Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Skabies disebut juga penyakit Kudis. Skabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Sarcoptes scabei varian hominis, yang penularannya terjadi secara kontak langsung.1
Skabies didapat didaerah kumuh dengan keadaan sanitasi yang sangat jelek. Penularan terjadi
secara langsung dari orang ke orang ataupun lewat peralatan seperti pakaian. Hal ini dipermudah
oleh keadaan air bersih yang kurang penyediaannya.1
Skabies dapat menular melalui kontak non seksual didalam satu keluarga. Kontak kulit
dengan orang yang serumah dan transmisi secara langsung seperti lewat handuk, berganti pakaian
dan satu tempat tidur.2
Menurut Ayerbe dan Munoz, untuk suatu sebab yang sulit dimengerti, penyakit skabies
ternyata sering menyebabkan epidemi yang diperkirakan terjadi setiap 30 tahun sekali. Sekitar tahun
1940-1970 pernah terjadi pandemi terbesar di seluruh dunia. Penyakit ini telah ditemukan hampir
pada semua Negara di seluruh dunia dengan angka prevalensi yang bervariasi. Di beberapa Negara
berkembang prevalensinya dilaporkan berkisar antara 6-27% dari populasi umum dan insidens
tertinggi terdapat pada anak usia sekolah dan remaja. Di Negara maju termasuk Amerika Serikat,
prevalensinya sama untuk semua kelompok usia dan skabies pada anak-anak tetap merupakan suatu
masalah besar.3
Di Indonesia insiden penyakit ini belum ada angka yang pasti, namun berdasarkan laporan
Departemen Kesehatan, skabies menempati urutan ke-3 dari 10 urutan penyakit kulit terbesar pada
pelita IV.3
Skabies menduduki peringkat ke-7 dari sepuluh besar penyakit utama di puskesmas dan
menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia. Ada dugaan bahwa setiap siklus
30 tahun terjadi epidemik skabies.4
Menurut DepKes RI (1995), berbagai laporan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi, yaitu
1 kamar tidur dengan luas kamar 15m dihuni sampai 15 orang. Hal ini belum memenuhi standar
hunian kamar, yaitu 3m/tempat tidur/orang.3
Sebanyak 18 studi prevalensi umum di negara-negara berkembang untuk penyakit kulit
sebanyak (21-87%), dan untuk skabies (0,2-24%). Angka prevalensi di Asia Tenggara: India (9,7%-
13%), Bangladesh (23-30%). Asia Timur (4,3% di Kamboja). Di Brazil (8,8%) dan di Afrika (1-2%).
Disebuah daerah pedesaan dekat Bamako 47% dari kasus skabies pada anak-anak dilaporkan
berlangsung selama lebih dari 4 bulan, 14% selama lebih dari 1 tahun.5
Prevalensi skabies di puskesmas Indonesia pada tahun 2008 adalah (5,6%-12,95%).
Prevalensi skabies pada tahun 2008 di berbagai pemukiman kumuh di Jakarta termasuk di pondok
pesantren mencapai (6,20%), di kabupaten Boyolali (7,36%), di kabupaten Pasuruan sebesar
(8,22%), dan di Semarang mencapai (5,80%). Hasil dari sebuah penelitian di Semarang, kejadian
skabies pada balita sebanyak 18 (60,0%).6
Dari hasil penelitian di pesantren X Jakarta Timur, pada penilaian berdasarkan jenis kelamin
dan usia, prevalensi skabies pada santri laki-laki (57,4%) lebih tinggi dibanding santri perempuan
(42,9%). Prevalensi skabies pada santri aliyah (41,3%), sedangkan pada tsanawiyah (58,1%). Dari
penelitian di pondok pesantren Darul Hijrah di provinsi kalimantan selatan, mendapatkan hasil
frekuensi skabies adalah 23,01% (52 orang dari 226 orang yang bersedia sebagai subjek penelitian)
dan 48 orang diantaranya adalah siswa putra dan 4 orang lainnya siswa putri yang secara klinis
didiagnosa menderita skabies.7
Dari hasil sebuah penelitian didapatkan bahwa tingkat pengetahuan tentang kesehatan yang
kurang baik mempunyai risiko terhadap penyakit skabies sebesar 2,338 kali, dibanding dengan
pengetahuan tentang kesehatan lingkungan yang baik. Dengan perilaku yang suka memakai pakaian
bergantian dengan teman dapat memudahkan penularan skabies, bergantian handuk mempunyai
risiko terkena penyakit skabies sebesar 2,719 kali, dibandingkan dengan yang tidak bergantian
handuk.8 Sebagian besar santri yang mempunyai personal hygiene yang jelek mempunyai prevalensi
penyakit skabies sebesar 73,70%, dibanding dengan santri yang personal hygiene baik mempunyai
prevalensi sebesar 48,00%. Jelas sekali terdapat peran pengetahuan, dan perilaku personal hygiene
dalam penularan penyakit skabies.9

1.1. Rumusan Masalah


Dari uraian diatas, permasalahan dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimana tingkat pengetahuan dan perilaku personal hygiene para siswa dan siswi SMP
SMA Hidayatullah terhadap pencegahan skabies.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, dan perilaku personal hygiene siswa dan siswi SMP
SMA Hidayatullah terhadap pencegahan skabies tahun 2017.

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan siswa dan siswi SMP SMA Hidayatullah terhadap
pencegahan skabies tahun 2017.
2. Untuk mengetahui gambaran perilaku personal hygiene siswa dan siswi SMP SMA
Hidayatullah terhadap pencegahan skabies tahun 2017.
3. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan berdasarkan umur siswa dan siswi SMP SMA
Hidayatullah terhadap pencegahan skabies tahun 2017.
4. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan berdasarkan jenis kelamin siswa dan siswi SMP
SMA Hidayatullah terhadap pencegahan skabies tahun 2017.
5. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan berdasarkan tingkat pendidikan siswa dan siswi
SMP SMA Hidayatullah terhadap pencegahan skabies tahun 2017.
6. Untuk mengetahui gambaran perilaku personal hygiene berdasarkan umur siswa dan siswi
SMP SMA Hidayatullah terhadap pencegahan skabies tahun 2017.
7. Untuk mengetahui gambaran perilaku personal hygiene berdasarkan jenis kelamin siswa dan
siswi SMP SMA Hidayatullah terhadap pencegahan skabies tahun 2017.
8. Untuk mengetahui gambaran perilaku personal hygiene berdasarkan tingkat pendidikan siswa
dan siswi SMP SMA Hidayatullah terhadap pencegahan skabies tahun 2017.

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. Bagi Peneliti
Melalui penelitian ini, penulis bisa menambah ilmu pengetahuan tentang penyakit
skabies.

2. Bagi para siswa dan siswi SMP SMA Hidayatullah dan Masyarakat
Agar para siswa dan siswi maupun masyarakat umum lebih peduli tentang kebersihan,
kesehatan dan mengetahui tentang penyakit skabies, pencegahan penularan, dan
gejalanya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Skabies
2.1.1. Definisi Skabies

Skabies disebut juga penyakit kudis atau keropeng. Skabies adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh Sarcoptes scabiei varian hominis, yang penularannya terjadi secara kontak
langsung.1

Skabies penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi dari Sarcoptes scabei var
hominis dan produknya. Faktor penunjang penyakit ini antara lain sosial ekonomi rendah, higiene
rendah dan diagnosa yang tidak tepat (Mansjoer et al, 2008).10

2.1.2. Etiologi
Sarcoptes scabiei jenis manusia, tergolong famili artropoda kelas araknida, ordo akarina, famili
sarkoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabei var hominis. Selain itu terdapat S. scabei yang
lain, misalnya pada kambing dan babi. Sarcoptes scabei merupakan tungau kecil yang berbentuk
bulat lonjong dan bagian ventral datar. Tungau betina setelah dibuahi mencari lokasi yang tepat di
permukaan kulit untuk kemudian membentuk terowongan, dengan kecepatan 0,5-5 mm per hari.4

Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian
perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukurannya yang
betina berkisar antara 330-450 mikron x 230-350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni
200-240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di
depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut,
sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir
dengan alat perekat.4

Selain menginfeksi manusia, skabies juga menyerang hewan lain seperti anjing, sapi, babi,
kambing, kelinci, dan kuda. Secara morfologis, skabies yang ditemukan pada hewan tampak serupa
akan tetapi mungkin secara biologis terdiri dari varian berbeda. Tampaknya setiap jenis hewan
mempunyai spesies skabies yang berbeda strain yang tidak akan mampu untuk hidup dan bertahan
jika berganti tuan rumah dari hewan lain. Skabies dari kambing misalnya, dapat menyerang manusia,
akan tetapi tidak akan bertahan hidup pemanen pada kulit manusia.11

Tungau jantan mempunyai masa hidup yang lebih pendek dari pada tungau betina, dan
mempunyai peran yang kecil pada patogenesis penyakit. Biasanya hanya hidup di permukaan kulit
dan akan mati setelah membuahi tungau betina.12

