“Ada tiga istilah yang menunjukkan serangan tersebut kepada umat Islam,” ungkapnya seperti
diberitakan tabloid Media Umat Edisi 182: Isu SARA Serang Umat Islam, 6 – 19 Muharram 1438
H/ 7 – 20 Oktober 2016.
Pertama, adanya pendangkalan akidah. Akidah dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting di
dalam kehidupan bernegara. Akidah itu seolah-olah harus dijauhkan, bacalah Pancasila dan UUD
1945, itulah yang harus dipakai acuan dalam berbagai aspeknya, bukan agama, bukan Al-Qur’an,
bukan hadits.
“Hemat saya, itu ada pendangkalan agama yang sangat serius,” tegasnya.
Kedua, ada kecurigaan. Kalau umat Islam maju memimpin maka akan ada kerugian bagi umat
lain. Jadi ada su’uzan, ada buruk sangka, ada curiga. Itu adalah ulah asing. Asing tidak suka
kalau umat Islam maju di Indonesia, berkembang di Indonesia.
“Karena dalam beberapa hal asing selalu saja kesulitan kalau berhadapan dengan orang Islam
yang mempunyai keteguhan iman dan moral yang baik. Sulit sekali asing bermain di situ,”
bebernya.
Ketiga, asing memang bermain di situ. isu ini digoreng, dibesar-besarkan oleh media-media
yang mengusung kepentingan asing.
“Asing di sini entah Amerika, entah Cina atau siapa pun lah. Yang pasti itu sangat mengganggu
kedaulatan kita,” pungkasnya. (mediaumat.com, 11/10/2016)
Dituding Anti Pancasila, Jubir HTI : Apakah Yang Menjual BUMN ke Pihak Asing Itu
Sesuai Pancasila?
03 May 2017 in Berita Dalam Negeri Leave a comment
Belakangan ini semakin sering kita mendengar, membaca dan menyimak pernyataan baik dari
individu maupun kelompok tertentu yang dengan gegabah menuduh individu atau kelompok lain
sebagai anti-pancasila, anti-kebinekaan bahkan anti-NKRI. Ironisnya, tidak sedikit dari mereka
yg melemparkan tuduhan dan fitnah tersebut justru orang yang sangat tidak memahami,
menghayati apalagi melaksanakan sila demi sila dari Pancasila. Terutama sila pertama
dan paling utama bagi orang yang beragama, yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bagi setiap orang yang berketuhanan yang Maha Esa tentunya Agama adalah sesuatu yang
sangat sakral, yang termahal dan yang akan menentukan apakah dirinya akan kekal dalam
kebahagiaan di syurga nanti, atau sebaliknya abadi dalam siksaan di neraka?
Seseorang yang beragama sangat mungkin masih bisa bersabar dan memaafkan orang yang
menghina, mencaci-maki, menista dan mendzalimi dirinya.Tapi ia akan sulit untuk menerima
dengan lapang dada dan memaafkan seseorang yang menodai, mencaci-maki dan menista
Agamanya. Menista kitab suci dan apa pun yang disakralkan agama adalah kebiadaban yang
terjahat dari segala bentuk kejahatan manusia, pelakunya dalam Islam diancam dengan hukuman:
“mati”.
Belajar dari kasus Ahok yang dengan alasan dan dalih apa pun, baik secara implisit bahkan
eksplisit telah dengan sangat dzahar menistakan Alquran kitab suci umat Islam, sehingga telah
menyebabkan kemarahan yang luar biasa bagi Ummat Islam baik di tanah air maupun di dunia,
baik yang mengekspresikan kemarahannya maupun yang tidak, ternyata dituntut jaksa penuntut
umum ” hanya satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan”. Dengan hanya tuntutan
seperti ini menurut para ahli hukum Tata Negara, yang bersangkutan sangat besar kemungkinan
divonis hakim tanpa harus dipenjara satu hari pun.
Bayangkan jika yang dihina atau dinista misalnya kepala negara atau lambang negara, saya yakin
(seperti yang juga telah terjadi pada masa lalu) yang bersangkutan akan dihukum dengan
hukuman maksimal. Fenomena yang sangat melukai perasaan orang yang beriman seperti ini,
sepatutnya mengantarkan kita kepada satu pertanyaan: Sudahkah Sila Pertama dari Pancasila
dilaksanakan di negeri ini? Ketika negara tidak lagi mampu melindungi warga negara dari
kesucian agama yang diagungkan dan dianutnya, lalu yang tidak pancasilais itu sebenarnya,
siapa? (republika.co.id, 26/4/2017)
Jubir HTI: Apakah Menista Alquran Itu Sesuai dengan Pancasila?
07 May 2017 in Berita Dalam Negeri Leave a comment
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, mempertanyakan niat pemerintah
untuk membubarkan organisasinya.
Pasalnya HTI adalah lembaga dakwah yang berbadan hukum, yang hanya berniat menyiarkan
ajaran Islam.
“Soal pembubaran HTI, apa salah HTI. HTI adalah kelompok dakwah legal berbada hukum
perkumpulan, yang semaata menyampaikan ajaran Islam. Tidak ada yang disampaikan oleh HTI
selain Islam, entah itu syariah, khilafah,” ujar Yusanto saat dihubungi, Kamis (4/5/2017).
Niat pemerintah untuk membubarkan HTI, salah satunya sudah dikatakan oleh Kepala Biro
Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rikwanto.
Kata dia, pembahasan soal pembubaran HTI dan organisasi yang diduga tidak pro Pancasila lain,
tengah dilakukan di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan
(Kemenkopolhukam).
Sementara itu Menkopolhukam, Wiranto, menegaskan bahwa pemerintah tidak akan tinggal
diam atas adanya organisasi-organisasi yang berniat untuk meruntuhkan ideologi Pancasila.
Ia tidak menyebut secara spesifik apakah organisasi yang ia maksud termasuk HTI, namun
ditegaskan kebijakan tersebut berlaku untuk semua organisasi anti Pacasila.
Ismail Yusanto menduga tuduhan bahwa HTI adalah organisasi yang anti Pancasila, adalah
tuduhan yang niat utamanya adalah politis. Cara-cara seperti itu kerap digunakan oleh
pemerintah di era Orde Baru (Orba), untuk menekan kelompok Islam.
“Ini seperti balik ke jaman Orde Baru, di mana rezim menghambat kegiatan dakwah, menyebut
kelompok Islam dengan tudingan macam-macam,” kataya.
“HTI tidak pernah melakukan kejahatan, korupsi, curi uang negara, jual aset negara dan lain-
lain.” ujarnya.
Ismail Yusanto mengingatkan bahwa ada banyak kelompok yang jelas-jelas anti Pancasila, yang
sampai saat ini tidak pernah dipermasalahkan keberadaannya.
Mereka menurutnya antara lain adalah kelompok pelindung pelaku penistaan agama.
“Apakah menista Alquran itu sesuai dengan Pancasila? Apakah melindungi penista Alquran itu
sesuai dengan Pancasila? Apakah korupsi sesuai dengan Pancasila? Apakah melindungi koruptor
sesuai dengan Pancasila? Apakah menjual aset negara sesuai dengan Pancasila,” katanya.
“Kenapa selalu kepada kelompok Islam tudingan anti Pancasila itu dialamatkan, ada apa ini?”
ujar Yusanto. (tribunnews.com, 4/5/2017)
Pancasila
Pancasila itu sakti. Pancasila itu sakral. Pancasila itu suci. Pancasila itu harga mati. Pancasila itu
asas; asas dari segala asas.
Karena sakral, Pancasila tak boleh direndahkan. Ada kesan, di negeri ini orang boleh saja
melecehkan Islam, mencampakkan Al-Quran, termasuk menghina Rasulullah sang teladan.
Sebagian menganggap hal itu sebagai bagian dari ekspresi kebebasan yang dijamin demokrasi.
Namun, tidak dengan Pancasila. Merendahkan dan menghina Pancasila adalah kejahatan tak
terperi dan pastinya anti-demokrasi.
Karena suci, Pancasila tak boleh diusik dan dikritisi. Ada kesan di negeri demokrasi ini Islam
boleh saja diusik; al-Quran dan as-Sunnah boleh dikritisi. Namun, tidak dengan Pancasila.
Sebab, bagi sebagian orang Pancasila itu lebih tinggi dari al-Quran maupun as-Sunnah. Pancasila
digali dari nilai-nilai luhur nenek moyang bangsa Indonesia. Adapun al-Quran dan as-Sunnah
hanyalah bersumber dari perkataan Tuhannya umat Islam semata. Karena itu, semua aturan dan
perundang-undangan yang ada di negeri ini boleh tidak merujuk bahkan bertentangan dengan al-
Quran dan as-Sunnah, tetapi haram berseberangan dan berlawanan dengan Pancasila.
Karena harga mati, Pancasila tak boleh ditawar-tawar. Menawar Pancasila adalah tindakan
amoral, bahkan kriminal. Lain halnya dengan syariah Islam. Di negeri demokrasi ini, hukum
Islam hanyalah pilihan; boleh diambil atau dicampakkan.
Sebaliknya sebagai asas, Pancasila tak boleh sekadar jadi pilihan. Asas negara boleh saja tidak
berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, tetapi haram jika tidak berdasarkan Pancasila. Maka dari
itu, menurut Pancasilais sejati, jika negara saja harus berasaskan Pancasila, maka apalagi Parpol
dan Ormas yang merupakan organisasi lebih kecil, tentu lebih wajib berasaskan Pancasila.
****
Pancasila itu ‘saudara kandung’ UUD ’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Keempatnya adalah
pilar kebangsaan yang tak boleh dipilah-pilah dan dipilih-pilih. Pancasilais sejati adalah
pemangku UUD ‘45, penjaga kesatuan NKRI sekaligus pemelihara Bhineka Tunggal Ika.
Namun, tunggu dulu! Semua itu ternyata bergantung pada tafsiran sang penguasa. Ada kesan, di
negeri ini penguasa boleh tidak melaksanakan Pancasila dan UUD ’45. Penguasa, misalnya,
boleh menyerahkan kekayaan alam negeri ini kepada pihak asing meski itu bertentangan dengan
prinsip keadilan dalam Pancasila dan berseberangan dengan amanat UUD ’45. Penguasa boleh
membuat UU Migas, UU Listrik, UU Penanaman Modal, UU Minerba, dll yang memungkinkan
pihak asing menjajah dan menjarah sumber-sumber kekayaan alam milik rakyat negeri ini. Tak
masalah jika semua UU itu merugikan rakyat. Asal tidak merugikan pihak asing, hal itu tak bisa
dianggap bertentangan dengan amanat dalam Pembukaan UUD ’45 yang mengandung spirit:
segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dihapuskan.
Penguasa boleh melepaskan Timor-Timur atas rekayasa dan tekanan penjajah meski itu
bertentangan dengan prinsip menjaga kesatuan NKRI. Penguasa pun tak perlu merasa berdosa
saat membiarkan Organisasi Papua Merdeka atau Republik Maluku Selatan tetap leluasa
melakukan gerakan makar dan tindakan separatis. Karena didukung pihak asing, semua itu juga
tak bisa disebut sebagai anti NKRI.
Penguasa juga tak perlu merasa bersalah saat jutaan anak tak bersekolah, anak-anak yatim
terlantar di jalanan dan banyak orang-orang miskin mati kelaparan. Tak perlu pula penguasa
berkecil hati ketika kemiskinan membelenggu puluhan juta rakyat negeri ini dan pengangguran
melanda jutaan angkatan kerja di berbagai lini. Tak perlu pula penguasa merasa tak tega saat
harus menaikkan harga BBM, gas dan listrik yang membuat rakyat tambah melarat, bahkan
sekarat. Ada kesan, asal bisa memuaskan para kapitalis di dalam negeri atau kapitalis asing,
kebijakan anti subsidi itu tidak bisa dianggap sebagai bertentangan dengan semangat dalam
pasal-pasal yang ada dalam UUD ’45. Tak bisa pula kebijakan itu disebut tidak adil dan anti
Pancasila. Ada kesan, yang disebut tidak adil itu jika rakyat menikmati subsidi, sementara pihak
asing tak leluasa menikmati keuntungan tinggi.
Ada pula kesan, yang bisa disebut anti Pancasila dan UUD ’45 itu adalah pihak-pihak yang
berusaha menerapkan syariah Islam secara formal dalam negara meski dengan niat untuk
menyelamatkan negeri yang terpuruk ini. Yang dinamakan anti NKRI adalah saat ada
sekelompok orang memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah meski untuk mempersatukan
negeri sekaligus membebaskannya dari segala bentuk penjajahan di semua lini. Yang anti
kebhinekaan itu adalah yang mendukung perda-perda berbau syariah dan menolak pendirian
gereja ilegal di tengah komunitas kaum Muslim.
*****
Jika demikian kenyataannya, jangan disalahkan jika ada yang beranggapan bahwa Pancasila
sejatinya hanyalah cap dan label. Mereka yang korupsi, melakukan praktik suap-menyuap atau
biasa menerima gratifikasi—termasuk gratifikasi seks—tak pernah dicap menyeleweng dari
Pancasila. Mereka yang menggadaikan kekayaan negeri milik rakyat serta menjual negara dan
harga diri bangsa kepada pihak asing juga tak pernah dilabeli berseberangan dengan Pancasila.
Mereka yang terus mempraktikkan serta mempropagandakan sekularisme, pluralisme dan
liberalisme—meski semua itu telah nyata membahayakan negeri ini—tak pernah pula dituduh
anti Pancasila.
Sebaliknya, Anda yang tak pernah korupsi, menolak segala bentuk gratifikasi, enggan melakukan
praktik suap-menyuap dan anti terhadap tindakan amoral lainnya tak berarti Anda bisa aman dari
labelisasi. Siap-siaplah Anda untuk dicap anti Pancasila, dilabeli anti UUD ’45 serta dituduh anti
NKRI dan anti kebhinekaan jika Anda adalah seorang Muslim yang taat; yang menghendaki
tegaknya Islam secara total dalam semua aspek kehidupan; yang menginginkan penerapan
syariah secara kaffah, apalagi berjuang demi mewujudkan kembali Khilafah ‘ala Minhaj an-
Nubuwwah.
Namun demikian, tentu Anda tak perlu berkecil hati. Pasalnya, di negeri ini sepertinya tak ada
yang namanya Pancasilais sejati. Yang malah banyak ditemukan adalah mereka yang—sengaja
atau tidak—memperalat Pancasila untuk kepentingan pribadi, partai bahkan pihak asing yang
justru telah banyak merusak negeri ini. Karena itu, tetaplah istiqamah dalam perjuangan
mengembalikan Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. [Arief B. Iskandar]
Waspadai Rezim Represif Berkedok Pancasila
23 Mar 2013 in Berita Dalam Negeri, Headline 1 Comment
++++
Mengawali presentasi yang sangat singkat karena memang waktu sangat terbatas mengingat sore
bulan puasa, saya menyampaikan bahwa di kalangan umat Islam memang ada yang sangat anti
terhadap Pancasila, ada juga yang sangat mendukung, bahkan mengatakan bahwa Pancasila itu
sesungguhnya adalah saripati dari ajaran Islam. Hamka Haq tentu termasuk kelompok yang
kedua. Dalam buku ini, ia jelas sekali ingin menegaskan bahwa tidak ada yang salah dari
Pancasila. Bahkan sesungguhnya telah banyak sekali yang dilakukan oleh negara yang berdasar
Pancasila ini dalam apa yang disebut sebagai penerapan syariah baik melalui peraturan
perundang-undangan seperti lahirnya UU Perkawinan, UU Zakat, UU Perbankan Syariah, UU
Perlindungan Anak dan sebagainya; maupun melalui aneka ragam kebijakan pemerintah seperti
kebolehan memakai jilbab bagi pelajar dan pegawai negeri dan sebagainya. Jadi tegasnya,
penerapan syariah itu justru berjalan sangat subur di Bumi Pancasila.
Menanggapi uraian Prof Hamka dalam buku itu, saya mengatakan bahwa sesungguhnya
Pancasila hanyalah set of philosophy atau seperangkat pandangan filosofis tentang ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan yang dijadikan sebagai dasar negara.
Sebagai set of philosophy, Pancasila tidaklah mencukupi (not sufficient) untuk mengatur negara
ini (to govern this country). Buktinya, di sepanjang Indonesia merdeka, dalam mengatur negara
ini, rezim yang berkuasa—meski semua selalu mengaku dalam rangka melaksanakan
Pancasila—ternyata menggunakan sistem dari ideologi yang berbeda-beda. Rezim Orde Lama
misalnya, menggunakan Sosialisme. Rezim Orde Baru menggunakan Kapitalisme. Rezim
sekarang oleh banyak pengamat disebut menggunakan sistem neo-liberal. Jadi, meski pada level
filosofis semua mengaku melaksanakan Pancasila, underlying system atau sistem yang
digunakan ternyata lahir dari ideologi sekularisme baik bercorak sosialis, kapitalis ataupun
liberalis.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena pada faktanya yang diberikan oleh Pancasila hanyalah
sebatas gagasan-gagasan filosofis. Padahal untuk mengatur sebuah negara tidak hanya
diperlukan gagasan filosofis, tetapi juga pengaturan yuridis yang mencakup apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Bila ideologi yang bahasa Arabnya mabda’—
sebagaimana disebut oleh Syaikh Muhammad Muhammad Ismail dalam kitabAl-Fikr al-
Islami (1958)—didefinisikan sebagai ‘aqidah ‘aqliyah yang memancarkan sistem
atau nizhâm untuk mengatur kehidupan manusia dalam seluruh aspek baik politik, ekonomi,
sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya, maka Pancasila bukanlah sebuah ideologi. Itulah
sebabnya hingga sekarang, misalnya, tidak pernah lahir rumusan tentang Ekonomi Pancasila
meski sejumlah orang seperti Guru Besar FE UGM, Prof. Mubyarto semasa hidupnya sudah
bersusah-payah berusaha menyusunnya. Yang berjalan di negara ini hingga sekarang tetap saja
ekonomi kapitalis.
Oleh karena itu, dalam tataran praktis banyak sekali peraturan perundangan dan kebijakan
pemerintah yang layak dipertanyakan kesesuaiannya dengan Pancasila. Misalnya, apakah UU
Penanaman Modal (yang memungkinkan kekuatan asing melakukan investasi di segala bidang
nyaris tanpa hambatan), UU Migas (yang amat merugikan peran Pertamina sebagai BUMN yang
notabene milik rakyat dalam pengelolaan migas), atau UU Sumber Daya Air (yang secara fatal
telah mentransformasi air bukan hanya dalam fungsi sosial tetapi juga komersial) dan banyak
lagi UU yang sangat berbau neo-liberal, itu semua adalah Pancasialis? Apakah kebijakan
pemerintah seperti menjual Indosat kepada pihak asing dan menyerahkan blok kaya minyak di
Cepu kepada Exxon Mobil, bukan kepada Pertamina, adalah juga sebuah kebijakan yang
Pancasilais? Adapun peraturan perundangan dan kebijakan pemerintah yang disebut Prof.
Hamka sebagai penerapan syariah itu hanyalah sebatas aspek-aspek yang menyangkut al-ahwal
asy-syakhsiyyah, seperti aspek ibadah, pakaian atau NTCR (nikah-talak-rujuk-cerai). Kalau ada
UU yang terkait muamalah, seperti UU perbankan syariah, tetap saja ia hanyalah merupakan
bagian dari sistem perbankan ribawi.
Di akhir uraian, saya menyentak hadirin dengan pertanyaan, sekarang tunjukkan bahwa
perjuangan penerapan syariah itu bertentangan dengan Pancasila? Sila yang mana? Sebaliknya,
saya bisa katakan bahwa menolak penerapan syariah itu bertentangan dengan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa. Sebab, Tuhan yang mana yang dimaksud bagi rakyat Indonesia yang mayoritas
Muslim bila bukan Allah SWT. Allah SWT telah memerintahkan untuk menerapkan aturan-
aturan-Nya secara kaffah. Nah, Hizbut Tahrir Indonesia melalui rangkaian kegiatan dakwahnya
tidak lain bertujuan untuk menegakkan syariah secara kaffah menggantikan sistem yang lahir
dari ideologi sekular tadi. Hanya dengan penerapan syariah, prinsip-prinsip tentang ketuhanan
yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, kerakyatan dan keadilan
sosial itu benar-benar dapat diwujudkan.
Tambahan lagi, dalam konteks Indonesia, ide khilafah yang substansinya adalah syariah dan
ukhuwah, yang diperjuangkan HTI, sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap
penjajahan baru (neo-imperialisme) yang nyata-nyata sekarang tengah mencengkeram negeri ini
yang dilakukan oleh negara adikuasa. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa
dihadapi secara sepadan. Adapun syariah akan menggantikan sekularisme yang telah terbukti
memurukkan negeri ini. Karena itu, perjuangan HTI dalam berbagai bentuknya itu harus dibaca
sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dalam berusaha mewujudkan Indonesia
lebih baik di masa datang, termasuk guna meraih kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai
bentuk penjajahan yang ada.
++++
Kita tidak boleh lupa, secara politik, Pancasila oleh tiap rezim di masa lalu memang acap
digunakan untuk membungkam lawan-lawan politiknya atau menutup pintu bagi lahirnya
gagasan atau ide baru meski ide itu sangat diperlukan untuk perbaikan negeri ini. Dulu, rezim
Orde Baru selalu menyatakan bahwa siapa saja yang menentang Pemerintah, termasuk yang
memperjuangkan Islam, sebagai menentang Pancasila, dan siapa saja yang sudah dicap
menentang Pancasila kala itu absah untuk dihabisi. Kini, Pancasila agaknya juga akan kembali
digunakan untuk menghentikan laju dukungan terhadap ide syariah dan Khilafah yang mulai
marak di tengah masyarakat.
Jelas hal ini patut dicurigai. Mengapa isu Pancasila tidak dimunculkan, misalnya saat maraknya
kasus korupsi yang melibatkan banyak pejabat negara dan anggota parlemen dari tingkat daerah
hingga tingkat pusat? Mengapa isu Pancasila tidak muncul saat penguasa negeri ini menyerahkan
kekayaan alamnya ke pihak asing atas nama privatisasi? Mengapa isu Pancasila juga tidak
muncul saat negeri ini secara membabibuta menerapkan ekonomi neoliberalisme? Bukankah
semua itu malah lebih pantas dianggap sebagai antitesis terhadap Pancasila, bukan syariah dan
Khilafah? Mengapa?![]
Sejarah Sekularisme
Gagasan sekularisme (pemisahan agama dari politik) pertama kali muncul di Barat sebagai kritik
terhadap dominasi Gereja pada Abad Pertengahan. Ketika itu Gereja Kristen menjadi institusi
dominan. Dengan pembentukan Sistem Kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M),
Paus dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa
batas dalam seluruh sendi kehidupan; khususnya aspek politik, sosial dan pemikiran (Idris, 1991:
75-80; Ulwan, 1996: 73). Dominasi ini ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan
melalui persekongkolan Gereja dan raja/kaisar; mengakibatkan kemandegan ilmu pengetahuan
dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Kemudian muncul upaya koreksi atas Gereja yang
disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w.
1546), Zwingly (w. 1531) dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan kemunculan
para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne
(w. 1592). Mereka menentang dominasi Gereja, menghendaki agama disingkirkan dari
kehidupan dan menuntut kebebasan. Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad
XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan
tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778) dan Rousseau (1778). Puncak penentangan
terhadap Gereja ini adalah terjadinya perang selama 30 tahun, yang diakhiri dengan adanya
Perjanjian Westphali 1846. Melalui perjanjian ini, akhirnya secara total Gereja dipisahkan dari
masyarakat, negara dan politik (Qashash, 1995: 30-31). Sejak itulah lahir sekularisme yang
menjadi dasar ideologi dan peradaban Barat.
Sekularisme di Indonesia
Sekularisme masuk ke Indonesia secara paksa melalui proses penjajahan, khususnya oleh
pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekuler telah termaktub dalam Undang-Undang
Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan, bahwa Pemerintah bersikap netral
terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama
(Suminto, 1986: 27).
Prinsip sekuler dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada Pemerintah
Kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan Pemerintah Kolonial dalam
menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik.
Inti Islam Politiek adalah: (1) dalam bidang ibadah murni, Pemerintah hendaknya memberikan
kebebasan sepanjang tidak mengganggu kekuasaan Pemerintah Belanda; (2) dalam bidang
kemasyarakatan, Pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat
mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, Pemerintah harus mencegah setiap
upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam (Suminto, 1986: 12).
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk
menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekuler yang ditanamkan
penjajah. Sayang sekali, ini tidak terjadi. Revolusi Kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti
rejim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti,
tetapi ideologi tetap sekuler. Karena itu sejak awal Indonesia adalah negara sekuler.
Alhasil, gagasan sekularisme (pemisahan agama dari politik) sebagaimana yang diutarakan oleh
Presiden Jokowi tak lain sekadar mengekor ke peradaban Barat; mengikuti dan melanggengkan
arahan penjajah.
Karena itu pula, saatnya kita mencampakkan sekularisme, lalu kita ganti dengan akidah dan
syariah Islam. Hanya saja, penegakan syariah Islam membutuhkan institusi pemerintahan Islam.
Itulah Khilafah‘ala minhaj an-Nubuwwah. Khilafah inilah yang harus segera kita tegakkan. []
Komentar al-Islam:
MUI: Politik Tanpa Agama akan Buat Manusia Jadi Serigala (Republika.co.id, 29/3/2017).
1. Apa yang dinyatakan MUI di atas sebetulnya sudah terjadi dalam sistem politik demokrasi
saat ini. Pihak yang kuat memangsa pihak yang lemah.
2. Penguasa menjadikan rakyat sebagai ‘mangsa’ yang terus ditindas dengan berbagai
kebijakan yang zalim seperti: membebani rakyat dengan ragam pajak, kenaikan harga BBM,
gas, listrik; menyerahkan kekayaan milik rakyat kepada pihak asing; dll.
3. Hanya dalam sistem Khilafah yang menerapkan syariah secara kaffah, politik benar-benar
ditujukan untuk melayani kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan mereka.
Sosialisme, Kapitalisme, Liberalisme Sesuai dengan Pancasila?
11 Apr 2013 in Berita Dalam Negeri 1 Comment
Untuk Kualitas Puasa yang Super, Hormati Orang yang Tidak Puasa. Demikian isi salah satu
spanduk yang terbentang di salah satu sudut jalan pada bulan Ramadhan 1437 H lalu. Spanduk
tersebut kemudian menjadi ramai bahkan menjadi viral perbincangan, apalagi di dunia
maya.Mereka yang setuju terhadap isi spanduk tersebut berdalih, bahwa orang yang berpuasa itu
tidak butuh penghormatan manusia apalagi sampai berharap dirinya untuk dihormati. Jadi, tidak
perlu harus ada kata-kata, “Hormatilah orang yang sedang berpuasa.” Bagi mereka justru puasa
yang super itu adalah ketika orang yang sedang berpuasa menghormati mereka yang tidak
berpuasa. Ini bagi mereka adalah salah satu bentuk toleransi yang harus dijaga.
Sekilas memang terdengar logis, masuk akal. Orang yang berpuasa harus bisa menahan diri saat
melihat ada orang yang tidak berpuasa sedang makan atau minum. Dengan menahan hawa nafsu
tersebut, kualitas puasanya menjadi lebih baik, atau super menurut istilah yang mereka gunakan.
Namun, bagi seorang Mukmin, ini adalah kemungkaran yang nyata, yang tidak boleh dibiarkan.
Kemungkaran tersebut haruslah dicegah. Allah SWT berfirman:
ِ َو ْلت َ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أ ُ َّمةٌ يَدْعُونَ إِلَى ْال َخي ِْر َويَأ ْ ُم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُر
َوف َو َي ْن َه ْونَ َع ِن ْال ُم ْنك َِر َوأُولَئِكَ ُه ُم ْال ُم ْف ِلحُون
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan
amar makruf nahi mungkar. Merekalah kaum yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Seruan toleransi pun mulai disuarakan. Apalagi ditambah dengan peristiwa penggrebekan
warung Bu Saeni beberapa waktu lalu di Pasar Rau, Kota Serang, Banten oleh Satpol PP.
Peristiwa penggrebekan warung makan Bu Saeni terus diberitakan oleh media hingga
menampilkan kesan Saeni yang teraniaya atas tindakan satpol PP tersebut. Hasilnya, imbauan
untuk menumbuhkan toleransi terus diserukan banyak tokoh, bahkan termasuk para penguasa di
negeri ini. Wapres Jusuf Kalla, misalnya, berkomentar, “Yang tidak puasa menghormati orang
puasa. Yang puasa juga tetap hormati yang tidak puasa,” kata Kalla (Kompas.com,12/06/2016).
Bahkan Presiden Jokowi memberikan bantuan uang sebesar sepuluh juta rupiah kepada Bu
Saeni.
Toleransi semacam ini adalah toleransi yang keliru dan terbalik. Harusnya, yang tidak berpuasa
menghormati mereka yang sedang berpuasa dengan cara tidak makan minum secara terang-
terangan di tempat umum. Sebagaimana pada saat berlangsung shalat, mereka yang tidak shalat
harus menghormati mereka yang sedang shalat dengan cara tidak membuat suasana berisik
sehingga bisa mengganggu kekhusyukan mereka yang sedang shalat.
Makna Toleransi
Toleransi merupakan kata yang berasal dari Barat. Secara bahasa, toleransi berasal dari
kata tolerance. Maknanya adalah “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes).
Kata tolerance kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi toleransi yang berasal
dari katatoleran. Kata ini mengandung arti: bersikap atau bersifat menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang
berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Kata toleransi ini kemudian dijadikan alat oleh musuh-musuh Islam, termasuk kaum Liberal
yang ada di Indonesia. Kaum Liberal selalu menjadikan kebebasan sebagai fokus utama mereka,
sebagaimana paham liberal yang mereka anut, yakni kebebasan tanpa batas yang menerjang
norma-norma agama. Tema sentral yang biasa mereka usung ialah pemisahan agama dari politik,
demokrasi, HAM, kesetaraan jender, kebebasan penafsiran teks agama, toleransi beragama,
kebebasan berekspresi dan persamaan agama (pluralisme).
Berbeda dengan Islam. Islam mengartikan toleransi dengan istilah “tasâmuh”. Dalam kamus Al-
Muhith, Oxford Study Dictionary English-Arabic (2008: 1120) istilah tasâmuh memiliki
arti tasâhul (kemudahan). Artinya, Islam memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk
menjalankan apa yang ia yakini sesuai dengan ajaran masing-masing tanpa ada tekanan dan tidak
mengusik ketauhidan.
Maka dari itu, umat Islam seharusnya jeli dalam memahami setiap persoalan yang kemudian
membawa membawa-bawa istilah toleransi tersebut. Umat Islam tidak dibenarkan—agar tidak
disebut intoleran—bersikap memaklumi dan menghargai sesuatu yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam.
Menghambat Penegakan Syariah Islam
Sadar atau tidak, sikap toleransi yang salah tersebut akan menghambat upaya untuk tegaknya
syariah Islam di negeri ini. Lihatlah, saat umat Islam menginginkan syariah Islam dijadikan
aturan yang mengatur negeri ini, mereka berujar, “Kita harus menghormati agama lain, termasuk
menghormati kelompok lain”. Dalih mereka, tidak boleh ada satu ajaran mendominasi ajaran
lain; Indonesia adalah negara yang bukan hanya ada Islam, namun juga terdapat pemeluk agama
lain. Padahal penerapan syariah Islam merupakan perkara yang diwajibkan atas umat Islam
untuk mengatur urusan kehidupan mereka.
Allah SWT memerintahkan setiap Muslim agar dalam menjalankan semua aktivitasnya
senantiasa sejalan dengan hukum syariah. Bahkan Allah SWT menafikan keimanan mereka yang
tidak terikat dengan syariah yang dibawa oleh Rasulullah saw. (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 65).
Penafian keimanan atas mereka yang tidak terikat syariah dipertegas oleh Rasulullah saw.
dengan sabdanya:
َّ الَ يُؤْ ِمنُ أ َ َحد ُ ُك ْم َحت
ى َي ُكونَ ه ََواهُ تَبَعا ً ِل َما ِجئْتُ بِ ِه
Tidaklah beriman seseorang di antara kalian hingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti
apa yang aku bawa (HR Abu Hatim dalam Shahîh-nya).
Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh melakukan perbuatan atau meman-faatkan apapun
di luar ketentuan hukum, yakni harus selalu terikat dengan syariah (An-Nabhani, Muqaddimah
ad-Dustûr, hlm. 84).
Kita juga bisa melihat beberapa kejadian yang menjadi penghambat tegaknya syariah Islam atas
nama toleransi dalam masalah beragama, semisal:
2. Perda-Perda Syariah.
UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa pemerintah daerah dapat membuat peraturan daerah.
Karena itu sejumlah pemerintah daerah berlomba-lomba untuk merumuskan perda sesuai dengan
keunikan dan kekhasan daerahnya masing-masing, termasuk keunikan beragamanya. Salah satu
contoh peraturan daerah yang dibentuk berdasarkan ciri atau kekhasan tertentu adalah perda
syariah.
Lebih 25 provinsi/kota/kabupaten telah melahirkan berbagai aturan baik dalam bentuk peraturan
daerah atau instruksi kepala daerah yang dinilai sementara kalangan sebagai perda berbau
syariah atau perda syariah.
Beberapa kali perda-perda itu digugat khususnya di lembaga parlemen. Kalangan Kristen dan
Liberal yang paling getol mempermasalahkan. Pembentukan dan pemberlakuan perda itu dinilai
inkonstitusional serta intoleran karena bertentangan dengan konstitusi dan Pancasila, meresahkan
masyarakat, tidak sesuai dengan prinsip kebhinekaan dan mengancam NKRI; ditambah dengan
alasan mengancam hak-hak kebebasan masyarakat sipil, hak-hak perempuan dan non-Muslim.
Pasca pemberitaan terkait dengan penggrebekan warung makan Bu Saeni yang menyita perhatian
publik, muncul kabar Jokowi menghapus 3.143 Perda. Penghapusan Perda dan Peraturan Kepala
Daerah itu diumumkan langsung Presiden Joko Widodo di Istana Presiden Senin (13/6) petang.
“Sekali lagi saya tegaskan bahwa pembatalan ini untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa
yang besar, yang toleran dan yang memiliki daya saing,” tegas Jokowi saat menutup
pernyataannya seusai membacakan jenis-jenis perda yang dibatalkan tersebut.
Secara tersirat maksud dari kalimat perda yang bertentangan dengan perundangan-undangan
yang lebih tinggi, sepertinya mengarah pada perda-perda syariah atau yang berbau syariah. Itu
dapat dilihat dari alasan penghapusan perda-perda tersebut, yakni salah satunya adalah agar
Indonesia menjadi bangsa yang besar dan toleran. Faktanya, para penolak perda syariah selalu
berdalih bahwa perda syariah itu tidak toleran.
3. UU Perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan no. 1 Tahun 1974 (UU-P no. 1/1974) tak pernah sepi dari kritik.
Kelompok Liberal aktif menuntut revisi UU-P. Tim PUG Depag pada tahun 2004 pernah
mengeluarkan CLD-KHI (Counter Legal Draft – Kompilasi Hukum Islam). Sebagai contoh
masalah poligami (ta’addud al-zawjât), menurut draft yang terdapat di dalam CLD-KHI, adalah
tidak diizinkan sama sekali, haram li ghayrihi(Pasal 3). Menurut CLD-KHI pula, pernikahan
beda agama diizinkan asalkan bertujuan untuk mencapai tujuan perkawinan. Ini tentu
pemahaman yang keliru dan menyimpang dari agama Islam. Dengan semangat liberalisme dan
toleransi, mereka mengajukan draft ini kepada MK walaupun akhirnya usaha mereka tersebut
gagal.
4. RUU Halal.
Setelah melalui jalan yang panjang dan berliku, akhirnya RUU Jaminan Produk Halal disahkan
menjadi undang-undang pada rapat paripurna DPR RI hari Kamis, 25 September 2014 di Gedung
Nusantara DPR RI, Jakarta (25/9). Rapat Paripurna yang dipimpin oleh Priyo Budi Santoso
secara aklamasi menyetujui RUU JPH menjadi Undang-Undang.
Namun, kalau kita melihat proses RUU tersebut, upaya penolakan dari sebagian kalangan
sangatlah terasa. Mereka beralasan, Negara Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke, tiap etnik mempunyai kekayaan dengan beragam budaya, seni, ritual tradisi, adat, cara
berpakaian, berbagai jenis produk minuman dan makanan kuliner yang berkembang selama
berabad-abad, yang menunjukkan kemajemukan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, RUU Halal
akan mengotak-ngotakkan masyarakat, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Standar Ganda Toleransi
Kalau disepakati bahwa makna dari toleransi adalah menahan perasaan tanpa protes, maka
tampak jelas bahwa kalangan Liberal tidak konsisten dengan konsep mereka sendiri untuk ‘tidak
protes’ terhadap pendapat yang berbeda dari pemikiran/konsep yang mereka bawa. Kaum
Muslim dipaksa tunduk pada argumentasi mereka kendati itu menyalahi konsep mereka sendiri.
Contoh bagaimana kehidupan Umat Islam di Bali saat Hari Raya Nyepi. Kaum Muslim harus
mematikan lampu dan tidak boleh melaksanakan aktivitasnya dengan bebas pada hari itu.
Bahkan belakangan, Raja Bali meminta kaum Muslim tidak menyembelih sapi karena binatang
tersebut dianggap sebagai dewa. Terhadap kondisi ini, tidak ada kelompok Liberal yang protes.
Sebaliknya, ketika kaum Muslim mengumandangkan azan melalui pengeras suara, mereka
protes. Padahal suara keras itu ada di wilayah yang mayoritas Muslim. Kaum Muslim diminta
menghormati non-Muslim dengan mengecilkan suara panggilan orang shalat tersebut.
Kita juga masih ingat bagaimana umat Islam di Tolikara dilarang melaksanakan shalat Id, juga
dilarang membangun masjid. Padahal umat Islam di Indonesia adalah mayoritas. Namun, dalam
masalah toleransi seolah digiring agar yang mayoritas mengalah kepada minoritas. Padahal yang
minoritas harusnya sadar diri. Lihatlah juga bagaimana umat Islam yang mayoritas tersebut harus
mengalah kepada kalangan yang tidak setuju terkait 7 kata di dalam Piagam Jakarta sehingga
kemudian dihapuskan.
Oleh karena itu, toleransi adalah salah satu alat yang selalu dijadikan kafir Barat, kalangan
liberal sekular, untuk menghalangi umat Islam hidup diatur dengan syariah Islam, karena itu
berarti mengubur peradaban Barat yang sedang mereka bangun. Mereka hanya toleran terhadap
kaum Muslim yang mau hidup dengan peradaban Barat, yakni melepaskan syariah Islam dari
kehidupan.
WalLâhu ‘alam. [Adi Victoria; Humas HTI Kaltim]
Ahistoris dan Gegabah, Mengaitkan Islam Ideologis dengan Potensi Perpecahan Bangsa
24 Feb 2016 in Berita Dalam Negeri Leave a comment
Pernyataan peneliti LIPI Anas Saidi yang menyebut radikalisme ideologi Islam berpotensi
perpecahan bangsa dan mengancam ideologi Pancasila mendapat sanggahan telak dari anggota
CMO Hizbut Tahrir Fika Komara.
“Upaya mengaitkan pemahaman Islam ideologis dengan potensi perpecahan bangsa dan
ancaman bagi Pancasila merupakan kesimpulan yang ahistoris sekaligus gegabah!” tegasnya
seperti dimuat lamanfacebook Far-Eastern Women’s Voices for the Khilafah, Senin (22/2).
Pernyataan Anas yang menyebut istilah “radikalisme ideologi” juga mendapatkan kritik tajam.
Menurut Fika, jika yang dimaksud radikalisasi sebagai proses menjadikan sesuatu mendasar dan
sampai pada hal yang prinsip, maka demikian selayaknya seorang Muslim memahami Islam.
Persoalannya, upaya ini jelas tidak mendapat ruang dalam kehidupan sekuler. Sebaliknya,
sekularisme dan liberalisme mendapat ruang leluasa meradikalisasi dan mengkader putra-putri
umat Islam menjadi para pemuja sekularisme dan duta liberalisme.
“Ibarat maling teriak maling, kapitalisme, sekularisme dan liberalisme lah yang secara nyata
telah mengoyak bangsa,” kata Fika.
Menurutnya, pemahaman Islam ideologis telah hidup mengakar dalam keseharian umat di
nusantara, bahkan berperan besar dalam memobilisasi perlawanan secara fisik dan intelektual
terhadap penjajahan.
Ada pun data yang menjadi sandaran Anas dalam sesumbarnya adalah hasil survei yang
menunjukkan bahwa 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tidak lagi
relevan. Sementara 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru menyatakan setuju dengan penerapan
syariat Islam.
Fika mengingatkan, data yang menunjukkan 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan
Pancasila tidak lagi relevan penting untuk didalami kembali bahkan idealnya menjadi autokritik.
Kenyataannya, krisis ideologi memang sedang terjadi, dan Indonesia menjadi bulan-bulanan
penjajahan di segala bidang.
“Pemahaman ideologi yang dimiliki umat saat ini tidak mampu membendung derasnya pukulan
kapitalisme,” ungkapnya.
Adapun angka 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju dengan penerapan syariat Islam
menunjukkan bahwa umat percaya pada kapasitas Islam sebagai ideologi alternatif.
“Meskipun demikian, keliru jika data ini dihubungkan dengan potensi bergabung dengan ISIS,
sebab ISIS tidak mencerminkan penerapan ideologi Islam bahkan sebaliknya mencoreng dan
menyudutkan Islam,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo
Persis: Liberalisasi Air, Hutan dan Migas Melanggar Sunnah Rasul
17 May 2015 in Berita Dalam Negeri Leave a comment