Anda di halaman 1dari 25

Pakar Hukum Tata Negara: Isu SARA Serang Umat Islam

11 Oct 2016 in Berita Dalam Negeri Leave a comment


Pakar Hukum Tata Negara Universitas Parah yangan Prof Dr Asep Warlan Yusuf SH, MH
mengungkapkan isu suku-agama-ras-antargolongan (SARA) dijadikan alat untuk menyerang
umat Islam.

“Ada tiga istilah yang menunjukkan serangan tersebut kepada umat Islam,” ungkapnya seperti
diberitakan tabloid Media Umat Edisi 182: Isu SARA Serang Umat Islam, 6 – 19 Muharram 1438
H/ 7 – 20 Oktober 2016.
Pertama, adanya pendangkalan akidah. Akidah dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting di
dalam kehidupan bernegara. Akidah itu seolah-olah harus dijauhkan, bacalah Pancasila dan UUD
1945, itulah yang harus dipakai acuan dalam berbagai aspeknya, bukan agama, bukan Al-Qur’an,
bukan hadits.
“Hemat saya, itu ada pendangkalan agama yang sangat serius,” tegasnya.
Kedua, ada kecurigaan. Kalau umat Islam maju memimpin maka akan ada kerugian bagi umat
lain. Jadi ada su’uzan, ada buruk sangka, ada curiga. Itu adalah ulah asing. Asing tidak suka
kalau umat Islam maju di Indonesia, berkembang di Indonesia.
“Karena dalam beberapa hal asing selalu saja kesulitan kalau berhadapan dengan orang Islam
yang mempunyai keteguhan iman dan moral yang baik. Sulit sekali asing bermain di situ,”
bebernya.
Ketiga, asing memang bermain di situ. isu ini digoreng, dibesar-besarkan oleh media-media
yang mengusung kepentingan asing.
“Asing di sini entah Amerika, entah Cina atau siapa pun lah. Yang pasti itu sangat mengganggu
kedaulatan kita,” pungkasnya. (mediaumat.com, 11/10/2016)

Dituding Anti Pancasila, Jubir HTI : Apakah Yang Menjual BUMN ke Pihak Asing Itu
Sesuai Pancasila?
03 May 2017 in Berita Dalam Negeri Leave a comment

Jubir HTI ust Ismail Yusanto


Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto akhirnya angkat bicara terkait
tuduhan organisasinya yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Ismail membebaskan
orang untuk menilai apa tentang HTI. “Silakan saja orang menilai,” ujar juru Ismail Yusanto.
Menurut Ismail, retorika anti Pancasila saat ini digunakan sebagai senjata politik untuk memukul
pihak lain yang tidak disukai. Bahkan kejadian ini dalam kacamatanya seolah mengulang
peristiwa Orde Baru di masa lampau.
“Dulu apa-apa yang menentang pemerintah dianggap anti-Pancasila bahkan saya masih ingat
dulu dakwah kita (HTI) di kampus yang membuat para mahasiwa semangat memakai kerudung
pun (disebut) anti-Pancasila,” jelas Ismail seperti dilansir Republika, Selasa (2/5/2017).
Ismail menjabarkan, bila ingin mempersoalkan tentang Pancasila sebenarnya masih banyak hal
yang perlu dipertanyakan lagi.
Ismail mencontohkan, apakah orang menista Alquran sesuai dengan Pancasila, apakah orang
yang melindungi penista agama itu sesuai Pancasila, yang menjual BUMN ke pihak asing sesuai
Pancasila, yang korupsi, dan yang melindungi koruptor juga sesuai dengan Pancasila.
“Banyak hal yang dipertanyakan tapi kenapa itu semua tidak diambil tindakan? Karena itu kami
melihat ini soal politik. Jadi Pancasila digunakan sebagai alat poltik untuk mendiskreditkan
pihak yang tidak disukai,” jelasnya.[]

Yang tidak Pancasilais Itu Siapa?


08 May 2017 in Berita Dalam Negeri Leave a comment

KH. Athian Ali, Pimpinan Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI)

Belakangan ini semakin sering kita mendengar, membaca dan menyimak pernyataan baik dari
individu maupun kelompok tertentu yang dengan gegabah menuduh individu atau kelompok lain
sebagai anti-pancasila, anti-kebinekaan bahkan anti-NKRI. Ironisnya, tidak sedikit dari mereka
yg melemparkan tuduhan dan fitnah tersebut justru orang yang sangat tidak memahami,
menghayati apalagi melaksanakan sila demi sila dari Pancasila. Terutama sila pertama
dan paling utama bagi orang yang beragama, yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bagi setiap orang yang berketuhanan yang Maha Esa tentunya Agama adalah sesuatu yang
sangat sakral, yang termahal dan yang akan menentukan apakah dirinya akan kekal dalam
kebahagiaan di syurga nanti, atau sebaliknya abadi dalam siksaan di neraka?
Seseorang yang beragama sangat mungkin masih bisa bersabar dan memaafkan orang yang
menghina, mencaci-maki, menista dan mendzalimi dirinya.Tapi ia akan sulit untuk menerima
dengan lapang dada dan memaafkan seseorang yang menodai, mencaci-maki dan menista
Agamanya. Menista kitab suci dan apa pun yang disakralkan agama adalah kebiadaban yang
terjahat dari segala bentuk kejahatan manusia, pelakunya dalam Islam diancam dengan hukuman:
“mati”.
Belajar dari kasus Ahok yang dengan alasan dan dalih apa pun, baik secara implisit bahkan
eksplisit telah dengan sangat dzahar menistakan Alquran kitab suci umat Islam, sehingga telah
menyebabkan kemarahan yang luar biasa bagi Ummat Islam baik di tanah air maupun di dunia,
baik yang mengekspresikan kemarahannya maupun yang tidak, ternyata dituntut jaksa penuntut
umum ” hanya satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan”. Dengan hanya tuntutan
seperti ini menurut para ahli hukum Tata Negara, yang bersangkutan sangat besar kemungkinan
divonis hakim tanpa harus dipenjara satu hari pun.
Bayangkan jika yang dihina atau dinista misalnya kepala negara atau lambang negara, saya yakin
(seperti yang juga telah terjadi pada masa lalu) yang bersangkutan akan dihukum dengan
hukuman maksimal. Fenomena yang sangat melukai perasaan orang yang beriman seperti ini,
sepatutnya mengantarkan kita kepada satu pertanyaan: Sudahkah Sila Pertama dari Pancasila
dilaksanakan di negeri ini? Ketika negara tidak lagi mampu melindungi warga negara dari
kesucian agama yang diagungkan dan dianutnya, lalu yang tidak pancasilais itu sebenarnya,
siapa? (republika.co.id, 26/4/2017)
Jubir HTI: Apakah Menista Alquran Itu Sesuai dengan Pancasila?
07 May 2017 in Berita Dalam Negeri Leave a comment

Jubir HTI ust Ismail Yusanto

Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, mempertanyakan niat pemerintah
untuk membubarkan organisasinya.
Pasalnya HTI adalah lembaga dakwah yang berbadan hukum, yang hanya berniat menyiarkan
ajaran Islam.
“Soal pembubaran HTI, apa salah HTI. HTI adalah kelompok dakwah legal berbada hukum
perkumpulan, yang semaata menyampaikan ajaran Islam. Tidak ada yang disampaikan oleh HTI
selain Islam, entah itu syariah, khilafah,” ujar Yusanto saat dihubungi, Kamis (4/5/2017).
Niat pemerintah untuk membubarkan HTI, salah satunya sudah dikatakan oleh Kepala Biro
Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rikwanto.
Kata dia, pembahasan soal pembubaran HTI dan organisasi yang diduga tidak pro Pancasila lain,
tengah dilakukan di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan
(Kemenkopolhukam).
Sementara itu Menkopolhukam, Wiranto, menegaskan bahwa pemerintah tidak akan tinggal
diam atas adanya organisasi-organisasi yang berniat untuk meruntuhkan ideologi Pancasila.
Ia tidak menyebut secara spesifik apakah organisasi yang ia maksud termasuk HTI, namun
ditegaskan kebijakan tersebut berlaku untuk semua organisasi anti Pacasila.
Ismail Yusanto menduga tuduhan bahwa HTI adalah organisasi yang anti Pancasila, adalah
tuduhan yang niat utamanya adalah politis. Cara-cara seperti itu kerap digunakan oleh
pemerintah di era Orde Baru (Orba), untuk menekan kelompok Islam.
“Ini seperti balik ke jaman Orde Baru, di mana rezim menghambat kegiatan dakwah, menyebut
kelompok Islam dengan tudingan macam-macam,” kataya.
“HTI tidak pernah melakukan kejahatan, korupsi, curi uang negara, jual aset negara dan lain-
lain.” ujarnya.
Ismail Yusanto mengingatkan bahwa ada banyak kelompok yang jelas-jelas anti Pancasila, yang
sampai saat ini tidak pernah dipermasalahkan keberadaannya.
Mereka menurutnya antara lain adalah kelompok pelindung pelaku penistaan agama.
“Apakah menista Alquran itu sesuai dengan Pancasila? Apakah melindungi penista Alquran itu
sesuai dengan Pancasila? Apakah korupsi sesuai dengan Pancasila? Apakah melindungi koruptor
sesuai dengan Pancasila? Apakah menjual aset negara sesuai dengan Pancasila,” katanya.
“Kenapa selalu kepada kelompok Islam tudingan anti Pancasila itu dialamatkan, ada apa ini?”
ujar Yusanto. (tribunnews.com, 4/5/2017)