Menurut Soedarto, Mellanby (1997) menyatakan bahwa tungau ini merupakan parasit obligat
pada manusia dan hanya dapat hidup di luar tubuh manusia selama kurang lebih 2-3 hari. Tungau
akan mati pada suhu sedang (moderate temperature). Pada suhu 50⁰ Celcius di luar hospes, baik
pada udara kering maupun lembab, tungau akan mati dalam 10 menit. Pada suhu 25⁰ Celcius tungau
bertahan hidup selama 3 hari pada kelembaban relative 90⁰ C. Periode paling lama untuk tungau
bertahan di luar kulit manusia adalah 14 hari pada udara lembab dengan suhu 12⁰ Celcius.
Sedangkan pada suhu yang lebih rendah, kemampuan hidup menurun.12

2.1.3. Epidemiologi

Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai
semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa
muda, tetapi dapat mengenai semua umur. Insidens sama pria dan wanita.12

Menurut Ayerbe dan Munoz, untuk suatu sebab yang sulit dimengerti, penyakit skabies ternyata
sering menyebabkan epidemi yang diperkirakan terjadi setiap 30 tahun sekali. Sekitar yahun 1940-
1970 pernah terjadi pandemi terbesar di seluruh dunia.Penyakit ini telah ditemukan hampir pada
semua Negara di seluruh dunia dengan angka prevalensi yang bervariasi. Di beberapa Negara
berkembang prevalensinya dilaporkan berkisar antara 6-27% dari populasi umum dan insidens
tertinggi terdapat pada anak usia sekolah dan remaja. Di Negara maju termasuk Amerika Serikat,
prevalensinya sama untuk semua kelompok usia dan skabies pada anak-anak tetap merupakan suatu
masalah besar.3

Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di Indonesia sebesar 4,60-12,95% dan


skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering Insiden di Indonesia masih cukup
tinggi, terendah di Sulawesi Utara dan tertinggi di Jawa Barat. Amiruddin dkk, dalam penelitian
skabies di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, menemukan insidens penderita skabies selama 1983-
1984 adalah 2,7%. Abu A dalam penelitiannya di RSU Dadi Ujung Pandang mendapatkan insidens
skabies 0,67%.1

2.1.4. Patogenesis1,14

Tungau jantan dan betina berkopulasi pada terowongan yang dangkal pada kulit, kemudian
tungau betina yang telah dibuahi akan menggali lubang ke dalam lapisan epidermis dan selanjutnya
membuat terowongan didalam dan dibawah lapisan stratum korneum dengan mensekresikan
substansi yang melarutkan kulit, kemudian dikonsumsi dan dicerna oleh tungau. Beberapa jam
setelah menggali terowongan, telur-telur mulai diletakkan. Terowongan ini merupakan tempat
tinggalnya selama 1-2 bulan dan selanjutnya akan bertelur disini.

Setiap hari tungau tersebut bertelur 2-3 butir, dan menetas dalam waktu 3-4 hari menjadi larva
yang mempunyai 3 pasang kaki, larva ini dapat tinggal di terowongan, tetapi dapat juga keluar,
dengan cara melubangi atap terowongan, kemudian larva tersebut menggali terowongan pendek
(moulting pockets) dimana mereka berubah menjadi nimfa. Selanjutnya akan berubah menjadi
bentuk dewasa setelah 7-10 hari kemudian. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk
dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari. Tungau betina dapat bertahan hidup selama 2-3 minggu,
terowongan pada kulit dapat sampai ke perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum.

Menurut Sudirman, Mellanby (1994) menyatakan bahwa sensitisasi terjadi kira-kira satu bulan
sesudah penyakit dimulai. Selama 1 bulan parasit itu bisa terdapat di atas kulit atau dalam
terowongan tanpa disertai rasa gatal dan gangguan-gangguan lainnya. Gejala gatal timbul setelah
penderita tersensitisasi oleh karena pembuatan terowongan akibat ekskreta kutu. Pada reinfeksi rasa
gatal dapat langsung terjadi. Menggaruk setelah terjadinya sensitisasi membatasi meluasnya
infestasi.13

2.1.5. Gambaran klinis14,15

Gejala klinis utama adalah gatal, dan lebih hebat pada malam hari atau bila cuaca panas serta
berkeringat. Hal ini karena meningkatnya aktivitas tungau saat suhu tubuh meningkat. Gatal yang
terjadi disebabkan oleh aktivitas tungau yang menimbulkan iritasi dan skibala tungau yang bersifat
antigenik. Pergerakan tungau tergantung pada suhu tubuh.

Lesi kulit skabies yang patognomonik yaitu berupa terowongan linier dengan panjang 1-10 mm.
Manifestasi kulit berupa papul, vesikel atau nodul yang timbul pada ujung terowongan. Rasa gatal
mula-mula terbatas pada lesi, lama kelamaan dapat menjadi generalisata.

Predileksi skabies antara lain pada sela jari tangan dan kaki, pergelangan tangan dan kaki, siku
bagian luar, lipatan ketiak bagian depan, genitalia eksterna (pria), daerah bokong, perut bagian
bawah, dan pada wanita sering terdapat di aerola mamae yang sering dikenal dengan istilah “circle of
Hebra”, sedangkan pada bayi dapat mengenai seluruh bagian oleh karena kulit bayi yang masih tipis.

Pada pasien yang selalu menjaga higiene, lesi yang timbul hanya sedikit sehingga diagnosis
kadangkala sulit ditegakkan. Jika penyakit berlangsung lama, dapat timbul likenifikasi, impetigo, dan
furunkulosis.10

2.1.6. Diagnosis14

Dasar penegakan diagnosis scabies :

1. Anamnesis
Beberapa hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis skabies antara lain :
a. Keluhan Utama
Biasanya penderita datang dengan keluhan gatal yang sering dirasakan pada sore dan
malam hari.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita mengeluh gatal pada sore dan malam hari dan timbul lesi berbentuk papul pada
sela-sela jari tangan, telapak tangan, ketiak, areola mamae, bokong, atau perut bagian
bawah.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada skabies, adanya riwayat keluarga ataupun penghuni dalam 1 rumah yang mengalami
gejala yang sama dapat memperkuat diagnosis penyakit ini.
2. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik, kelainan yang dapat ditemukan berupa :
a. Terowongan (kanalikuli) halus yang panjangnya 2-3mm, halus, sedikit meninggi,
berbentuk garis lurus atau berkelok-kelok, berbentuk benang, putih keabuan dan pada
ujungnya tampak vesikula, papula atau pustul.
b. Papula, vesikel, ekskoriasi dan lesi-lesi sekunder yang disebabkan sensitisasi terhadap
tungau. Ekskoriasi dan infeksi sekunder akibat garukan membuat gambaran lesi primer
tersebut menjadi kabur. Pada skabies menahun, kulit dapat menebal dan berwarna lebih
gelap (hiperpigmentasi). Pada anak lesi sering berupa vesikel disertai infeksi sekunder
akibat garukan dan dapat mengenaiseluruh badan termasuk kepala, leher, telapak tangan
dan kaki. Anak menjadi gelisah dan lelah karena tidurnya terganggu akibat rasa gatal pada
malam hari yang pada akhirnya menyebabkan nafsu makan berkurang.
c. Terlihat infeksi bakteri sekunder dengan impetigenisasi dan furunkulosis. Lokasi biasanya
pada tempat dengan stratum korneum yang tipis seperti sela-sela jari tangan, pergelangan
tangan, siku bagaian luar, lipatan ketiak bagian depan, umbilikus, genitalia eksterna (pria)
dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan kaki bahkan
diseluruh permukaan kulit, dapat juga timbul pada kulit kepala dan wajah.

2.1.7. Macam-macam Bentuk Skabies12,13,16

Skabies kadang-kadang tampak dalam bentuk bervariasi, sehingga perlu waspada akan berbagai
bentuk khusus (nonklasik) skabies.

a) Skabies pada orang bersih


Ditandai dengan gejala minimal dan terowongan sukar ditemukan. Pada penderita ini beberapa
tempat predileksi dapat terkena. Mungkin tungau hilang dengan mandi berulang-ulang.
b) Skabies nodularis
Tipe skabies ini sering dilaporkan dari Eropa, walaupun penyakit telah ditemukan oleh Ayres
dan Anderson, pada tahun 1932. Lesi berupa nodulus cokleat kemerahan yang gatal pada
daerah tertutup, terutama pada genitalia pria, inguinal, dan aksila. Tungau jarang ditemukan
pada nodus.
Noduli mungkin timbul akibat reaksi hipersensitivitas. Nodus dapat bertahan beberapa bulan
hingga beberapa tahun walaupun telah diberikan obat anti-skabies.
c) Skabies yang disertai infeksi menular seksual yang lain
Skabies sering dijumpai bersama infeksi menular seksual yang lain seperti gonore, sifilis,
pedikulosis pubis, dan herpes genitalis. Apabila ada skabies di daerah genital perlu dicari
kemungkinan infeksi menular seksual lainnya, dimulai dengan pemeriksaan biakan untuk
gonore dan pemeriksaan serologi untuk sifilis. Gonore asimtomatik sering kali ditemukan pada
wanita dengan skabies, sedangkan ulkus sifilis kadang-kadang ditemukan pada lesi skabies
(chancre galeuse).
d) Skabies dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
Ditemukan skabies atipik dan pneumonia Pneumocystis carinii pada seorang penderita.
Mungkin di kemudian hari, skabies atipik dapat dimasukkan sebagai salah satu gejala infeksi
opportunistik AIDS.
e) Skabies berkrusta (skabies norwegia)
Merupakan tipe skabies paling jarang, berupa lesi-lesi kulit berkrusta yang mengandung banyak
tungau. Disebut skabies norwegia karena untuk pertama kalinya ditemukan pada pasien-pasien
lepra di Norwegia. Tungau ditemukan dalam jumlah cukup banyak, karena adanya respon
imunitas hospes yang berubah terhadap keberadaan tungau tersebut. Skabies berkrusta terjadi
ketika penderita tak dapat merasakan gatal akibat kehilangan kemampuan sensoris yang
disebabkan kelainan-kelainan neurologis atau karena pengobatan (pemberian steroid sistemik
dan transplantasi organ). Dalam keadaan ini, karena hospes tidak merasa gatal atau tidak dapat
menggaruk, maka terowongan tungau tidak dapat dihancurkan dan populasi tungau akan terus
berkembang tidak terkontrol.

