Anda di halaman 1dari 51

CASE REPORT

HIPERTENSI URGENSI

Oleh:
dr. Adelia Merdiana Dewi

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DEMANG SEPULAU RAYA


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
LAMPUNG TENGAH
2017
BAB I

PENDAHULUAN

Sampai saat ini, hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Betapa tidak,

hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer

kesehatan. Hal itu merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar

25,8%, sesuai dengan data Riskesdas 2013.

Di samping itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat meskipun obat-obatan yang efektif

banyak tersedia. Definisi Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan

darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua

kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang.

Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten) dapat

menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan

otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang

memadai. Banyak pasien hipertensi dengan tekanan darah tidak terkontrol dan jumlahnya

terus meningkat. Oleh karena itu, partisipasi semua pihak, baik dokter dari berbagai bidang

peminatan hipertensi, pemerintah, swasta maupun masyarakat diperlukan agar hipertensi

dapat dikendalikan (Depkes, 2006).

Menurut American Heart Association {AHA}, penduduk Amerika yang berusia diatas 20

tahun menderita hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa, namun hampir sekitar

90-95% kasus tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi merupakan silent killer dimana gejala

dapat bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama dengan gejala penyakit

lainnya. Gejala-gejalanya itu adalah sakit kepala/rasa berat di tengkuk, mumet (vertigo),
jantung berdebar-debar, mudah Ieiah, penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan

mimisan ( Depkes, 2006).

Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18

tahun ke atas tahun 2007 di Indonesia adalah sebesar 31,7%. Menurut provinsi, prevalensi

hipertensi tertinggi di Kalimantan Selatan (39,6%) dan terendah di Papua Barat (20,1%).

Sedangkan jika dibandingkan dengan tahun 2013 terjadi penurunan sebesar 5,9% (dari 31,7%

menjadi 25,8%). Penurunan ini bisa terjadi berbagai macam faktor, seperti alat pengukur

tensi yang berbeda, masyarakat yang sudah mulai sadar akan bahaya penyakit hipertensi.

Prevalensi tertinggi di Provinsi Bangka Belitung (30,9%), dan Papua yang terendah (16,8)%).

Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga

kesehatan sebesar 9,4 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum obat

sebesar 9,5 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri (Kemenkes, 2007).
BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTIFIKASI PASIEN

Nama Lengkap : Ny. Murni

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 43 tahun

Suku Bangsa : Lampung

Status Perkawinan : Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Gunung Sugih

Tanggal masuk : 15-7-2017

ANAMNESIS

Keluhan Utama : Nyeri kepala yang memperberat sejak 1 hari yang lalu.

Keluhan tambahan : Nyeri ulu hati, mual dan nafsu makan menurun.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien perempuan, usia 43 tahun datang ke UGD RSUD Demang Sepulau Raya dengan

keluhan utama nyeri kepala. Nyeri kepala dirasakan kurang lebih sudah 1 minggu sebelum

masuk rumah sakit dan diperberat 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri kepala dirasakan

diseluruh bagian kepala. Dan dirasakan nyeri sampai ke bagian leher. Keluhan ini sudah

sering dirasakan pasien. Keluhan ini dapat diperberat jika pasien beraktivitas dan diperingan
ketika pasien istirahat. Selain iu pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati, mual dan nafsu

makan menurun. Mual dirasakan ketika sehabis makan. Tanpa disertai muntah.

Pasien tidak merasakan nyeri kepala berputar, nyeri kepala sebelah dan pandangan kabur.

Keluhan lemas pada anggota gerak juga tidak ada. Tidak ada keluhan buang air kecil, buang

air kecil lancar warna kuning jernih. Buang air besar pula tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Hipertensi (+) tanpa pengobatan teratur.

Riwayat Penyakit Keluarga

Dari riwayat penyakit dalam keluarga terdapat keluarga yang menderita hipertensi,

Berat Badan : 72 kg

Riwayat Makanan

Frekwensi /hari : 2-3x sehari

Jumlah /hari : 3 piring sehari dengan porsi sedikit

Variasi /hari : bervariasi

Nafsu makan : Menurun sejak sakit

Pendidikan

( ) SD ( ) SLTP (√) SLTA Sekolah Kejuruan ( ) Akademi ( ) Kursus

PEMERIKSAAN JASMANI

Pemeriksaan Umum

Tinggi badan : 162 cm

Berat badan : 72 kg

Tekanan darah : 240/116 mmHg


Nadi : 112 x/menit, tegangan dan isi cukup

Pernapasan (frek. & tipe) : 24 x/menit

Suhu : 36,5 0C

Keadaan gizi : berat badan lebih (IMT = 27,43)

Kesadaran : Compos Mentis

Sianosis : -

Edema umum : -

Cara berjalan : normal

Mobilitas (aktif/pasif) : aktif

ASPEK KEJIWAAN

Tingkah laku : Wajar

Alam perasaan : Biasa

Proses pikir : Wajar

KULIT

Warna : asianosis

Pertumbuhan rambut : warna hitam, tidak mudah rontok

Pembuluh darah : tidak terlihat

Suhu raba : afebris

Lembab/kering : lembab

Turgor : baik

Ikterus : tidak

Edema : tidak

KELENJAR GETAH BENING

Tidak teraba pembesaran


KEPALA

Ekspresi wajah : wajar

Permukaan wajah : normal

Simetri muka : simetris

Rambut : hitam

MATA

Exopthalmus : -

Enopthalmus : -

Kelopak : normal

Lensa : jernih

Konjungtiva : anemis -/-

Sklera : ikterik -/-

TELINGA

Normal

MULUT

Gigi geligi dan gusi : tidak ada caries

Faring : tidak hiperemis

Lidah : tidak kotor

LEHER

Tekanan Vena Jugularis (JVP) : tidak ada peningkatan

Kelenjar tiroid : tidak teraba pembesaran

Kelenjar limfe : tidak teraba pembesaran

DADA

Bentuk : simetris

Pembuluh darah : normal


Buah dada : normal

PARU-PARU DEPAN

Inspeksi Simetris

Palpasi fremitus taktil dan vokal kiri = kanan

Perkusi Kiri : Sonor

Kanan : Sonor

Auskultasi Kiri : vesikuler (+), wheezing (-), rhonki (-)

Kanan : vesikuler (+), wheezing (-), rhonki (-)