Pancasila
Pancasila itu sakti. Pancasila itu sakral. Pancasila itu suci. Pancasila itu harga mati. Pancasila itu
asas; asas dari segala asas.
Karena sakral, Pancasila tak boleh direndahkan. Ada kesan, di negeri ini orang boleh saja
melecehkan Islam, mencampakkan Al-Quran, termasuk menghina Rasulullah sang teladan.
Sebagian menganggap hal itu sebagai bagian dari ekspresi kebebasan yang dijamin demokrasi.
Namun, tidak dengan Pancasila. Merendahkan dan menghina Pancasila adalah kejahatan tak
terperi dan pastinya anti-demokrasi.
Karena suci, Pancasila tak boleh diusik dan dikritisi. Ada kesan di negeri demokrasi ini Islam
boleh saja diusik; al-Quran dan as-Sunnah boleh dikritisi. Namun, tidak dengan Pancasila.
Sebab, bagi sebagian orang Pancasila itu lebih tinggi dari al-Quran maupun as-Sunnah. Pancasila
digali dari nilai-nilai luhur nenek moyang bangsa Indonesia. Adapun al-Quran dan as-Sunnah
hanyalah bersumber dari perkataan Tuhannya umat Islam semata. Karena itu, semua aturan dan
perundang-undangan yang ada di negeri ini boleh tidak merujuk bahkan bertentangan dengan al-
Quran dan as-Sunnah, tetapi haram berseberangan dan berlawanan dengan Pancasila.
Karena harga mati, Pancasila tak boleh ditawar-tawar. Menawar Pancasila adalah tindakan
amoral, bahkan kriminal. Lain halnya dengan syariah Islam. Di negeri demokrasi ini, hukum
Islam hanyalah pilihan; boleh diambil atau dicampakkan.
Sebaliknya sebagai asas, Pancasila tak boleh sekadar jadi pilihan. Asas negara boleh saja tidak
berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, tetapi haram jika tidak berdasarkan Pancasila. Maka dari
itu, menurut Pancasilais sejati, jika negara saja harus berasaskan Pancasila, maka apalagi Parpol
dan Ormas yang merupakan organisasi lebih kecil, tentu lebih wajib berasaskan Pancasila.
****
Pancasila itu ‘saudara kandung’ UUD ’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Keempatnya adalah
pilar kebangsaan yang tak boleh dipilah-pilah dan dipilih-pilih. Pancasilais sejati adalah
pemangku UUD ‘45, penjaga kesatuan NKRI sekaligus pemelihara Bhineka Tunggal Ika.
Namun, tunggu dulu! Semua itu ternyata bergantung pada tafsiran sang penguasa. Ada kesan, di
negeri ini penguasa boleh tidak melaksanakan Pancasila dan UUD ’45. Penguasa, misalnya,
boleh menyerahkan kekayaan alam negeri ini kepada pihak asing meski itu bertentangan dengan
prinsip keadilan dalam Pancasila dan berseberangan dengan amanat UUD ’45. Penguasa boleh
membuat UU Migas, UU Listrik, UU Penanaman Modal, UU Minerba, dll yang memungkinkan
pihak asing menjajah dan menjarah sumber-sumber kekayaan alam milik rakyat negeri ini. Tak
masalah jika semua UU itu merugikan rakyat. Asal tidak merugikan pihak asing, hal itu tak bisa
dianggap bertentangan dengan amanat dalam Pembukaan UUD ’45 yang mengandung spirit:
segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dihapuskan.
Penguasa boleh melepaskan Timor-Timur atas rekayasa dan tekanan penjajah meski itu
bertentangan dengan prinsip menjaga kesatuan NKRI. Penguasa pun tak perlu merasa berdosa
saat membiarkan Organisasi Papua Merdeka atau Republik Maluku Selatan tetap leluasa
melakukan gerakan makar dan tindakan separatis. Karena didukung pihak asing, semua itu juga
tak bisa disebut sebagai anti NKRI.
Penguasa juga tak perlu merasa bersalah saat jutaan anak tak bersekolah, anak-anak yatim
terlantar di jalanan dan banyak orang-orang miskin mati kelaparan. Tak perlu pula penguasa
berkecil hati ketika kemiskinan membelenggu puluhan juta rakyat negeri ini dan pengangguran
melanda jutaan angkatan kerja di berbagai lini. Tak perlu pula penguasa merasa tak tega saat
harus menaikkan harga BBM, gas dan listrik yang membuat rakyat tambah melarat, bahkan
sekarat. Ada kesan, asal bisa memuaskan para kapitalis di dalam negeri atau kapitalis asing,
kebijakan anti subsidi itu tidak bisa dianggap sebagai bertentangan dengan semangat dalam
pasal-pasal yang ada dalam UUD ’45. Tak bisa pula kebijakan itu disebut tidak adil dan anti
Pancasila. Ada kesan, yang disebut tidak adil itu jika rakyat menikmati subsidi, sementara pihak
asing tak leluasa menikmati keuntungan tinggi.
Ada pula kesan, yang bisa disebut anti Pancasila dan UUD ’45 itu adalah pihak-pihak yang
berusaha menerapkan syariah Islam secara formal dalam negara meski dengan niat untuk
menyelamatkan negeri yang terpuruk ini. Yang dinamakan anti NKRI adalah saat ada
sekelompok orang memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah meski untuk mempersatukan
negeri sekaligus membebaskannya dari segala bentuk penjajahan di semua lini. Yang anti
kebhinekaan itu adalah yang mendukung perda-perda berbau syariah dan menolak pendirian
gereja ilegal di tengah komunitas kaum Muslim.
*****
Jika demikian kenyataannya, jangan disalahkan jika ada yang beranggapan bahwa Pancasila
sejatinya hanyalah cap dan label. Mereka yang korupsi, melakukan praktik suap-menyuap atau
biasa menerima gratifikasi—termasuk gratifikasi seks—tak pernah dicap menyeleweng dari
Pancasila. Mereka yang menggadaikan kekayaan negeri milik rakyat serta menjual negara dan
harga diri bangsa kepada pihak asing juga tak pernah dilabeli berseberangan dengan Pancasila.
Mereka yang terus mempraktikkan serta mempropagandakan sekularisme, pluralisme dan
liberalisme—meski semua itu telah nyata membahayakan negeri ini—tak pernah pula dituduh
anti Pancasila.
Sebaliknya, Anda yang tak pernah korupsi, menolak segala bentuk gratifikasi, enggan melakukan
praktik suap-menyuap dan anti terhadap tindakan amoral lainnya tak berarti Anda bisa aman dari
labelisasi. Siap-siaplah Anda untuk dicap anti Pancasila, dilabeli anti UUD ’45 serta dituduh anti
NKRI dan anti kebhinekaan jika Anda adalah seorang Muslim yang taat; yang menghendaki
tegaknya Islam secara total dalam semua aspek kehidupan; yang menginginkan penerapan
syariah secara kaffah, apalagi berjuang demi mewujudkan kembali Khilafah ‘ala Minhaj an-
Nubuwwah.
Namun demikian, tentu Anda tak perlu berkecil hati. Pasalnya, di negeri ini sepertinya tak ada
yang namanya Pancasilais sejati. Yang malah banyak ditemukan adalah mereka yang—sengaja
atau tidak—memperalat Pancasila untuk kepentingan pribadi, partai bahkan pihak asing yang
justru telah banyak merusak negeri ini. Karena itu, tetaplah istiqamah dalam perjuangan
mengembalikan Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. [Arief B. Iskandar]
Waspadai Rezim Represif Berkedok Pancasila
23 Mar 2013 in Berita Dalam Negeri, Headline 1 Comment

HTI Press. Jakarta- Juru Bicara Hizbut Tahrir


Indonesia Muhammad Ismail Yusanto menyatakan umat harus mewaspadai RUU Ormas
sebagai upaya bangkitnya rezim represif berkedok Pancasila. “Umat harus mewaspadai
bangkitnya rezim represif ala orde baru yang berkedok ingin menerapkan Pancasila,” tegasnya
kepadamediaumat.com, Sabtu (23/3) melalui pesan singkat.
Padahal kenyataannya, beber Ismail, rezim yang ada saat ini justru ingkar pada Pancasila.
Lihatlah korupsi yang merajalela; liberalisasi perdagangan, termasuk dalam impor; lahirnya UU
yang merugikan rakyat; keberpihakan pemerintah pada korporasi asing seperti terlihat dalam
kasus Blok Mahakam, juga Freeport. Ditambah lagi pembiaran terhadap gerakan separatis;
perlindungan terhadap aliran sesat yang menodai agama seperti Ahmadiyah, dll.
“Itu semua bukti sangat telanjang, bagaimana rezim ini telah menyimpang dari nilai-nilai
Pancasila!” simpulnya.
Menurut Ismail, pemerintah melakukan semua penyimpangan tersebut lantaran menerapkan
liberalisme, sekularisme dan kapitalisme. “Jadi yang harus diwaspadai bukan HTI yang tengah
berjuang untuk perbaikan bangsa ini melalui syariah dan penentangannya terhadap liberlisme,
sekularisme dan kapitalisme yang jelas-jelas sudah diharamkan oleh fatwa MUI,” tegasnya.
Ismail pun menyebutkan HTI dan Ormas-Ormas Islam lain seperti Perti; Al-Ittihadiyah;
Hidayatullah; DDII; Sarekat Islam Indonesia; SIRI, dll, Kamis 21 Maret kemaren telah
berkumpul sepakat untuk menolak RUU Ormas. “Karena ini pintu lahirnya rezim represif ala
orde baru, diskriminatif dan totaliter,” pungkasnya.[] (mediaumat.com 23/3/2013)
Pancasila Dinilai Masih Multitafsir
05 Aug 2007 in Berita Leave a comment
BANDUNG, (PR).-Pancasila sebagai kumpulan nilai belum dilengkapi dengan metode
pelaksanaannya sehingga tidak mampu menjadi solusi krisis multidimensi. Kumpulan nilai yang
dilengkapi metode sebagai solusi krisis yang paling tepat adalah Islam. Humas Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) Jabar, Muhammad Riyan mengatakan itu ketika ditemui di sela-sela aksi long
march 1.000 massa HTI Jabar di Jln. Merdeka, Kota Bandung, Minggu (5/8).
Karena tidak dilengkapi metode, Pancasila bersifat multitafsir. Setiap rezim di Indonesia
memilki penafsiran berbeda terhadap Pancasila. “Pada masa Soekarno, Pancasila ditafsirkan
menjadi sosialisme. Pada masa Soeharto, Pancasila ditafsirkan sebagai kapitalisme sekuler. Pada
masa sekarang, Pancasila ditafsirkan Neoliberalisme,” kata Riyan.
Riyan mengatakan, Islam sebagai solusi krisis multidimensi akan dibahas secara internasional
dalam Konferensi Internasional Khilafah Islamiyah di Gelora Bung Karno, Jakarta, 12 Agustus
tahun ini .
Konferensi akan menghadirkan pembicara utama dari berbagai negara, yaitu Dr. Amran Waheed
dari Hizbut Tahrir (HT) Eropa, Dr. Salim Frederick dari HT Inggris, Syaikh Issam Ameera dari
HT Palestina, Syaikh Ismail Al-Wah Wah dari HT Australia, Syaikh Utsman Abu Khalil dari HT
Sudan, Prof. Dr. Hassan Ko Nakata cendekiawan dari Jepang, dan Drs. Hafidz Abdurrahman,
MA sebagai Ketua Umum DPP HT Indonesia.
Long march massa HTI antara lain bertujuan mengajak masyarakat Jabar ikut menyukseskan
konferensi dan dialog ulama Jabar. Mereka memulai aksi long march di Mesjid Al Ukhuwah,
Jln. Wastukancana pukul 08.00 WIB. Rute yang dilalui antara lain Jln. Aceh-Jln. Merdeka-Jln.
Braga-Gedung Merdeka di Jln. Asia Afrika. (A-156)***
03 October 2011
Pancasila
Bulan Ramadhan lalu, persisnya pada 10 Ramadhan yang bertepatan dengan tanggal 10 Agustus,
saya diundang sebagai pembicara untuk acara Bedah Buku Pancasila dan Syariat Islam karya
Prof. Hamka Haq di Megawati Center, Jakarta. Pembicara lain adalah Dosen UIN Sahid Jakarta,
Moqsith Ghazali, Habib Muhsin dari FPI dan tentu saja penulisnya sendiri. Hamka Haq adalah
guru besar IAIN Alauddin Makassar, yang juga adalah Ketua Umum Baitul Muslimin, sayap
ormas PDI-Perjuangan. Ormas itu dibentuk agaknya untuk menepis anggapan bahwa partai
berlambang moncong banteng ini anti terhadap (umat) Islam. Terbitnya buku ini kiranya makin
menegaskan bagaimana posisi partai ini dalam memandang Islam dalam konteks Pancasila.

++++

Mengawali presentasi yang sangat singkat karena memang waktu sangat terbatas mengingat sore
bulan puasa, saya menyampaikan bahwa di kalangan umat Islam memang ada yang sangat anti
terhadap Pancasila, ada juga yang sangat mendukung, bahkan mengatakan bahwa Pancasila itu
sesungguhnya adalah saripati dari ajaran Islam. Hamka Haq tentu termasuk kelompok yang
kedua. Dalam buku ini, ia jelas sekali ingin menegaskan bahwa tidak ada yang salah dari
Pancasila. Bahkan sesungguhnya telah banyak sekali yang dilakukan oleh negara yang berdasar
Pancasila ini dalam apa yang disebut sebagai penerapan syariah baik melalui peraturan
perundang-undangan seperti lahirnya UU Perkawinan, UU Zakat, UU Perbankan Syariah, UU
Perlindungan Anak dan sebagainya; maupun melalui aneka ragam kebijakan pemerintah seperti
kebolehan memakai jilbab bagi pelajar dan pegawai negeri dan sebagainya. Jadi tegasnya,
penerapan syariah itu justru berjalan sangat subur di Bumi Pancasila.

Menanggapi uraian Prof Hamka dalam buku itu, saya mengatakan bahwa sesungguhnya
Pancasila hanyalah set of philosophy atau seperangkat pandangan filosofis tentang ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan yang dijadikan sebagai dasar negara.
Sebagai set of philosophy, Pancasila tidaklah mencukupi (not sufficient) untuk mengatur negara
ini (to govern this country). Buktinya, di sepanjang Indonesia merdeka, dalam mengatur negara
ini, rezim yang berkuasa—meski semua selalu mengaku dalam rangka melaksanakan
Pancasila—ternyata menggunakan sistem dari ideologi yang berbeda-beda. Rezim Orde Lama
misalnya, menggunakan Sosialisme. Rezim Orde Baru menggunakan Kapitalisme. Rezim
sekarang oleh banyak pengamat disebut menggunakan sistem neo-liberal. Jadi, meski pada level
filosofis semua mengaku melaksanakan Pancasila, underlying system atau sistem yang
digunakan ternyata lahir dari ideologi sekularisme baik bercorak sosialis, kapitalis ataupun
liberalis.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena pada faktanya yang diberikan oleh Pancasila hanyalah
sebatas gagasan-gagasan filosofis. Padahal untuk mengatur sebuah negara tidak hanya
diperlukan gagasan filosofis, tetapi juga pengaturan yuridis yang mencakup apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Bila ideologi yang bahasa Arabnya mabda’—
sebagaimana disebut oleh Syaikh Muhammad Muhammad Ismail dalam kitabAl-Fikr al-
Islami (1958)—didefinisikan sebagai ‘aqidah ‘aqliyah yang memancarkan sistem
atau nizhâm untuk mengatur kehidupan manusia dalam seluruh aspek baik politik, ekonomi,
sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya, maka Pancasila bukanlah sebuah ideologi. Itulah
sebabnya hingga sekarang, misalnya, tidak pernah lahir rumusan tentang Ekonomi Pancasila
meski sejumlah orang seperti Guru Besar FE UGM, Prof. Mubyarto semasa hidupnya sudah
bersusah-payah berusaha menyusunnya. Yang berjalan di negara ini hingga sekarang tetap saja
ekonomi kapitalis.

Oleh karena itu, dalam tataran praktis banyak sekali peraturan perundangan dan kebijakan
pemerintah yang layak dipertanyakan kesesuaiannya dengan Pancasila. Misalnya, apakah UU
Penanaman Modal (yang memungkinkan kekuatan asing melakukan investasi di segala bidang
nyaris tanpa hambatan), UU Migas (yang amat merugikan peran Pertamina sebagai BUMN yang
notabene milik rakyat dalam pengelolaan migas), atau UU Sumber Daya Air (yang secara fatal
telah mentransformasi air bukan hanya dalam fungsi sosial tetapi juga komersial) dan banyak
lagi UU yang sangat berbau neo-liberal, itu semua adalah Pancasialis? Apakah kebijakan
pemerintah seperti menjual Indosat kepada pihak asing dan menyerahkan blok kaya minyak di
Cepu kepada Exxon Mobil, bukan kepada Pertamina, adalah juga sebuah kebijakan yang
Pancasilais? Adapun peraturan perundangan dan kebijakan pemerintah yang disebut Prof.
Hamka sebagai penerapan syariah itu hanyalah sebatas aspek-aspek yang menyangkut al-ahwal
asy-syakhsiyyah, seperti aspek ibadah, pakaian atau NTCR (nikah-talak-rujuk-cerai). Kalau ada
UU yang terkait muamalah, seperti UU perbankan syariah, tetap saja ia hanyalah merupakan
bagian dari sistem perbankan ribawi.

Di akhir uraian, saya menyentak hadirin dengan pertanyaan, sekarang tunjukkan bahwa
perjuangan penerapan syariah itu bertentangan dengan Pancasila? Sila yang mana? Sebaliknya,
saya bisa katakan bahwa menolak penerapan syariah itu bertentangan dengan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa. Sebab, Tuhan yang mana yang dimaksud bagi rakyat Indonesia yang mayoritas
Muslim bila bukan Allah SWT. Allah SWT telah memerintahkan untuk menerapkan aturan-
aturan-Nya secara kaffah. Nah, Hizbut Tahrir Indonesia melalui rangkaian kegiatan dakwahnya
tidak lain bertujuan untuk menegakkan syariah secara kaffah menggantikan sistem yang lahir
dari ideologi sekular tadi. Hanya dengan penerapan syariah, prinsip-prinsip tentang ketuhanan
yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, kerakyatan dan keadilan
sosial itu benar-benar dapat diwujudkan.

Tambahan lagi, dalam konteks Indonesia, ide khilafah yang substansinya adalah syariah dan
ukhuwah, yang diperjuangkan HTI, sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap
penjajahan baru (neo-imperialisme) yang nyata-nyata sekarang tengah mencengkeram negeri ini
yang dilakukan oleh negara adikuasa. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa
dihadapi secara sepadan. Adapun syariah akan menggantikan sekularisme yang telah terbukti
memurukkan negeri ini. Karena itu, perjuangan HTI dalam berbagai bentuknya itu harus dibaca
sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dalam berusaha mewujudkan Indonesia
lebih baik di masa datang, termasuk guna meraih kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai
bentuk penjajahan yang ada.

++++

Kita tidak boleh lupa, secara politik, Pancasila oleh tiap rezim di masa lalu memang acap
digunakan untuk membungkam lawan-lawan politiknya atau menutup pintu bagi lahirnya
gagasan atau ide baru meski ide itu sangat diperlukan untuk perbaikan negeri ini. Dulu, rezim
Orde Baru selalu menyatakan bahwa siapa saja yang menentang Pemerintah, termasuk yang
memperjuangkan Islam, sebagai menentang Pancasila, dan siapa saja yang sudah dicap
menentang Pancasila kala itu absah untuk dihabisi. Kini, Pancasila agaknya juga akan kembali
digunakan untuk menghentikan laju dukungan terhadap ide syariah dan Khilafah yang mulai
marak di tengah masyarakat.

Jelas hal ini patut dicurigai. Mengapa isu Pancasila tidak dimunculkan, misalnya saat maraknya
kasus korupsi yang melibatkan banyak pejabat negara dan anggota parlemen dari tingkat daerah
hingga tingkat pusat? Mengapa isu Pancasila tidak muncul saat penguasa negeri ini menyerahkan
kekayaan alamnya ke pihak asing atas nama privatisasi? Mengapa isu Pancasila juga tidak
muncul saat negeri ini secara membabibuta menerapkan ekonomi neoliberalisme? Bukankah
semua itu malah lebih pantas dianggap sebagai antitesis terhadap Pancasila, bukan syariah dan
Khilafah? Mengapa?![]

Publik Masih Ragukan Aktualisasi Pancasila


07 Oct 2008 in Berita Dalam Negeri, Uncategorized 1 Comment

JAJAK PENDAPAT “KOMPAS”


Pancasila yang dijadikan pijakan paling dasar, sekaligus menjadi identitas kebangsaan Indonesia
selama ini, sepertinya menjadi konsep yang makin hilang dari ingatan publik. Dalam konteks
bernegara, masyarakat menilai pemerintah belum mampu mengaktualisasi Pancasila dalam setiap
kebijakan yang dibuatnya.
Sebagian anggota masyarakat yang menjadi responden jajak pendapat Litbang Kompas
mempertanyakan kemampuan negara dalam mengaktualisasikan Pancasila dalam setiap
kebijakan yang dihasilkan, terutama terkait kebijakan negara yang dinilai tidak pro-kesejahteraan
sosial, seperti yang disebut dalam pasal terakhir Pancasila. Ini tercermin dari pendapat mayoritas
responden (79,8 persen) yang menilai pemerintah belum mampu menunjukkan sikap adil
terhadap masyarakat.
Hasil Jajak Pendapat Kompas, yang diselenggarakan terhadap 860 responden di sepuluh kota di
Indonesia, ini juga menunjukkan, ternyata cukup banyak orang yang lupa dan tidak hafal isi
Pancasila. Saat responden diminta untuk membacakan lima sila dari Pancasila, sebanyak 90,8
persen hafal sila pertama.
Namun, saat dilanjutkan pada sila berikutnya, sedikitnya 27,8 persen lupa isi sila kedua, 23,8
persen lupa sila ketiga, dan sebanyak 30,2 persen tidak ingat sila keempat. Juga, 28,8 persen lupa
bunyi sila kelima. Jika hafal saja tidak, sulit untuk membayangkan warga memahami dan
menghayatinya.
Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak
banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak
dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Pemaknaan baru selama Orde Reformasi,
di satu sisi, juga memperlemah memori publik soal dasar negara ini.
Ritual peringatan Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya yang dilakukan setiap tahun terus
mengalami perubahan makna dalam setiap rezim yang berkuasa. Rezim Orde Baru memaknainya
sebagai kemenangan Pancasila atas gerakan Partai Komunis Indonesia dalam tragedi 30
September 1965.
Keberhasilan menumpas gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilakukan oleh rakyat
dan ABRI saat itu seolah diyakini sebagai bukti saktinya Pancasila dari upaya penggeserannya
sebagai dasar negara. Karena di hari setelah peristiwa G30S/PKI, 1 Oktober atau titik awal
periode Orde Baru, dicanangkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini gaungnya
lebih kuat ketimbang peringatan atas hari lahirnya Pancasila.
Orde Baru sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya
doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi Pancasila tak hanya
ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan,
mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tatar pendidikan mengarah pada pengultusan
Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan melalui langkah seperti pembacaan teks
Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat atas,
indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan
kewiraan di tingkat perguruan tinggi.
Rezim Soeharto menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Upaya penunggalan interpretasi
juga dilakukan oleh negara terhadap seluruh warga negara tanpa kecuali. Setiap organisasi massa
dalam bentuk apa pun, termasuk organisasi keagamaan, wajib menjadikan Pancasila sebagai asas
institusi mereka. Cap anti-Pancasila diberikan kepada mereka yang menolak asas tunggal
Pancasila. Langkah ini dipercaya sebagai upaya memelihara Pancasila agar tetap sakti.
Ideologi atau bukan?
Pascaruntuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk
memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan
ideologi atau bukan berkembang selama rezim reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan
Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para founding
fathers saat mendirikan negara ini.
Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi.
Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial
yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara
baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna
Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis (Kompas,
6/12/2001).
Rezim Orde Baru dianggap menyalahgunakan Pancasila sekadar sebagai alat untuk
memberangus berbagai upaya dan tuntutan demokratisasi. Seperti diungkapkan Franz Magnis-
Suseno (Kompas, 23/10/2005), Orde Baru menyimbolkan peristiwa G30S/PKI sebagai kekuatan
anti-Pancasila. Cap PKI terhadap kelompok yang kritis terhadap pemegang tampuk kekuasaan di
saat itu pun tak jarang digunakan sebagai alat pemberangus gerakan mereka.
Bahkan, pada sejumlah konflik antara negara dan rakyat, seperti kasus konflik pertanahan atau
demonstrasi menentang kebijakan pemerintah, simbol anti-Pancasila sering digunakan sebagai
penyelesaian.
Indoktrinasi Pancasila sebagai sebuah kekuatan sakral nan sakti, yang kadung dilakukan selama
periode Orde Baru, oleh sebagian kelompok dipercaya justru mendangkalkan pemaknaan
terhadap Pancasila. Penafsiran tunggal atas dasar negara ini lebih banyak digunakan sebagai alat
untuk memperkuat otoriterianisme, sekaligus menutup pemahaman kritis terhadap Pancasila.
Rezim keterbukaan saat ini memang memungkinkan berkembangnya cara pandang baru terhadap
Pancasila. Namun, di tengah berbagai pandangan atas peran dan posisi Pancasila yang
berkembang saat ini, tampak satu garis merah yang disepakati bersama bahwa Pancasila,
bagaimanapun, telah menjadi ciri khas dan jati diri bangsa Indonesia yang harus dipertahankan.
Sebatas jargon
Mayoritas responden dalam jajak pendapat ini sepakat, sebagai identitas bangsa, Pancasila tetap
menjadi landasan terbaik berdirinya bangsa ini. Hampir seluruh responden (96,6 persen)
menyatakan, Pancasila haruslah dipertahankan sebagai dasar negara. Sebanyak 92,1 persen
menegaskan, Pancasila sebagai landasan terbaik untuk bangsa ini.
Meski demikian, sebagian publik (55 persen responden) meragukan keseriusan pemerintah
menerapkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Ini sangat mungkin dipicu oleh
keprihatinan atas kondisi sosial dan ekonomi saat ini.
”Bukan rakyat yang seharusnya dituntut memahami dan menghayati Pancasila, melainkan
pemerintah yang dicerminkan lewat kebijakan yang dibuatnya,” kata Suzan (32), seorang
responden asal Jakarta.
Warga Jakarta itu berpendapat, Pancasila yang seharusnya menjadi landasan dari segala proses
pembuatan kebijakan belum terlihat aktualisasinya. ”Bukankah dalam membuat kebijakan
pemerintah harus sesuai dengan isi Pancasila? Lalu, kenapa banyak kebijakan negara yang
sangat jelas tidak pro-keadilan sosial seperti disebut dalam Pancasila itu?” tanya Suzan.
Suara Suzan mewakili 74,5 persen dari 860 responden lain yang menyatakan, pemerintah belum
mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini Pancasila
memang lebih banyak dipahami sebatas konsepsi politik. Pancasila lebih banyak digunakan
sebagai jargon yang bias makna jika dihadapkan pada realitas sosial yang ada.
Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu
bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan negara kepada
bentuk asas lain pada masa awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan. Namun, setelah
melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi Pancasila sejauh ini masih banyak dimaknai
sebagai konsepsi politik yang substansinya belum mampu diwujudkan secara riil. (Litbang
Kompas; kompas online; Selasa, 30 September 2008 | 03:00 WIB )
Sekularisme Pangkal Kerusakan
03 Apr 2017 in Al Islam Leave a comment
[Al-Islam No. 850, 2 Rajab 1438 H – 31 Maret 2017]
Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke Barus Sumatera Utara berpesan agar rakyat
Indonesia tidak mencampuradukkan politik dengan agama. Hal itu demi mencegah gesekan antar
umat beragama. “Inilah yang harus kita hindarkan. Jangan sampai dicampuradukkan antara
politik dan agama. Dipisah betul sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik”,
kata Jokowi (Antaranews, 24/3/17).
Ungkapan Presiden Jokowi tersebut menuai kritikan tajam dari berbagai kalangan. Pidato ini
dianggap mempertegas prinsip sekularisme di Indonesia. Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU), KH Ma’ruf Amin, menjelaskan, “Agama dan politik itu kan saling
mempengaruhi. Politik kebangsaan itu kanjuga harus memperoleh pembenaran dari agama.
Kalau tidak, bagaimana?” ujarnya saat menghadiri Refleksi Kebangsaan 71 Tahun Muslimat NU
di Hotel Crowne Plaza, Jakarta Selatan, Senin (27/3) (Tribunnews.com 27/3/17).
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr. H. Amien Rais, MA, juga menanggapi, “Itu
kata-kata seseorang yang tidak paham Pancasila,” katanya usai menjadi pembicara dalam
Tabligh Akbar di PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (26/3/2017), seperti
dikutip Panjimas.com. “Karena kalau politik dipisahkan dari agama, politik menjadi kering dari
nilai-nilai kebaikan; akan jadi beringas; akan jadi eksploitatif,” tegasnya.

Sejarah Sekularisme
Gagasan sekularisme (pemisahan agama dari politik) pertama kali muncul di Barat sebagai kritik
terhadap dominasi Gereja pada Abad Pertengahan. Ketika itu Gereja Kristen menjadi institusi
dominan. Dengan pembentukan Sistem Kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M),
Paus dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa
batas dalam seluruh sendi kehidupan; khususnya aspek politik, sosial dan pemikiran (Idris, 1991:
75-80; Ulwan, 1996: 73). Dominasi ini ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan
melalui persekongkolan Gereja dan raja/kaisar; mengakibatkan kemandegan ilmu pengetahuan
dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Kemudian muncul upaya koreksi atas Gereja yang
disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w.
1546), Zwingly (w. 1531) dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan kemunculan
para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne
(w. 1592). Mereka menentang dominasi Gereja, menghendaki agama disingkirkan dari
kehidupan dan menuntut kebebasan. Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad
XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan
tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778) dan Rousseau (1778). Puncak penentangan
terhadap Gereja ini adalah terjadinya perang selama 30 tahun, yang diakhiri dengan adanya
Perjanjian Westphali 1846. Melalui perjanjian ini, akhirnya secara total Gereja dipisahkan dari
masyarakat, negara dan politik (Qashash, 1995: 30-31). Sejak itulah lahir sekularisme yang
menjadi dasar ideologi dan peradaban Barat.

Sekularisme di Indonesia
Sekularisme masuk ke Indonesia secara paksa melalui proses penjajahan, khususnya oleh
pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekuler telah termaktub dalam Undang-Undang
Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan, bahwa Pemerintah bersikap netral
terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama
(Suminto, 1986: 27).
Prinsip sekuler dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada Pemerintah
Kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan Pemerintah Kolonial dalam
menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik.
Inti Islam Politiek adalah: (1) dalam bidang ibadah murni, Pemerintah hendaknya memberikan
kebebasan sepanjang tidak mengganggu kekuasaan Pemerintah Belanda; (2) dalam bidang
kemasyarakatan, Pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat
mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, Pemerintah harus mencegah setiap
upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam (Suminto, 1986: 12).
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk
menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekuler yang ditanamkan
penjajah. Sayang sekali, ini tidak terjadi. Revolusi Kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti
rejim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti,
tetapi ideologi tetap sekuler. Karena itu sejak awal Indonesia adalah negara sekuler.
Alhasil, gagasan sekularisme (pemisahan agama dari politik) sebagaimana yang diutarakan oleh
Presiden Jokowi tak lain sekadar mengekor ke peradaban Barat; mengikuti dan melanggengkan
arahan penjajah.

Sekularisme Pangkal Kerusakan


Sebagai warisan penjajah Barat, sekularisme merupakan paham yang rusak karena jelas-jelas
menolak peran agama (Islam) dalam pengaturan kehidupan, khususnya politik. Di bidang politik,
sekularisme merusak karena melenyapkan aspek spiritual (nâhiyah rûhiyah) dalam politik dan
hanya menonjolkan pertimbangan materi. Akibatnya, kekuasaan pun hanya dijadikan alat untuk
meraih keuntungan materi, bukan untuk melayani kepentingan rakyat dan mewujudkan
kemaslahatan mereka, sebagaimana yang Islam perintahkan.
Dalam politik sekuler, kebebasan hanya menjadi alat pembenaran berbagai perilaku maksiat.
Sebaliknya, tidak ada kebebasan untuk taat dalam bersyariah secara kaffah. Demokrasi adalah
sistem sekuler yang menipu rakyat dengan konsepnya: kedaulatan di tangan mereka. Faktanya,
pemilik modallah yang mengendalikan para penguasa dan wakil rakyat. Akibatnya, para
penguasa dan wakil rakyat sering abai terhadap rakyat. Mereka lebih banyak memperkaya diri
dengan perilakunya yang koruptif, tak peduli urusan rakyat. Akibat sekularisme pula, umat tidak
paham bahwa Islam mengharamkan mengangkat pemimpin kafir bagi mereka.
Sekularisme di bidang ekonomi didasarkan pada asas kebebasan, meliputi kebebasan
kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta dan kebebasan konsumsi. Asas kebebasan ini
tidak layak karena melanggar segala nilai moral dan spiritual. Bisnis prostitusi, misalnya,
dianggap menguntungkan meski jelas sangat melanggar nilai agama dan merusak institusi
keluarga. Sistem perbankan ribawi, sistem perusahaan kapitalisme (PT) dan sistem uang kertas
(fiat money) melahirkan berbagai krisis ekonomi dan moneter. Sistem ini dibangun tanpa
mengindahkan sama sekali aturan Allah SWT.
Di bidang sosial sekularisme menyebabkan kerusakan moral. Wanita, misalnya, hanya dianggap
komoditas dagang dan pemuas nafsu laki-laki semata. Perselingkuhan dianggap “pertemanan”,
sementara poligami justru dianggap perbuatan kriminal. Sistem sosial yang bobrok seperti ini
telah terbukti menghancurkan institusi keluarga, menyebarkan penyakit kelamin, menimbulkan
kebejatan moral dan melahirkan anak-anak hasil zina.
Itulah sekularisme, pangkal segala kerusakan.

Islam Rahmatan Lil ‘Alamin


Keburukan sekularisme semestinya melahirkan kesadaran pada umat Islam akan keindahan
ajaran Islam. Islam rahmatan lil alamin. Islam melahirkan sistem politik yang benar, yaitu sistem
politik yang berdasarkan syariah. Sistem politik Islam dibangun di atas dasar akidah islamiyah
sehingga berbagai aturannya akan bersifat spiritual (ruhiah), yaitu terkait dengan Allah SWT;
terkait dengan pahala dan dosa. Sistem yang demikian akan menentukan makna kebahagiaan
hakiki bagi individu. Orang akan bahagia saat merasa telah menaati Allah SWT dan merasa
mendapat pahala. Sebaliknya, orang akan merasa khawatir saat berbuat maksiat kepada Allah
SWT dan merasa berdosa.
Tujuan sistem politik Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, di bawah pimpinan
Khalifah. Sistem Khilafah inilah yang akan mewujudkan ketenteraman dengan menjamin
keamanan, jaminan kebutuhan pokok dan keadilan di dalam negeri.
Politik luar negeri Islam dengan jihad fi sabilillah juga bukan bertujuan materi, tetapi bertujuan
dakwah dan menerapkan Islam. Faktanya, penduduk yang ditaklukkan melalui jihad akhirnya
memeluk Islam secara sukarela seperti para penakluknya. Ini menunjukkan hubungan yang baik
antara penakluk dan yang ditaklukkan, karena adanya penerapan hukum Islam secara baik.
Wahai kaum Muslim!
Sungguh tak mungkin Islam dapat berdampingan dengan sekularisme. Sekularisme menciptakan
kerusakan serta menyuburkan kemaksiatan dan pelanggaran terhadap aturan Allah SWT.
Sebaliknya, Islam menebarkan rahmat bagi semesta alam. Karena itu pantas jika Allah SWT
berfirman:
( َ‫َّللاِ ُح ْك ًما ِلقَ ْو ٍم يُوقِنُون‬ َ ْ‫)أَفَ ُح ْك َم ْال َجا ِه ِليَّ ِة يَ ْبغُونَ َو َم ْن أَح‬
َّ َ‫سنُ ِمن‬
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada
hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Karena itu pula, saatnya kita mencampakkan sekularisme, lalu kita ganti dengan akidah dan
syariah Islam. Hanya saja, penegakan syariah Islam membutuhkan institusi pemerintahan Islam.
Itulah Khilafah‘ala minhaj an-Nubuwwah. Khilafah inilah yang harus segera kita tegakkan. []

Komentar al-Islam:
MUI: Politik Tanpa Agama akan Buat Manusia Jadi Serigala (Republika.co.id, 29/3/2017).
1. Apa yang dinyatakan MUI di atas sebetulnya sudah terjadi dalam sistem politik demokrasi
saat ini. Pihak yang kuat memangsa pihak yang lemah.
2. Penguasa menjadikan rakyat sebagai ‘mangsa’ yang terus ditindas dengan berbagai
kebijakan yang zalim seperti: membebani rakyat dengan ragam pajak, kenaikan harga BBM,
gas, listrik; menyerahkan kekayaan milik rakyat kepada pihak asing; dll.
3. Hanya dalam sistem Khilafah yang menerapkan syariah secara kaffah, politik benar-benar
ditujukan untuk melayani kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan mereka.
Sosialisme, Kapitalisme, Liberalisme Sesuai dengan Pancasila?
11 Apr 2013 in Berita Dalam Negeri 1 Comment

Pembahasan RUU Ormas masih menjadi pro-


kontra. Draf terbaru RUU Ormas (9 April) telah menghapus asas tunggal Pancasila pada pasal 2,
dan akan disamakan dengan UU Parpol. Terkait hal itu, juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, M.
Ismail Yusanto menanggapi draf RUU ormas terbaru melalui akun twitternya (@ismailyusanto).
Berikut tanggapan Jubir HTI mengenai draf RUU Ormas terbaru:
Saya sdh membaca draft RUU Ormas bertanggal 9 April. Ada beberapa kemajuan penting
dibanding draft sebelumnya
Diantaranya, yg terpenting, adlh perubahan pasal ttg asas (Pasal 2). Berganti dg Asas Ormas
tdk blh bertentangan dg Pancasila dan UUD 45
Rumusan ini sama dg rumusan dlm pasal ttg asas di UU Parpol. Tentu ini lbh baik dr
sebelumnya yg memaksakan ormas hrs berasas tunggal
Dgn rumusan ini, ormas Islam tentu bisa memilih asas Islam. Memang semestinya bgt. Masak
organisasi Islam berasas selain Islam?
Hanya ada yg aneh. Dlm draft yg br ini, dlm keterangan ttg paham2 yg bertentangan dg
Pancasila hanya disebut atheisme, kominisme, marxsisme
Dlm draft lama, tercantum sosialisme, kapitalisme dan liberalisme sbg paham yg dianggap
bertentangan dg Pancasila. Di draft baru, dihapus
Apa iya, sosialisme, kapitalisme, liberalisme tdk bertentangan dg Pancasila?
Bila benar begitu, jadi yg sesuai dg Pancasila itu spt apa? Apakah ekonomi skrg yg sgt kapitals
dan liberal ini sesuai dg Pancasila.
Apakah budaya skrg yg sgt liberal, sebagaimana tampak dlm pakaian, cara bergaul, dst itu
sesuai dg Pancasila.
Apakah politik yg jg sgt liberal ini jg sesuai dg Pancasila?
Apakah lahirnya UU liberal itu sesuai dg Pancasila? Kalau iya, kenapa banyak UU yg dianulir
o MK? MK keliru?
Kalau semua pertanyaan td kebanyakan jawabannya adalah iya, maka pantaslah kita merasa
cemas dg apa yg disebut Pancasila
(mediaumat.com, 11/4)
Bangsa Ini Butuh Solusi
09 Feb 2017 in Opini Leave a comment