f) Skabies in cognito
Skabies akibat pengobatan skabies dengan menggunakan kortikosteroid topical atau sistemik.
Pemberian obat ini hanya dapat memperbaiki gejala klinik (rasa gatal) tapi penyakitnya tetap
ada dan tetap menular. Sebaliknya, pengobatan dengan steroid topical yang lama dapat pula
menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini mungkin disebabkan oleh penurunan respon imun
seluler pada pemakaian kortikosteroid topical yang lama. Dapat pula merubah bentuk klinisnya
menjadi mirip penyakit kulit yang lain.
g) Skabies pada bayi dan anak kecil
Biasanya didapat pada bayi yang diadopsi dari orang tua yang tidak mampu. Gambaran klinis
tidak khas dan terdapat di daerah yang tidak biasanya yakni kepala, leher, telapak kaki.
Terowongan sulit ditemukan namun vesikel lebih banyak. Sering terjadi infeksi sekunder
sehingga gambaran klinik berubah menjadi impetigo bulosa disertai krusta hebat. Lesi skabies
pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan,
telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan
jarang ditemukan. Pada bayi, lesi terdapat di muka.
h) Skabies yang ditularkan oleh hewan (Animal transmitted scabies)
Sarcoptes scabei varian canis dapat menyerang manusia yang pekerjaannya berhubungan erat
dengan hewan tersebut. Misalnya peternak dan gembala. Gejalanya ringan, rasa gatal kurang,
tidak timbul terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat-tempat kontak.Skabies jenis ini
tidak menimbulkan masalah serius pada manusia karena tungau ini bersifat relative host
spesifik, infestasinya biasa bersifat self limiting, masa tunas lebih pendek. Dapat sembuh
sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi yang bersih.
i) Skabies terbaring di tempat tidur (Bed ridden)
Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus terbaring di tempat tidur dapat
menderita skabies yang lesinya terbatas.

j) Skabies dishidrosiform
Jenis ini ditandai oleh lesi berupa kelompok vesikel dan pustule pada tangan dan kaki yang
sering berulang dan selalu sembuh dengan obat antiskabies topical. Tidak dapat ditemukan
tungau pada lesi dan dapat sembuh sendiri secara bertahap dalam beberapa bulan sampai lebih
dari satu tahun.
2.1.8. Diagnosis banding17

a) Prurigo
Penyakit ini merupakan erupsi popular kronik dan rekuren. Terdapat berbagai macam prurigo,
yang sering terlihat ialah Prurigo hebra, kemudian Prurigo dularis.
b) Pedikulosis korporis
Penyakit ini disebabkan oleh Pediculus humanus var corporis. Terutama pada orang dengan
higiene yang buruk karena jarang mandi atau jarang mengganti pakaian misalnya pada
penggembala. Kutu tidak melekat dikulit melainkan pada serat kapas di sela-sela pakaian dan
hanya transien ke kulit untuk menghisap darah.
c) Liken planus
Penyakit ini ditandai dengan adanya papul-papul yang mempunyai warna dan konfigurasi yang
khas. Papul-papul berwarna merah biru, berskuama, dan berbentuk siku-siku. Lokasinya di
ekstremitas bagian fleksor, selaput lender, dan alat kelamin.Sangat gatal, umumnya membaik
dalam waktu 1-2 tahun.

Ada pendapat mengatakan penyakit skabies ini merupakan the great imitator karena dapat
menyerupai banyak penyakit kulit dengan keluhan gatal.4

2.1.9. Pemeriksaan Penunjang13,14

Tungau biasanya dapat ditemukan pada ujung terowongan, namun pemeriksaan ini memerlukan
keterampilan dan latihan. Kerokan kulit dari lesi berupa papul atau terowongan, bermanfaat untuk
menegakkan diagnosis skabies. Pertama-tama, satu tetes minyak mineral diletakkan pada pisau
skalpel steril, kemudian dilakukan pengerokan pada 5-6 lesi yang dicurigai.Hasil kerokan dan
minyak diletakkan pada gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup, selanjutnya diperiksa di
bawah mikroskop.
Pada skabies klasik, sering tidak dijumpai tungau karena sedikitnya jumlah tungau. Kegagalan
untuk menemukan tungau tidak dapat menyingkirkan diagnosis skabies.
Pada pemeriksaan apusan kulit, kulit dibersihkan dengan eter, kemudian dengan gerakan cepat
selotip dilekatkan dan ditekan pada lesi dan setelah beberapa detik selotip diangkat. Selotip lalu
diletakkan di atas gelas obejek (enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek), dan diperiksa
di bawah mikroskop.

2.1.10. Pencegahan18

Untuk melakukan pencegahan skabies dapat dilakukan dengan cara yaitu:

1. Menghindari kontak langsung dengan penderita skabies dan mencegah penggunaan barang-
barang penderita secara bersama.
2. Pakaian, handuk, dan barang-barang lain yang digunakan penderita harus diisolasi dan dicuci
dengan air panas.
3. Benda-benda yang tidak dapat dicuci dengan air dimasukkan kedalam kantong plastik selama
7 hari, lalu dijemur di bawah sinar matahari.
4. Sprei penderita harus diganti dengan yang baru maksimal tiga hari sekali.
5. Kebersihan tubuh dan lingkungan termasuk sanitasi serta pola hidup yang sehat akan
mempercepat kesembuhan dan bisa memutus siklus hidup skabies.

2.1.11. Penatalaksanaan

Pengobatan skabies terdiri dari penggunaan pestisida kimia, seperti sediaan aqueus permetrin,
yang hanya perlu dioleskan secara efektif. Kortikosteroid topical dapat dioleskan untuk meredakan
iritasi yang disebabkan pengobatan. Semua pakaian dan linen yang digunakan saat pengobatan harus
dicuci. Pencucian dilakukan cukup dengan mesin cuci biasa. Prosedur ini harus diulang 5-7 hari
berikutnya.14,15

Syarat obat yang ideal adalah :

 Harus efektif terhadap semua stadium tungau.


 Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik.
 Tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian.
 Mudah diperoleh dan harganya murah

Penatalaksanaan secara umum

Pada pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan dengan mandi secara teratur setiap hari.Semua
pakaian, sprei, dan handuk yang telah digunakan harus dicuci secara teratur dan bila perlu direndam
dengan air panas. Demikian pula halnya dengan anggota keluarga yang berisiko tinggi untuk tertular,
terutama bayi dan anak-anak, juga harus dijaga kebersihannya dan untuk sementara waktu
menghindari terjadinya kontak langsung. Secara umum, tingkatkan kebersihan lingkungan maupun
perorangan dan tingkatkan status gizinya.13

Beberapa syarat pengobatan yang harus diperhatikan :

- Semua anggota keluarga harus diperiksa dan mungkin semua harus diberi pengobatan
secara serentak.
- Higiene perorangan, penderita harus mandi bersih, bila perlu menggunakan sikat
untuk menyikat badan serta bawah kuku agar dapat mengeluarkan tungau tersebut.
Frekuensi mandi yang memadai dan penderita harus menggunting pendek kukunya.
Sesudah mandi, pakaian yang telah dipakai harus direbus atau diseterika.
- Semua perlengkapan rumah tangga seperti bangku, sofa, sprei, bantal, kasur, selimut
harus dibersihkan dan dijemur di bawah sinar matahari selama beberapa jam. Juga
dinding dan lantai harus dibersihkan dengan larutan malathion 0,5% yang dilarutkan
dalam minyak tanah.13

Penatalaksanaan secara khusus

1) Permetrin kadar 5% dalam krim, kurang toksik dari gameksan tapi efektivitasnya sama.4
Contoh produk yang banyak dijual di pasaran adalah Scabimite Krim atau Scabicide Cream
(yang mengandung gammexane atau asam usnat). Oleskan pada seluruh tubuh terutama bagian
yang gatal. Biarkan selama 12-24 jam, setelah itu bilas dengan cara mandi menggunakan air
hangat. Ulangi cara ini 1 minggu kemudian.
Selama pengobatan ini biasanya akan terasa gatal sebagai reaksi obat terhadap tungau tersebut
tetapi gatal akan berangsur-angsur hilang.
2) Emulsi benzyl-benzoat (20-25%), efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam
selama 3 hari. Selain tidak dianjurkan untuk anak-anak, obat ini juga sulit diperoleh, sering
memberi iritasi, dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai.
3) Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau krim.
Preparat ini karena tidak efektif terhadap stadium telur, maka penggunaannya tidak boleh
kurang dari 3 hari. Kekurangannya yang lain ialah berbau dan mengotori pakain dan kadang-
kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.
4) Gama benzena Heksa Klorida (gameksan) termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua
stadium. Tidak dianjurkan pada anak dibawah 6 tahun dan ibu hamil karena toksis terhadap
susunan saraf.
5) Krotamiton 10% dalam bentuk krim atau losion, punya efek anti skabies dan anti gatal sehingga
bias menjadi obat pilihan.
6) Pengobatan pada bayi dilakukan dengan pengolesan obat topikal di lokasi
terowongan. Malation tidak dianjurkan untuk bayi berusia kurang dari 6 bulan. Sedangkan
permetrin tidak dianjurkan untuk bayi berusia kurang dari 2 bulan. Tidak direkomendasikan
pemakaian benzyl benzoate.
7) Pengobatan pada wanita hamil
Telah disepakati adanya efek toksik yang potensial dari skabisida pada janin bila digunakan
pada wanita hamil. Akan tetapi tidak didapatkan adanya bukti nyata bahwa skabisida topikal
yang digunakan akhir-akhir ini bisa menimbulkan efek yang berbahaya pada wanita hamil bila
penggunaannya sesuai aturan. Karena itu, dengan tidak pernah ditemukannya keracunan pada
bayi, maka penggunaan malation atau permetrin dianggap aman.14

2.1.12. Komplikasi

Bila skabies tidak diobati selama beberapa minggu atau bulan. Erupsi dapat berbentuk impetigo
dan furunkel. Infeksi bakteri pada bayi dan anak kecil yang diserang skabies dapat menimbulkan
komplikasi pada ginjal, yaitu dapat terkena glomerulonefritis.13
Dermatitis iritan dapat timbul karena penggunaan preparat antiskabies yang tidak menggunakan
cara pemakaian yang benar, baik pada terapi awal atau dari pemakaian yang terlalu sering. Salep
sulfur, dengan kadar 15% dapat menyebabkan dermatitis bila digunakan terus-menerus selama
beberapa hari pada kulit yang tipis. Benzyl benzoate juga dapat menyebabkan iritasi bila digunakan 2
kali sehari selama beberapa hari, terutama disekitar genitalia pria. Gamma benzene heksaklorida
sudah diketahui menyebabkan dermatitis iritan bila digunakan secara berlebihan.13

2.1.13. Prognosis

Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat pengobatan dan
menghilangkan faktor predisposisi (higiene), maka penyakit ini dapat diberantas dan memberi
prognosis yang baik.4

2.2. Pengetahuan
2.2.1. Definisi
Pengetahuan berasal dari kata “tahu”. Kata tahu memiliki banyak pengertian seperti mengerti
sesudah melihat, sadar, dan mengenal. Kata pengetahuan juga berarti segala sesuatu yang diketahui,
seseorang dikatakan tahu tentang sesuatu hal apabila orang tersebut sudah mengetahui dan mengerti
tentang sesuatu tersebut. Banyak hal yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang seperti usia,
jenis kelamin, kegiatan sehari-hari, sumber informasi, dan riwayat menderita suatu penyakit.
Biasanya semakin bertambah usia seseorang maka kegiatan, informasi dan pengalaman yang
diperoleh banyak, akan semakin luas pengetahuan yang dimiliki. Kurang mendalamnya pengetahuan
mengenai kesehatan yang diajarkan dipesantren menyebabkan sebagian besar santri memiliki tingkat
pengetahuan yang kurang.19
2.2.2. Tingkat pengetahuan
Tingkat pengetahuan terdiri atas :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
2. Memahami (comprehension)
Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan kembali apa yang sudah
diketahui.
3. Aplikasi (application)
Yaitu sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari
pada situasi, kondisi sebenarnya.

4. Analisa (analysis)
Analisa yaitu untuk menjabarkan materi atau objek kedalam suatu komponen. Tapi
masih berkaitan satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Merupakan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menggabungkan bagian-bagian
di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (evaluation)
Adalah kemampuan melakukan penelitian atau justifikasi terhadap suatu materi atau
objek.

Menurut Nursalam, 2008. Tingkat pengetahuan dibagi 3 kategori:


a. Baik apabila responden dapat menjawab dengan benar 76%-100% dari keseluruhan
pertanyaan yang diberikan.
b. Cukup apabila responden dapat menjawab pertanyaan dengan benar 56%-75% dari
keseluruhan pertanyaan yang diberikan.
c. Tingkat pengetahuan kurang baik apabila responden dapat menjawab dengan
benar, kurang dari 56% dari keseluruhan pertanyaan tersebut.20

Pada dasarnya pengetahuan tentang faktor penyebab skabies masih kurang, sehingga dianggap
sebagai penyakit yang biasa saja karena tidak membahayakan jiwa. Masyarakat tidak mengetahui
bahwa luka akibat garukan skabies dapat menyebabkan infeksi sekunder yang berakibat kerusakan
jaringan kulit akut. Tingkat pendidikan ternyata berhubungan dengan tingkat prevalensi skabies,
tingkat pendidikan rendah cenderung lebih tinggi prevalensi skabiesnya daripada dengan orang yang
berpendidikan tinggi.

2.3. Perilaku Personal Hygiene

2.3.1. Definisi Perilaku

Perilaku adalah merupakan tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau
lingkungan. Perilaku adalah suatu respon terhadap stimulus dan akan sangat ditentukan oleh keadaan
stimulusnya. Individu seakan-akan tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan perilakunya
sehingga stimulus dan respon seakan-akan bersifat mekanitik.21

Respon perilaku terdiri atas :

a. Respon refleksif
Merupakan respon yang dihasilkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Biasanya
respon yang dihasilkan bersifat tetap. Orang akan tertawa apabila mendengar kabar
gembira atau lucu, sedih jika mendengar musibah.
b. Operan respon
Respon yang dihasilkan apabila diberikan stimulus berupa penguatan. Dari penguatan
ini agar respon yang dihasilkan semakin bagus dan berkembang.22

2.3.2. Bentuk perubahan perilaku

A. Perubahan alamiah
Perilaku yang dihasilkan dari proses belajar sangat tergantung, dari stimulus dan
lingkungan saat proses belajar berlangsung.
B. Perubahan terencana
Perubahan perilaku yang benar-benar direncanakan, seperti berecana akan merubah
perilaku sehari-hari yang buruk, tidak peduli kebersihan, kesehatan, untuk jadi lebih
baik dan lebih peduli.

C. Kesediaan untuk berubah


Kesediaan untuk berubah bagi setiap orang berbeda-beda. Perbedaan individual berupa
bio, psiko, sosial kultural dan spritual sangat mempengaruhi pengambilan keputusan
bagi individu untuk perubahan perilakunya.22

Perilaku kesehatan diklasifikasikan menjadi 3 kelompok:

a) Perilaku pemeliharaan kesehatan


Merupakan perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bila sakit.
b) Perilaku pencarian atau penggunaan sistem pelayanan kesehatan atau perilaku pencarian
pengobatan (health seeking behavior). Perilaku ini menyangkut upaya pada saat
menderita atau kecelakaan, tindakannya dimulai dari mengobati diri sendiri sampai
mencari pengobatan keluar negeri.
c) Perilaku kesehatan lingkungan
Bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial
budaya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya.23

Perilaku hidup bersih dan sehat adalah upaya sebagai pengalaman belajar atau menciptakan
suatu kondisi perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat dengan membuka jalur komunikasi,
memberikan informasi dan melakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan , sikap dan perilaku
guna membantu masyarakat sadar, mau dan mampu mempraktekkan PHBS.24

2.3.3. Indikator perilaku

Indikator PHBS tatanan institusi pendidikan (pesantren):


1) Tersedia jamban yang bersih dan sesuai dengan jumlah siswa
2) Tersedia air kran yang mengalir di setiap kelas
3) Tidak ada sampah yang berserakan di lingkungan sekolah
4) Ketersediaan UKS yang berfungsi dengan baik
5) Siswa menjadi anggota dana sehat (JPKM)
6) Siswa pada umumnya (60%) kukunya pendek dan bersih
7) Siswa tidak merokok
8) Siswa ada yang menjadi dokter atau promosi kesehatan.24

Perilaku sehat diukur melalui tiga parameter yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan terhadap
skabies. Ketiga parameter tersebut menunjukkan peran yang nyata terhadap prevalensi penyakit
skabies. Pengukuran perilaku dilihat dari kebiasaan para santri yang dinilai dari jawaban pertanyaan
yaitu :

a) Perilaku yang buruk seperti sering memakai baju atau handuk bergantian dengan teman, tidur
bersama dan berhimpitan dalam suatu tempat.
b) Perilaku yang baik dengan memakai pakaian sendiri atau tidak memakai baju atau handuk
bergantian dengan teman.9

2.3.4. Personal Hygiene

Personal hygiene berasal dari bahasa yunani yaitu: personal yang artinya perorangan dan
hygiene berarti sehat. Kebersihan per orang adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Seseorang dikatakan memiliki kebersihan
diri baik apabila orang tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya.

Kulit yang pertama kali menerima rangsangan seperti sentuhan, rasa sakit, maupun pengaruh
buruk dari luar. Kulit berfungsi untuk melindungi permukaan tubuh, memelihara suhu tubuh dan
mengeluarkan kotoran-kotoran tertentu. Kulit juga penting produksi vitamin D oleh tubuh yang
berasal dari sinar ultraviolet, maka kulit perlu dijaga kesehatannya. Penyakit kulit dapat disebabkan
oleh jamur, virus, kuman, parasit, dll. Salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit yaitu
skabies.

Dalam sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan
karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri sangat
dipengaruhi oleh individu dan kebiasaan. Jika seseorang sakit, mungkin masalah kebersihannya
kurang dijaga.26

Tampak sekali peran hygiene perorangan dalam penularan penyakit skabies. Tungau
sarcoptes scabiei akan lebih mudah menginfestasi individu dengan hygiene perorangan yang buruk,
yaitu: malas mandi, malas keramas, jarang mencuci handuk, jarang mengganti pakaian. dan
sebaliknya lebih sukar menginfestasi individu dengan hygiene perorangan yang baik yaitu: mandi,
dan keramas teratur, pakaian dan handuk sering dicuci. karena tungau dapat hilang dengan mandi dan
keramas teratur, pakaian dan handuk sering dicuci dan kebersihan alas tidur.9

2.4. Faktor yang mempermudah penularan skabies


1) Sanitasi
Berdasarkan sebuah penelitian, penyakit skabies adalah penyakit kulit yang berhubungan
dengan sanitasi dan hygiene yang buruk, kekurangan air, kekurangan makan dan hidup dalam
lingkungan ramai terutama di daerah kumuh dengan sanitasi yang sangat jelek.
2) Pengetahuan
Skabies penyakit yang termasuk sulit diberantas pada lingkungan masyarakat yang tingkat
pendidikan dan pengetahuannya masih rendah.

3) Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap penularan skabies.
4) Perilaku
Sering terjadi penularan skabies melalui kontak tidak langsung dari perilaku yang sering
memakai handuk penderita, pakaian, pemakaian sabun mandi, kebiasaan tidur bersama.
5) Ekonomi yang rendah
Skabies sering dijumpai pada penduduk yang status ekonomi rendah. Rasa gatal terjadi
terutama pada malam hari, secara tidak langsung mengganggu kelangsungan hidup
masyarakat terutama karena tersita waktu istirahat, menyebabkan kegiatan yang akan
dilakukan pada siang hari akan terganggu.
6) Personal Hygiene
Hygiene yang buruk meningkatkan infeksi skabies.
7) Hubungan seksual
Orang yang sering melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan, adalah
populasi yang berisiko terkena skabies, dengan penularan melalui kontak tubuh.25

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap
konsep lainnya dari masalah yang dilatih. Dalam penelitian ini variabel yang diteliti adalah variabel
independen sedangkan variabel dependennya adalah kejadian skabies.

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan

Personal Kejadian
Hygiene Skabies

Tabel 3.1 Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

3.2. Definisi operasional

Adapun definisi operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Siswa adalah seseorang ataupun sekelompok masyarakat yang merupakan bagian dari sistem
pendidikan, melakukan proses pembelajaran untuk mengembangkan potensi.
2. Asrama adalah suatu tempat dimana sekelompok masyarakat menginap, dan pada umumnya
murid-murid sekolah.
3. Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh para siswa tentang skabies (mulai dari
pengertian, faktor penyebab, penyebaran penyakit, terbentuknya penyakit, gambaran klinis,
klasifikasi, diagnosis banding, pencegahan, penatalaksanaan, kuesioner komplikasi sampai
prognosis.
Pengukuran tingkat pengetahuan siswa mengenai skabies dilakukan berdasarkan jawaban
pertanyaan yang diberikan oleh responden. Instrumen yang digunakan berupa dengan jumlah
pertanyaan sebanyak 18 pertanyaan. Bila jawaban responden benar akan diberi nilai 5,55, jika
jawaban salah diberi nilai 0. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan sistem skoring
dengan memakai skala sebagai berikut :

Menurut Arikunto 2006, dalam buku Machfoedz (2009) terdapat 3 kategori tingkat
pengetahuan, yakni :27
a. Baik : Bila subjek menjawab dengan benar 76%- 100% dari seluruh pertanyaan.
b. Cukup : Bila subjek mampu menjawab dengan benar 56%-75% dari seluruh
pertanyaan
c. Kurang : Bila subjek mampu menjawab dengan benar <55% dari seluruh pertanyaan
Skala ukur : Nominal
4. Perilaku personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan
seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Kebiasaan sehari-hari seperti: sering bergantian
handuk dan pakaian dengan teman.
Pengukuran gambaran perilaku personal hygiene siswa mengenai skabies dilakukan berdasarkan
jawaban pertanyaan yang diberikan oleh responden. Instrumen yang digunakan berupa dengan
jumlah pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan. Bila jawaban responden benar akan diberi nilai 10,
jika jawaban salah diberi nilai 0.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan sistem skoring dengan memakai skala sebagai
berikut :27
a. Baik : Bila subjek menjawab dengan benar 76%- 100% dari seluruh
pertanyaan
b. Cukup : Bila subjek mampu menjawab dengan benar 56%-75% dari
seluruh pertanyaan
c. Kurang : Bila subjek mampu menjawab dengan benar <55% dari
seluruh pertanyaan
Skala ukur : Ordinal

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Asrama SMP SMA Hidayatullah, Kelurahan Tanjung Laut,
Kecamatan Bontang Utara, Kota Bontang. Alasan mengapa peneliti memilih lokasi ini adalah karena
asrama merupakan salah satu faktor resiko terjadinya penyakit skabies. Selain itu menurut hasil
survei awal yang dilakukan peneliti, Asrama SMP SMA Hidayatullah ternyata sangat jarang
mendapat penyuluhan kesehatan mengenai penyakit skabies.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada tanggal 25-29 September 2017.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi target penelitian ini adalah penghuni Asrama SMP SMA Hidayatullah dimana
jumlah penghuni Asrama tahun 2017 adalah 400 orang. Sampel penelitian dipilih dengan
menggunakan teknik probability sampling / random sample dengan jenis simple random sampling.
Pada metode ini, dihitung terlebih dahulu jumlah subjek dalam populasi yang akan diambil
sampelnya. Tiap subjek dalam populasi diberi nomor, dan diambil sebagian dari mereka sebanyak
sampel yang diperlukan berdasarkan perhitungan rumus secara acak. Jenis pengambilan sampel ini
dipilih karena tiap subjek dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih atau
tidak terpilih sebagai sampel penelitian sehingga sampel yang dipilih diharapkan dapat mewakili
populasi atau dapat digeneralisasikan ke populasi, dan dengan simple random sampling, pengacakan
pemilihan sampel lebih mudah diaplikasikan. Perhitungan jumlah
sampel dilakukan dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Snedecor dan Cochran
(Budiarto, 2003). Peneliti dalam penelitian ini memakai tingkat kepercayaan 90% dan tingkat
ketepatan instrumen yang merupakan selisih antara sampel dan populasi diambil sebesar 10% maka
rumus yang diperoleh adalah:

n= N/(1+Nd2)

n= 400/(1+400x0,12 )

n= 400/5 = 80

Sampel pada penelitian ini berjumlah 80 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yaitu :
Kriteria Inklusi :

1. Bersedia menjadi responden dengan mengisi kuesioner

KriteriaEksklusi :

1. Tinggal di asrama kurang dari 1 bulan.

4.4. Metode Penelitian

4.4.1. Data Primer

Data primer adalah data-data yang didapatkan oleh peneliti yang berasal dari sampel penelitian.
Pengumpulan data ini telah dilakukan menggunakan metode angket dan instrumen yang digunakan
adalah kuesioner.

4.5. Cara Mengumpulkan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner yang dibagikan kepada para penghuni asrama.
Kuesioner penelitian merupakan daftar pertanyaan mengenai variabel-variabel penelitian dengan
alternatif pilihan jawaban.

4.6. Analisis dan Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, pengolahan dilakukan dengan teknik statistik. Pada penelitian ini proses
pemasukan dan pengolahan data adalah menggunakan program SPSS (Statistical Product and
Service Solution).
BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian ini


dilakukan di SMP SMA Hidayatullah, Kelurahan Tanjung Laut, Kecamatan Bontang Utara, Kota
Bontang. Daerah tersebut merupakan lokasi dimana peneliti melakukan penelitian terhadap santri
yang sekolah di pesantren tersebut. Alasan peneliti memilih SMP SMA Hidayatullah karena di
sekolah tersebut terdapat asrama yang mendukung penelitian, dan lokasinya yang dekat puskesmas
sehingga terjangkau dalam hal transportasi.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Data yang


diperoleh peneliti berdasarkan data primer. Data-data yang didapatkan oleh peneliti yang berasal dari
sampel penelitian. Pengumpulan data ini telah dilakukan menggunakan metode angket dan instrumen
yang digunakan adalah kuesioner. Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 80 sampel.

a. Klasifikasi Umur Dari tabel


5.1. diketahui bahwa dari 80 siswa dan siswi SMP SMA Hidayatullah yang memiliki proporsi
terbesar pada umur 12 tahun yaitu sebanyak 24 orang (30%), diikuti oleh umur 15 tahun yaitu
sebanyak 20 orang (25%), umur 13 tahun sebanyak 18 orang (22,5%), umur 16 tahun sebanyak 10
orang (12,5%) dan memiliki proporsi terkecil pada umur 14 dan 17 tahun yaitu sebanyak masing-
masing 4 orang (5%). Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Klasifikasi Umur

Umur (tahun) Frekuensi (n) (%)


12 tahun 24 30
13 tahun 18 22,5
14 tahun 4 5
15 tahun 20 25
16 tahun 10 12,5
17 tahun 4 5

Total 80 100
b. Jenis Kelamin Dari tabel 5.2.
diketahui bahwa dari 80 siswa dan siswi SMP SMA Hidayatullah yang memiliki proporsi terbesar
pada kelompok perempuan yaitu sebanyak 44 orang (55%), sedangkan proporsi terkecil pada laki-
laki, yaitu sebanyak 36 orang (45%). Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (n) %


Laki-laki 36 45
Perempuan 44 55

Total 80 100

c. Tingkat Pendidikan Dari tabel 5.3.


didapatkan frekuensi tertinggi dari siswa dan siswi SMP SMA Hidayatullah adalah tingkat
pendidikan SMP yaitu sebanyak 46 orang (57,5%), sedangkan frekuensi terendah adalah sebanyak 34
orang (42,5%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Frekuensi (n) %


SMP 46 57,5
SMA 34 42,5
Total 80 100

d. Tingkat Pengetahuan Dari tabel


5.4. diketahui bahwa dari 80 siswa dan siswi SMP SMA Hidayatullah yang memiliki tingkat
pengetahuan baik yaitu hanya 4 orang (5%). Sedangkan yang memiliki proporsi terbanyak adalah
tingkat pengetahuan cukup yaitu 42 orang (52,5%). Yang memiliki tingkat pengetahuan juga
termasuk banyak yaitu 34 orang (42,5%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan

Tingkat Pengetahuan Frekuensi (n) %


Baik 4 5
Cukup 42 52,5
Kurang 34 42,5

Total 80 100

e. Personal Hygiene Dari tabel


5.5. diketahui bahwa dari 80 siswa dan siswi SMP SMA Hidayatullah yang memiliki frekuensi
terbanyak adalah perilaku personal hygiene yang baik yaitu 44 orang (55%). Yang memiliki perilaku
personal hygiene yang cukup yaitu 24 orang (30%). Sedangkan frekuensi terkecil adalah perilaku
personal hygiene yang kurang yaitu sebanyak 12 orang (15%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Personal Hygiene

Personal hygiene Frekuensi (n) %


Baik 44 55
Cukup 24 30
Kurang 12 15

Total 80 10

f. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Umur


Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa masing-masing 2 orang (2,5%) dengan umur 15 dan
16 tahun yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik mengenai penyakit skabies. Kemudian
dengan tingkat pengetahuan yang cukup bervariasi dari setiap umur. Sedangkan frekuensi tertinggi
tingkat pengetahuan yang kurang adalah siswa dan siswi dengan umur 12 tahun yaitu sebanyak 14
orang (17,5%) dari 80 siswa. Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Umur

Tingkat Pengetahuan
Umur Total
Baik Cukup Kurang
(Tahun)
N % N % N % n %
12 0 0,0% 10 12,5% 14 17,5% 24 30%
13 0 0,0% 8 10% 10 12,5% 18 22,5%
14 0 0,0% 4 5% 0 0,0% 4 5%
15 0 0,0% 10 12,5% 10 12,5% 20 25%
16 2 2,5% 8 10% 0 0,0% 10 12,%
17 2 2,5% 2 2,5% 0 0,0% 4 5%
Total 4 5% 42 52,5% 34 42,5% 80 100,0%

g. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Jenis Kelamin


Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa dari 80 siswa dan siswi SMP SMA Hidayatullah yang
memiliki tingkat pengetahuan baik adalah jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 4 orang (5%).
Frekuensi tertinggi adalah yang memiliki pengetahuan cukup yaitu pada jenis kelamin perempuan
dengan jumlah 28 orang (35%). Sedangkan tingkat pengetahuan kurang pada laki-laki yaitu sebanyak
22 orang (27,5%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis
Tingkat Pengetahuan
Kelamin Total
Baik Cukup Kurang
n % n % n % n %
Laki-laki 0 0,0% 14 17,5% 22 27,5% 36 45%
Perempuan 4 5,0% 28 35% 12 15% 44 55%
Total 4 5,0% 42 52,5% 34 42,5% 80 100%

h. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Pendidikan


Berdasarkan tabel 5.10 dapat dilihat bahwa tidak ada pada pendidikan SMP yang memiliki
tingkat pengetahuan baik, pada pendidikan SMA ditemukan 4 orang (5%). Sedangkan frekuensi
tertinggi adalah tingkat pengetahuan kurang pada tingkat pendidikan SMP yaitu 24 orang (30%).
Untuk lebih jelasnnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Pendidikan


Tingkat Tingkat Pengetahuan Total
Pendidikan
Baik Cukup Kurang
n % n % n % n %
SMP 0 0,0% 22 27,5% 24 30% 46 57,5%
SMA 4 5,0% 20 25% 10 12,5% 34 42,5%
Total 4 5,0% 42 52,5% 34 42,5% 80 100%

i. Distribusi Frekuensi Perilaku Personal Hygiene Berdasarkan Umur


Berdasarkan tabel 5.9 dapat dilihat perilaku personal hygiene yang baik paling tinggi pada
umur 12 tahun yaitu sebanyak 14 orang (17,5%). Sedangkan perilaku personal hygiene yang buruk
paling banyak pada umur 13 tahun yaitu 6 orang (7,5%) dan 12 tahun yaitu 4 orang (5%). Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Perilaku Personal Hygiene Berdasarkan Umur


Perilaku Personal Hygiene
Umur Total
Baik Cukup Kurang
(Tahun)
N % n % n % n %
12 14 0,0% 6 12,5% 4 17,5% 24 30%
13 10 0,0% 2 10% 6 12,5% 18 22,5%
14 4 0,0% 0 5% 0 0,0% 4 5%
15 8 0,0% 10 12,5% 2 12,5% 20 25%
16 4 2,5% 6 10% 0 0,0% 5 12,%
17 4 2,5% 0 2,5% 0 0,0% 2 5%
Total 44 55% 24 30% 12 15% 80 100,0%

j. Distribusi Frekuensi Personal Hygiene Berdasarkan Jenis Kelamin


Berdasarkan tabel 5.9 dapat diketahui bahwa perempuan memiliki perilaku personal hygiene
baik dengan frekuensi tertinggi yaitu sebanyak 32 orang (40%), berbanding dengan laki-laki hanya
12 orang (15%). Sedangkan tidak ada perempuan yang memiliki perilaku personal hygiene yang
buruk, pada laki-laki ditemukan sebanyak 12 orang (15%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.

Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Personal Hygiene Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis
Perilaku Personal Hygiene
Kelamin Total
Baik Cukup Kurang
n % N % n % n %
Laki-laki 12 15% 12 15% 12 15% 36 45%
Perempuan 32 40% 12 15% 0 0,0% 44 55%
Total 44 55% 24 30% 12 15% 80 100%

k. Distribusi Frekuensi Personal Hygiene Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Berdasarkan tabel 5.11 dapat dilihat bahwa perilaku personal hygiene yang baik paling
banyak pada tingkat pendidikan SMP yaitu 28 orang (35%). Perilaku personal hygiene yang kurang
juga paling banyak ditemukan pada tingkat pendidikan SMP yaitu 10 orang (12,5%). Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Personal Hygiene Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat
Perilaku Personal Hygiene
Pendidikan Total
Baik Cukup Kurang
n % n % n % n %
SMP 28 35% 8 10% 10 12,5% 46 57,5%
SMA 16 20% 16 20% 2 2,5% 34 42,5%
Total 44 55% 24 30% 12 15% 80 100%
5.2. Pembahasan
5.2.1. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia,
yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.28 Dalam penelitian ini telah
dibagikan kuesioner yang telah valid untuk mengukur pengetahuan dan perilaku personal hygiene
responden.
Pengetahuan dapat dipengaruhi dari informasi yang diterima baik dari pendidikan formal
maupun informal seperti internet, media, atau dari interaksi sosial sesama siswa. Penilaian
pengetahuan dalam penelitian ini meliputi parasit skabies, perkembangbiakan dan penularan skabies,
hubungan kebersihan lingkungan dengan penyakit skabies, dan pengobatan skabies.
Pada penelitian ini yang memiliki proporsi terbanyak adalah tingkat pengetahuan cukup yaitu
42 orang (52,5%). Yang memiliki tingkat pengetahuan kurang juga termasuk banyak yaitu 34 orang
(42,5%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Andayani (2009), tingkat pengetahuan responden
dalam usaha pencegahan penyakit skabies di Pondok Pesantren Ulumu Qur’an Stabat menunjukkan 7
responden (14%) berpengetahuan baik, 28 responden (56%) berpengetahuan sedang dan 15
responden (30%) yang berpengetahuan jelek.3
Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang, semakin bertambah usia semakin
banyak pengalaman yang didapatkan dan akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola
pikirnya. Hasil dari penelitian ini didapatkan masing-masing 2 orang (2,5%) dengan umur 15 dan 16
tahun yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik mengenai penyakit skabies. Kemudian dengan
tingkat pengetahuan yang cukup bervariasi dari setiap umur. Sedangkan frekuensi tertinggi tingkat
pengetahuan yang kurang adalah siswa/i dengan umur 12 tahun yaitu sebanyak 14 orang (17,5%).
Dari penelitian ini didapat yang memiliki tingkat pengetahuan baik adalah jenis kelamin
perempuan yaitu sebanyak 4 orang (5%). Frekuensi tertinggi adalah yang memiliki pengetahuan
cukup yaitu pada jenis kelamin perempuan dengan jumlah 28 orang (35%). Sedangkan tingkat
pengetahuan kurang pada laki-laki yaitu sebanyak 22 orang (27,5%). Tidak ada penelitian yang
mendukung hal ini.
Pada penelitian ini didapatkan tidak ada pada pendidikan SMP yang memiliki tingkat
pengetahuan baik, pada pendidikan SMA ditemukan 4 orang (5%). Sedangkan frekuensi tertinggi
adalah tingkat pengetahuan kurang pada tingkat pendidikan SMP yaitu 24 orang (30%). Tingkat
pendidikan mempengaruhi pengetahuan, semakin bertambah usia seseorang maka pengetahuan yang
dia miliki semakin banyak dari pada orang yang berusia lebih muda. Tingkat pengetahuan tentang
kesehatan lingkungan yang kurang baik mempunyai risiko terhadap penyakit skabies sebesar 2,338
kali, dibandingkan dengan pengetahuan tentang kesehatan lingkungan yang baik.25
Menurut Muzakir (2007), santri yang menderita skabies lebih banyak yang berpengetahuan
kurang dibandingkan dengan santri yang tidak menderita skabies. Ini berarti pengetahuan seseorang
dapat mendukung terhindar dari penyakit, terutama penyakit menular. Hasil hitung terhadap peluang
yang terjadinya kejadian skabies semakin baik pengetahuan maka peluang terhadap kejadian skabies
semakin kecil begitu juga dengan kebersihan semakin bersihnya santri maka peluang untuk
terjadinya skabies semakin kecil.29
Sebuah penelitian oleh Azizah (2012) tentang hubungan antara pengetahuan santri tentang
PHBS dan penyakit skabies didapatkan sebagian besar responden yaitu sebanyak 40 responden
(45,5%) mempunyai pengetahuan yang tinggi tentang PHBS dan penyakit skabies, dibandingkan
sebanyak 48 responden (54,5%) mempunyai pengetahuan yang sedang tentang PHBS dan penyakit
skabies. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar 0,001 yang berarti ada hubungan antara
pengetahuan dengan perilaku pencegahan penyakit skabies pada santri. Hal ini dikarenakan sebagian
responden masih duduk dibangku menengah pertama sehingga ilmu atau pendidikan yang responden
dapat belum seberapa jika dibandingkan dengan responden yang sudah duduk dibangku SMA.29

5.2.2. Perilaku Personal Hygiene


Personal hygiene berasal dari bahasa yunani yaitu: personal yang artinya perorangan dan
hygiene berarti sehat. Kebersihan per orang adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Seseorang dikatakan memiliki kebersihan
diri baik apabila orang tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya.26
Penilaian hygiene dalam penelitian ini meliputi frekuensi mandi, memakai
sabun sendiri atau tidak, mencuci pakaian, menjemur handuk, pakaian dan handuk dipakai
bergantian, dan kebersihan alas tidur. Pada penelitian ini didapat perilaku personal hygiene yang baik
yaitu 44 orang (55%). Yang memiliki perilaku personal hygiene yang cukup yaitu 24 orang (30%).
Sedangkan frekuensi terkecil adalah perilaku personal hygiene yang kurang yaitu sebanyak 12 orang
(15%). Perilaku personal hygiene pada penelitian ini mayoritasnya adalah pada kategori baik
mungkin karena tingginya kesadaran mengenai kepentingan personal hygiene dalam penularan penyakit.
Menurut Raza, diperlukan suatu program berupa kesehatan masyarakat untuk memberi edukasi pada
masyarakat berhubungan dengan langkah pencegahan penyakit seperti skabies. 30 Menurut Notoadmojo,
pengetahuan yang diperoleh subjek selanjutnya akan menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap
dan tindakan terhadap objek yang telah diketahuinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mengikut
penelitian ini, pengetahuan yang baik akan memiliki perilaku personal hygiene yang baik juga.31
Berdasarkan tabel 5.9 dapat diketahui
bahwa perempuan memiliki perilaku persona hygiene baik dengan frekuensi tertinggi yaitu sebanyak
32 orang (40%), berbanding dengan laki-laki hanya 12 orang (15%). Sedangkan tidak ada perempuan
yang memiliki perilaku personal hygiene yang buruk, pada laki-laki ditemukan sebanyak 12 orang
(15%). Hal tersebut mungkin disebabkan karena santri perempuan lebih memperhatikan kebersihan
dan kesehatan kulit dibandingkan laki-laki.32

Kemudian perilaku personal hygiene yang baik paling banyak pada tingkat pendidikan SMP
yaitu 28 orang (35%). Perilaku personal hygiene yang kurang juga paling banyak ditemukan pada
tingkat pendidikan SMP yaitu 10 orang (12,5%). Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi perilaku
seseorang, tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih peduli menjaga kebersihan dan kesehatan
tubuhnya dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya rendah.33
BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan,
yaitu:
a. Pengetahuan siswa dan siswi SMP SMA Hidayatullah dalam pencegahan skabies berada
tingkat cukup yaitu 42 orang (52,5%).
b. Perilaku personal hygiene siswa dan siswi SMP SMA Hidayatullah dalam pencegahan
skabies berada di tingkat yang baik yaitu 44 orang (55%).
c. Frekuensi tertinggi tingkat pengetahuan yang kurang adalah siswa dan siswi SMP SMA
Hidayatullah dengan umur 12 tahun yaitu sebanyak 14 orang (17,5%).
d. Frekuensi tertinggi tingkat pengetahuan cukup yaitu siswi SMP SMA Hidayatullah dengan
jumlah 28 orang (35%). Sedangkan tingkat pengetahuan kurang pada siswa SMP SMA
Hidayatullah yaitu sebanyak 22 orang (27,5%)
e. Frekuensi tertinggi tingkat pengetahuan kurang pada tingkat pendidikan SMP yaitu 24 orang
(30%).
f. Frekuensi tertinggi perilaku personal hygiene yang baik pada umur 12 tahun yaitu sebanyak
28 orang (17,5%).
g. Frekuensi tertinggi perilaku personal hygiene yang baik pada siswi SMP SMA Hidayatullah
yaitu sebanyak 32 orang (40%).
h. Frekuensi tertinggi perilaku personal hygiene yang kurang pada tingkat pendidikan SMP
yaitu 10 orang (12,5%).

6.2. Saran
Dari hasil penelitian yang didapat, maka muncul beberapa saran dari peneliti, yaitu:
a. Bagi Puskesmas Bontang Utara 1
1. Sebaiknya Puskesmas Bontang Utara 1 dapat lebih melakukan sosialisasi melalui program
P2M yang ada di puskesmas terkait tentang penyakit skabies misalnya dengan mengadakan
kunjungan ke asrama-asrama untuk diberikan penyuluhan dan konseling penyakit skabies
yang berisi tentang cara penularan, pengobatan, dan pencegahan skabies.
2. Sebaiknya Puskesmas Bontang Utara 1 dapat membuat leaflet yang berisi gambaran klinis
penyakit skabies agar masyarakat lebih mengenal gejala klinis skabies.
b. Bagi siswa dan siswi SMP SMA Hidayatullah
1. Sebaiknya siswa dan siswi SMP SMA Hidayatullah dapat lebih aktif mencari informasi
melalui internet dan majalah kesehatan tentang penyakit skabies agar siswa dan siswi SMP
SMA Hidayatullah lebih mengenal cara penularan, gejala klinis, dan pencegahan skabies.
2. Sebaiknya jika siswa dan siswi SMP SMA Hidayatullah terkena gejala yang sama dengan
gejala skabies agar langsung ke puskesmas untuk diobati.
c. Bagi petugas kesehatan
1. Sebaiknya petugas kesehatan lebih aktif lagi dalam melakukan kunjungan langsung ke
asrama untuk memberikan penyuluhan tentang penyakit skabies dan langsung mengobati
santri/santriwati yang terkena skabies.
d. Bagi peneliti selanjutnya
1. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk dapat memperluas variabel penelitian yaitu
dengan menambahkan hubungan tingkat pengetahuan dan perilaku personal hygiene dengan
umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan agar lebih memberikan informasi yang lebih luas
terkait penyakit skabies.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harahap M (2013). IlmuPenyakitKulit. Jakarta :Hipokrates, pp :109-110.


2. Murtiastutik D (eds) (2008). Buku Ajar Infeks Menula Seksual Surabaya : Airlangga University
Press, pp: 204.
3. Andayani L S (2005). Perilaku santri dalam upaya pencegahan penyakit skabies di pondok
pesantren. Info KesehatanMasyarakat.
4. Handoko R P (2007). Skabies Dalam: Djuanda Adhi (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin.Edisi ke 5. Jakarta: FKUI, pp: 123-125.
5. World Health Organization. Epidemiologi and Management of Common Skin Diseases in
Children in Developing Countries. World Health Organization; 2012.
6. Azizah IN, Setiyowati W. Hubungan tingkat pengetahuan ibu pemulung tentang personal
hygiene dengan kejadian skabies pada balita di tempat pembuangan akhir kota semarang.
Dinamika Kebidanan. 2011.
7. Audhah NA, Umniyati SR, Siswati AS. Faktor risiko skabies pada siswa pondok pesantren
(kajian di pondok pesantren Darul Hijrah, kelurahan Cindai Alus, kecamatan Martapura,
kabupaten Banjar, provinsi Kalimantan Selatan. JURNAL BUSKI. 2012 Juni 4(1): 14-22.
8. Rohmawati RN. Hubungan antara faktor pengetahuan dan perilaku dengan kejadian skabies di
pondok pesantren Al-Muayyad Surakarta. 2010 :19-21.
9. Ma’rufi I, Keman S, Notobroto HB. faktor sanitasi lingkungan yang berperan terhadap
prevalensi penyakit scabies studi pada santri di pondok pesantren kabupaten Lamongan. Jurnal
kesehatan lingkungan. 2005 Juli 2(1): 11-18.
10. Mansjoer, arif et al (2008). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke 3. Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius, pp : 110-111.
11. Natadisastra D, Agoes R (2009). Parasitologi Kedokteran. Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang. Edisi ke1. Jakarta: EGC, pp: 291.
12. Soedarto, M (2003). Penyakit Menular Seksual. Edisi ke 2. Jakarta: FKUI, pp: 179-181.
13. Sudirman, Taufik (2006). Skabies; Masalah diagnosis dan pengobatan. Majalah Kedokteran
Damianus, vol.5 No.3, pp: 177-185, 189.
14. Barry M. Scabies. Medscape (internet). 2015 nov. Available from:
emedicine.medscape.com/article/1109204-overview#a6.
15. Frankel, D. H., 2006. Field Guide to Clinical Dermatology. 2nd ed. New York: Lippincott
Williams & Wilkins.
16. Graham-Brown, Robin (2005). Lecture Notes on Dermatologi. Edisike 8. Jakarta: Airlangga, pp:
45-46.
17. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: skabies. 6th ed. FK UI,
Jakarta; 2013.
18. April H. Wardana. Tantangan penyakit zoonosis masa kini dan masa datang : skabies. Bogor:
Balai penelitian Veteriner; 2006.
19. Alatas SSS, Linuwih S. Hubungan tingkat pengetahuan mengenai pedikulosis kapitis dengan
karakteristik demografi santri pesantren X, Jakarta Timur. eJKI. 2013.
20. Nursalam. Keperawatan kesehatan komunitas teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika; 2008.
https://books.google.co.id/books?id=LKpz4vwQyT8C&pg=PT117&dq=notoatmodjo&hl=en&s
a=X&ved=0ahUKEwjbnMDzg5DNAhXJMo8KHchEAMMQ6AEILzAD#v=onepage&q=notoat
modjo&f=false.
21. Asra HP. Pengaruh pengetahuan dan tindakan higiene pribadi terhadap kejadian penyakit skabies
di pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan. FK USU, Medan; 2010.
22. Setiawati S, Dermawan AC. Proses pembelajaran dalam pendidikan kesehatan. TIM; 2008.
23. Sudarma M. Sosiologi untuk kesehatan. Jakarta : Salemba Medika; 2008.
24. Setyaningrum YI. Skabies penyakit kulit yang terabaikan: prevalensi, tantangan dan pendidikan
sebagai solusi pencegahan. E-jurnal. Februari 2015.
25. Rohmawati RN. Hubungan antara faktor pengetahuan dan perilaku dengan kejadian skabies di
pondok pesantren Al-Muayyad Surakarta. 2010 :19-21.
26. Monica EF. Penyuluhan Personal hygiene. Akademi kebidanan Kharisma Husada Binjai, 2015.
27. Arikunto, Suharsimi (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta, pp: 75-78.
28. Notoatmodjo, Soekidjo (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, pp:
122-128.
29. Azizah U. Hubungan pengetahuan santri tentang PHBS dan peran ustad dalam mencegah
penyakit skabies dengan perilaku pencegahan penyakit skabies. Bagian Promosi Kesehatan Dan
Ilmu Perilaku Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas Jember, Jember ; 2012.
30. Raza, N., 2009. Risk factors for scabies among male soldiers in Pakistan: case–control study,
Combined Military Hospital, Abbottabad Cantonment, Pakistan. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20214123
31. Notoatmodjo, Soekidjo(2005). Promosi Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, pp: 20-22.
32. Ratnasari AF , Sungkar S. Prevalensi skabies dan faktor-faktor yang berhubungan di pesantren
X, Jakarta Timur. eJKI. 2014 April 2(1): 7-12.
33. Setyowati D, Wahyuni. Hubungan pengetahuan santriwati tentang penyakit skabies dengan
perilaku pencegahan penyakit skabies di pondok pesantren. GASTER. 2014.

Lembar Kuesioner

A. Pengetahuan

No Pertanyaan Jawaban

Benar Salah

1 Skabies adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri

2 Di Indonesia skabies sering disebut dengan kudis dan

orang Jawa sering menyebutnya gudik

3 Kutu skabies dapat bertahan di lantai kamar atau

Rumah

4 Tempat perkembangbiakan kutu skabies hanya di air


yang kotor

5 Kondisi lingkungan yang buruk dapat menyebabkan


penyakit skabies

6 Skabies hanya ditularkan melalui kutu sarcoptes

scabiei betina saja

7 Berjabat tangan dapat menularkan skabies

8 Penularan skabies dapat sangat mudah menyebar di

lingkungan keluarga, perkampungan padat dan

pesantren/asrama

9 Skabies dapat ditularkan melalui pemakaian handuk

Bergantian

10 Kamar yang kurang pencahayaan sinar matahari dapat

mempermudah penyebaran skabies

11 Kutu sarcoptes scabiei penyebab skabies tidak dapat

hidup di tempat yang lembab

12 Sampah yang berserakan dapat menularkan skabies

13 Air merupakan sumber utama penularan skabies

14 Kamar yang tidak ada ventilasi atau kurang lancar ,

dapat mempermudah perkembangbiakan kutu

sarcoptes scabiei
44

15 Pakaian atau handuk yang tidak dijemur sampai


kering dapat dijadikan tempat perkembangbiakan
kutu sarcoptes scabiei

16 Orang yang menjaga kebersihannya dapat


terkena penyakit skabies

17 Skabies dapat sembuh dengan mandi


menggunakan sabun secara teratur

18 Skabies dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan

B. Perilaku personal hygiene

1. Apakah anda mandi dengan menggunakan handuk sendiri?

a.Ya

b. Tidak

2. Apakah anda selalu menjemur handuk setelah digunakan untuk


mandi?

a.Ya

b. Tidak

3. Apakah anda menjemur handuk setelah dipakai di luar kamar


yang bisa terkena sinar matahari?

a.Ya

b. Tidak

4. Apakah kalau mencuci pakaian selalu menggunakan


tempat/wadah sendiri dan tidak dicampur dengan pakaian
teman anda?
a.Ya

b. Tidak

5. Apakah anda selalu tidur di tempat tidur sendiri dan tidak pernah
tidur bersama teman dalam satu tempat tidur?

a.Ya

b. Tidak

6. Apakah anda mandi dengan menggunakan sabun sendiri?

a.Ya

b. Tidak

7. Apakah setiap selesai mandi anda mengganti pakaian?

a.Ya

b. Tidak

8. Apakah anda langsung mencuci pakaian yang sudah kotor?

a.Ya

b. Tidak
9. Apakah anda mengganti alas tempat tidur setiap 3 hari sekali?

a. Ya

b. Tidak

10. Apakah anda menjemur tempat tidur/kasur 1 bulan sekali?

a. Ya

b. Tidak
38

TINGKAT PENGETAHUAN

No. Pertanyaan Benar Salah


1 2.5 % 97.5 %
2 100 % 0%
3 46.25 % 43.75%
4 75 % 25 %
5 100 % 0%
6 40 % 60%
7 51.25 % 48.75 %
8 90 % 10 %
9 73.75 % 26.25 %
10 78.75 % 21.25 %
11 26.25 % 73.75 %
12 30 % 70 %
13 21.25 % 78.75 %
14 81.25 % 18.75 %
15 88.75 % 11.25 %
16 7.5 % 92.5 %
17 72.5 % 27.5 %
18 58.75 % 41.25 %
39

PERSONAL HYGIENE

No. Pertanyaan Benar Salah


1 100 % 0%
2 51.25 % 48.75 %
3 33.75 % 66.25%
4 81.25 % 18.75 %
5 15 % 85 %
6 83.75 % 16.25%
7 82.5 % 17.5 %
8 41.25 % 58.75 %
9 31.25 % 68.25 %
10 62.5 % 37.5 %

Anda mungkin juga menyukai