BELAKANG

Inspeksi Simetris

Palpasi Kiri : fremitus taktil dan vokal kiri > kanan

Perkusi Kiri : sonor

Kanan : sonor

Auskultasi Kiri : vesikuler (+), wheezing (-), rhonki (-)

Kanan : vesikuler (+), wheezing (-), rhonki (-)

JANTUNG

Inspeksi : ictus cordis terlihat di linea midclaviculasinistra ICS 5

Palpasi : ictus cordis teraba di linea midclavicula sinistra ICS 5

Perkusi

batas pinggang jantung : linea parasternal sinistra ICS 3

batas kanan jantung : linea parasternal dextra ICS 5

batas kiri jantung : linea midclavicula sinistra ICS 5

Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)


ABDOMEN

Inspeksi : cembung

Palpasi

Dinding perut : nyeri tekan epigastrium (+),

Hati : dalam batas normal

Limpa : tidak teraba

Ginjal : ballotement (-), nyeri cva (-)

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

ALAT KELAMIN (tidak ada indikasi)

ANGGOTA GERAK

Lengan Kanan Kiri

Otot tidak ada kelainan tidak ada kelainan

Tonus : normal normal

Massa : tidak teraba tidak teraba

Sendi : normal, nyeri(-) normal, nyeri(-)

Gerakan : normal normal

Tungkai dan Kaki

Luka : tidak ditemukan

Varises : (-)

Otot (tonus dan massa) : normotonus

Sendi : nyeri sendi (-)

Gerakan : aktif

Edema : (-) / (-)


REFLEKS

Tidak ada kelainan

LABORATORIUM

Hb : 12.8 g/dL

Ht : 40 %

Leukosit : 5.300 /µl

Eritrosit : 4,6 x 106/µl

MCV : 87 fl

MCH : 27 pg

MCHC : 31 %

Ur : 26 mg/dl

Cr : 0,3 mg/dl

GDS : 126 mg/dl

Kolesterol : 171 mg/dl

DIAGNOSIS

Hipertensi Urgensi + Dyspepsia Sindrom

DIAGNOSIS BANDING

Hipertensi Emergensi + Dyspepsia Sindrom

PEMERIKSAAN PENUNJANG

EKG dalam batas normal


PENATALAKSANAAN

Konsultasi dokter spesialis penyakit dalam diberikan terapi :

- Ivfd RL 20 Tpm (Mikro)

- Oksigen 2L/Menit (kalau perlu)

- Captopril Tab 25mg 2x1

- Diltiazem Tab 3x1

- Inj. Omeprazole Vial / 24 Jm

- Inj. Ondansetron Amp / 8 Jm


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Hipertensi

Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas tekanan

darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau tidaknya

tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolik. Bedasarkan JNC (Joint National

Comitee) VII, seorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik 140 mmHg

atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih (Chobaniam, 2003). Hipertensi

didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140

mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi

didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg

(Sheps, 2005).

2. Etiologi Hipertensi

a. Hipertensi essensial

Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologis

yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial. Penyebab

hipertensi meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi

kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah

terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk

faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan

lain-lain (Nafrialdi, 2009). Pada sebagian besar pasien, kenaikan berat badan yang

berlebihan dan gaya hidup tampaknya memiliki peran yang utama dalam
menyebabkan hipertensi. Kebanyakan pasien hipertensi memiliki berat badan yang

berlebih dan penelitian pada berbagai populasi menunjukkan bahwa kenaikan berat

badan yang berlebih (obesitas) memberikan risiko 65-70 % untuk terkena hipertensi

primer (Guyton, 2008).

b. Hipertensi sekunder

Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari penyakit

komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada

kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit

renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik

secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat

hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Oparil, 2003). Hipertensi yang

penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit

misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes dan kelainan sistem saraf pusat (Sunardi,

2000).

3. Klasifikasi Tekanan Darah

Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa berdasarkan rata-rata

pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis (Tabel 1).

Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal tekanan darah

sistolik (TDS)

Tabel 1
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang

sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya kelainan organ

target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120 mmHg, dikategorikan sebagai

hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi (American Diabetes Association, 2003).

 Hipertensi emergensi / Darurat adalah peningkatan tekanan darah sistolik >180

mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ target,

sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam) untuk

mencegah kerusakan organ lebih lanjut. Contoh gangguan organ target akut antara

lain, encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai edema

paru, dissecting aortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil dan eklampsia atau

hipertensi berat selama kehamilan. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera

mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi intravena.

(Depkes 2006,).

 Hipertensi Urgensi / Mendesak adalah Peningkatan tekanan darah seperti pada

hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan organ target. Pada keadaan ini

tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan memberikan obat-obatan

anti hipertensi oral.

Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis antara lain:

 Hipertensi Refrakter adalah respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan

darah >200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple

drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.

 Hipertensi Akselerasi adalah peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg

disertai dengan kelainan funduskopi. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase

maligna.
 Hipertensi Maligna adalah penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah

diastolik > 120-130 mmHg dan kelainan funduskopi disertai papil edema,

peningkatan tekanan intrakranial, kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal

akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapatkan pengobatan. Hipertensi

maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial ataupun sekunder

dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah normal.

 Hipertensi Ensefalopati adalah kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai

dengan keluhan sakit kepala yang hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat

menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut diturunkan.

4. Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat

vasomotor pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis

yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke

ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam

bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada

titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut saraf

pascaganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norpinefrin

mengakibatkan kontriksi pembuluh darah (Brunner, 2002).

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh

darah terhadap rangsangan vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif

terhadap norpinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa

terjadi (Corwin, 2005). Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang

pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang

mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresikan


kortisol dan steroid lainnya yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh

darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal dapat

menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukkan angiotensin I yang

kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya

merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi

natrium dan air oleh tubulus ginjal sehingga menyebabkan peningkatan volume

intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi

(Brunner, 2002). Perubahaan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah

perifer bertanggung jawab pada perubahaan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.

Perubahaan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan

penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang menyebabkan penurunan

distensi dan daya regang pembuluh darah. Akibat hal tersebut, aorta dan arteri besar

mengalami penurunan kemampuan dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa

oleh jantung (volume sekuncup) sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung dan

peningkatan tahanan perifer (Corwin, 2005).


5. Tanda dan Gejala Hipertensi

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi,

tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat,

penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil

(edema pada diskus optikus). Menurut Price, gejala hipertensi antara lain sakit kepala

bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada berdebar-debar,

lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing (Price, 2005). Gejala-gejala penyakit yang

biasa terjadi baik pada penderita hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan

darah yang normal hipertensi yaitu sakit kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan

hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat,

berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang

pernah dijumpai meliputi gangguan penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan

gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah

otak yang mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga koma (Cahyono,

2008). Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah

mengalami hipertensi bertahun-tahun adalah nyeri kepala saat terjaga, kadang kadang

disertai mual dan muntah yang disebabkan peningkatan tekanan darah intrakranial

(Corwin, 2005).

Tabel 2
Gejala Hipertensi Emergensi
Tabel 3
Gejala Hipertensi Urgensi
Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg, tetapi dengan minimal atau
tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel 2

1. Funduskopi KW I atau KW II
2. Hipertensi post operasi
3. Hipertensi tak terkontrol/tanpa diobati pada perioperatif

6. Faktor- Faktor Risiko

A. Faktor risiko yang tidak dapat diubah Faktor risiko yang tidak dapat dirubah yang

antara lain usia, jenis kelamin dan genetik.

a. Usia

Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko

terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan

usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas usia

65 tahun. Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan

tekanan sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan diastolik sebagai

bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya

hipertensi. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur yang

disebabkan oleh perubahaan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen

menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai

akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah sistolik. Penelitian yang dilakukan di

6 kota besar seperti Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar dan

Makassar terhadap usia lanjut (55-85 tahun), didapatkan prevalensi hipertensi

terbesar 52,5 % (Depkes, 2006).

b. Jenis kelamin

Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak

yang menderita hipertensi dibandingkan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk
peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang

cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita

(Depkes, 2006). Namun, setelah memasuki manopause, prevalensi hipertensi

pada wanita meningkat. Setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita

lebih meningkat dibandingkan dengan pria yang diakibatkan faktor hormonal.

Penelitian di Indonesia prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita

(Depkes, 2006). Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) menyebutkan bahwa

prevalensi penderita hipertensi di Indonesia lebih besar pada perempuan (8,6%)

dibandingkan laki-laki (5,8%). Sedangkan menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan

Alat Kesehatan (2006), sampai umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita

hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55 sampai 74 tahun, sedikit lebih

banyak perempuan dibanding laki-laki yang menderita hipertensi (Depkes, 2008).

c. Keturunan (genetik)

Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga

mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer

(essensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipenggaruhi faktor-faktor

lingkungan, yang kemudian menyebabkan seorang menderita hipertensi. Faktor

genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin

membran sel. Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi,

maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya

yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya

(Depkes, 2006).

B. Faktor risiko yang dapat diubah Faktor risiko penyakit jantung koroner yang

diakibatkan perilaku tidak sehat dari penderita hipertensi antara lain merokok, diet

rendah serat, kurang aktifitas gerak, berat badan berlebihan/kegemukan, komsumsi


alkohol, hiperlipidemia atau hiperkolestrolemia, stress dan komsumsi garam berlebih

sangat berhubungan erat dengan hipertensi (Depkes, 2006).

a. Kegemukan (obesitas)

Kegemukan (obesitas) adalah presentase abnormalitas lemak yang dinyatakan

dalam Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu perbandingan antara berat badan dengan

tinggi badan kuadrat dalam meter. Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan

kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan

IMT berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.

Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat

badan lebih (overweight) (Depkes, 2006). IMT merupakan indikator yang paling

sering digunakan untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obesitas

pada orang dewasa . Menurut Supariasa, penggunaan IMT hanya berlaku untuk

orang dewasa berumur di atas 18 tahun (Supriasa, 2001). Obesitas bukanlah

penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih

besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk 5 kali lebih

tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya normal. Pada penderita

hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight)

(Depkes, 2006). Hipertensi pada seseorang yang kurus atau normal dapat juga

disebabkan oleh sistem simpatis dan sistem renin angiotensin (Suhardjono, 2006).

Aktivitas dari saraf simpatis adalah mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga

dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan

meningkatkan retensi air dan garam

b. Psikososial dan stress

Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara

individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk


mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya

(biologis, psikologis dan sosial) yang ada pada diri seseorang (Depkes, 2006).

Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa

takut dan rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan

hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat,

sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan

berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau

perubahaan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit

maag. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di

Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan

stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka (Depkes, 2006).

c. Merokok

Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui

rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel

pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan

darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok

dengan adanya artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga

meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot

jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan

risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri (Depkes, 2006).

d. Olahraga

Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem

penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar

metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan

tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh
dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa, 2001). Olahraga dapat

menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui mekanisme penurunan

denyut jantung, tekanan darah, penurunan tonus simpatis, meningkatkan diameter

arteri koroner, sistem kolateralisasi pembuluh darah, meningkatkan HDL (High

Density Lipoprotein) dan menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein) darah.

Melalui kegiatan olahraga, jantung dapat bekerja secara lebih efisien. Frekuensi

denyut nadi berkurang, namun kekuatan jantung semakin kuat, penurunan

kebutuhan oksigen jantung pada intensitas tertentu, penurunan lemak badan dan

berat badan serta menurunkan tekanan darah (Cahyono, 2008). Olahraga yang

teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan bermanfaat bagi

penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu dengan melakukan olahraga

aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah tanpa perlu sampai berat

badan turun (Depkes, 2006).

e. Konsumsi alkohol berlebih

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme

peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga

peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta

kekentalan darah berperan dalam menaikkan tekanan darah. Beberapa studi

menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol

dilaporkan menimbulkan efek terhadap tekanan darah baru terlihat apabila

mengkomsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya (Depkes,

2006). Di negara barat seperti Amerika, komsumsi alkohol yang berlebihan

berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika

disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya.

Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di


usia ini (Depkes, 2006) Komsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per

hari pada laki-laki untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan

dan orang yang memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih satu

kali minum per hari (Krummel, 2004).

f. Komsumsi garam berlebihan

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di

luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan

darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (essensial) terjadi respon

penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam 3 gram atau kurang,

ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat asupan

garam sekitar 7-8 gram tekanan rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2006). Almatsier

(2001) dan (2006), natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler.