Oleh: Arief B. Iskandar (Anggota Lajnah


Siyasiyah – DPP HTI)
Banyak kalangan selama ini telah salah memahami HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dengan
gagasan syariah dan Khilafahnya. Dengan kedua gagasan itu, HTI dianggap sebagai ancaman
bagi Pancasila dan NKRI.
Lebih dari itu, Khilafah dianggap bukan kewajiban syariah dan hanya merupakan romantisme
sejarah para pengusungnya. Khilafah syarat dengan konflik. Khilafah didasarkan pada konsep
kedaulatan Tuhan yang sering mengalami reduksi serta rentan dan rawan terhadap pembajakan
demi nafsu kekuasaan. Gagasan Khilafah hanya bentuk kegagapan menghadapi modernitas.
Khilafah utopis dll.
Itulah di antara kekeliruan yang bisa baca dalam banyak pernyataan dan tulisan kalangan liberal
selama ini.
Namun demikian, tulisan ini tidak ingin meng-counter apa yang sering dilontarkan oleh kalangan
liberal, yang sering ditujukan terutama pada HT(I). Sebab, HT(I) sendiri, baik di media massa
maupun dalam forum-forum diskusi, seminar dll telah banyak menjelaskan gagasan dan dalil-
dalil seputar kewajiban menegakkan syariah dan Khilafah, termasuk menjawab apa yang sering
dipertanyakan kaum liberal.
Di sini Penulis hanya ingin memaparkan kembali persoalan yang lebih krusial dan urgen untuk
dijawab oleh semua pihak–termasuk ole kalangan liberal yang selama ini rajin ‘menentang
gagasan syariah dan Khilafah yang diusung HTI–daripada sekadar wacana Khilafah yang
cenderung banyak direduksi dan disalahpami.
Persoalan yang dimaksud adalah: jika bukan syariah dan Khilafah, apa solusi yang bisa
ditawarkan untuk menyelesaikan krisis multidimensi yang dihadapi bangsa ini?
Mengapa ini yang dipertanyakan? Sebab, itulah di antara yang mendasari HT(I) mengusung
gagasan syariah dan Khilafah, yakni ingin mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi
bangsa ini. Dengan kata lain, bagi HT(I), syariah dan Khilafah adalah solusi fundamental bagi
bangsa ini bahkan dunia jika ingin keluar dari krisis multidimensi, yang terbukti sampai hari ini
gagal diatasi.
Sayangnya, motif baik ini tidak pernah dibaca oleh mereka yang menolak syariah dan Khilafah
yang diusung HTI. Padahal HTI sendiri sesungguhnya telah lama mengkaji secara mendalam
akar persoalan yang menimpa bangsa ini sekaligus merumuskan berbagai konsep sebagai
solusinya, yang bisa diuji kesahihan dan kekuatan argumentasinya. Gagasan-gagasan yang
ditawarkan HTI untuk mengatasi krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini bisa dibaca
secara jelas dan gamblang dalam media resmi HTI seperti: Website www.hizbut-tahrir.or.id,
Jurnal al-Waie, Buletin al-Islam, berbagai booklet yang diterbitkan secara berkala maupun buku-
buku resmi yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir.
Jika banyak kalangan, termasuk kalangan liberal, mempertanyakan komitmen HTI terhadap
NKRI, misalnya, sejak sebelum Timtim lepas, HTI justru telah memperingatkan Pemerintah
tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui UNAMET, yang menghendaki Timtim
lepas dari Indonesia. Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada
media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan
Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun!
Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki, tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil
Perjanjian Helsinki, HTI-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari NKRI dan agar
NKRI jangan berada di bawah ketiak pihak asing.
HTI pun secara konsisten terus memperingatkan Pemerintah tentang kemungkinan disintegrasi di
wilayah Ambon dengan RMS-nya atau Papua dengan OPM-nya.
Wajar jika seorang pejabat militer pernah berujar bahwa ternyata HTI lebih nasionalis daripada
organisasi dan partai-partai nasionalis. Sebab, bagi HTI, keutuhan wilayah NKRI itu final, dalam
arti, tidak boleh berkurang sejengkal pun! Lagipula disintegrasi NKRI berarti akan semakin
menyuburkan perpecahan umat. Bagi HTI, ini jelas kontraproduktif dengan gagasan Khilafah
yang justru ingin mewujudkan persatuan umat yang memang dikehendaki syariah (QS Ali Imran
[3]: 103).
Dalam konteks ekonomi, HTI pun telah sejak lama memperingatkan bahaya Kapitalisme global.
Jauh sebelum krisis ekonomi menimpa bangsa ini sekitar tahun 1998, HTI telah memperingatkan
Pemerintah terhadap bahaya utang luar negeri melalui lembaga IMF. Sebab, bagi HTI, utang luar
negeri berbasis bunga (riba), di samping haram dalam pandangan syariah, (QS al-Baqarah [2]:
275), juga merupakan alat penjajahan baru untuk mengeksploitasi negeri-negeri Muslim,
termasuk Indonesia.
HTI pun telah lama memperingatkan Pemerintah untuk: tidak ‘menjual murah’ BUMN-BUMN
atas nama privatisasi yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak; mencabut HPH dari
sejumlah pengusaha yang juga terbukti merugikan kepentingan publik, di samping
mengakibatkan penggundulan hutan yang luar biasa; tidak memperpanjang kontrak dengan PT
Freeport yang telah lama menguras sumberdaya alam secara luar biasa di bumi Papua;
menyerahkan begitu saja pengelolaan kawasan kaya minyak Blok Cepu kepada ExxonMobile;
dll.
Bagi HTI, kebijakan-kebijakan Pemerintah yang terkait dengan sumberdaya alam milik publik
ini bertentangan syariah Islam, karena Nabi saw. pernah bersabda:
“Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, hutan dan energi.” (HR Ibn
Majah dan an-Nasa’i).
Sesuai dengan sabda Nabi saw. ini, Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1953)
memandang, bahwa seluruh sumberdaya alam yang menguasai hajat publik harus dikelola negara
yang seluruh hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (An-Nabhani, An-Nizhâm al-
Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 213).
Selain itu, jika Pemerintah, termasuk kalangan liberal, konsisten dengan demokrasi dan
nasionalisme, apakah kebijakan-kebijakan yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak dan
cenderung menghamba pada kepentingan pihak asing (Kapitalisme global) di atas bersifat
demokratis dan sesuai dengan nilai-nilai nasionalisme? Demokrasi macam apa yang justru
bertentangan dengan kemaslahatan publik? Nasionalisme macam apa pula yang menggadaikan
kepentingan nasional kepada pihak asing? Mengapa kalangan liberal sendiri tidak pernah
menyoal masalah ini; sesuatu yang justru menjadi concern HTI meski tidak mengatasnamakan
demokrasi dan nasionalisme?
Jika kita mau jujur, justru demokrasilah, juga nasionalisme, yang lebih rentan dan rawan
direduksi sekaligus ‘dibajak’ untuk sesuatu yang jauh lebih hina: menghamba pada kepentingan
para kapitalis dan pihak asing!
Itulah mengapa selama ini HTI konsisten dengan perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah.
Alasan syari-nya adalah karena tidak ada satu pun hukum/sistem yang lebih baik mengatur
kehidupan manusia kecuali hanya hukum/sistem syariah (QS an-Maidah [5]: 50)
yang diterapkan oleh Khilafah.
Adapun alasan rasionalnya adalah karena negeri ini, bahkan dunia ini, sedang menuju
kebangkrutan bahkan kehancuran akibat kerakusan ideologi Kapitalisme global. Para ekonom
Barat sendiri—yang jujur—telah banyak mengulas kebobrokan Kapitalisme global ini.
Pertanyaannya: akankah kita tetap betah hidup di tengah-tengah arus besar Kapitalisme global
yang terbukti telah banyak menyengsarakan umat manusia, termasuk bangsa ini? Ataukah kita
berusaha melepaskan diri dari jeratannya lalu mencari ideologi penyelamat sekaligus penebar
rahmat, yakni ideologi Islam (QS al-Anbiya’ [21]: 107)? Itulah yang seharusnya dijawab oleh
semua pihak, termasuk oleh kalangan liberal; kecuali jika mereka memang
kepanjangan tangan dari Kapitalisme global! []
Menyoal Toleransi
05 Aug 2016 in Fokus (Al Waie), Topik Utama Leave a comment

Untuk Kualitas Puasa yang Super, Hormati Orang yang Tidak Puasa. Demikian isi salah satu
spanduk yang terbentang di salah satu sudut jalan pada bulan Ramadhan 1437 H lalu. Spanduk
tersebut kemudian menjadi ramai bahkan menjadi viral perbincangan, apalagi di dunia
maya.Mereka yang setuju terhadap isi spanduk tersebut berdalih, bahwa orang yang berpuasa itu
tidak butuh penghormatan manusia apalagi sampai berharap dirinya untuk dihormati. Jadi, tidak
perlu harus ada kata-kata, “Hormatilah orang yang sedang berpuasa.” Bagi mereka justru puasa
yang super itu adalah ketika orang yang sedang berpuasa menghormati mereka yang tidak
berpuasa. Ini bagi mereka adalah salah satu bentuk toleransi yang harus dijaga.
Sekilas memang terdengar logis, masuk akal. Orang yang berpuasa harus bisa menahan diri saat
melihat ada orang yang tidak berpuasa sedang makan atau minum. Dengan menahan hawa nafsu
tersebut, kualitas puasanya menjadi lebih baik, atau super menurut istilah yang mereka gunakan.
Namun, bagi seorang Mukmin, ini adalah kemungkaran yang nyata, yang tidak boleh dibiarkan.
Kemungkaran tersebut haruslah dicegah. Allah SWT berfirman:
ِ ‫َو ْلت َ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أ ُ َّمةٌ يَدْعُونَ إِلَى ْال َخي ِْر َويَأ ْ ُم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُر‬
َ‫وف َو َي ْن َه ْونَ َع ِن ْال ُم ْنك َِر َوأُولَئِكَ ُه ُم ْال ُم ْف ِلحُون‬
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan
amar makruf nahi mungkar. Merekalah kaum yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).

Seruan toleransi pun mulai disuarakan. Apalagi ditambah dengan peristiwa penggrebekan
warung Bu Saeni beberapa waktu lalu di Pasar Rau, Kota Serang, Banten oleh Satpol PP.
Peristiwa penggrebekan warung makan Bu Saeni terus diberitakan oleh media hingga
menampilkan kesan Saeni yang teraniaya atas tindakan satpol PP tersebut. Hasilnya, imbauan
untuk menumbuhkan toleransi terus diserukan banyak tokoh, bahkan termasuk para penguasa di
negeri ini. Wapres Jusuf Kalla, misalnya, berkomentar, “Yang tidak puasa menghormati orang
puasa. Yang puasa juga tetap hormati yang tidak puasa,” kata Kalla (Kompas.com,12/06/2016).
Bahkan Presiden Jokowi memberikan bantuan uang sebesar sepuluh juta rupiah kepada Bu
Saeni.
Toleransi semacam ini adalah toleransi yang keliru dan terbalik. Harusnya, yang tidak berpuasa
menghormati mereka yang sedang berpuasa dengan cara tidak makan minum secara terang-
terangan di tempat umum. Sebagaimana pada saat berlangsung shalat, mereka yang tidak shalat
harus menghormati mereka yang sedang shalat dengan cara tidak membuat suasana berisik
sehingga bisa mengganggu kekhusyukan mereka yang sedang shalat.
Makna Toleransi
Toleransi merupakan kata yang berasal dari Barat. Secara bahasa, toleransi berasal dari
kata tolerance. Maknanya adalah “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes).
Kata tolerance kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi toleransi yang berasal
dari katatoleran. Kata ini mengandung arti: bersikap atau bersifat menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang
berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Kata toleransi ini kemudian dijadikan alat oleh musuh-musuh Islam, termasuk kaum Liberal
yang ada di Indonesia. Kaum Liberal selalu menjadikan kebebasan sebagai fokus utama mereka,
sebagaimana paham liberal yang mereka anut, yakni kebebasan tanpa batas yang menerjang
norma-norma agama. Tema sentral yang biasa mereka usung ialah pemisahan agama dari politik,
demokrasi, HAM, kesetaraan jender, kebebasan penafsiran teks agama, toleransi beragama,
kebebasan berekspresi dan persamaan agama (pluralisme).
Berbeda dengan Islam. Islam mengartikan toleransi dengan istilah “tasâmuh”. Dalam kamus Al-
Muhith, Oxford Study Dictionary English-Arabic (2008: 1120) istilah tasâmuh memiliki
arti tasâhul (kemudahan). Artinya, Islam memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk
menjalankan apa yang ia yakini sesuai dengan ajaran masing-masing tanpa ada tekanan dan tidak
mengusik ketauhidan.
Maka dari itu, umat Islam seharusnya jeli dalam memahami setiap persoalan yang kemudian
membawa membawa-bawa istilah toleransi tersebut. Umat Islam tidak dibenarkan—agar tidak
disebut intoleran—bersikap memaklumi dan menghargai sesuatu yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam.
Menghambat Penegakan Syariah Islam
Sadar atau tidak, sikap toleransi yang salah tersebut akan menghambat upaya untuk tegaknya
syariah Islam di negeri ini. Lihatlah, saat umat Islam menginginkan syariah Islam dijadikan
aturan yang mengatur negeri ini, mereka berujar, “Kita harus menghormati agama lain, termasuk
menghormati kelompok lain”. Dalih mereka, tidak boleh ada satu ajaran mendominasi ajaran
lain; Indonesia adalah negara yang bukan hanya ada Islam, namun juga terdapat pemeluk agama
lain. Padahal penerapan syariah Islam merupakan perkara yang diwajibkan atas umat Islam
untuk mengatur urusan kehidupan mereka.
Allah SWT memerintahkan setiap Muslim agar dalam menjalankan semua aktivitasnya
senantiasa sejalan dengan hukum syariah. Bahkan Allah SWT menafikan keimanan mereka yang
tidak terikat dengan syariah yang dibawa oleh Rasulullah saw. (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 65).
Penafian keimanan atas mereka yang tidak terikat syariah dipertegas oleh Rasulullah saw.
dengan sabdanya:
َّ ‫الَ يُؤْ ِمنُ أ َ َحد ُ ُك ْم َحت‬
‫ى َي ُكونَ ه ََواهُ تَبَعا ً ِل َما ِجئْتُ بِ ِه‬
Tidaklah beriman seseorang di antara kalian hingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti
apa yang aku bawa (HR Abu Hatim dalam Shahîh-nya).

Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh melakukan perbuatan atau meman-faatkan apapun
di luar ketentuan hukum, yakni harus selalu terikat dengan syariah (An-Nabhani, Muqaddimah
ad-Dustûr, hlm. 84).
Kita juga bisa melihat beberapa kejadian yang menjadi penghambat tegaknya syariah Islam atas
nama toleransi dalam masalah beragama, semisal:

1. Sejarah Piagam Jakarta.


Pada tanggal 22 Juni 1945, panitia kecil Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) mengajukan rumusan dasar negara yang dikenal dengan nama Piagam
Jakarta (Djakarta Charter). Panitia kecil tersebut terdiri atas sembilan orang sehingga kerap
disebut Panitia Sembilan. Mereka adalah empat orang tokoh Islam, yaitu KH Wahid Hasyim,
Abdul Kahar Muzakar, Abikoesno Tjokrosoeyoso dan H. Agus Salim; empat tokoh dari
kalangan nasionalis sekular yakni Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Achmad Soebardjo, Muhammad
Yamin; dan satu perwakilan non-Muslim, yaitu A.A. Maramis.
Para tokoh Islam yang berada dalam panitia kecil tersebut mengusulkan Islam sebagai dasar
Negara. Bahkan mereka memperkuat argumentasinya dengan membawa puluhan ribu tanda
tangan tokoh Islam, ulama dan pimpinan pondok pesantren seluruh Indonesia yang
menginginkan negara yang akan diproklamasikan berdasarkan Islam. Usulan tersebut ditolak
oleh perwakilan dari tokoh-tokoh sekular dan non-Muslim. Namun, setelah melalui perdebatan
panjang, Panitia Sembilan akhirnya sepakat dan merekomondasikan rumusan dasar negara yang
dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Djakarta Charter) yakni: “…maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang
berkedaulatan Rakyat dengan berdasar pada: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Namun, sehari setelah proklamasi kemerdekaan diproklamirkan, 7 kata tersebut kemudian
dihapuskan.
Pencopotan syariah Islam bermula pada 17 Agustus sore. Seorang opsir Kaigun (Angkatan laut)
bersama seorang juru bahasa, Nishijima, mendatangi Hatta di kediamannya.Opsir yang tidak
disebutkan namanya itu keberatan dengan “syariat Islam”.
Dia beralasan, jika tetap mencantumkan kata “syariat Islam” golongan Protestan dan Katolik
lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Karena itu pada 18 Agustus pagi, sebelum sidang Panitai Persiapan Kemerdekaan Indonesia
dimulai, Hatta melakukan rapat pendahuluan dengan Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr.
Kasman Singodeimejo dan Mr. Teuku Hasan. Dalam buku Memoir Mohammad
Hatta (Tintamas: 1982, hlm. 458-459), Hatta mengatakan, “Supaya kita jangan pecah sebagai
bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu
dan menggantinya dengan Ketuhanan yang Maha Esa.”
Akhirnya, dalam hitungan kurang dari 15 menit, seperti diceritakan Hatta dalam
bukunya, Sekitar Proklamasi, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Sikap toleransi yang
dilakukan oleh Moch. Hatta tersebut mengakibatkan 7 kata di dalam Pembukaan UUD 1945
tersebut hilang.

2. Perda-Perda Syariah.
UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa pemerintah daerah dapat membuat peraturan daerah.
Karena itu sejumlah pemerintah daerah berlomba-lomba untuk merumuskan perda sesuai dengan
keunikan dan kekhasan daerahnya masing-masing, termasuk keunikan beragamanya. Salah satu
contoh peraturan daerah yang dibentuk berdasarkan ciri atau kekhasan tertentu adalah perda
syariah.
Lebih 25 provinsi/kota/kabupaten telah melahirkan berbagai aturan baik dalam bentuk peraturan
daerah atau instruksi kepala daerah yang dinilai sementara kalangan sebagai perda berbau
syariah atau perda syariah.
Beberapa kali perda-perda itu digugat khususnya di lembaga parlemen. Kalangan Kristen dan
Liberal yang paling getol mempermasalahkan. Pembentukan dan pemberlakuan perda itu dinilai
inkonstitusional serta intoleran karena bertentangan dengan konstitusi dan Pancasila, meresahkan
masyarakat, tidak sesuai dengan prinsip kebhinekaan dan mengancam NKRI; ditambah dengan
alasan mengancam hak-hak kebebasan masyarakat sipil, hak-hak perempuan dan non-Muslim.
Pasca pemberitaan terkait dengan penggrebekan warung makan Bu Saeni yang menyita perhatian
publik, muncul kabar Jokowi menghapus 3.143 Perda. Penghapusan Perda dan Peraturan Kepala
Daerah itu diumumkan langsung Presiden Joko Widodo di Istana Presiden Senin (13/6) petang.
“Sekali lagi saya tegaskan bahwa pembatalan ini untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa
yang besar, yang toleran dan yang memiliki daya saing,” tegas Jokowi saat menutup
pernyataannya seusai membacakan jenis-jenis perda yang dibatalkan tersebut.
Secara tersirat maksud dari kalimat perda yang bertentangan dengan perundangan-undangan
yang lebih tinggi, sepertinya mengarah pada perda-perda syariah atau yang berbau syariah. Itu
dapat dilihat dari alasan penghapusan perda-perda tersebut, yakni salah satunya adalah agar
Indonesia menjadi bangsa yang besar dan toleran. Faktanya, para penolak perda syariah selalu
berdalih bahwa perda syariah itu tidak toleran.

3. UU Perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan no. 1 Tahun 1974 (UU-P no. 1/1974) tak pernah sepi dari kritik.
Kelompok Liberal aktif menuntut revisi UU-P. Tim PUG Depag pada tahun 2004 pernah
mengeluarkan CLD-KHI (Counter Legal Draft – Kompilasi Hukum Islam). Sebagai contoh
masalah poligami (ta’addud al-zawjât), menurut draft yang terdapat di dalam CLD-KHI, adalah
tidak diizinkan sama sekali, haram li ghayrihi(Pasal 3). Menurut CLD-KHI pula, pernikahan
beda agama diizinkan asalkan bertujuan untuk mencapai tujuan perkawinan. Ini tentu
pemahaman yang keliru dan menyimpang dari agama Islam. Dengan semangat liberalisme dan
toleransi, mereka mengajukan draft ini kepada MK walaupun akhirnya usaha mereka tersebut
gagal.

4. RUU Halal.
Setelah melalui jalan yang panjang dan berliku, akhirnya RUU Jaminan Produk Halal disahkan
menjadi undang-undang pada rapat paripurna DPR RI hari Kamis, 25 September 2014 di Gedung
Nusantara DPR RI, Jakarta (25/9). Rapat Paripurna yang dipimpin oleh Priyo Budi Santoso
secara aklamasi menyetujui RUU JPH menjadi Undang-Undang.
Namun, kalau kita melihat proses RUU tersebut, upaya penolakan dari sebagian kalangan
sangatlah terasa. Mereka beralasan, Negara Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke, tiap etnik mempunyai kekayaan dengan beragam budaya, seni, ritual tradisi, adat, cara
berpakaian, berbagai jenis produk minuman dan makanan kuliner yang berkembang selama
berabad-abad, yang menunjukkan kemajemukan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, RUU Halal
akan mengotak-ngotakkan masyarakat, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Standar Ganda Toleransi
Kalau disepakati bahwa makna dari toleransi adalah menahan perasaan tanpa protes, maka
tampak jelas bahwa kalangan Liberal tidak konsisten dengan konsep mereka sendiri untuk ‘tidak
protes’ terhadap pendapat yang berbeda dari pemikiran/konsep yang mereka bawa. Kaum
Muslim dipaksa tunduk pada argumentasi mereka kendati itu menyalahi konsep mereka sendiri.
Contoh bagaimana kehidupan Umat Islam di Bali saat Hari Raya Nyepi. Kaum Muslim harus
mematikan lampu dan tidak boleh melaksanakan aktivitasnya dengan bebas pada hari itu.
Bahkan belakangan, Raja Bali meminta kaum Muslim tidak menyembelih sapi karena binatang
tersebut dianggap sebagai dewa. Terhadap kondisi ini, tidak ada kelompok Liberal yang protes.
Sebaliknya, ketika kaum Muslim mengumandangkan azan melalui pengeras suara, mereka
protes. Padahal suara keras itu ada di wilayah yang mayoritas Muslim. Kaum Muslim diminta
menghormati non-Muslim dengan mengecilkan suara panggilan orang shalat tersebut.
Kita juga masih ingat bagaimana umat Islam di Tolikara dilarang melaksanakan shalat Id, juga
dilarang membangun masjid. Padahal umat Islam di Indonesia adalah mayoritas. Namun, dalam
masalah toleransi seolah digiring agar yang mayoritas mengalah kepada minoritas. Padahal yang
minoritas harusnya sadar diri. Lihatlah juga bagaimana umat Islam yang mayoritas tersebut harus
mengalah kepada kalangan yang tidak setuju terkait 7 kata di dalam Piagam Jakarta sehingga
kemudian dihapuskan.
Oleh karena itu, toleransi adalah salah satu alat yang selalu dijadikan kafir Barat, kalangan
liberal sekular, untuk menghalangi umat Islam hidup diatur dengan syariah Islam, karena itu
berarti mengubur peradaban Barat yang sedang mereka bangun. Mereka hanya toleran terhadap
kaum Muslim yang mau hidup dengan peradaban Barat, yakni melepaskan syariah Islam dari
kehidupan.
WalLâhu ‘alam. [Adi Victoria; Humas HTI Kaltim]
Ahistoris dan Gegabah, Mengaitkan Islam Ideologis dengan Potensi Perpecahan Bangsa
24 Feb 2016 in Berita Dalam Negeri Leave a comment
Pernyataan peneliti LIPI Anas Saidi yang menyebut radikalisme ideologi Islam berpotensi
perpecahan bangsa dan mengancam ideologi Pancasila mendapat sanggahan telak dari anggota
CMO Hizbut Tahrir Fika Komara.
“Upaya mengaitkan pemahaman Islam ideologis dengan potensi perpecahan bangsa dan
ancaman bagi Pancasila merupakan kesimpulan yang ahistoris sekaligus gegabah!” tegasnya
seperti dimuat lamanfacebook Far-Eastern Women’s Voices for the Khilafah, Senin (22/2).
Pernyataan Anas yang menyebut istilah “radikalisme ideologi” juga mendapatkan kritik tajam.
Menurut Fika, jika yang dimaksud radikalisasi sebagai proses menjadikan sesuatu mendasar dan
sampai pada hal yang prinsip, maka demikian selayaknya seorang Muslim memahami Islam.
Persoalannya, upaya ini jelas tidak mendapat ruang dalam kehidupan sekuler. Sebaliknya,
sekularisme dan liberalisme mendapat ruang leluasa meradikalisasi dan mengkader putra-putri
umat Islam menjadi para pemuja sekularisme dan duta liberalisme.
“Ibarat maling teriak maling, kapitalisme, sekularisme dan liberalisme lah yang secara nyata
telah mengoyak bangsa,” kata Fika.
Menurutnya, pemahaman Islam ideologis telah hidup mengakar dalam keseharian umat di
nusantara, bahkan berperan besar dalam memobilisasi perlawanan secara fisik dan intelektual
terhadap penjajahan.
Ada pun data yang menjadi sandaran Anas dalam sesumbarnya adalah hasil survei yang
menunjukkan bahwa 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tidak lagi
relevan. Sementara 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru menyatakan setuju dengan penerapan
syariat Islam.
Fika mengingatkan, data yang menunjukkan 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan
Pancasila tidak lagi relevan penting untuk didalami kembali bahkan idealnya menjadi autokritik.
Kenyataannya, krisis ideologi memang sedang terjadi, dan Indonesia menjadi bulan-bulanan
penjajahan di segala bidang.
“Pemahaman ideologi yang dimiliki umat saat ini tidak mampu membendung derasnya pukulan
kapitalisme,” ungkapnya.
Adapun angka 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju dengan penerapan syariat Islam
menunjukkan bahwa umat percaya pada kapasitas Islam sebagai ideologi alternatif.
“Meskipun demikian, keliru jika data ini dihubungkan dengan potensi bergabung dengan ISIS,
sebab ISIS tidak mencerminkan penerapan ideologi Islam bahkan sebaliknya mencoreng dan
menyudutkan Islam,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo
Persis: Liberalisasi Air, Hutan dan Migas Melanggar Sunnah Rasul
17 May 2015 in Berita Dalam Negeri Leave a comment

Liberalisasi air, hutan dan migas, menurut Ketua


Umum Persatuan Islam (Persis) Prof Dr Maman Abdurrahman melanggar Sunnah Rasulullah
SAW.
“Padahal kalau melihat Sunnah Rasulullah SAW bahwa ada tiga hal yang milik bersama. Annasu
syuraka fii tsalatsin, orang-orang itu bersama-sama dalam tiga perkara, pertama adalah al
ma’, air, yang kedua al kalla, itu padang rumput atau hutan atau perkebunan, dan yang ketiga
adalah an nar, api atau energi,” ujarnya mengutip hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Dawud
dari Ibnu Abbas ra seperti dilansir tabloid Media Umat Edisi 151: Indonesia Terancam
Neoimperialisme, Jum’at (15 Mei-4 Juni).
Tapi faktanya, ungkap Maman, sekarang yang menguasai adalah orang-orang asing, untuk
sebesar-besar kemakmuran mereka, bukan kaum Muslimin bukan bangsa ini.
“Itulah salah satu bukti imperialisme gaya baru ini terjadi, baik dari aspek ekonomi, kebudayaan,
dalam aspek politik juga, sehingga kita semakin jauh dengan Pancasila dan UUD 1945 apalagi
Al-Qur’an dan Sunnah,” tegasnya.
Menurutnya, imperialisme gaya baru di Indonesia itu bukan sedang muncul tetapi sudah berjalan
lama. Salah satunya masuk ke dalam UU tentang air sehingga asing yang menguasai air itu.
“Itu sudah diusulkan dari Muhammadiyah tempo hari untuk di-judicial review dan sudah dicabut
UU-nya yang memberikan legalitas kepada swasta apalagi asing untuk menguasai air itu dan
harus dikembalikan lagi kepada masyarakat Indonesia dalam hal ini BUMN dan BUMD,”
ungkapnya.
Berikutnya juga dengan masalah penguasaan kehutanan. “Yang menguasai hutan itu banyak
swasta banyak pula asing. Kedepannya ini juga harus ditinjau secara UU,” usul Maman.
Begitu juga mengenai energi. “Energi itu ternyata banyak dimiliki oleh orang asing juga. Dan
yang jelas sekali misalnya listrik itu dikuasai swasta. Dan kemudian, itu menggunakan
infrastruktur negara dengan keuntungan yang sangat besar sekali,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo

Anda mungkin juga menyukai