Anda di halaman 1dari 2

Review Tentang Mengajarkan Membaca Sejak Lahir

Apakah yang dimaksud dengan membaca? Yang dimaksud dengan membaca


adalah reciting, yakni mengucapkan satu kalimat atau serangkaian kalimat yang kita bahkan
telah menghafalnya. Berkait dengan mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an, kita mengenal
kegiatan membaca bil ghaib dan bil nadzri. Yang dimaksud dengan membaca Al-Qur’an bil
ghaib adalah “membaca” tanpa melihat mushhaf. Jika diterapkan pada anak-anak, misalnya
kita melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an, lalu anak menirukannya. Atau pada tahapan lebih awal
lagi cukup dengan memperdengarkan. Tetapi kita mengenalnya dengan istilah membaca,
padahal yang terjadi adalah memperdengarkan. Adapun membaca bil nadzri adalah membaca
Al-Qur’an dengan melihat mushhaf, memahami kaidah-kaidah membaca, mengenali huruf-
hurufnya serta hukum bacaannya. Di sini kita melihat sekurangnya ada tiga arti membaca Al-
Qur’an. Pertama, memperdengarkan kepada bayi ayat-ayat yang kita hafal (reciting
aloud) atau kita baca dengan melihat mushhaf (reading aloud). Dalam hal ini, proses yang
berlangsung adalah anak menerima dan merekam (receiving and recording) sehingga
memudahkan baginya untuk menghafal (memorizing) di kemudian hari.
Kedua, memperdengarkan kepada anak, lalu anak menirukan apa yang kita perdengarkan
tersebut. Proses memperdengarkan tersebut dapat berbentuk reciting aloud, dapat pula
berupa reading aloud. Hanya saja anak kita minta untuk menirukan. Dalam hal ini, proses
yang terjadi lebih kompleks, yakni menerima, mengolah dan memproduksi ucapan sesuai
yang ia dengar. Ketiga, mengajarkan kepada anak mengenali simbol-simbol berupa huruf dan
mengubah rangkaian simbol menjadi satu kata bermakna dan selanjutnya menjadi kalimat
utuh bermakna. Sebuah proses yang sangat kompleks. Inilah kegiatan yang secara umum
disebut mengajarkan membaca (reading). Pengertian ketiga tentang membaca Al-Qur’an
itulah yang dikenal sebagai kegiatan membaca (reading) dalam diskusi tentang literasi, pun
pembahasan tentang persekolahan.
Adapun pengertian pertama maupun kedua biasa dikenal dalam kegiatan
pembelajaran membaca sebagai pre-reading experience (pengalaman pra-membaca). Jika
Anda ingin anak senang membaca, salah satu hal yang dapat kita berikan sejak usia dini
adalah pengalaman pra-membaca. Sebagian saudara kita ada yang dengan gegabah
menganggap bahwa menunda mengajarkan membaca dalam pengertian reading (menangkap
simbol berupa huruf, mengolah dan mengucapkannya menjadi kata maupun kalimat) hingga
usia anak cukup matang sebagai makar Yahudi dan sikap yang menyalahi salafush shalih.
Padahal yang kita dapati pada sejarah para ulama, pembelajaran membaca yang dimaksud
lebih bersifat reciting aloud maupun reading aloud. Sampai saat ini kita masih mendapati
berbagai contoh bagaimana seorang syaikh membacakan suatu ayat, lalu anak menirukannya.
Ini merupakan metode warisan Islam yang sangat bagus. Melalui cara ini anak belajar secara
alamiah untuk mengucapkan (reciting) ayat-ayat dengan benar, makharijul huruf yang tepat
dan menghafal banyak surat bahkan sebelum ia mampu membaca. Hanya saja hafalan Al-
Qur'an mereka kerap disebut dengan ungkapan "anak sudah memiliki bacaan Al-Qur'an yang
sangat bagus" atau "anak memiliki disiplin membaca Al-Qur’an semenjak dini”, meskipun
yang dimaksud adalah reciting.

Jadi, dapatkah kita mengajarkan membaca kepada anak semenjak kanak-kanak? Jika
yang dimaksud adalah reciting aloud atau pun reading aloud, bahkan sejak bayi pun kita
dapat mengenalkannya. Ini merupakan salah satu cara mengakrabkan anak dengan membaca
yang sangat baik. Tetapi jika yang dimaksud dengan adalah mengajarkan simbol (huruf dan
tanda baca) secara terstruktur kepada anak,maka kita perlu menunggu hingga mereka
mencapai kesiapan membaca (reading readiness). Kesiapan ini memang bukan sesuatu yang
kita hanya dapat kita tunggu kedatangannya secara pasif. Kita dapat member rangsang
kepada mereka dengan banyak member pengalaman pra-membaca. Apa yang terjadi jika kita
mengajarkan membaca secara terstruktur pada saat anak belum memiliki kesiapan? Banyak
hal. Salah satu akibat yang sangat mungkin terjadi adalah hilangnya antusiasme belajar pada
saat anak memasuki usia sekolah. Dalam hal ini, ada tiga titik usia yang sangat penting, yakni
6, 10 dan 14 tahun.Kesalahan proses yang terjadi pada saat anak di play-group atau TK,
mendatangkan masalah di saat anak usia 6 atau 10 tahun. Jika muncul di usia 6 tahun, kita
lebih mudah menangani. Semisal, saat TK sangat bersemangat membaca, begitu masuk SD
tak punya gairah sama sekali. Yang lebih sulit adalah jika masalah itu baru muncul di saat
anak berusia sekitar 10 tahun. Awalnya cemerlang, tetapi kemudian kehilangan motivasi
secara sangat drastis.

Sebaliknya jika kita lebih menitik beratkan pada upaya membangun kemauan
membaca, memanfaatkan kegiatan bermainnya untuk belajar,menanamkan cinta ilmu,
membangun adab serta dorongan untuk siap berpayah-payah belajar demi memperoleh ilmu,
maka anak akan lebih antusias terhadap belajar. Bersebab tingginya antusiasme belajar,
sangat boleh jadi anak mampu membaca di usia dini melalui proses yang lebih alamiah. Di
antara bentuk rangsangan belajar yang sangat baik adalah memberi pengalaman pra-membaca
dalam bentuk reciting aloud (mengucapkan serangkaian ayat), lalu anak menirukannya. Jika
ada memiliki adab dan antusiasme belajar, di usia dini ia bermain sambil belajar. Tiap waktu
adalah kesempatan untuk belajar. Tetapi jika anak hanya memiliki kemampuan, sementara
antusiasme tak terbangun, sudah usia sekolah pun ia masih cenderung belajar sambil bermain.
Sekilas sama, tetapi sangat berbeda antara bermain sambil belajar (ia berusaha belajar bahkan
di saat bermain) dengan belajar sambil bermain (bahkan di saat seharusnya belajar pun, ia
masih main-main).

Tingginya rangsangan membaca dalam bentuk melantunkan “bacaan” (reciting


aloud) untuk ditirukan anak atau pun membacakan teks Al-Qur’an kepada anak (reading
aloud) lalu anak ikut mengucapkannya, memudahkan anak menghafal. Jika proses itu
dilakukan dengan baik, diikuti pengucapan yang benar dan fasih, anak ibarat memiliki blue
print (cetak biru) ketika kelak benar-benar belajar membaca teks Al-Qur’an beserta kaidah-
kaidahnya. Ia mudah memahami karena ia telah memiliki “bacaan” yang benar, sehingga
tidak sulit baginya untuk melafalkan. Alhasil, benar bahwa kita memang dapat mengajarkan
membaca kepada anak semenjak usia dini dan bahkan bayi, tetapi bukan berarti mengajarkan
keterampilan memahami huruf dan mengucapkannya secara tepat sesuai kaidah-kaidah
membaca. Yang perlu kita lakukan adalah membacakan untuk ditirukan atau melantunkan
bacaan sehingga anak akrab dengannya dan mampu mengucapkannya dengan benar. Ini
sangat bermanfaat di kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai