Anda di halaman 1dari 36

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan berbagai kemudahan kepada penulis
untuk menyelesaikan Referat dengan judul “Pemeriksaan Foto Thoraks pada Efusi Pleura”.

Referat ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna dapat mengikuti Ujian. Penulis
menyadari bahwa laporan kasus ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang
tidak terbatas.

Terselesaikannya laporan kasus ini tentunya tak lepas dari dorongan dan uluran tangan berbagai
pihak. Oleh karena itu, tak salah kiranya bila penulis mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan
kepada :

1. Dr. Budi Suhariyantuo Sp.Rad sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan,
serta dorongan dalam menyelesaikan Referat ini.
2. Semua pihak yang tidak mungkin disebut satu per satu yang telah membantu dalam menyelesaikan
Laporan kasus ini.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang telah membantu penulis
guna menyelesaikan Laporan kasus ini dengan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.

Akhir kata penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai masukan yang
berharga bagi penulis. Semoga nantinya Referat ini bisa memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi
fakultas dan masyarakat.

Surabaya, 7 Desember 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................................1
A. Latar Belakang ......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................2
C. Tujuan ...................................................................................................................................3
BAB II ..............................................................................................................................................4
A. Definisi...................................................................................................................................4
B. Anatomi dan Fisiologi ............................................................................................................6
C. Epidemiologi ........................................................................................................................ 10
D. Patosifiologi ......................................................................................................................... 10
E. Klasifikasi ............................................................................................................................ 14
F. Diagnosis ............................................................................................................................. 16
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik ................................................................................... 16
2. Pemeriksaan Penunjang................................................................................................... 18
G. Penatalaksanaan .............................................................................................................. 24
BAB III ........................................................................................................................................... 32
A. Kesimpulan.......................................................................................................................... 32
B. Saran ...........................................................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 33

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Efusi pleura merupakan keadaan di mana cairan menumpuk di dalam rongga

pleura. Dalam keadaan normal, rongga pleura diisi cairan sebanyak 10-20 ml yang

berfungsi mempermudah pergerakan paru di rongga dada selama bernapas. Jumlah

cairan melebihi volum normal dapat disebabkan oleh kecepatan produksi cairan di

lapisan pleura parietal yang melebihi kecepatan penyerapan cairan oleh pembuluh

limfe dan pembuluh darah mikropleura visceral (Bahar, 1998).

Keadaan ini dapat mengancam jiwa karena cairan yang menumpuk tersebut

dapat menghambat pengembangan paru-paru sehingga pertukaran udara terganggu.1

Banyak penyakit yang mungkin mendasari terjadinya efusi pleura. Di negara-negara

barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati,

keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-negara yang sedang

berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis. Efusi

pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi yang biasa ditemukan pada

penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan kanker

payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada

sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik. Sementara 5%

kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar

50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura (Price, et.al,

2005)

1
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 119 pasien dengan efusi

pleura di Rumah Sakit Persahabatan pada tahun 2010-2011, efusi pleura

kebanyakan disebabkan oleh keganasan (42.8%) dan tuberkulosis (42%).2 Penyakit

lain yang mungkin mendasari terjadinya efusi pleura antara lain pneumonia,

empiema toraks, gagal jantung kongestif, sirosis hepatis (Bahar, 1998).

Umumnya pasien datang dengan gejala sesak napas, nyeri dada, batuk, dan

demam. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan abnormalitas seperti bunyi redup

pada perkusi, penurunan fremitus pada palpasi, dan penurunan bunyi napas pada

auskultasi paru bila cairan efusi sudah melebihi 300 ml. Foto toraks dapat digunakan

untuk mengkonfirmasi terjadinya efusi pleura (Bahar, 1998).

Oleh karena keadaannya yang dapat mengancam jiwa, perlu penegakkan

diagnosis dan penanganannya yang segera pada beberapa kasus, selain secara klinis

pemeriksaan radiologis juga sangat diperlukan dalam mengkonfirmasi kelainan

tersebut. Modalitas yang paling banyak digunakan dalam praktik sehari-hari adalah

foto thoraks. Selain prosesnya yang tidak membutuhkan waktu lama, foto thoraks

juga banyak ditemukan diberbagai tempat pelayanan kesehatan. kami mengangkat

kasus efusi pleura dalam makalah ini agar kami dapat mempelajari bagaimana

diagnosis dan penatalaksanaan kasus tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan EFUSI pleura ?

2. Bagaimana tanda dan gejala dari efusi pleuraq ?

3. Bagaimana tanda-tanda efusi pleura pada pemeriksaan foto thoraks ?

2
4. Bagaimana tatalaksana dari efusi pleura ?

C. Tujuan

1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan efusi pleura

2. Menjelaskan apa saja tanda dan gejala dari efusi pleura

3. Menjelaskan apa saja tanda efusi yang dapat ditemukan pada pemeriksaan

foto thoraks

4. Menjelaskan tatalaksana dari efusi pleura

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan pleura yang abnormal yang

disebabkan oleh karena pembentukan cairan pleura lebih cepat dari proses

absorpsinya. Sebagian besar efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan

pembentukan cairan pleura dan penurunan kecepatan absorpsi cairan pleura

tersebut. Pada pasien dengan daya absorpsi normal, pembentukan cairan pleura

harus meningkat 30 kali lipat secara terus menerus agar dapat menimbulkan suatu

efusi pleura. Di sisi lain, penurunan daya absorpsi cairan pleura saja tidak akan

menghasilkan penumpukan caian yang signifikan dalam rongga pleura mengingat

tingkat normal pembentukan cairan pleura sangat lambat. (Lee YCG, 2013) Efusi

pleura bisa disebabkan oleh penyakit yang berasal dari paru, pleura ataupun

penyakit di luar paru. (Light RW, 2011)

Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga pleura

antara lain darah, pus, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol

tinggi. (Firdaus, 2012)

1. Hidrotoraks

Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam hal ini

penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral. Sebab-sebab

lain yang mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis hati dengan asites,

4
serta sebgai salah satu tias dari syndroma meig (fibroma ovarii, asites dan

hidrotorak).

2. Hemotoraks

Hemotorak adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya terjadi karena

trauma toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dasyat di dekat penderita, atau

trauma tajam maupu trauma tumpul. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih

besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak

membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah

terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi

segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.

Penyebab lainnya hemotoraks adalah:

 Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan


darahnya ke dalam rongga pleura.
 Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta)
yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
 Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga pleura
tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan
melelui sebuah jarum atau selang.
3. Empiema

Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura patologis iniakan

berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks atau empiema. Pada

setiap kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan terjadinya empiema sebagai

salah satu komplikasinya. Empiema bisa merupakan komplikasi dari:

 Pneumonia

5
 Infeksi pada cedera di dada

 Pembedahan dada

4. Chylotoraks

Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan kil/getah bening

pada rongga pleura. Adapun sebab-sebab terjadinya kilotoraks antara lain :

 Kongental, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus, tapi

terdapat fistula antara duktus torasikus rongga pleura.

 Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan dada,

atau pukulan pada dada (dengan/tanpa fratur). Yang berasal dari efek

operasi daerah torakolumbal, reseksi esophagus 1/3 tengah dan atas,

operasi leher, operasi kardiovaskular yang membutuhkan mobilisasi

arkus aorta.

 Obstruksi Karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke

mediastinum, granuloma mediastinum (tuberkulosis, histoplasmosis).

Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi

terhadap duktus torasikus secara kombinasi. Disamping itu terdapat juga

penyakit trombosis vena subklavia dan nodul-nodul tiroid yang menekan

duktus torasikus dan menyebabkan kilotoraks.

B. Anatomi dan Fisiologi

Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis dan

parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial, jaringaan

ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat tipis.

6
Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis,

sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan

mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan

dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi

sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hillus

paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis,

diantaranya :

1. Pleura Visceralis

Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis < 30mm.

Diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit. Di bawah sel-sel mesothelial

ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di bawahnya terdapat

lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik. Lapisan

terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung

pembuluh darah kapiler dari a. Pulmonalis dan a. Brakhialis serta pembuluh

limfe Menempel kuat pada jaringan paru Fungsinya. untuk mengabsorbsi cairan

pleura.

7
2. Pleura parietalis

Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat (kolagen

dan elastis). Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler dari a.

Intercostalis dan a. Mamaria interna, pembuluh limfe, dan banyak reseptor saraf

sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur. Keseluruhan

berasal n. Intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom

dada. Mudah menempel dan lepas dari dinding dada di atasnya Fungsinya untuk

memproduksi cairan pleura.

Gambar II.1. Tampilan depan paru dan pleuranya

Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura parietalis

dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah pemisahan

toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek yang akan

saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran satu dengan

8
yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan. Cairan pleura dalam keadaan normal

akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang pleura kemudian

diserap kembali melalui pleura viseralis. Masing-masing dari kedua pleura

merupakan membran serosa mesenkim yang berpori-pori, dimana sejumlah kecil

transudat cairan intersisial dapat terus menerus melaluinya untuk masuk kedalam

ruang pleura.

Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar

daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis dan

permukaan pleura viseralis lebih besar dari pada pleura parietalis sehingga dalam

keadaan normal hanya ada beberapa mililiter cairan di dalam rongga pleura. (1)

Gambar II.2 memperlihatkan dinamika pertukaran cairan dalam ruang pleura.

Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit, hanya beberapa

mililiter yaitu 1 5 ml. Dalam kepustakaan lain menyebutkan bahwa jumlah cairan

pleura sebanyak 12-15 ml. Kapanpun jumlah ini menjadi lebih dari cukup untuk

memisahkan kedua pleura, maka kelebihan tersebut akan dipompa keluar oleh

9
pembuluh limfatik (yang membuka secara langsung) dari rongga pleura kedalam

mediastinum, permukaan superior dari diafragma, dan permukaan lateral pleural

parietalis (3). Oleh karena itu, ruang pleura (ruang antara pleura parietalis dan pleura

visceralis) disebut ruang potensial, karena ruang ini normalnya begitu sempit

sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas.

C. Epidemiologi

Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di negara-

negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang

mendasarinya.

Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis kelamin.

Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua pertiga dari

efusi pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas secara signifikan

berhubungan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi pleura yang terkait

dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada wanita

dibandingkan pada pria.

D. Etiologi dan Patosifiologi

Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni 0,1 – 0,2

mL/kgbb pada tiap sisinya. (Yataco,2005) Fungsinya adalah untuk memfasilitasi

pergerakan kembang kempis paru selama proses pernafasan. Cairan pleura

diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura yang

diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorbsi maksimal

drainase sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki

10
konsentrasi protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer.

(Davies, 2008)

Cairan dalam rongga pleura dipertahankan oleh keseimbangan tekanan hidrostatik,

tekanan onkotik pada pembuluh darah parietal dan viseral serta kemampuan

drainase limfatik. Efusi pleura terjadi sebagai akibat gangguan keseimbangan

faktor-faktor di atas. (Rubins,2012)

Gambar II.3. Skema yang memperlihatkan proses sirkulasi normal cairan pleura. Terlihat bahwa
cairan pleura berasal dari pembuluh darah sistemik pada membran pleura parietal dan viseral
(ditunjukkan pada panah yang terputus-putus). Pembuluh darah pleura parietal (mikrovaskular
interkostal) merupakan terpenting pada sistem ini sebab pembuluh darah ini paling dekat dengan
rongga pleura dan memiliki tekanan filtrasi yang lebih tinggi daripada mikrovaskuler bronkial
pada pleura viseral. Cairan pleura awalnya akan absorbsi kembali oleh mikrovaskuler, sisanya
akan dikeluarkan dari rongga pleura melalui saluran limfatik pada pleura parietal (panah utuh).
Dikutip dari: Broaddus VC. 2009. Mechanisms of pleural liquid accumulation in disease.
Uptodate.

Persamaan yang menunjukkan hubungan keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan

onkotik adalah sebagai berikut : Q = k x [(Pmv – Ppmv) – s (nmv – npmv)]. Pada

persamaan ini, Q merupakan tekanan filtrasi, k merupakan koefisien filtrasi, Pmv dan

Ppmv merupakan tekanan hidrostatik pada ruang mikrovaskular dan

11
perimikrovaskular. s merupakan koefisien refleksi bagi total protein mulai dari skor 0

(permeabel penuh) hingga 1 (tidak permeabel). nmv dan npmv menyatakan tekanan

osmotik protein cairan di mikrovaskular dan perimikrovaskular. Pada keadaan normal,

cairan yang difiltrasi jumlahnya sedikit dan mengandung protein dalam jumlah yang

sedikit pula. (Broddus, 2009)

Adapun gambaran normal cairan pleura adalah sebagai berikut


• Jernih, karena merupakan hasil ultrafiltrasi plasma darah yang berasal dari pleura

parietalis

• pH 7,60-7,64

• Kandungan protein kurang dari 2% (1-2 g/dL)

• Kadungan sel darah putih < 1000 /m3

• Kadar glukosa serupa dengan plasma

• Kadar LDH (laktat dehidrogenase) < 50% dari plasma. (Rubbins, 2012)

Efusi pleura merupakan suatu indikator adanya suatu penyakit dasar baik itu pulmoner

maupun non pulmoner, akut maupun kronis. Penyebab efusi pleura tersering adalah

gagal jantung kongestif (penyebab dari sepertiga efusi pleura dan merupakan penyebab

efusi pleura tersering), pneumonia, keganasan serta emboli paru. (Davies,2012) Berikut

ini merupakan mekanisme-mekanisme terjadinya efusi pleura :

1. Adanya perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya : inflamasi, keganasan,

emboli paru)

2. Berkurangnya tekanan onkotik intravaskular (misalnya : hipoalbuminemia, sirosis)

12
3. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah atau kerusakan pembuluh darah

(misalnya : trauma, keganasan, inflamasi, infeksi, infark pulmoner, hipersensitivitas

obat, uremia, pankreatitis)

4. Meningkatnya tekanan hidrostatik pembuluh darah pada sirkulasi sistemik dan atau

sirkulasi sirkulasi paru (misalnya : gagal jantung kongestif, sindrom vena kava

superior)

5. Berkurangnya tekanan pada rongga pleura sehingga menyebabkan terhambatnya

ekspansi paru (misalnya : atelektasis ekstensif, mesotelioma)

6. Berkurangnya sebagaian kemampuan drainase limfatik atau bahkan dapat terjadi

blokade total, dalam hal ini termasuk pula obstruksi ataupun ruptur duktus torasikus

(misalnya : keganasan, trauma)

7. Meningkatnya cairan peritoneal, yang disertai oleh migrasi sepanjang diafragma

melalui jalur limfatik ataupun defek struktural. (misalnya : sirosis, dialisa

peritoneal)

8. Berpindahnya cairan dari edema paru melalui pleura viseral

9. Meningkatnya tekanan onkotik dalam cairan pleura secara persisten dari efusi pleura

yang telah ada sebelumnya sehingga menyebabkan akumulasi cairan lebih banyak

lagi.

Sebagai akibat dari terbentuknya efusi adalah diafragma menjadi semakin

datar atau bahkan dapat mengalami inversi, disosiasi mekanis pleura viseral dan

parietal, serta defek ventilasi restriktif.

Efusi pleura secara umum diklasifikasikan sebagai transudat dan eksudat,

bergantung dari mekanisme terbentuknya serta profil kimia cairan efusi tersebut.

13
Cairan transudat dihasilkan dari ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik dan

onkotik, sementara eksudat dihasilkan oleh proses inflamasi pleura ataupun akibat

berkurangnya kemampuan drainase limfatik. Pada kasus-kasus tertentu, cairan

pleura dapat memiliki karakteristik kombinasi dari transudat dan eksudat.

E. Klasifikasi

Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan

cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat

hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik,

sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang

menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk

cairan transudat dan eksudat (Rubbins,2012).

1. Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:

a. Transudat

Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah

transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan

kapiler hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu

sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya (Rubbins,2012).

Biasanya hal ini terjadi pada:

1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik

2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner

3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura

4. Menurunnya tekanan intra pleura

14
Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:

1. Gagal jantung kiri (terbanyak)

2. Sindrom nefrotik

3. Obstruksi vena cava superior

4. Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau

masuk melalui saluran getah bening)

b. Eksudat

Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang

permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan

protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler

pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi

bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura.

Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena

mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa

tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal

dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya

pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan konsentasi

protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat (Rubbins,2012).

Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:

a. Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)

b. Tumor pada pleura

c. Iinfark paru,

15
d. Karsinoma bronkogenik

e. Radiasi,

f. Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus

Eritematosis).

F. Diagnosis

1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditemukan (Havelock T et al, 2010):

Gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura antara lain sesak napas, nyeri dada

yang bersifat pleuritik, batuk, demam, menggigil. Manifestasi klinis efusi pleura

tergantung kepada penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan fisik bisa normal

jika jumlah cairan kurang dari 300 mL. Selanjutnya, jika fungsi pernapasan dan

pengembangan paru dan dinding dada masih normal biasanya jarang

menimbulkan hipoksemia yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh penurunan

ventilasi dan perfusi di saat yang bersamaan di paru yang mengalami kompresi.

(Yu H, 2011)

Akumulasi cairan di dalam rongga pleura akan menyebabkan gangguan restriksi

dan mengurangi kapasitas total paru, kapasitas fungsional, dan kapasitas vital

paksa. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi

disebabkan atelektasis parsial pada area yang bersangkutan, jika ukuran efusi

cukup luas maka akan mempengaruhi kardiak output dengan menyebabkan

ventrikel kolaps diastolik.

16
Ada tiga gejala yang paling umum dijumpai pada efusi pleura yaitu nyeri dada,

batuk, dan sesak napas. Nyeri dada yang disebabkan efusi pleura oleh karena

penumpukan cairan di dalam rongga pleura. Nyeri dada yang ditimbulkan oleh

efusi pleura bersifat pleuritic pain. Nyeri pleuritik menunjukkan iritasi lokal dari

pleura parietal, yang banyak terdapat serabut saraf. Karena dipersarafi oleh

nervus frenikus, maka keterlibatan pleura mediastinal menghasilkan nyeri dada

dengan nyeri bahu ipsilateral. Nyeri juga bisa menjalar hingga ke perut melalui

persarafan interkostalis. Sedangkan batuk kemungkinan akibat iritasi bronkial

disebabkan kompresi parenkim paru. (Roberts JR et al, 2014)

Efusi pleura dengan ukuran yang besar dapat mengakibatkan peningkatan ukuran

hemitoraks serta menyebabkan ruang interkostal menggembung pada sisi yang

terjadi efusi. Pada palpasi akan didapati taktil fremitus berkurang atau

menghilang sama sekali disebabkan cairan tersebut memisahkan paru – paru dari

dinding dada dan menyerap getaran dari paru – paru. Pada perkusi didapati beda,

dan akan berubah saat pasien berubah posisi jika cairan bisa mengalir bebas. Pada

auskultasi akan didapati suara napas yang menghilang tergantung ukuran efusi.

Egofoni dapat terdengar di batas paling atas dari efusi sebagai akibat dari

penyebab jaringan paru yang atelektasis. Gesekan pleura dapat dijumpai jika

terjadi iritasi di pleura, tetapi kadang juga sulit dijumpai dari auskultasi sampai

cairan terevakuasi. (Roberts JR, et al 2014).

17
Tabel II.1 Volume cairan pleura dan hubungannya dengan pemeriksaan fisik
(Klopp M, 2013)
Volume cairan pleura Temuan klinis

<250-300 cm3 Kemungkinan masih normal

500 cm3 1. Redup pada perkusi


2. Fremitus melemah
3. Pernapasan vesikular tetapi
intensitasnya menurun

1000 cm3 1. Tidak adanya retraksi inspirasi, sedikit


bulging pada sela iga
2. Ketinggalan bernapas pada sisi yang
sakit
3. Perkusi redup sampai ke scapula dan
axilla
4. Fremitus melemah atau menghilang di
posterior dan lateral
5. Suara pernapasan bronkovesikuler
6. Pada auskultasi terdapat Egophany
(suara i terdengar e) pada batas paling
atas efusi

Masif (memenuhi satu hemitoraks) 1. Bulging pada sela iga


2. Ketinggalan bernapas pada sisi yang
sakit
3. Suara napas menghilang
4. Pada auskultasi terdapat Egophony
(suara i terdengar e) di apeks
5. Liver atau spleen dapat teraba karena
adanya penekanan diafragma.

2. Pemeriksaan Penunjang

a. Foto Toraks

Karena cairan bersifat lebih padat daripada udara, maka cairan yang mengalir

bebas tersebut pertama sekali akan menumpuk di bagian paling bawah dari

18
rongga pleura, ruang subpulmonik dan sulkus kostofrenikus lateral. Efusi

pleura biasanya terdeteksi pada foto toraks postero anterior posisi tegak jika

jumlah cairan sampai 200 – 250 ml. Foto toraks dengan posisi lateral

decubitus dapat mendeteksi efusi pleura sebesar 50 – 75 ml dengan

arah sinar horizontal dimana cairan akan berkumpul disisi samping bawah.

Tanda awal efusi pleura yaitu pada foto toraks postero anterior posisi tegak

maka akan dijumpai gambaran sudut kostofrenikus yang tumpul baik dilihat

dari depan maupun dari samping. Dengan jumlah yang besar, cairan yang

mengalir bebas akan menampakkan gambaran meniscus sign dari foto toraks

postero anterior. Ketinggian efusi pleura sesuai dengan tingkat batas tertinggi

meniskus. Adanya pneumotoraks atau abses dapat mengubah tampilan

meniskus menjadi garis yang lurus atau gambaran air fluid level. (Roberts JR

et al, 2014).

Jumlah cairan minimal yang terdapat pada thoraks tegak adalah 250-300ml.

bila cairan kurang dari 250ml (100-200ml), dapat ditemukan pengisian cairan

di sudut costofrenikus posterior pada foto thorak lateral tegak. Cairan yang

kurang dari 100ml (50-100ml), dapat diperlihatkan dengan posisi lateral

dekubitus dan arah sinar horizontal dimana caran akan berkumpul disisi

samping bawah.

Pada kasus efusi pleura masif, seluruh hemitoraks akan terdapat bayangan

opasitas. Pada foto tersebut, pergeseran mediastinum dapat mengidentifikasi

penyebab efusi pleura tersebut. Dengan tidak adanya paru atau mediastinum

yang sakit, akumulasi cairan yang besar akan mendorong mediastinum ke

19
kontralateral. Ketika mediastinum bergeser ke arah efusi kemungkinan

kelainannya adalah di paru dan bronkus utama atau adanya obstruksi atau

keduanya. Ketika mediastinum tetap di medial kemungkinan penyebabnya adalah

tumor. (Roberts JR et al, 2014)

Gambar II.4 (a) Efusi pleura kiri pada foto toraks tampak dari postero anterior dan
lateral (b). Meniscus sign dapat terlihat dari kedua posisi tersebut. (Roberts JR et al,
2014)

- Posisi tegak posteroanterior (PA)

Pada pemeriksaan foto thorak rutin tegak, cairan pleura tampak berupa

perselubungan homogeny menutupi struktur paru bawah yang biasanya

relative radioopak dengan permukaan atas cekung berjalan dari lateral atas

ke medial bawah. Karena cairan mengisi ruang hemithorak sehingga

jaringan paru akan terdorong kea rah sentral / hilus, dan kadang-kadang

mendorong mediastinum kearah kontralateral.

20
Gambar II.5. Efusi pleura sinistra. Sudut Costophrenicus yang tumpul karena
efusi pleura

Gambar II.6 Efusi pleura dextra

21
Gambar II.7. Efusi pleura sinistra massif. Tampak mediastinum terdorong
kontralateral

Gambar II.8. Efusi pleura bilateral

Gambar II.9. Loculated pleural effusion. Tampak berbatascukup tegas dan biconvex.
Sering disebabkan oleh empiema dengan perlekatan pleura

22
- Posisi lateral

Bila cairan kurang dari 250ml (100-200ml), dapat ditemukan pengisian

cairan di sudut costofrenikus posterior pada foto thorak lateral tegak. Pada

penelitian mengenai model roentgen patologi Collins menunjukkan bahwa

sedikitnya 25ml dari cairan pleura ( cairan saline yang disuntikkan ) pada

radiogram dada lateral tegak lurus dapat dideteksi sebagai akumulasi cairan

subpulmonic di posterior sulcus costophrenic, tetapi hanya dengan adanya

pneumoperitoneum yang terjadi sebelumnya.

Gambar II.10 Gambaran efusi pleura pada foto posisi lateral

- Posisi Lateral Decubitus

Radiografi dada lateral decubitus digunakan selama bertahun-tahun untuk

mendiagnosis efusi pleura yang sedikit. Cairan yang kurang dari 100ml

(50-100ml), dapat diperlihatkan dengan posisi lateral dekubitus dan arah

sinar horizontal dimana caran akan berkumpul disisi samping bawah.

23
Gambar II.11. Efusi pleura pada posisi right lateral decubitus (penumpukan
cairan yang ditunjukkan dengan panah biru).

Gambar II.12. Efusi pleura pada posisi left lateral decubitus

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang utama pada kasus efusi pleura adalah dengan mengurangi

gejala yang ditimbulkan dengan jalan mengevakuasi cairan dari dalam rongga

pleura kemudian mengatasi penyakit yang mendasarinya. Pilihan terapinya

bergantung pada jenis efusi pleura, stadium, dan penyakit yang mendasarinya.

24
Pertama kita harus menentukan apakah cairan pleura eksudat atau transudat. (Yu H,

2011)

Penatalaksanaan efusi pleura dapat berupa aspirasi cairan pleura ataupun

pemasangan selang dada. Aspirasi cairan pleura dilakukan untuk tujuan diagnostik

misalnya pada efusi pleura yang tidak diketahui penyebabnya dan terapeutik yaitu

untuk mengevakuasi cairan maupun udara dari rongga pleura ketika pasien tidak

sanggup lagi untuk menunggu dilakukan pemasangan selang dada misalnya pada

pasien tension pneumotoraks. Selain aspirasi cairan pleura dapat juga dilakukan

pemasangan selang dada untuk tujuan terapeutik. Pemasangan selang dada

diperlukan jika terjadi gangguan fungsi fisiologis sistem pernapasan dan

kardiovaskular. (Klopp M, 2013)

Selain torakosentesis, prinsip penanganan efusi pleura adalah dengan mengobati

penyakit yang mendasarinya. Tindakan emergensi diperlukan ketika jumlah cairan

efusi tergolong besar, adanya gangguan pernapasan, ketika fungsi jantung terganggu

atau ketika terjadi perdarahan pleura akibat trauma tidak dapat terkontrol. Drainase

rongga pleura juga harus segera dilakukan pada kasus empiema toraks.

1. Torakosentesis.

Torakosentesis merupakan pilihan pertama dan merupakan tindakan yang

sederhana untuk kasus efusi pleura, bukan hanya untuk diagnosis tapi juga

untuk mengurangi gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura tersebut. Tetapi

bagaimanapun juga, torakosintesis yang berulang bukan pilihan yang tepat

untuk penanganan efusi pleura ganas yang progresif. Torakosintesis hanya

25
mengurangi gejala untuk sementara waktu dan akan membutuhkan kunjungan

yang berulang ke rumah sakit untuk melakukannya. (Yu H, 2011)

Torakosentesis merupakan pilihan pertama dan merupakan tindakan yang

sederhana untuk kasus efusi pleura, bukan hanya untuk diagnosis tapi juga

untuk mengurangi gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura tersebut. Tetapi

bagaimanapun juga, torakosintesis yang berulang bukan pilihan yang tepat

untuk penanganan efusi pleura ganas yang progresif. Torakosintesis hanya

mengurangi gejala untuk sementara waktu dan akan membutuhkan kunjungan

yang berulang ke rumah sakit untuk melakukannya. (Yu H, 2011)

Indikasi Torakosentesis

Indikasi torakosintesis pada kasus efusi pleura meliputi indikasi diagnostik dan

terapeutik

1) Diagnostik

Saat melakukan torakosentesis, sampel cairan pleura dapat diambil dan

diperiksakan untuk menentukan penyebab efusi. Untuk pemeriksaan

laboratorium dibutuhkan 50 – 100 ml. Sebagian besar efusi pleura yang

masih baru terukur lebih dari 10 mm pada foto toraks posisi lateral

dekubitus, CT scan toraks, atau USG toraks.

Tabel II.2. Tampilan cairan pleura untuk membantu diagnosis (Light RW, Lee

YCG, 2008)

Perkiraan Diagnosis

Kuning pucat (jerami) Transudat, eksudat pauci-cellular


Merah (seperti darah)
Hematokrit < 5%

26
Keganasan, BAPE (benign asbestos
pleural effusion), PCIS (post cardiac
Hematokrit cairan pleura/serum ≥0,5 injury syndrome), infark paru
Trauma
Putih susu Kilotoraks atau efusi pleura karena
kolesterol
Coklat Efusi pleura menyerupai darah yang
sudah berlangsung lama; pecahnya
abses hati amuba ke rongga pleura
Hitam Spora Aspergillus niger
Kuning kehijauan Pleuritis reumatoid
Warna dari selang makanan Selang makanan masuk ke dalam
rongga pleura,

Karakteristik Cairan
Nanah Empiema
Kental Mesotelioma
Debris Pleuritis reumatoid
Keruh Eksudat inflamasi atau efusi lipid
Anchovy paste Pecahnya abses hati amuba
Bau atau cairan busuk Empiema anaerobik
Ammonia Urinotoraks

2) Terapeutik Tujuan lain dilakukan torakosentesis adalah untuk mengurangi

gejala yang ditimbulkan misalnya meringankan sesak napas yang

diakibatkan jumlah cairan yang besar dan membutuhkan evakuasi segera.

Kontraindikasi torakosentesis

Tidak ada kontraindikasi untuk torakosentesis. Studi terbaru menunjukkan

bahwa jika torakosentesis dilakukan dengan tuntunan USG, maka hal ini aman

untuk dilakukan meskipun terdapat kelainan koagulasi. Perhatikan pasien

dengan kelainan koagulasi, termasuk gagal ginjal, tanda – tanda perdarahan

yang terjadi setelah prosedur. Hindari tempat yang terdapat selulitis maupun

herpes zoster dengan memilih lokasi torakosentesis alternatif. (Roberts JR et al,

2014)

27
Torakosentesis dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau

diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan

pada penderita dalam posisi tidur terlentang.

b. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di

daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di

bawah batas suara sonor dan redup.

c. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan

jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya

disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai

diahfrahma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum

tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura

parietalis tebal.

Gambar II.13. Metode torakosentesis

28
d. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada

setiap aspirasi. Untuk mencegah terjadinya edema paru akibat

pengembangan paru secara mendadak. Selain itu pengambilan cairan dalam

jumlah besar secara mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk,

bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.

2. Pemasangan WSD

Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks

dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat

dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:

a. Tentukan tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea

aksillaris anterior dan media.

b. Lakukan analgesia / anestesia pada tempat yang telah ditentukan.

c. Buat insisi kulit dan sub kutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai

muskulus interkostalis.

d. Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian dilebarkan.

Masukkan jari melalui lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai

rongga pleura / menyentuh paru.

e. Masukkan selang ( chest tube ) melalui lubang yang telah dibuat dengan

menggunakan Kelly forceps

f. Selang ( Chest tube ) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke

dinding dada

g. Selang ( chest tube ) disambung ke WSD yang telah disiapkan.

29
h. Foto X- rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.

Gambar 1II.14. Pemasangan jarum WSD

WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang,

kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang. Untuk

memastikan dilakukan foto toraks. Selang torak dapat dicabut jika produksi

cairan/hari <100ml dan jaringan paru telah mengembang. Selang dicabut pada

saat ekspirasi maksimum.

3. Pleurodesis.

Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan

penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan

adalah sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil,

adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan sbanyak-

banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan selang waktu 710

hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika

30
berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura,

sehingga mencegah penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.

Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang dan

paru dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050

ml larutan garram faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui

selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml larutan garam faal

untuk membilas selang serta 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa nyeri

yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan 11,5 jam sebelum

pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang

toraks diklem selama 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran

tetrasiklin merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24 jam

- 48 jam cairan tidak keluar, selang toreaks dapat dicabut.

31
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat


transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura
bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit.
Akibat adanya carian yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka kapasitas
paru akan berkurang dan di samping itu juga menyebabkan pendorongan organ-
organ mediastinum, termasuk jantung. Hal ini mengakibatkan insufisiensi
pernafasan dan juga dapat mengakibatkan gangguan pada jantung dan sirkulasi
darah.
Gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura antara lain sesak napas,
nyeri dada yang bersifat pleuritik, batuk, demam, menggigil. Manifestasi klinis
efusi pleura tergantung kepada penyakit yang mendasarinya.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pengembangan paru menurun,
gerakan dada sisi sakit tertinggal, tampak lebih cembung, penurunan fremitus
vocal atau taktil, gerak dada sisi sakit tertinggal, perkusi pada sisi yang sakit
redup pada bagian bawah garis Ellis Damoiseu, penurunan bunyi napas Jika
terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan yaitu foto thoraks, USG, CT-scan, thorakosintesis, biopsy
pleura.
Penatalaksanaan yang utama pada kasus efusi pleura adalah dengan
mengurangi gejala yang ditimbulkan dengan jalan mengevakuasi cairan dari
dalam rongga pleura kemudian mengatasi penyakit yang mendasarinya.
Penatalaksanaan efusi pleura dapat berupa aspirasi cairan pleura ataupun
pemasangan selang dada.

32
DAFTAR PUSTAKA

Bahar A. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam: Soeparman, Sukaton U, Waspadji S, et al.

Editor. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 1998; 785-

97.

Broaddus VC. 2009. Mechanisms of pleural liquid accumulation in disease. Uptodate.

Davies HE, Lee YCG. 2008. Pleural effusion, empyema, and pneumothorax. Di dalam :

Albert RK, Spiro SG, Jett JR, editor. Clinical Respiratory Medicine. Philadelphia

(US) : Mosby Inc.Hlm 853-62

Firdaus, Denny. 2012. Efusi Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek. Bandar Lampung.

Havelock T, Teoh R, Laws D, Gleeson F, Maskell N, Ali N, et al. BTS Pleural Disease

Guideline 2010 – a Quick Reference Guide. British Thoracic Society

Reports.2010;2(3):2040-2023

Klopp M. Chest Tube Placement in Principles and Practice of Interventional

Pulmonology. Springer. New York. 2013. 585-

Lee YCG. Pleural Anatomy and Fluid Analysis in Principles and Practice of

Interventional Pulmonology. Springer. New York. 2013. 545-555

Light RW. Pleural Effusions. Med Clin N Am. 2011;95:1055-1070

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.

Roberts JR, Custalow CB, Thomsen TW and Hedges JR. Roberts and Hedges’ Clinical

Procedures in Emergency medicine, Sixth Edition. Elsevier Saunders.

Philadelpia. 2014.

33
Rubins J. 2012. Pleural effusion. Medscape reference. Tersedia pada :

http://emedicine.medscape.com/article/299959.

Yataco JC, Dweik RA. 2005. Pleural effusions : evaluation and management. Cleveland

clinic journal of medicine, vol 72, No 10.

Yu H. Management of Pleural Effusion, Empyema, and Lung Abscess . Semin

Intervent Radiol 2011;28:75-86

34

Anda mungkin juga menyukai