Pengaturan keseimbangan natrium dalam darah diatur oleh ginjal. Sumber utama

natrium adalah garam dapur atau NaCl, selain itu garam lainnya bisa dalam

bentuk soda kue (NaHCO3), baking powder, natrium benzoate dan vetsin

(monosodium glutamate). Kelebihan natrium akan menyebabkan keracunan yang

dalam keadaan akut menyebabkan edema dan hipertensi. WHO menganjurkan

bahwa komsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih 6 gram/hari setara 110 mmol

natrium (Almatsier, 2006).

g. Hiperlipidemia/Hiperkolestrolemia

Kelainan metabolisme lipid (lemak) yang ditandai dengan peningkatan kadar

kolestrol total, trigliserida, kolestrol LDL atau penurunan kadar kolestrol HDL

dalam darah. Kolestrol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis

yang mengakibatkan peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga

tekanan darah meningkat. Penelitian Zakiyah (2006) didapatkan hubungan antara


kadar kolestrol darah dengan tekanan darah sistolik dan diastolik (Zakiyah,

2006). Penelitian Sugihartono (2007) diketahui sering mengkomsumsi lemak

jenuh mempunyai risiko untuk terserang hipertensi sebesar 7,72 kali

dibandingkan orang yang tidak mengkomsumsi lemak jenuh (Sugihartono, 2007).

7. Komplikasi

Komplikasi Hipertensi Menurut Elisabeth J Corwin komplikasi hipertensi terdiri dari

stroke, infark miokard, gagal ginjal, ensefalopati (kerusakan otak) dan

pregnancyincluded hypertension (PIH) (Corwin, 2005).

a. Stroke

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam

yang berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan

peredaran darah. Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat

disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh

oklusi 24 fokal pembuluh darah yang menyebabkan turunnya suplai oksigen dan

glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi (Hacke, 2003). Stroke dapat timbul

akibat pendarahan tekanan tinggi di otak atau akibat embolus yang terlepas dari

pembuluh otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi

kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan

menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi berkurang. Arteri-

arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan

kemungkinan terbentuknya anurisma (Corwin, 2005).

b. Infark miokardium

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerotik tidak dapat

mensuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang


menyumbat aliran darah melalui pembuluh tersebut. Akibat hipertensi kronik dan

hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat

dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga,

hipertrofi dapat menimbulkan perubahaan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi

ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung dan peningkatan risiko

pembentukan bekuan (Corwin, 2005).

c. Gagal ginjal

Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan

irreversible dari berbagai penyebab, salah satunya pada bagian 25 yang menuju ke

kardiovaskular. Mekanisme terjadinya hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh

karena penimbunan garam dan air atau sistem renin angiotensin aldosteron (RAA).

Menurut Arief mansjoer (2001) hipertensi berisiko 4 kali lebih besar terhadap

kejadian gagal ginjal bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami

hipertensi (Mansjoer, 2001).

d. Ensefalopati (kerusakan otak)

Ensefalopati (Kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna

(hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini

menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong ke dalam ruang

intersitium diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolaps yang

dapat menyebabkan ketulian, kebutaan dan tak jarang juga koma serta kematian

mendadak. Keterikatan antara kerusakan otak dengan hipertensi, bahwa hipertensi

berisiko 4 kali terhadap kerusakan otak dibandingkan dengan orang yang tidak

menderita hipertensi (Corwin, 2005).


8. Penatalaksanaan Hipertensi

Sebelum melakukan penatalaksanaan pada hipertensi tentukan terlebih dahulu derajat

hipertensi, berikut alur diagnostik pada pasien hipertensi :

a. Terapi Non Farmakologis

Pengendalian faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi, hanya

terbatas pada faktor risiko yang dapat diubah, dengan usaha-usaha sebagai berikut :

 Mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan

Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada

obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-

orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan sesorang yang badannya

normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33%

memiliki berat badan lebih (overweight). Dengan demikian, obesitas harus

dikendalikan dengan menurunkan berat badan (Depkes, 2006). Beberapa studi

menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai kelebihan berat badan lebih dari
20% dan hiperkolestrol mempunyai risiko yang lebih besar terkena hipertensi

(Rahajeng, 2009).

 Mengurangi asupan garam didalam tubuh

Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan makan penderita.

Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit dirasakan. Batasi sampai

dengan kurang dari 5 gram (1 sendok teh) per hari pada saat memasak (Depkes,

2006).

 Ciptakan keadaan rileks

Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat mengontrol

sistem saraf yang akan menurunkan tekanan darah (Depkes, 2006).

 Melakukan olahraga teratur

Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit sebanyak

3-4 kali dalam seminggu, diharapkan dapat menambah kebugaran dan

memperbaiki metabolisme tubuh yang akhirnya mengontrol tekanan darah

(Depkes, 2006).

 Berhenti merokok

Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah sehingga dapat

memperburuk hipertensi. Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon

monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat

merusak jaringan endotel pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses

arterosklerosis dan peningkatan tekanan darah. Merokok juga dapat

meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot

jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan

risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri. Tidak ada cara yang benar-benar

efektif untuk memberhentikan kebiasaan merokok (Depkes, 2006).


 Mengurangi komsumsi alkohol

Hindari komsumsi alkohol berlebihan Laki-laki : Tidak lebih dari 2 gelas per hari

Wanita : Tidak lebih dari 1 gelas per hari

b. Terapi Farmakologis

Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka kesakitan

dan kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara seminimal mungkin

menurunkan gangguan terhadap kualitas hidup penderita. Pengobatan hipertensi

dimulai dengan obat tunggal, masa kerja yang panjang sekali sehari dan dosis

dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat ditambahkan selama beberapa bulan

perjalanan terapi. Pemilihan obat atau kombinasi yang cocok bergantung pada

keparahan penyakit dan respon penderita terhadap obat antihipertensi. Beberapa

prinsip pemberian obat antihipertensi sebagai berikut :

 Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi.

 Pengobatan hipertensi essensial ditunjukkan untuk menurunkan tekanan darah

dengan harapan memperpanjang umur dan mengurang timbulnya komplikasi.

 Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat

antihipertensi.

Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan

seumur hidup. Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim

digunakan untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta

adrenergik (β-blocker), penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE- 30

inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin Receptor Blocker, ARB)

dan antagonis kalsium. Pada JNC VII, penyekat reseptor alfa adrenergik (α-blocker)

tidak dimasukkan dalam kelompok obat lini pertama. Sedangkan pada JNC

sebelumnya termasuk lini pertama. Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat yang
dianggap lini kedua yaitu: penghambat saraf adrenergik, agonis α-2 sentral dan

vasodilator (Nafrialdi, 2009).

1. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga

menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan

curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik

juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek

ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstisial dan di dalam sel otot

polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal ini

terlihat jelas pada diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang menunjukkan

efek hipotensif pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada

pemberian kronik curah jantung akan kembali normal, namun efek hipotensif

masih tetap ada. Efek ini diduga akibat penurunan resistensi perifer (Nafrialdi,

2009). Penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi

kardiovaskular diuretik belum terkalahkan oleh obat lain sehingga diuretik

dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang. Bahkan bila

menggunakan kombinasi dua atau lebih antihipertensi, maka salah satunya

dianjurkan diuretik (Nafrialdi, 2009). a. Golongan Tiazid Terdapat beberapa obat

yang termasuk golongan tiazid antara lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid,

klorotiazid dan diuretik lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat

golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di

tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Nafrialdi, 2009).

Tiazid seringkali dikombinasikan dengan antihipertensi lain karena: 1) dapat

meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme kerja yang

berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi, 2) tiazid mencegah resistensi cairan


oleh antihipertensi lain sehingga efek obat-obat tersebut dapat bertahan

(Nafrialdi, 2009).

Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics) Diuretik kuat bekerja di ansa

Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat kotransport Na+, K+,

Cl-, menghambat resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek

diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid. Oleh karena itu diuretik ini

jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan

fungsi ginjal atau gagal jantung (Nafrialdi, 2009).

Diuretik Hemat Kalium Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan

diuretik lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain

untuk mencegah hipokalemia (Nafrialdi, 2009).

2. Penghambat Adrenergik

o Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Bloker) Beta bloker memblok beta-

adrenoreseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1 dan

beta-2. Reseptor beta-1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor

beta-2 banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer dan otot lurik.

Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta-1

dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak

(Nafrialdi, 2009). Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu

penglepasan neurotransmitter yang akan meningkatkan aktivitas sistem saraf

simpatis. Stimulasi reseptor beta-1 pada nodus sino-atrial dan miocardiak

meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada

ginjal akan menyebabkan penglepasan renin dan meningkatkan aktivitas

sistem renin angiotensin aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan


cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang

diperantai aldosteron dan retensi air (Nafrialdi, 2009).

o Penghambat Adrenoresptor Alfa (α-Bloker) Hanya alfa-bloker yang selektif

menghambat reseptor alfa-1 (α 1) yang digunakan sebagai antihipertensi.

Alfa-bloker non selektif kurang efektif sebagai antihipertensi karena

hambatan reseptor alfa-2 (α 2) di ujung saraf adrenergik akan meningkatkan

penglepasan norefineprin dan meningkatkan aktivitas simpatis (Nafrialdi,

2009). Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan

venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Di samping itu, venodilatasi

menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya menurunkan

curah jantung. Venodilatasi ini dapat menyebabkan hipotensi ortostatik

terutama pada pemberian dosis awal (fenomena dosis pertama) yang

menyebabkan refleks takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada

pemakaian jangka penjang refleks kompensasi ini akan hilang, sedangkan

efek antihipertensinya akan bertahan (Nafrialdi, 2009).

3. Vasodilator

Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot

pembuluh darah) yang menurunkan resistensi dan karena itu mengurangi tekanan

darah. Obat-obat ini menyebabkan stimulasi refleks jantung, menyebabkan gejala

berpacu dari kontraksi miokard yang meningkat, nadi dan komsumsi oksigen. Efek

tersebut dapat menimbulkan angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung pada

orang-orang yang mempunyai predisposisi. Vasodilator juga meningkatkan renin

plasma, menyebabkan resistensi natrium dan air. Efek samping yang tidak 34

diharapkan ini dapat dihambat oleh penggunaan bersama diuretika dan penyekat-β

(Mycek et al, 2001). Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan vasodilator
antara lain hidralazin, minoksidil, diakzoksid dan natrium nitroprusid. Efek samping

yang sering terjadi pada pemberian obat ini adalah pusing dan sakit kepala (Depkes,

2006).

4. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)

Angiotensin converting enzym inhibitor (ACE-Inhibitor) menghambat secara

kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekusor angitensin I yang inaktif, yang

terdapat pada pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Selain itu,

degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat

dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung

akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan

menyebabkan ekskresi air dan natrium (Nafrialdi, 2009). Terdapat beberapa obat yang

termasuk golongan ACE- Inhibitor antara lain benazepril, captopril, enalapril,

fosinopril, lisinoril, moexipril, penindropil, quinapril, ramipril, trandolapril dan

tanapres (Benowitz, 2002). Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat

ACE- Inhibitor. Captopril cepat diabsorbsi tetapi mempunyai durasi kerja yang

pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon

baik pada pemberian ACE- Inhibitor. Dosis pertama ACE- Inhibitor harus diberikan

pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi, efek ini

akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah (Depkes, 2006).

5. Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker, ARB)

Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu AT1 (Angiotensin I)

dan AT2 (Angiotensin II). Reseptor AT1 terdapat terutama di otot polos pembuluh

darah dan otot jantung. Selain itu terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal.

Reseptor AT1 memperantarai semua efek fisiologis ATII terutama yang berperan
dalam homeostatis kardiovaskular. Reseptor AT2 terdapat di medula adrenal dan

mungkin juga di SSP, hingga saat ini fungsinya belum jelas (Nafrialdi, 2009). ARB

sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin

yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif

pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pada pasien hipovolemia, dosis

ARB perlu diturunkan (Nafrialdi, 2009). Pemberian ARB menurunkan tekanan darah

tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak

menimbulkan hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi

lipid dan glukosa darah (Nafrialdi, 2009).Terdapat beberapa obat yang termasuk

golongan antagonis reseptor ATII antara lain kandersartan, eprosartan, irbesartan,

losartan, olmesartan, telmisartan dan valsartan (Depkes, 2006).

6. Antagonis Kalsium (Calcium Channel Blocker (CCB)

Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks ion kalsium ke dalam sel

miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung dan sel-sel otot polos pembuluh

darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan

propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi,

interferensi dengan kontriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah

proses yang bergantung pada ion kalsium (Nafrialdi, 2009). Terdapat tiga kelas CCB :

dihdropiridin (nifedipin, amlodipin, veramil dan benzotiazipin (diltiazem)).

Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja

antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan

digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina (Gormer, 2008).

7. Penghambat Simpatis Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas saraf

simpatis (saraf yang bekerja saat kita beraktivitas). Contoh obat yang termasuk dalam
golongan penghambat simpatetik adalah metildopa, klonidin dan reserpin. Efek

samping yang dijumpai adalah anemia hemolitik (kekurangan sel darah merah karena

pecahnya sel darah merah), gangguan fungsi hati dan 37 terkadang menyebabkan

penyakit hati kronis. Obat ini jarang digunakan (Depkes, 2006)

Berikut adalah algoritma penatalaksanaan hipertensi terbaru menurut JNC VIII :

Pengobatan krisis hipertensi dapat dibagi :

1. Penurunan tekanan darah

Pada dasarnya penurunan tekanan darah harus dilakukan secepat mungkin tapi seaman

mungkin. Tingkat tekanan darah yang akan dicapai tidak boleh terlalu rendah, karena

akan menyebabkan hipoperfusi target organ. Untuk menentukan tingkat tekanan darah

yang diinginkan, perlu ditinjau kasus demi kasus. Dalam pengobatan krisis hipertensi,

pengurangan Mean Arterial Pressure (MAP) sebanyak 20–25% dalam beberapa

menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi penurunan TD pada


penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan

dalam tempo 15–30 menit dan bisa lebih rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi

lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 2–3 jam. Untuk

pasien dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD

dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari

170 – 180/100 mmHg.

2. Pengobatan target organ

Meskipun penurunan tekanan darah yang tepat sudah memperbaiki fungsi target organ,

pada umumnya masih diperlukan pengobatan dan pengelolaan khusus untuk mengatasi

kelainan target organ yang terganggu. Misalnya pada krisis hipertensi dengan gagal

jantung kiri akut diperlukan pengelolaan khusus termasuk pemberian diuretic,

pemakaian obat-obat yang menurunkan preload dan afterload. Pada krisis hipertensi

yang disertai gagal ginjal akut, diperlukan pengelolaan khusus untuk ginjalnya, yang

kadang-kadang memerlukan hemodialisis.

3. Pengelolaan khusus

Beberapa bentuk krisis hipertensi memerlukan pengelolaan khusus, terutama yang

berhubungan dengan etiloginya, misalnya eklampsia gravidarum.

Penatalaksanaan pada hipertensi urgensi dan hipertensi emergensi :

1. Hipertensi Urgensi

 Penatalaksanaan Umum

Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak

membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan

memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean

Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal

standard goal penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg.
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral maupun oral bukan tanpa

risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral anti-

hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami

hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral

merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.

 Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi

Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor

dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis

awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian.

Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi dan hiperkalemia. Nicardipine

adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada pasien

dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan

hipertensi urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo.

Nicardipine memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang

mencapai 22% (p=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat

diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek

samping yang sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.

Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergic

receptor agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya

antara 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-

0,1mg setiap jam sampai tercapainya tekanan darah yang diinginkan, dosis

maksimal adalah 0,7mg. Efek samping yang sering terjadi adalah sedasi, mulut

kering dan hipotensi ortostatik. Nifedipine adalah golongan calcium

channelblocker yang memiliki pucak kerja antara 10-20 menit. Nifedipine kerja

cepat tidak dianjurkan untuk terapi hipertensi urgensi karenadapat menurunkan


tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan sehingga

berhubungan dengan kejadian stroke.

2. Hipertensi Emergensi

Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera

diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :

 Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether

(bila ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume

intravaskuler.

 Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik.

- tentukan penyebab krisis hipertensi

- singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT

- tentukan adanya kerusakan organ sasaran

 Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya,

cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan

usia pasien.

- Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang

dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam

pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic

aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang

didapat.

- Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan

dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal

ini harus dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu,

misal : dissecting anneurysma aorta.

- TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang

cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman.

Dengan Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan

baik secara perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara menatur tetesan

infus. Bila terjadi penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali

dalam beberapa menit.

Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten

intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah

dicapai, injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan

obat parenteral yang long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan

sulit untuk dinaikkan kembali.

Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium

nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi.

Karena pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan

monitoring ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan

hipotensi berat. Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru

yang diperukan secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi

(dalam jumlah kecil) dan tampaknya memberikan harapan yang baik.

Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi

Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi

tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika

hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita

dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti

hipertensi intravena ( IV ).
1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodilator direkuat baik arterial maupun

venous. Secara IV mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 – 2 dosis 1 – 6

ug / kg / menit. Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.

2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan

dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 – 5 menit,

duration of action 3 – 5 menit. Dosis : 5 – 100 ug / menit, secara infus IV. Efek

samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.

3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara IV

bolus. Onset of action 1 – 2 menit, efek puncak pada 3 – 5 menit, duration of action

4 – 12 jam. Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 – 75 mg

setiap 5 menit sampai TD yang diinginkan. Efek samping : hipotensi dan shock,

mual, muntah, distensi abdomen, hiperuricemia, aritmia, dll.

4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 – 1

jam, IV :10 – 20 menit duration of action : 6 – 12 jam. Dosis : 10 – 20 mg i.v bolus

: 10 – 40 mg i.m. Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun

Beta Blocker untuk mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi

volume intravaskular. Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke

volume dan cardiac out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll.

5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15

– 60 menit. Dosis 0,625 – 1,25 mg tiap 6 jam i.v.

6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers.

Terutama untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin. Dosis 5 – 20

mg secar i.v bolus atau i.m. Onset of action 11 – 2 menit, duration of action 3 – 10

menit.
7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi

sistem simpatis dan parasimpatis. Dosis : 1 – 4 mg / menit secara infus i.v. Onset of

action : 1 – 5 menit. Duration of action : 10 menit. Efek samping : opstipasi,

ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma, hipotensi, mulut kering.

8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. Dosis : 20 – 80 mg

secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v. Onset of action 5 –

10 menit Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala,

bradikardi, dll. Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam,

duration of action 10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan

komplikasi lebih sering dijumpai.

9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf

simpatis. Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset of action : 30 – 60

menit, duration of action kira-kira 12 jam. Efek samping : Coombs test ( + )

demam, gangguan gastrointestino, with drawal sindrome dll. Karena onset of

actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai

untuk terapi awal.

