Anda di halaman 1dari 25

Identifikasi Profil Jamur Pada

Jaringan Cadaver di Laboratorium


Anatomi FK Universitas Kristen
Indonesia

DISUSUN OLEH :

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Pelajaran Anatomi merupakan salah satu bagian penting yang harus dipelajari

dari sekolah kedokteran, mahasiswa diperkenalkan dengan organ-organ tubuh

manusia melalui praktikum Anatomi menggunakan jenazah (cadaver) yang di

awetkan. Cadaver merupakan media alat pembelajaran struktur anatomi, otot,

topografi tulang, topografi pembuluh darah dan saraf dari tubuh manusia yang telah

diawetkan. Proses pengawetan cadaver harus menggunakan metode yang baik,

efektif dan efisien sehingga menghasilkan cadaver yang memenuhi standar yang baik

seperti: organ dan jaringan yang bagus serta tahan dalam jangka waktu yang cukup

lama, pertumbuhan bakteri dan jamur yang minimal, tidak toksik pada manusia

khususnya pada pelaku dilaboratorium dan tidak ada perubahan warna pada organ

ataupun jaringan secara signifikan. Proses pengawetan cadaver di laboratorium

anatomi dikenal dengan istilah “Embalming”.1

Embalming adalah proses pengawetan cadaver untuk mempertahankan

morfologi jaringan cadaver dalam waktu yang singkat, tetap dalam kondisi yang baik

untuk jangka waktu lama. Embalming yang diterapkan di Laboratorium Anatomi FK

UKI menggunakan metode arterial embalming. Arterial embalming adalah proses

fiksasi cadaver dengan menggunakan bahan kimia. Bahan kimia yang banyak
digunakan dalam proses embalming pada cadaver di Laboratorium Anatomi FK UKI

adalah formalin. Cadaver disimpan dalam bak yang berisi formalin dalam jangka

waktu yang lama. Pada Proses pembelajaran praktikum anatomi cadaver diletakkan

di meja praktikum untuk bebarapa hari di ruangan laboratorium anatomi. Proses

pengangkatan cadaver dari bak formalin dan diletakan pada meja praktikum dapat

menyebabkan terkontaminasinya cadaver oleh jamur. Kontaminasi ini dapat

dipengaruhi oleh kelembaban udara diruangan laboratorium anatomi. Penelitian

Jitendra Gupta pada tahun 2013 menjelaskan bahwa proses embalming pada cadaver

sering terkontaminasi mikroorganisme jamur. penelitian Sambasivarao Yaragalla et

al tahun 2017 juga mengatakan bahwa ada potensi resiko terpaparnya

mikroorganisme yang bersifat patogen, yang terdiri dari bakteri, virus dan jamur.

Kontaminasi jamur pada proses embalming di laboratorium anatomi berasal dari

udara sekitar ruangan maupun dari luar ruangan dan dapat juga diakibatkan kontak

langsung pada cadaver pada proses pengawetan.2

Proses kontaminasi jamur dan bakteri pada embalming cadaver di

laboratorium anatomi menyebabkan kualitas dari cadaver menjadi kurang bagus.

Penelitian Kiyoshi Ishii pada tahun 2006 telah melaporkan bahwa jaringan cadaver

yang dapat terkontaminasi oleh jamur dan bakteri adalah jaringan kulit, jaringan otot

dan organ bagian dalam. Cadaver yang terkontaminasi oleh jamur dapat

menyebabkan perubahan warna yang signifikan dikarenakan pertumbuhan spora

dijaringan, proses pembusukan cepat yang dapat merusak jaringan pada cadaver.
Penelitian Sambasivarao Yaragalla et.al pada tahun 2017 mengatakan ada tiga jenis

jamur yang paling sering teridentifikasi pada proses Embalming seperti: Penicillium,

Trichophyton dan Aspergillus.3

Pada penelitian De Craemer pada tahun 1994 dan penelitian Bayramoglu pada

tahun 2002 sebelumnya telah menjelaskan bahwa pengaruh kontaminasi jamur pada

jaringan tubuh cadaver di laboratorium dapat menyebabkan efek negatif terhadap

mahasiswa, dosen dan laboran yang sering terpapar dalam waktu yang lama di

laboratorium anatomi. Efek negatif yang dapat terjadi seperti penularan penyakit

ringan dan penyakit kronis.4

Berdasarkan penelitian diatas, penulis ingin melakukan penelitian terhadap

cadaver yang ada di laboratorium anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen

Indonesia yang dipakai untuk praktikum, dimana cadaver dapat terkontaminasi oleh

jamur. Saat ini cadaver di laboratorium FK UKI berjumlah 80 cadaver dengan

kondisi yang kurang bagus dan berwarna kehitaman.

I.1.1. Rumusan Masalah

Apakah terdapat pertumbuhan jamur pada jaringan cadaver di laboratorium FK

UKI?
I.1.2. Hipotesis

Terdapat pertumbuhan mikroorganisme jamur pada jaringan cadaver yang telah

difiksasi dengan formalin.

I.2.1. Tujuan dan Manfaat Penelitian

I.2.1.1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan jamur pada cadaver di

laboratorium Anatomi FK UKI

I.2.1.2. Tujuan Khusus

Untuk mengidentifikasi spesies jamur yang tumbuh pada cadaver di laboratorium

Anatomi FK UKI

I.2.1.3. Manfaat bagi instutusi (fakultas)

 Mencegah cadaver agar tidak terkontaminasi oleh jamur

 Mencegah cadaver agar tidak terjadi kerusakan di laboratorium Anatomi FK

UKI

I.2.1.4. Manfaat bagi peneliti

1. Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam menyusun skripsi

2. Dapat mengidentifikasi jenis jamur apa yang terdapat pada cadaver


I.2.1.5. Manfaat bagi Keilmuan

 Hasil laporan penelitian ini diharapkan mampu menjadi tambahan rujukan

ilmiah dalam menjawab kesenjangan/inkonsistensi dalam laporan hasil

terdahulu

 Menambah pengetahuan di bidang anatomi tentang biomedik dan

Mananjemen Laboratorium Anatomi tentang teknik pengawetan yang lebih

aman dan baik hasilnya


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. EMBALMING

Embalming (pengawetan jenazah) adalah suatu proses dimana dilakukan

pemberian bermacam-macam bahan kimia tertentu pada interior dan eksterior

jaringan orang mati (menghambat dekomposisi jaringan) dan membuat serta

menjaganya tetap mirip dengan kondisi sewaktu hidup sesuai dengan waktu yang

diperlukan dengan kata lain, Embalming adalah proses kimiawi yang melindungi

jasad atau tubuh secara sementara.9,10

II.1.1. Tujuan Embalming

Ada tiga alasan mengapa dilakukannya modern Embalming, yaitu:

 Desinfeksi

Saat seseorang meninggal, beberapa pathogen yang ikut mati, namun sebagian

besar masih dapat bertahan hidup karena memiliki kemampuan untuk bertahan

hidup dalam jangka waktu lama dalam jaringan mati. Orang yang datang dan

kontak langsung dengan tubuh jenazah yang tidak Embalming dapat terinfeksi

serta ada kemungkinan menjadi lalat atau agen lain mentransfer patogen untuk

manusia dan menginfeksi mereka.

 Pelestarian
Pelestarian, yaitu upaya pencegahan pembusukan dan dekomposisi jenazah,

sehingga jenazah di dikuburkan, dikremasikan tanpa bau atau hal-hal yang tidak

menyenangkan lainnya.

 Restorasi

Restorasi, yaitu upaya untuk mengembalikan keadaan tubuh jenazah kembali

seperti masih hidup.15

II.1.2. Indikasi dan Kontraindikasi

II.1.2.1. Indikasi Embalming

Adanya penundaan penguburan atau kremasi lebih dari 24 jam: Hal ini

penting karena di Indonesia yang beriklim tropis, dalam 24 jam mayat sudah mulai

membusuk, mengeluarkan bau, dan cairan pembusukan yang dapat mencemari

lingkungan sekitarnya.

Jenazah perlu dibawa ke tempat lain: Untuk dapat mengangkut jenazah dari

suatu tempat ke tempat lain, harus dijamin bahwa jenazah tersebut aman, artinya tidak

berbau, tidak menularkan bibit penyakit ke sekitarnya selama proses pengangkutan.

Dalam hal ini perusahaan pengangkutan, demi reputasinya dan untuk mencegah

adanya gugatan di belakang hari, harus mensyaratkan bahwa jenazah akan diangkut

telah diawetkan secara baik, yang dibuktikan oleh suatu sertifikat pengawetan.

II.1.2.2. Kontraindikasi Embalming


Embalming di Indonesia tidak dapat dilakukan pada kematian tidak wajar

sebelum dilakukan autopsi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kesulitan

penyidikan karena adanya bukti-bukti tindak pidana yang hilang atau berubah dan

karenanya dapat dikenakan sanksi pidana penghilangan benda bukti berdasarkan

pasal 233 KUHP. Oleh karena itu setiap kematian tidak wajar menjadi kontra indikasi

Embalming.14

II.1.3. Bahan Kimia Embalming

II.1.3.1. Formaldehida

Senyawa kimia formaldehida (metanal), merupakan aldehida berbentuk gas

dengan rumus kimia H2CO. Formaldehida dihasilkan dari pembakaran bahan yang

mengandung karbon. Formaldehida dalam kadarnya yang rendah sekalipun dapat

dihasilkan sebagai metabolit kebanyakan organisme, termasuk manusia.

II.1.3.2. Etil Alkohol dan Polietilen Glikol (Kryofix)

Alternatif formaldehida dalam embalming dikenalkan oleh Boon dkk. Kryofix

dikembangkan di Belanda, merupakan gabungan antara etil alkohol dan polietilen

glikol tanpa aldehid. Efek kryofix pada fiksasi jaringan telah dibandingkan dengan

formaldehid di laboratorium patologi. Waktu fiksasi kryofix lebih pendek dan lebih

baik dibandingkan formaldehid. Hal ini berhasil pada uji di laboratorium. Dengan
demikian, penggunaan kryofix pada jaringan yang besar diperlukan untuk

menentukan keberhasilan kryofix dalam proses Embalming. Menurut definisi

toksisitas OSHA, etil alkohol dan polietilen glikol tidak termasuk bahan kimia

berbahaya.12,13

II.1.4 Embalming Modern

Metode modern Embalming didefinisikan sebagai desinfeksi dan pelestarian

tubuh yang sudah mati. Proses embalming modern dirancang untuk menghambat

dekomposisi jaringan untuk periode waktu yang diperlukan sebagaimana yang

diinginkan oleh keluarga agar jenazah berada dalam kondisi yang baik. Embalming

modern telah terbukti mampu menjaga tubuh utuh selama beberapa dekade.

Embalming merupakan sebuah "fiksasi" kimia protein sel. Secara prinsip

formaldehida pada dasarnya bereaksi dengan Albumin. Formal dehid larut dalam sel

dan mengkonversinya menjadi untuk albuminoids atau gel, bakteri dihancurkan,

sehingga menghentikan atau setidaknya menunda dekomposisi pada jenazah. Setelah

Embalming selesai, jaringan hanya dapat diserang oleh udara yang membawa bakteri

dan jamur yang pada akhirnya dapat menghancurkan tubuh dengan terpapar udara

dan kelembaban yang cukup untuk mendukung hadir pertumbuhan bakteri dan jamur.

Embalming modern dilakukan dengan menggunakan cairan Embalming yang

bersifat disinfektan dan pengawet. Cairan Embalming disuntikkan ke dalam sistem

peredaran darah tubuh dengan pompa listrik, sementara darah dikeluarkan dari
tubuh dan dibuang. Sehingga posisi darah di tubuh diganti dengan disinfektan dan

cairan pengawet.

II .2. JAMUR

Jamur Berdasarkan struktur tubuhnya, jamur digolongkan ke dalam tumbuhan

tingkat rendah (Thallophyta), tetapi jika dilihat dari ada tidaknya klorofil maka jamur

dikelompokkan tersendiri, tidak dijadikan satu kelompok dengan tumbuhan yang lain.

Jamur memerlukan oksigen untuk hidupnya (bersifat aerobik). Habitat (tempat hidup)

jamur terdapat pada air dan tanah. Cara hidupnya bebas atau bersimbiosis, tumbuh

sebagai saprofit atau parasit pada tanaman, hewan dan manusia. Jamur mendapatkan

makanan secara heterotrof dengan mengambil makanan dari bahan organik. Bahan

organik disekitar tempat tumbuhnya diubah menjadi molekul sederhana dan diserap

langsung oleh hifa, oleh karena itu jamur tidak seperti organisme heterotrof lainnya

yang menelan makanan kemudian mencernanya sebelum diserap. Setiap jamur

memerlukan tingkat kandungan air dan temperatur yang spesifik untuk

perkecambahan dan perkembangan. Untuk berkembang jamur yang menghancurkan

nutrien dengan bantuan aktivitas enzimnya dan menghasilkan air yang

memungkinkan peningkatan kolonisasi


II.2.1. JAMUR KONTAMINAN

Sambasivarao Yaragalla dkk pada tahun 2017 mengatakan ada dua jenis

jamur yang paling sering teridentifikasi pada proses Embalming seperti: Penicillium

dan Aspergillus.4

II.2.2. Penicillium sp.

Ciri morfologi Penicillium yaitu memiliki hifa bersepta, konidia, sterigma,

dan konidiospora. Kapang Penicillium sp. mempunyai hifa bersepta, miselium

bercabang, konidiospora yang muncul di atas permukaan, spora dengan sterigma

yang berkelompok, dan konidia membentuk rantai. Penicillium sp. pada beberapa

spesies, miselium berkembang menjadi sklerotium.

Kapang Penicillium sp. mempunyai hifa vegetative yang disebut dengan hifa

udara (aerial hyphae). Penicillium sp. berkembangbiakan secara aseksual dengan

membentuk spora yang dihasilkan dalam suatu kantong (askus) yang disebut

askospora dan secara aseksual dengan membentuk konidiospora, yaitu spora yang

dihasilkan secara berantai pada ujung suatu hifa. Bentuk sel konidiospora pada

kapang Penicillium sp. adalah seperti botol dengan leher panjang atau pendek, jamur

ini berwarna hijau kebiruan. Penicillium sp. termasuk jamur yang tidak bersifat

patogen kecuali Penicillium marneffei.

Ada dua macam bentuk Penicillium sp. yang dapat diamati secara

makroskopis dan mikrokopis. Secara makroskopis, ciri-ciri yang dapat dilihat

adalah koloni tumbuh sekitar 4 hari pada suhu 25oC pada medium saboroud

dextrose agar dan koloni mula-mula berwarna putih kemudian akan berwarna
kehijauan, sedang secara mikroskopis dengan ciri-ciri yang sapat dilihat adalah hifa

bersepta dan konidiofor mempunyai cabang yang disebut dengan metula, di atas

metula terdapat fialid.22

II.2.2.1. Cara Hidup Penicillium sp.

Pertumbuhan kapang Penicillium sp. dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

penting, yaitu: substrat, kelmbaban, suhu, dan pH. Penicillium sp. dapat hidup pada

kelembaban yang rendah yaitu 80%. Suhu yang optimum untuk pertumbuhannya

adalah 25oC. Menurut penelitian Indahwati, pH optimum yang dihasilkan oleh 25oC

berkisar 3,15 - 4,34.24

II.2.3. Aspergillus sp.

Klasifikasi dari Aspergillus sp adalah sebagai berikut :

1. Kingdom : Fungi

2. Divisi : Amastigomycota

3. Kelas : Deutromycetes

4. Ordo : Moniliales

5. Famili : Moniliaceae

6. Genus : Aspergillus

7. Spesies : Aspergillus sp.

Menurut Sukma dkk, miselia kapang Aspergillus sp. mulai tumbuh pada hari ke dua

inkubasi berupa koloni-koloni kecil yang menyebar pada permukaan media berwarna

putih kekuningan. Miselia membentuk koloni lebih luas dan kompak serta berwarna
cokelat krem pada hari ke enam. Sumanti dkk menyatakan spora Aspergillus sp.

berukuran kecil dan ringan, tahan terhadap keadaan kering, memiliki sel kaki yang

tidak begitu jelas terlihat, memiliki konidia spora non septa dan membesar menjadi

vesikel pada ujungnya dan membentuk sterigmata tempat tumbuhnya konidia.

Konidia dari Aspergillus sp. memiliki ukuran diameter 1,5–2,4 µm,

berdinding halus, berbentuk panjang hingga elips dan striate. Secara mikrokopis,

konidiofor biasanya panjang, kolumnar, tidak berwarna (hialin) dan halus sehingga

menimbulkan vesikel bulat biseriate.25

II.2.2.1. Cara Hidup Aspergillus

Aspergillus sp. memiliki kemampuan untuk memproduksi aksesoris konidia

(aleuroconidia) yang tumbuh tunggal dari hifa. Permukaan aleuroconidia mulus tanpa

struktur yang berbentuk batang atau tonjolan yang jelas. Percobaan in vitro yang telah

dilakukan menunjukkan bahwa aleuroconidia dapat dengan mudah terlepas dari hifa.

Kemampuan aleuroconidia untuk berkecambah dengan cepat ke dalam jaringan hifa

invasif dapat menjadi faktor yang mematikan Aspergillus sp., selain dari konidia

istirahat dan perkecambahan yang selanjutnya sangat penting untuk pembentukan

infeksi. 26
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. RENCANA RISET

III.1.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian true experimental yang menggunakan

jaringan tubuh bagian luar (tangan, kaki, punggung) dan paru-paru.

III.1.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian yang dilakukan di Jakarta, Departemen Anatomi kedokteran

universitas Kristen Indonesia dan Departemen Parasitologi Kedokteran Fakultas

Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Penelitian dilakukan pada bulan

November 2017 – bulan Desember 2017; setelah proposal disetujui oleh Dewan

Penguji dan Komite Etik.

III.1.3. Subjek Penelitian

Menggunakan cadaver FK UKI

 Jumlah sampel : 2 Cadaver

a. 2 pungung

b. 4 extremitas inferior

c. 4 extremitas superior

d. 2 bagian Paru-paru
III.1.4. Kriteria Inklusi

 Morfologi anatomi cadaver normal

III.1.5. Kriteria Eksklusi

 Cadaver tidak busuk dan rusak sebelum penelitian

 Tidak ada perubahan warna dan kontaminasi jamur dari luar

III.1.6. Variabel Penelitian

 Variabel independen dalam penelitian ini adalah pemeriksaan jamur.

 Variabel dependen dalam penelitian ini adalah profil jamur

III.2. DEFINISI OPERASIONAL

 Jamur adalah suatu mikroorganisme yang dapat tumbuh dan berkembang

pada jaringan cadaver dilaboratorium anatomi yang dapat diperiksa dengan

pemeriksaan agar SDA dengan melakukan pengamatan terhadap spora dan

hifa yang tumbuh baik secara makroskopik ataupun mikroskopik.

 Pemeriksaan agar SDA adalah suatu teknik pemeriksaan mikroskopi dengan

menggunakan media Agar Sabouraud Dekstrosa yang dilakukan untuk

mengamati pertumbuhan jamur di jaringan pada cadaver dan pemeriksaan

yang menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x dan perbesaran 40x

dengan pemeriksaan terhadap spora dan hifa pada preparat yang telah dibuat.
 Cadaver adalah jenazah yang telah dilakukan proses pengawetan dengan

teknik Embalming dan tujuannya untuk digunakan dalam proses belajar

dianatomi. Cadaver ini yang akan dilakukan kerokan pada jaringannya untuk

dilakukan pemeriksaan agar SDA.

 Embalming adalah suatu pengawetan jaringan cadaver di laboratorium

anatomi yang ditujukan untuk membantu proses pembelajaran pelajaran

anatomi jaringan otot, pembuluh darah, saraf, dan jaringan tulang.

III.3. METODE DAN BAHAN PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan menggunakan sampel kerokan pada jaringan

tubuh bagian luar (tangan, kaki, punggung) dan paru- paru cadaver di laboratorium

Anatomi FK UKI

III.3.1. Teknik Pembuatan Media SDA (Sabouraud Dextrose Agar)

III.3.1.1 Alat dan bahan


1. Labu Erlenmayer

2. Pengaduk

3. Gelas Beaker

4. Kompor

5. Kapas

6. Aluminium foil

7. SDA 65 gr/l
III.3.1.2 Cara kerja

1. Lakukan penimbangan berat media SDA dengan menggunakantimbangan

analitik. Media SDA yang yang diperlukan untuk 1 liter air adalah 65

gramMemasukkan media SDA pada labu Erlenmeyer, kemudian

ditambahkan 125 ml air.

2. Memanaskan bahan di atas kompor listrik sambil mengaduk sehingga

semua bahan terlarut sempurna.

3. Menutup rapat labu Erlenmeyer dengan menggunakan kapas,

kemudian melapisinya dengan aluminium foil.

4. Mensterilkan media tersebut dengan menggunakan autoklaf pada tekanan

1 atm, temperature 121ºC selama 15-20 menit.

5. Memanaskan media kembali, lalu menuangkannya pada cawan petri secara

aseptik hingga merata.

III.3.2. Metode Pengambilan Sampel

III.3.2.1. Alat dan Bahan

 Kerokan jaringan tubuh bagian luar (tangan, kaki, punggung) dan paru-paru

 Gunting

 Pinset,

 Scalpel
 Tabung dan gelas beker

 Kaca objek

 Alkohol 70%

 Pepton

III.3.2.2. Cara Kerja

1. Identifikasi bagian jaringan tubuh cadaver bagian luar (tangan, kaki,

punggung) dan bagian paru-paru cadaver.

2. Tandai dan bersihkan dengan alkhol 70% bagian diambil dan dipilih untuk

dilakukan pengambilan sampel pada penelitian.

3. Lakukan pengambilan sampel dengan melakukan kerokan pada jaringan tubuh

bagian luar (tangan, kaki, punggung) dan paru-paru cadaver dengan

menggunakan scapel secara bertahap sehingga didapatkan sampel objek yang

diteliti.

4. Letakan kedalam tabung yang telah berisi pepton dan bungkus untuk

menghidarkan kontaminasi zat dari luar. Tabung yang berisi sampel dan

pepton selanjutnya dilakukan pemeriksaan koloni, spora dan hifa pada

jaringan tersebut dengan metode dengan media SDA (Sabouraud

Dextrose Agar)
III.3.3. Analisis Pertumbuhan Jamur dengan Media”Sabouraud Dextrose Agar”

III.3.3. 1. Alat dan Bahan

 Scalpel

 Media Sabouraud Dextrose Agar

 Gelas obyek dan penutup

 Lampu Busen

 Cawan Petri Steril

 Ose Tusuk

 Sampel (Kerokan jaringan tubuh bagian luar (tangan, kaki, punggung) dan

paru-paru)

 Inkubator

III.3.3.2 Metode Kerja

 Ambil 1 ml sampel dalam tabung yang telah berisi sampel kerokan kulit

dengan pepton kemudian inkubasi ke dalam media SDA suhu 55°C ± 15 ml

secara steril

 Simpan pada incubator suhu 37°C selama 5-7 hari

 Pengamatan dilakukan sebanyak 3x pemeriksaan yaitu pada hari ke-3, pada

hari ke-6 dan hari ke-9 untuk melihat apakah sudah ada pertumbuhan jamur

 Identifikasi secara makroskopis dilakukan dengan melihat pertumbuhan

koloni pada media SDA


 Untuk secara mikro ambil sedikit sampel dengan ose pada bagian media yang

ditumbuhi koloni jamur yang tidak terkontaminasi zat dari luar

 Letakkan diatas object glass lalu ditetesi dengan larutan Lactophenol blue

 Fiksasi sebanyak 3x diatas lampu bunsen

 Lalu tutup dengan cover glass

 Periksa pada mikroskop perbesaran 10x-40x

 Amati dan catat hasilnya Pengamatan preparat awetan (preparat kering)

perbesaran 10x lensa objektif penambahan minyak emersi perbesaran 40x

lensa objektif .22

III.3. 3.3. HASIL PENGAMATAN

Hasil positif = Ditemukan adanya bentuk hifa dan spora pada preparat.

Hasil negatif = Tidak ditemukan adanya bentuk hifa dan spora pada preparat
III.6. KERANGKA TEORI
Embalming pada Jaringan
Cadaver

Fiksasi Baffer Formalin 10%

Mikroorganisme Luar dan Kelembaban Udara dalam


Dalam Ruangan Ruangan dan Cadaver

Jaringan tubuh
Cadaver

Pertumbuhan
Mikroorganisme Jamur

Spora berikatan bereaksi


dengan keratin pada
jaringan cadaver

Spora dan Hifa Tumbuh pada


Jaringan cadaver

Kerusakan Morfologi Jaringa (tangan,


kaki, punggung) dan paru-paru cadaver
III.7. ALUR PENELITIAN

Identifikasi Jaringan Tubuh (tangan, kaki, punggung) dan


paru-paru cadaver

Cadaver Diletakan (Suhu Ruangan) Selama 3, 6, 9 Hari

Kerokan Jaringan (tangan, kaki, punggung) dan paru-paru


cadaver hari ke-3, ke-6, ke-9

PEMBIAKAN DENGAN MEDIA SDA

Pemeriksaan makroskopik dengan pengamatan


pertumbuhan Koloni Jamur pada SDA

Pengambialan Sampel Dengan ose dari SDA

OBJEK GLASS

MIKROSKOPI PERBESARAN 10X


DAN 40X

KOLONI SPORA DAN HIFA

Identifikasi Profil Jamur yang


Tumbuh
DAFTAR PUSTAKA

1. Vimercati L, Carrus a, Martino T, et al. Formaldehyde exposure and irritative effects


on medical examiners, pathologic anatomy post-graduate students and
technicians.IranJPublicHealth.2010;39(4):26-34.
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3481685&tool=pmcentr
ez&rendertype=abstr
2. Dixit D, Athavia PD, Pathak HM. Toxic effects of embalming fluid on medical
students and professionals. JIAFM 2005; 27(4):209-211.
3. Ishii K, Hitosugi M, Kido M, Yaguchi T, Nishimura K, Hosoya T, et al. Analysis of
fungi detected in human cadavers. Leg Med. 2006;8(3):188–90.
4. Yaragalla, S. dan Rajput, A. 2017. Identification of Fungal Growth from the Internal
Organs of Preserved Human Cadavers. American Journal of Microbiological
Research. 5: 25-27.
5. Tabaac B, Goldberg G, Alvarez L, Amin M, Shupe-Ricksecker K, Gomez F. Bacteria
detected on surfaces of formalin fixed anatomy cadavers. Ital J Anat Embryol.
2013;118(1):1–5.
6. May P. Potential Health Hazards for Students Exposed to Formaldehyde in the Gross
Anatomy Laboratory. 2011;74(6):36-41.
7. Brenner E. Human Body Preservation – Old and New Techniques. J. Anat 2014;
224:316- 344.
8. Bayramoglu A., Demiryurek D., Ustacelebi S. (2002) Infective agents in fixed human
cadavers: a brief review and suggested guidelines. Anat. Rec. 269: 194-197
9. Deniz demiryu ¨Rek, Alp bayramog lu, and s¸ Emsettin ustac¸ elebi (2002). Infective
Agents in Fixed Human Cadavers: A Brief Review and Suggested Guidelines, The
anatomical record (new anat.) 269:194-197, 2002
10. Embalming Process. Cited On 2012. Available from: http://
www.amsocembalmers.org
11. Australian Funeral Direction Association. So You Want To Be Embalmers. Cited On
2012.
12. Bedino HJ. Embalming Chemistry: Glutaraldehyde versus Formaldehyde.
Champion: Expanding Encyclopedia Of Mortuary Practices, 2003;649:2614-32.
13. Mayer RG. Embalming: History, Theory, and Practice.New York: McGraw-Hill.
2012.
14. Bradbury SA, Hoshino k An improved Embalming procedure for long lasting
preservation of the cadaver for anatomical studies Acta Anat ( Basel) 1978;101:97-
103.
15. O’Sullivan & Mitchell. An improved composition for embalming ûuid to preserve
cadavers for anatomy teaching in the United Kingdom. Journal of Anatomy
1993;182:295-297.
16. Bajracharya S, Magar A. Embalming: An art of preserving human body. Kathmandu
University Medical Journal, 2006;4(16):554-7.
17. Castrillo, L.A., Roberts D. W., and Vandenberg. J. D. 2005. The Fungal Past, Presen,
and Future: Germination, Ramification and Reproduction. Journal of Invertebrate
Phatology 89: 46-56.
18. Dinata, A.J. 2012. Pathogenic Fungi and Bacteria. Common wealth Agricultural
Bureaux. England. 233pp.
19. Pelczar., Michael J. dan E. C. S. Chan, 2008. Dasar-dasar Mikroorganisme.
Universitas Indonesia Press. Jakarta
20. Prasetyoputri, A dan Atmosukarto, I, 2006. Mikroba endofit. Bio Trends: Pusat
penelitian Bioteknologi – LIPI. Cibinong. 1: 13-15.
21. Suryanto, D., Siti K.N. and Erman M. 2012. Antimicrobial Activity of Some Bacterial
Isolates natural Recreational Park of North Sumatera, Indonesia. Bulletin of Envi
Phar and Life Sci.1: 1-7.
22. Kuraesin, T., I. Sugoro, M.R. Pikoli, S. Hermanto dan P. Aditiawati. 2009. Isolasi
dan Seleksi Fungi Pelaku Solubilisasi Batubara Subbituminus. Jurnal Biologi
Lingkungan 3 (2) : 75-87.
23. Pelczar, M.J. dan E.C.S. Chan. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Indonesia
University Press. Jakarta.
24. Gandjar, K., W. Sjamsurizal dan A. Oetari. 2006. Mikologi Dasar dan terapan.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 237 Hal.
25. Balajee, M.S. 2009. Aspergillus terreus complex. Medical Mycology. 47: S42 – S46.
26. Deak, E., Wilson S.D, White E, Carr J.H., and Balajee S.A. 2009. Aspergillus terreus
accessory conidia are unique in surface architecture, cell wall composition and
germination kinetics. Plos One 4: e7673.
27. Kawuri, R., Y. Ramona dan I. B. G. Darmayasa. 2007. Penuntun Praktikum
Mikrobiologi Farmasi. Jurusan Biologi F. MIPA UNUD
28. Singleton dan Sainsbury, 2006. Dictionary of Microbiology and Molecular Biology
3rdEdition. John Wiley and Sons Inc. Sussex, England.

Anda mungkin juga menyukai