iris, densitas pigmen makula, katarak dan
operasinya, gangguan refraksi, rasio cup/disc, penyakit kardiovaskular, hipertensi,
kadar lemak tubuh dan asupan lemak, indeks massa tubuh, faktor hematologi, infeksi
Chlamydia pneumonia, reproduksi, degenerasi dermal elastotic, enzim antioksidan,
paparan sinar matahari, mikronutrien, asupan ikan, dan konsumsi alkohol.
1. Usia
Usia merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh pada degenerasi makula
terkait usia. Pada Frammingham Eye Study, 6,4 % pasien usia 65-74 tahun dan
19,7 % pasien usia lebih dari 75 tahun memiliki tanda-tanda AMD. Sama dengan
Frammingham Eye Study, The Eye Disease Research Prevalence Group
menemukan bahwa pasien usia di atas 80 tahun memiliki prevalensi 6 kali lipat
dibandingkan dengan pasien usia 60-64 tahun.
2. Ras
ARMD lebih sering terjadi pada pasien ras kaukasia dibandingkan dengan Afrika-
Amerika yang berkulit hitam, sedangkan pada orang Asia dijumpai adanya
peningkatan dibandingkan dengan dengan Afrika-Amerika yang berkulit hitam.
Penelitian kohort oleh Klein, dkk, menujukkan prevalensi ARMD pada empat ras
yaitu kulit putih(kaukasia), hitam, hipanik, dan asia pada pasien usia 45-80 tahun
adalah 2,4 % pada kulit hitam, 4,2 % pada hispanik, 4,6 % pada asia, dan 5,4%
pada kulit putih (kaukasia).
3. Riwayat keluarga
Beberapa predisposisi terjadinya ARMD adalah faktor genetik yaitu gen CHF
(kromosom 1), BF ( komplemen faktor B), C2 (komplemen 2) (kromosom 6), dan
6,8,9
gen LOC (kromosom 10). Sekitar 10-20% pasien dengan ARMD memiliki
sekurang-kurangnya satu keluarga derajat satu yang mengalami kebutaan.

8
Penelitian menunjukan ARMD dengan kebutaan terjadi pada sedikitnya satu orang
dari orangtua atau saudara dari pasien dengan ARMD.
4. Merokok
Hubungan antara merokok dengan meningkatnya resiko terjadinya AMD telah
dilaporkan pada beberapa penelitian. Perokok memiliki resiko 2,4 -2,5 kali
menderita ARMD dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok. Hal ini dapat
dijelaskan dengan menurunnya level CFH pada perokok sehingga terjadi aktivasi
jalur komplemen yang mengakibatkan inflamasi pada makula.

5. Jenis kelamin
Data dari beberapa penelitian dengan populasi yang banyak, termasuk the Beaver
Dam study, the Third National Health and Nutrition Examination Survey, dan the
Framingham study menunjukkan bahwa wanita lebih beresiko menderita ARMD
dibandingkan dengan pria.

Gambar 2.4 Faktor-faktor risiko degenerasi makula terkait usia


Sumber: (Regillo, Carl D. 2011-2012. Retina and Vitreous: Age Related Macular Degeneration. American
Academy of Ophtalmology.

9
2.3.2 Klasifikasi
1. Degenerasi Makula tipe non-eksudatif (tipe kering)
Rata-rata 90% kasus degenerasi makula terkait usia adalah tipe kering.
Kebanyakan kasus ini bisa memberikan efek berupa kehilangan penglihatan yang
sedang. Tipe ini bersifat multipel, kecil, bulat, bintik putih kekuningan yang di
sebut drusen dan merupakan kunci identifikasi untuk tipe kering. Bintik tersebut
berlokasi di belakang mata pada level retina bagian luar. Drusen adalah endapan
putih kuning, bulat, diskret, dengan ukuran bervariasi di belakang epitel pigmen
dan tersebar di seluruh makula dan kutub posterior. Seiring dengan waktu, drusen
dapat membesar, menyatu, mengalami kalsifikasi dan meningkat jumlahnya.
Secara histopatologis sebagian besar drusen terdiri dari kumpulan lokal bahan
eosinifilik yang terletak di antara epitel pigmen dan membran Bruch; drusen
mencerminkan pelepasan fokal epitel pigmen. Berdasarkan ukurannya, drusen
dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu kecil (diameter < 64µm), sedang (diameter
64-124 µm), dan besar (diameter ≥ 125 µm). Berdasarkan batasnya, drusen dapat
dibagi tiga yaitu keras (menyebar dan batas tegas), lunak(tidak berbentuk/amorf
dan batas tidak tegas), dan konfluens (drusen yang bergabung jadi satu).2
Akhir-akhir ini klasifikasi ARMD dilakukan menurut kelompok peneliti Age-
Related Eye Disease Study (AREDS) berdasarkan ukuran drusen. Ukuran drusen
dapat diperkirakan dengan membandingkannya dengan kaliber vena besar di
sekitar papil yaitu kurang lebih 125 mikron.
1. ARMD dini: terdapat banyak drusen kecil ( diameter <63 ), disertai beberapa
drusen sedang (diameter 63-124), atau kelainan epitel pigmen retina (EPR),
2. ARMD menengah: terdapat sangat banyak drusen sedang dan paling sedikit
terdapat satu drusen besar (diameter > 125 ±), atau atrofi geografikan yang tidak
melibatkan sentral fovea,
3. ARMD lanjut: adanya satu atau lebih tanda berikut:
i. atrofi geografikan EPR dan koriokapiler yang melibatkan sentral fovea,
ii. makulopati neovaskular seperti neo-vaskularisasi koroid, hemorrhagic
detachment retina sensoris atau EPR, eksudat lemak, proliferasi fibrovaskular
subretina dan sikatrik disiformis.

10
Selain drusen, terdapat abnormalitas dari epitelium pigmen retina seperti
atrofi geografik, atrofi nongeografik, dan fokal hiperpigmentasi. Atrofi geografik
adalah kondisi dimana epitelium pigmen retina tidak ada yang dapat disebabkan
oleh regresi dari drusen yang lunak dan konfluens. Pada daerah atrofi geografik,
pembuluh darah koroid lebih tampak dan lapisan luar retina tampak lebih tipis.
Apabila daerah atrofi tidak luas dan menyatu, daerah atrofi tampak seperti bercak-
bercak depigmentasi yang disebut sebagai atrofi nongeografik. Peningkatan
pigmentasi diluar retina dapat menyebabkan fokal pigmentasi.
2. Degenerasi Makula tipe eksudatif (tipe basah)
Degenerasi makula tipe ini adalah jarang terjadi namun lebih berbahaya di
bandingkan dengan tipe kering. Kira kira didapatkan adanya 10% dari semua
degenerasi makula terkait usia dan 90% dapat menyebabkan kebutaan. Tipe ini
ditandai dengan adanya neovaskularisasi subretina dengan tanda-tanda degenerasi
makula terkait usia yang mendadak atau baru mengalami gangguan penglihatan
sentral termasuk penglihatan kabur, distorsi atau suatu skotoma baru. Pada
pemeriksaan fundus, terlihat darah subretina, eksudat, lesi koroid hijau abu-abu di
makula. Neovaskularisasi koroid merupakan perkembangan abnormal dari
pembuluh darah pada epitel pigmen retina pada lapisan retina. Pembuluh darah ini
bisa mengalami perdarahan dan menyebabkan terjadinya scar yang dapat
menghasilkan kehilangan pusat penglihatan. Scar ini disebut dengan Scar
Disciform dan biasanya terletak di bagian sentral dan menimbulkan gangguan
penglihatan sentral permanen.

2.3.3 Patofisiologi
ARMD merupakan penyakit retina yang diturunkan secara autosomal dominan
dan juga dipengaruhi oleh faktor genetik maupun faktor lingkungan. Patofisiologi
pasti dari ARMD masih relatif sulit untuk dipahami, dimana beberapa penelitian
terbaru meningkatkan pemahaman kita mengenai ARMD. Penelitian-penelitian terbaru
memusatkan perhatian pada kompleks epitel pigmen retina, fotoreseptor dan membran
bruch. Epitel pigmen retina merupakan lapisan metabolisme aktif yang menyokong
fungsi dari fotoreseptor retina. Sel pada pigmen ini memfagositosis lapisan luar dari

11
sel fotoreseptor dan mengganti ulang secara bertahap serta memproses bahan-bahan
metabolisme yang digunakan untuk fungsi fotoreseptor.

Seiring dengan penuaan sel pigmen retina, bahan-bahan residual


intraseluler yang mengandung lipofusin bertumpuk pada sel ini. Diperkirakan
lipofusin merupakan hasil degradasi yang tidak sempurna dari bahan-bahan residual
yang terperangkap pada lisosom sekunder.8 Lipofusin mengandung sedikitnya sepuluh
fluorofor yang berbeda (atom flouresen pada molekul). Eldred dan Lasky (19930
mengidentifikasi A2E (N-retinyledin-N-retylethanolamin) sebagai flourofor utama
yang dihasilkan melalui reaksi Schiff-base dari etanolamin dan aldehid vitamin A.
Kedua substansi ini banyak terdapat di lapisan luar retina. Telah dilaporkan A2E
memiliki efek toksik melalui beberapa mekanisme molekular. A2E menginduksi
inhibisi enzim lisosom dengan menghambat pompa proton tergantung ATP pada
lisosom yang bakhirnya kan meningkatkan pH melebihi pH lisosomal yang optimal
untuk aktivitas enzim lisosom. Efek lebih lanjut dari A2E adalah efek detergen akibat
peningkatan tajam konsentrasi A2E yang menginduksi disintegrasi membran-
membran pada organel khususnya lisosom dan mitokondria. Akhirnya, A2E
menyebabkan efek fototoksik. 14

12
Gambar 2.5 Efek Molekular yang diinduksi oleh lipofusin-A2E pada sel pigmen retina
Sumber: (Holz G., Frank, Danielle Pauleikhoff, Richard.F, Spaide, dan Alan.C.Bird.2004. Age Related
Macular Degeneration. Germany: Springer).

Pada sel pigmen retina normal, bahan –bahan residu akan dibuang melalui
pembuluh darah koriokapiler, keadaan dimana terjadi penurunan fungsi dari sel
pigmen ini akan menyebabkan deposisi bahan-bahan tersebut di antara lapisan pigmen
retina dengan membran bruch, yang tampak sebagai drusen. Peneliti menemukan
bahwa koriokapiler pada pasien-pasien ARMD lebih tipis sehingga meningkatkan
kemungkinan penurunan klirens dari bahan-bahan ekstraseluler yang berperan dalam
pembentukan drusen. Drusen terdiri dari vibronectin (plasma multifungsional dan
matriks ekstraseluler), lemak, protein terkait inflamasi, amiloid terkait protein, dan
bahan-bahan lain. Penelitian terbaru menyatakan bahwa pembentukan drusen dapat
menginisiasi terjadinya kaskade inflamasi yang berperan pada progresi ARMD.
Penelitian terhadap gen menunjukkan bahwa jalur komplemen memiliki peranan
primer. Hubungan yang kuat anatara ARMD dengan gen single nucleotide

13
polymorfism in the complement factor H (CFH) dan PLEKHA serta LOC387715.
Berlawanan dengan faktor komplemen B yang memiliki efek protektif.
CFH merupakan inhibitor jalur komplemen, dimana abnormalitas dari
CFH akan mengaktivasi kaskade komplemen dan selanjutnya respon inflamasi pada
jaringan subretinal. Berdasarkan penelitian, drusen mengandung komponen inflamasi
dari kaskade ini. Sebagai tambahan, merokok akan menurunkan kadar CFH yang
secara signifikan meningkatkan resiko terjadinya ARMD dibandingkan dengan orang
yang tidak merokok. Pembentukan drusen bukan hanya mengindikasikan adanya
disfungsi lapisan pigmen retina tetapi juga dapat menunjukkan bahwa terdapat tanda
hilangnya lapisan tersebut dan lapisan fotoreseptor retina. Degenerasi lanjut dari
lapisan pigmen ini dapat menyebabkan disfungsi membran bruch yang memisahkan
koriokapiler dari lapisan pigmen retina. Kerusakan pada membran bruch akan
menyebabkan peningkatan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang dapat
menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah koroid abnormal (neovaskularisasi
koroid) di bawah lapisan pigmen retina. Pembuluh-pembuluh darah ini dapat bocor
dan menimbulkan perdarahan dan lama- kelamaan akan menyebabkan terjadinya skar.
Stadium akhir dari ARMD eksudatif adalah terbentuknya skar disciform pada makula
yang menyebabkan kebutaan.

Gambar 2.6 Patogenesis ARMD eksudatif

Sumber: (Br J Ophtalmology 2008;92:449-450 doi:10.1136/bjo.2007.131581)

14
2.3.4 Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien dengan ARMD sering mengeluhkan penurunan penglihatan sentral
penglihatan yang tidak disertai nyeri yang dpat terjadi secara akut ataupun
perlahan-lahan. Pasien yang mengalami perdarahan subretinal dari
neovaskularisasi ARMD pada ARMD eksudatif biasanya penurunan penglihatan
terjadi secara akut. Selain itu, dapat terjadi distorsi penglihatan (objek-objek
terlihat salah ukuran atau bentuk, metamorfosia), garis-garis lurus mengalmi
distorsia terutama di bagian pusat penglihatan, kehilangan kemampuan untuk
membedakan warna secara jelas, ada daerah kosong atau gelap di pusat
penglihatan (skotoma), kesulitan membaca dimana kata-kata tampak kabur atau
berbayang.
2. Pemeriksaan fisik
ARMD biasanya terjadi bilateral tetapi sering asimetris. Ketajaman penglihatan
akan menurun. Test yang dapat dilakukan adalah test Amsler grid dan tes
penglihatan warna. Test Amsler Grid, dimana pasien diminta suatu halaman uji
yang mirip dengan kertas milimeter grafis untuk memeriksa luar titik yang
terganggu fungsi penglihatannya. Kemudian retina diteropong melalui lampu
senter kecil dengan lensa khusus (lihat lampiran 1). Test penglihatan warna, untuk
melihat apakah penderita masih dapat membedakan warna, dan tes-tes lain untuk
menemukan keadaan yang dapat menyebabkan kerusakan pada makula.
3. Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada dari hasil laboratorium yang dapat menegakkan diagnosa dari AMD.8
4. Angiografi flouresens (Flourescein Angiography, FA)
FA merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya
kelainan pada makula oleh karena AMD. Pada pemeriksaan ini, zat warna
flouresens akan diinjeksikan secara intravenous dan foto serial dari retina akan
diambil seiring perjalanan zat tersebut melalui koroid dan pembuluh darah retina.
Abnormalitas yang dapat tampak adalah adanya daerah dimana zat tersebut
berkumpul (hiperfluoresens) dan daerah dimana zat tersebut tidak tampak
(hipofluoresens).

15
Gambar 2.7 Angiografi Flouresens

Lesi hiperfluoresens:
a. Drusen lunak dan keras
b. Atrofi lapisan pigmen retina
c. Robekan lapisan pigmen retina (tear RPE)
d. CNV (Choroidal Neovascularisation)
e. Serous PED (Pigment Endohelial Detachment)
f. Fibrosis subretinal
g. Skar laser

Lesi hipofluoresens2:
a. Perdarahan
b. Lemak
c. Proliferasi pigmen

16
Atrofi geografik skar laser

Detachment RPE
Tear RPE

Lemak Skar disciform

Perdarahan pada retina Exudative retinal Detachment

Gambar 2.8 Angiografi Flouresens pada AMD

Sumber: (Clinical Ophtamology, A Systematic Approach. 2011. China: Elsevier)

17
5. Indocyanine green angiography (ICGA)17
ICGA dapat digunakan untuk mengidentifikasi CNV yang tampak sebagai daerah
hiperflouresens fokal baik ‘hot spot’ atau ‘plaque’, pemeriksaan ini jauh lebih
baik dibandingkan dengan FA karena beberapa alasan yaitu:
a. Meningkatkan sensitivitas dalam mendeteksi CNV dimana CNV dengan
adanya perdarahan densitas rendah, cairan atau pigmen yang kurang tampak
pada FA
b. Membedakan CNV dengan diagnosis lain yang memiliki presentasi yang
sama terutama retinal angiomatous proliferation (RAP) daan central serous
chorioretinopathy (CSR).
c. Identifikasi vascular feeder complexes yang menyuplai daerah CNV

Gambar 2.9 Indocyanine green angiography pada AMD

(Sumber: Retina and Vitreous: Age Related Macular Degeneration. 2011-2012. American Academy of
Ophtalmology)

6. Optical coherence tomography (OCT)


Ketebalan retina dapat diukur secara akurat dengan Optical Coherence
Tomography (OCT). Instrumen yang dikembangkan ini memungkinkan untuk

18
analisa topografi irregularitas dalam bentuk permukaan retina dan merupakan
teknik non-invasif untuk serta mengukur ketebalan retina dalam bagian kecil dari
millimeter. Teknik bekerja dengan memantulkan cahaya dari retina yang
kemudian diproses oleh sebuah computer yang mengukur perbedaan densitas
cahaya yang dipantulkan.
Pencitraan OCT menampakkan cairan subretina dan intraretina, serta
membrane neovaskular koroid. Angiografi fluoresen harus dikerjakan pada semua
pasien degenerasi makula terkait usia yang baru mengalami penurunan
penglihatan atau distorsi karena angiografi merupakan pemeriksaan angiogradi
yang paling sensitive untuk mendeteksi neovaskularisasi koroid. Angiografi juga
dapat memandu pemulihan tatalaksana.
OCT sangat membantu dalam menentukan adanya cairan subretinal dan
dalam menentukan tingkat ketebalan retina. OCT menawarkan kemampuan unik
untuk menunjukkan gambaran cross sectional dari retina yang tidak mungkin
dengan teknologi pencitraan lain dan dapat membantu dalam mengevaluasi
respon dari retina dan RPE terhadap terapi dengan memungkinkan pengamatan
terhadap perubahan struktural secara akurat.

Gambar 2.10 High Defenition Optical coherence tomography AMD noneksudatif

(Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1223154-overview.)

19
Gambar 2.10 High Defenition Optical coherence tomography AMD eksudatif
(Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1223154-overview.)

2.3.7 Tatalaksana
Tatalaksana AMD noneksudatif meliputi edukasi dan follow up, mikronutrien,
perubahan gaya hidup, dan laser fotokoagulasi.2,6,8 Edukasi dan follow up merupakan
hal yang penting untuk mencegah progresi AMD menjadi lebih lanjut. Penggunaan
Amsler grid penting untuk tes penglihatan pada pasien dan dilakukan setiap hari.
Amsler grid adalah suatu tes dengan garis-garis berwarna hitam pada latar putih
dengan titik fiksasi di tengah. Setiap mata diperiksa berganti-gantian dengan
menggunakan kacamata baca untuk mengevaluasi adanya metamorfosia yang baru,
skotoma, dan perubahan penglihatan sentral. Setiap perubahan pada Amsler grid harus
dievaluasi.
Mikronutrien, beberapa penelitian menunjukkan kegunaan dari konsumsi
mikronutrien. The Age-Related Eye Diseases Study (AREDS) telah melakukan
penelitian pada pasien dengan AMD noneksudatif ringan dan sedang yang diberikan
suplemen antioksidan (15 mg betakaroten, 500 mg vitamin C, vitamin E 400 IU, seng
80 mg, dan tembaga 2 mg) dengan hasil adanya penurunan progresi AMD menjadi
AMD lanjut walaupun efek tersebut kecil. Data menunjukkan kegunaan lain yaitu
mencegah AMD non eksudatif menjadi eksudatif. Penelitian lain oleh Rotterdam
Study yang mencari hubungan asupan antioksidan dengan penurunan resiko menjadi

20
AMD pada lebih dari 4000 orang yang berusia 55 tahun atau lebih di Belanda. Pada
penelitian ini asupan tinggi betakaroten, vitamin C, vitamin E, dan seng berhubungan
dengan penurunan resiko AMD pada orang usia tua.
Berdasarkan American Academy of Ophtalmology, suplemen mikronutrien
yang disarankan adalah vitamin C 500 mg, vitamin E 400 IU per hari, betakaroten 15
4
mg, seng 80 mg, dan tembaga 2 mg. Suplemen lain adalah omega-3 long chain
polyunsaturated fatty acids (LCPUFAs:docohexaechonoic acid [DHA], dan
eicosapentaenoic acid [EPA]).

Tabel 1. Suplemen mikronutrien pada AMD


(Sumber: http://one.aao.org/CE/PracticeGuideline/PPP_Content.aspx?cid=f413917a-
8623-4746-b441-f817265eafb4).

Perubahan gaya hidup, beberapa penelitian menunjukkan bahwa gaya


hidup berperan dalam terjadinya AMD yaitu konsumsi makanan tinggi lemak dan
merokok. Pada pasien AMD disarankan untuk menurunkan berat badan dan berhenti
merokok.2,8
Laser fotokoagulasi, terapi ini memiliki manfaat yang kurang bermakna,
hal ini telah diteliti oleh National Eye Institute sponsored the complications of Age-
Related Macular Degeneration Prevention Trial (CAPT) yang menggunakan 1052
pasien pada 22 klinik mata.
Berbeda dengan tatalaksana AMD noneksudatif, pada AMD eksudatif
diterapi dengan medikamentosa, thermal laser photocoagulation, photodynamic
therapy, dan terapi pembedahan. Terapi medikamentosa yang menjadi sorotan

21
sekarang adalah anti VEGF seperti Pegaptanib sodium, Ranibizumab, Bevacizumab,
Aflibercept.
Pegaptanib sodium merupakan antagonis VEGF selektif yang
menstabilkan penglihatan dan mengurangi hilangnya ketajaman penglihatan serta
menurunkan progresi terjadinya kebutaan. VEGF menyebabkan terjadinya
angiogenesis dan meningkatkan permeabilitas serta inflamasi, ketiga hal ini berperan
dalam neovaskularisasi pada AMD eksudatif. FDA telah mencanangkan penggunaan
obat anti VEGF untuk AMD eksudatif tahun 2004. Pegaptanib sodium diberikan
secara intravitreal dengan dosis 0.3 mg intravitreous selama 6 minggu.
Ranibizumab merupakan rekombinan IgG1-kappa isotype monoclonal
antibody fragment yang berkerja dengan mengikat VEGF-A sehingga mencegah
VEGF berikatan dengan reseptornya (seperti VEGFR1, VEGFR2) pada permukaan sel
endotel sehingga mencegah proliferasi, kebocoran vaskular, dan pembentukan
pembuluh darah baru. Ranibizumab diberikan secara intravitreal dengan dosis 0,5 mg
setiap bulan dan dapat diberikan setiap 3 bulan kemudian setelah 4 suntikan.
Bevacizumab merupakan monoklonal antibodi dari murin yang
menghambat angiogenesis dengan menghambat VEGF. Secara farmakologi ekonomi,
obat ini lebih menguntungkan karena memiliki harga yang lebih murah. The National
Eye Institute melakukan penelitian yang membandingkan keamanan dan kegunaan dari
kedua obat ini, dan didapatkan bahwa baik keamanan dan kegunaan pada kedua obat
ini sama- sama menimbulkan meningkatkan ketajaman penglihatan setelah 1 tahun.
Bevacizumab diberikan secara intravitreal dengan dosis 1.25 mg (dalam larutan
0.05mL ) setiap bulan.
Aflibercept berikatan dan mencegah aktivasi VEGF dan PIGF (placental
growth factor). Aktivasi VEGF-A dan PIGF akan menyebabkan terjadinya
neovaskularisasi. Aflibercept diberikan secara intravitreal dengan dosis 2 mg (0,05 ml)
setiap bulan selama 3 bulan pertama, dan 2 mg setiap 2 bulan.
Thermal laser photocoagulation biasanya digunakan untuk CNV diluar
fovea dan untuk terapi beberapa varian dari AMD eksudatif termasuk retinal
angiomatous proliferation (RAP) dan polypoidal choroidal vasculopathy. Walaupun
data dari MPS untuk subfoveal CNV menyatakan bahwa laser fotokoagulasi lebih baik

22
dari observasi tetapi kebanyakan dokter tidak melakukannya karena menginduksi
skotoma sentral iatrogenik.
Photodynamic therapy(PDT), untuk mencegah skotoma pada subfoveal
CNV, para dokter beralih ke PDT. Setalh menginjeksikan tinta fotosensitif dan
menunggu sampai tinta untuk mengkonsentrasi CNV patologis, fotosensitisiser akan
terstimulasi oleh cahaya dengan panjang gelombang spesifik yang di arahkan ke CNV.
Tinta akan bereaksi dengan air untuk menghasilkan oksigen dan radikal bebas
hidroksil yang kemudian akan menginduksi oklusi dari pembuluh darah patologis
akibat aktivasi masif dari platelet dan thrombosis. Tinta yang dapat digunakan adalah
verteporfirin. Verteporfirin merupakan porfirin yang dimodifikasi dengan tingkat
absorpsi pada 689 nm yang diberikan secara intravena sampai 10 menit.

2.3.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding AMD noneksudatif adalah sebagai berikut:
a. Central Serous Retinopathy (CSR) dapat dibedakan dengan AMD noneksudatif
dengan usia di bawah 50 tahun, apabila lebih dari 50 tahun, CSC dibedakan
dengan tidak adanya drusen, atrofi lapisan pigmen retina (RPE), dan serous
detachment RPE multipel.
b. Pattern dystrophy of RPE dapat dibedakan dengan AMD noneksudatif dengan
adanya pewarnaan kuning lambat pada pemeriksaan FA dan bisa pada pasien
muda.
c. Toksisitas obat seperti klorokuin yang dapat dibedakan dengan AMD noneksudatif
dengan adanya riwayat penggunaan obat dan tidak dijumpai adanya drusen ukuran
besar.
Diagnosis banding AMD eksudatif adalah sebagai berikut:
a. Makroaneurisma arteri retina
b. Vitelliform detachments
c. Polypoidal choroidal vasculopathy
d. Central serous chorioretinopathy
e. Inflammatory conditions
f. Small tumor such as choroidal melanoma

23
2.3.9 Prevensi
Beberapa prevensi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya AMD adalah
dengan tidak merokok baik aktif maupun pasif, melindungi mata dari paparan sinar
matahari dengan menggunakan kacamata hitam ataupun topi, mengkonsumsi makanan
yang mengandung antioksidan yang tinggi, mengkonsumsi ikan 1-2 ekor per hari,
mengkonsumsi sayuran hijau seperti bayam setiap hari, konsumsi sumplemen
tambahan yang mengandung asam folat 2,5 mg/hari, piridoksin 50 mg/hari, dan
vitamin B12 1 mg/hari.
2.3.10 Prognosis
Perkembangan kehilangan penglihatan pada AMD noneksudatif bervariasi dan harus
dievaluasi secara individual. Gambaran oftalmoskopik dari makula tidak berkorelasi langsung
dengan derajat kehilangan penglihatan. Keterlibatan foveal tampaknya terjadi di awal
proses atrofik, tetapi interval rata-rata dari pengamatan pertama hingga kebutaan adalah 9 atau
10 tahun.12 Prognosis untuk AMD noneksudatif secara signifikan lebih baik daripada
prognosis untuk AMD eksudatif. Pasien mungkin mengalami perburukan ketajaman
penglihatan tapi terjadi secara perlahan-lahan.
The Age-Related Eye Disease Study (AREDS) membuat skala berdasarkan ada atau
tidaknya kelainan retina pada masing-masing mata yaitu 2:
a. Terdapat satu atau lebih drusen ukuran besar (1 poin)
b. Terdapat gangguan pigmen (1 poin)
c. Pada pasien tanpa drusen ukuran besar, terdapat drusen ukuran sedang (1 poin)
d. Terdapat neovaskular AMD (2 poin)
Faktor-faktor risiko dijumlahkan pada kedua mata dan dijumpai angka 0-4 yang dapat
digunakan untuk perkiraan resiko untuk menjadi AMD lanjut dalam 5 -10 tahun.
Risiko 5 tahun Risiko 5 tahun
mendatang mendatang
0 faktor 0,5 % 1%
1 faktor 3% 7%
2 faktor 12% 22 %
3 faktor 25 % 50 %
4 faktor 50 % 67 %

24
BAB III
KESIMPULAN

Degenerasi makula terkait usia sebagai suatu keadaan dimana hilangnya refleks
makular, dispersi dan penggumpalan dari pigmen retina, dan terbentuknya drusen yang
berhubungan dengan ketajaman penglihatan.6 Berdasarkan WHO perkiraan pada tahun 2002, salah
satu penyebab terbanyak kebutaan di dunia adalah degenerasi makula terkait usia yang menempati urutan
ke-4 sebesar 8,7%. Degenerasi makula terkait usia (Age related Macular Degeneration, ARMD)
merupakan penyebab utama hilangnya ketajaman penglihatan pada satu atau dua mata pada orang
berusia di atas 50 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan 15 juta warga negara Amerika Utara menderita
ARMD. Prevalensi ARMD adalah 85-90% pada ARMD non eksudatif dan 10 – 15 % pada eksudatif
ARMD. Di Indonesia sendiri, hingga saat ini belum ada data pasti tentang insidens dan angka morbiditas.
Etiologi pasti dari degenerasi makula masih belum jelas, tetapi terdapat berberapa
faktor risiko terjadinya degenerasi makula terkait usia, dimana faktor risiko yang telah banyak
diteliti adalah usia, ras, riwayat keluarga, dan merokok, sedangkan beberapa faktor risiko yang
mungkin lainnya adalah jenis kelamin, status sosioekonomi, warna iris, densitas pigmen makula,
katarak dan operasinya, gangguan refraksi, dll.
Degenerasi makula dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu degenerasi makula
eksudatif dan degenerasi makula noneksudatif. 90 % dari degenerasi makula adalah degenerasi
makula noneksudatif yang ditandai dengan adanya drusen, yang merupakan endapan putih
kuning, bulat, diskret, dengan ukuran bervariasi di belakang epitel pigmen dan tersebar di
seluruh makula dan kutub posterior. Sedangkan 10 % lainnya adalah makula degenersi eksudatif
yang sering ditandai dengan adanya neovaskularisasi dari koroid.
Degenerasi makula dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis seperti pandangan
mata kabur, skotoma, metamorphosia, kehilangan ketajaman penglihatan, kehilangan
kemampuan membaca dan pada degenerasi makula eksudatif kehilangan penglihatan dapat
terjadi secara tiba-tiba. Pemeriksaan tambahan yang mungkin berguna adalah Amsler grid,
angiografi flouresen, Indocyanine green angiography (ICGA), dan Optical coherence
tomography.

25
Tatalaksana pada degenerasi makula tergantuk dari klasifikasi noneksudatif
maupun eksudatif. Tatalaksana ARMD noneksudatif meliputi edukasi dan follow up,
mikronutrien, perubahan gaya hidup, dan laser fotokoagulasi. Berbeda dengan tatalaksana
ARMD noneksudatif, pada ARMD eksudatif diterapi dengan medikamentosa, thermal laser
photocoagulation, photodynamic therapy, dan terapi pembedahan. Terapi medikamentosa yang
menjadi sorotan sekarang adalah anti VEGF seperti Pegaptanib sodium, Ranibizumab,
Bevacizumab, Aflibercept. Prognosis untuk ARMD noneksudatif secara signifikan lebih baik
daripada prognosis untuk ARMD eksudatif. Pasien mungkin mengalami perburukan ketajaman
penglihatan tapi terjadi secara perlahan-lahan.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Jenny, Rahmalita. 2011. Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Retina Di Kabupaten


Langkat. Available at: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/22961 [Accesed on
August, 10]
2. Regillo, Carl D. 2011-2012. Retina and Vitreous : Age Related Macular Degeneration.
American Academy of Ophtalmology.
3. Elvioza, dkk. Prevalensi dan Karakteristik Faktor Risiko Pada Kejadian Age Related
Macular Degeneration di Jakarta Timur. Available at:
http://mru.fk.ui.ac.id/index.php?uPage=profil.profil_detail&smod=profil&sp=public&idp
enelitian=1498[Accesed on August, 10]
4. American Academy of Ophtalmology. 2008. Age Related Macular Degeneration PPP.
Available at: http://one.aao.org/CE/PracticeGuidelines/PPP_Content.aspx?cid=f413917a-
8623-4746-b441-f817265eafb4[Accesed on August, 10]
5. Flethcer, Emily dan Victor Chong. 2007. Retina. In Oftalmologi Umum Vaughan dan
Asbury. Mc Graw Hill.
6. Lim, Jenifer. 2008. Age Related Macular Degeneration Second Edition. New York:
Informa Healthcare USA, Inc.
7. Lang K, Gerrald. 2000. Ophtalmology : Age Related Macular Degeneration. New York:
Georg Thieme Verlag.
8. Maturi, Raj K. 2012. Nonexudative ARMD. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1223154-overview. [Accesed on August, 10]
9. Prall, Ryan. 2012. Exudative ARMD. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1226030-clinical. [Accesed on August, 10]
10. Effendi, Raden Gunawan. 2008. Idiophatic Macular Hole. Jurnal Oftalmologi Indonesia
6(3): 158-168.
11. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC.
12. Cavallerano, Anthony, John P.Cummings, Paul B.Freeman, dkk. 2004. Care of the
Patient wih Age Related Macular Degeneration. American Optometric Association.
13. Erry.2009. Karakteristik Klinik Penderita ARMD di Rumah Sakit Mata Cicendo
Bandung. CDK 36(1): 28-30.
14. Holz G., Frank, Danielle Pauleikhoff, Richard.F. Spaide, dan Alan.C.Bird.2004. Age
Related Macular Degeneration. Germany: Springer.
15. James, Bruce, Chris Chew, Anthony Bron. Lecture Note: Ophtalmology. Blackwell
Publishing.
16. American Macular Degeneration Foundation. Amsler Chart to Test Your Sight.
Available at: http://www.macular.org/chart.html [Accesed on August, 10]
17. Kanski, Jack J dan Brad Bowling. 2011.Clinical Ophthalmology, A Systematic
Approach. China: Elsevier.

27

Anda mungkin juga menyukai