10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis : 0,15 mg i.v pelan-

pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan

titrasi dosis. Onset of action 5 –10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam

atau beberapa jam. Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, pusing, mulut kering, rasa

sakit pada parotis. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma

putus obat.

Obat oral untuk hipertensi emergensi :

Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat

oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi


emergensi. Captopril dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dam

menurunkan TD. Captopril 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara

sublingual kepada pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60

menit dan juga dicatat tanda-tanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan

non-respon bila penurunan TD diastolik <10mmHg setelah 20 menit pemberian

obat. Respon bila TD diastolik mencapai <120mmHg atau MAP <150mmHg dan

adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan organ sasaran yang dinilai secara

klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit

pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih >120mmHg atau

MAP masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan sign dari

organ sasaran.

Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi

- Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada

hipertensi emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan

intrakranial dan stroke iskemik akut. American Heart Association

merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105 mmHg pada hipertensi

dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus dipertahankan di bawah 130

mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus dipantau secara

hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah akan menurun

secara sepontan. Secara terus-menerus MAP dipertahankan > 130 mmHg.

- Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik

akut pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi

emergensi yang melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi

dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin

terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri koroner. Pada keadaan
diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β-blocker (labetalol dan esmolol) secara

IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkandengan obat-

obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan

tekanan darah sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik >

120mmHg) dalam waktu 20 menit.

- Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan

konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan

proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih

kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun

nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat.

Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan

sianida akibat dari pemberian nitroprusside dalam terapi gagal ginjal.

- Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena

pengaruh obat-obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin

oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti

pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan over dosis.

Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya hipertensi atau

klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang-orang dengan

kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan

pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV

(ganglion-blocking agent). Golongan β-blockers dapat diberikan sebagai

tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang

dicetuskan oleh klonidin terapi yang terbaik adalah dengan memberikan kembali

klonidin sebagai dosis inisial dan dengan penambahan obat-obatan anti hipertensi

yang telah dijelaskan di atas.


Tabel 4

Obat-obat spesifik untuk komplikasi hipertensi emergensi


BAB IV

ANALISIS KASUS

Berdasarkan anamnesis diperoleh data bahwa pasien mengeluhkan nyeri kepala yang

dirasakan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, nyeri kepala dirasakan semakin

memberat sejak 1 hari yang lalu. Keluhan nyeri kepala ini sudah sering dirasakan

pasien, keluhan semakin berat saat aktifitas dan diperingan saat beristirahat. Selain

keluhan tersebut nyeri ulu hati dan mual juga dirasakan, mual dirasakan tanpa disertai

muntah. Pasien juga merasakan nafsu makan menurun.

Pasien tidak mengeluhkan pandangan buram/kabur, penurunan kesadaran, kelemahan

anggota gerak. Dan tidak pula mengeluhkan kesulitan saat buang air kecil dan buang air

besar. Pasien memiliki riwayat hipertensi, tetapi hipertensi tidak terkontrol dan pasien

tidak minum obat secara teratur. Riwayat penyakit lain tidak ada. Dikeluarga terdapat

pula keluarga pasien yang mengalami hipertensi.

Pada pemeriksaan fisik di dapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran

compos mentis, TD : 240/116 mmHg, Nadi : 112 x/menit (tegangan dan isi cukup),

Pernapasan (frek. & tipe) : 24 x/menit, Suhu : 36,5 0C. Pada status generalis didapatkan

tidak ada kelainan, kecuali pada abdomen terdapat nyeri tekan epigastrium, bising usus

normal. Pada pasien kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan EKG. Pada pemeriksaan darah lengkap, ureum,

creatinin, GDS dan kolesterol dalam batas normal. Pemeriksaan EKG pula dalam batas

normal.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosa

sementara yaitu Hipertensi Urgensi. Terdapat tanda-tanda fisik pada pasien yang
mengarahkan diagnosis Hipertensi urgensi. Hipertensi Urgensi yaitu peningkatan

tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak tanpa

disertai kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan

dalam 24 jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral. Pada pasien

didiagnosis hipertensi urgensi karena pada pasien tidak ditemukan tanda kerusakan

organ, tanda kerusakan organ seperti kerusakan otak yang ditandai dengan peningkatan

tekanan intrakranial dan penurunan kesadaran atau kerusakan organ ginjal yang dapat

mengakibatkan gagal ginjal akut. Maka dari itu pasien didagnosis hipertensi urgensi.

Sementara pasien didiagnosis banding hipertensi emergensi. Hipertensi emergensi

adalah peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg

secara mendadak disertai kerusakan organ target, sehingga tekanan darah harus

diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam) untuk mencegah kerusakan organ lebih

lanjut. Pasien tidak didagnosis hipetensi emergensi karena pada pasien tidak terdapat

tanda-tanda kerusakan organ.

Berdasarkan anamnesis juga diperoleh data bahwa pasien merasakan keluhan nyeri ulu

hati, mual dan nafsu makan menurun. Keluhan ini dirasakan 3 hari sebelum masuk

rumah sakit. Dalam hasil pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium dan

bisung usus normal. Maka dari itu pasien juga didiagnosis dengan dyspepsia syndrom.

Dyspepsia sindrom adalah kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak

pada perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai keluhan seperti rasa penuh

saat makan, cepat kenyang, kembung, sendawa, anoreksia, mual, muntah, hearburn,

dan regurgitasi.

Kemudian pasien diberikan terapi yaitu Ivfd RL 20 Tpm (Mikro), Oksigen 2L/Menit

(kalau perlu), Inj. Omeprazole Vial / 24 Jm, Inj. Ondansetron Amp / 8 Jm, Captopril
Tab 25mg 2x1 dan Diltiazem Tab 3x1. Pada penatalaksanaan yang diberikan yaitu ivfd

RL 20 tpm (mikro) bertujuan untuk memenuhi nutrisi untuk pasien. Obat anti hiprtensi

yang diberikan yaitu captopril dan diltiazem. Captopril merupakan obat antihipertensi

golongan Angiotensin converting enzym inhibitor (ACE-Inhibitor) menghambat secara

kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekusor angitensin I yang inaktif, yang

terdapat pada pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Selain itu,

degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat

dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan

menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan

ekskresi air dan natrium. Captopril cepat diabsorbsi tetapi mempunyai durasi kerja yang

pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon

baik pada pemberian ACE- Inhibitor. Dosis pertama ACE- Inhibitor harus diberikan

pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi, efek ini

akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah. Sementara diltiazem

adalah obat hipertensi yang masuk dalam golongan calcium channel blocker yang

bekerja dengan menghambat influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam

sistem konduksi jantung dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan

menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls

elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan kontriksi

otot polos pembuluh darah. Sehingga dapat mencegah terjadinya angina pada pasien.

Pemberian terapi ini sesuai dengan tatalaksana hipertensi urgensi. Manajenem

penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak membutuhkan

obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi manfaat

untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP)

dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan
darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. Pemberian obat anti hipertensi yang di

rekomendasikan adalah golongan obat angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor,

golongan calcium channel blocker dan golongan α2-adrenergic receptor agonist.

Sementara karena pada pasien terdapat keluhan nyeri ulu hati dan mual dan di diagnosis

sindrom dyspepsia, maka dari itu terapi ditambahkan Inj. Omeprazole Vial / 24 Jm, Inj.

Ondansetron Amp / 8 Jm. Omeprazole merupakan golongan obat proton pump inhibitor

untuk mengontrol sekresi asam lambung dengan cara penghambat pompa proton yang

mentranspor ion H+ keluar dari sel parietal lambung. Ondansetron dan omeprazole

dibarikan untuk tatalaksana nyeri uluhati dan mual pada pasien.

Terapi non farmakologis juga perlu diberikan pada pasien bertujuan untuk mengontrol

tekanan darah. Terapi non farmakologis yang dapatkan diberikan yaitu mengatasi

obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan, seperti pada pasien edukasi untuk

penurunan berat badan sanggat penting karena setelah dilakukan penilaian terhadap

indeks massa tubuh pasien, pasien termasuk dalam berat badan berlebih. Selain itu

mengurangi asupan garam didalam tubuh, ciptakan keadaan rileks, melakukan olahraga

teratur, tidak merokok dan tidak komsumsi alkohol adalah edukasi yang penting untuk

pasien. Edukasi terhadap faktor resiko yang dapat dicegah bertujuan untuk mengontrol

tekanan darah pasien dan untuk mencegah terjadinya komplikasi.


BAB V

KESIMPULAN

Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas tekanan

darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau tidaknya

tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolik. Bedasarkan JNC (Joint National

Comitee) VII, seorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik 140 mmHg

atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih (Chobaniam, 2003). Hipertensi

didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140

mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi

didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah

yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya

kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120 mmHg,

dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi.

Pada kasus yang dibahas saat ini hipertensi pada kasus ini adalah hipertensi urgensi

karena pada pasien tidak ditemukan tanda kerusakan organ, tanda kerusakan organ

seperti kerusakan otak yang ditandai dengan peningkatan tekanan intrakranial dan

penurunan kesadaran atau kerusakan organ ginjal yang dapat mengakibatkan gagal

ginjal akut. Dan pada pasien didapatkan TD : 240/116x/menit dan tidak terdapat tanda-

tanda kerusakan organ.

Pemberian terapi pada kasus ini sesuai dengan tatalaksana hipertensi urgensi.

Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak

membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan


memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial

Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal

penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. Pemberian obat anti

hipertensi yang di rekomendasikan adalah golongan obat angiotensin-converting

enzyme (ACE) inhibitor, golongan calcium channel blocker dan golongan α2-

adrenergic receptor agonist.

Terapi non farmakologis juga perlu diberikan pada pasien bertujuan untuk mengontrol

tekanan darah. Terapi non farmakologis yang dapatkan diberikan yaitu modifikasi

faktor resiko yang dapat dicegah misalnya mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan

berat badan, mengurangi asupan garam didalam tubuh, ciptakan keadaan rileks,

melakukan olahraga teratur, tidak merokok dan tidak komsumsi alkohol.


DAFTAR PUSTAKA

1. Almatsier, S. 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

2. American Diabetes Association. 2003. Treatment of Hypertension in Adults with Diabetes.

Diabetes care 2003.

3. Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta.

4. Cahyono, S. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modren. Kanisius. Jakarta.

5. Chobanian, A.V., George, L.B., Hendry, R.B., William, C.C., Lee, A.G., Daniel, W.J., et

al. 2003. “Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,

Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure”. JAMA.

6. Corwin, E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.

7. Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina

Farmasi Komunitas dan Klinik. Departemen Kesehatan. Jakarta.

8. Depkes RI. 2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi.

Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta.

9. Depkes RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia Tahun

2007.

10. Depkes RI. Jakarta. Depkes RI. 2008. Panduan Promosi Perilaku Tidak Merokok.

Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Depkes RI. Jakarta.

11. Guyton, A.C., John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC.

Jakarta.

12. Hacke ,W., Kaste, M., Bogousslavky, J. Brainin, M., Gurrging, M., Chamorro, A., et

al. 2003. Ischemic Stroke Prophylaxy and Treatment. European Stroke Intiative

Recommendations. EISU.

13. Krummel, DA. 2004. Food Nutrition and Diet Theraphy. Medical Nutrition Theraphy

in Hypertension. Saunders. USA.


14. Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. FK UI Media Aesculapius. Jakarta.

15. Nafrialdi. 2009. Antihipertensi. Sulistia Gan Gunawan (ed). Farmakologi dan Terapi

Edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

16. Oparil, S., Zaman, MA., Calhoun, DA. 2003. Pathogenesis of Hypertension, Ann

Intern Med 2003.

17. Price, S.A., Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis dan Proses-Proses

Penyakit Edisi 6. EGC. Jakarta.

18. Rahajeng, E., Sulistyowati, T. 2009, Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di

Indonesia. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Departemen Kesehatan 2006.

Jakarta.

19. Sheps, S. 2005. Mayo Clinic, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. Intisari. Jakarta.

20. Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia; dari Sel ke Sistem. Edisi 2. EGC. Jakarta.

21. Sugihartono, Aris. 2007. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II pada Masyarakat.

(TESIS). UNDIP. Semarang.

22. Suhardjono. 2006. Hipertensi pada Usia Lanjut dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III

edisi IV. FK UI. Depok.

23. Sunardi, Tuti. 2000. Hidangan Sehat untuk Penderita Hipertensi. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta.

24. Supariasa. 2001. Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta.

25. Zakiyah, Dinie.2006. Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan hipertensi dan

hiperlipidemia sebagai faktor risiko PJK pekerja di Kawasan Industri Pulo Gadung,

Jakarta Timur Tahun 2006. (SKRIPSI).FK UI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai