Anda di halaman 1dari 2

Electroconvulsive Theraphy (ECT) sebagai Terapi pada Epilepsi Psikotik

Oleh: Jalalludin (I11108074)

Electroconvulsive therapy (ECT) bekerja dengan menginduksi terjadinya kejang umum


dengan adanya arus listrik, telah dikembangkan sejak tahun 1938 dan secara luas digunakan
di dunia sebagai terapi gangguan depresi berat, mania, dan skizofrenia. Penggunaan terapi
ECT diestimasikan mencapai 100.000 pasien di USA per tahun. Terapi umumnya dilakukan
dua atau tiga kali dalam seminggu hingga tercapainya perbaikan klinis.
ECT dikembangkan setidaknya sebagian besar berdasarkan teori bahwa terdapat
antagonisme biologis antara kejang dan status psikopatologi berat seperti psikosis. ECT
disarankan menjadi pilihan terapi pasien epilepsi psikotik yang gagal terapi dengan
penggunaan obat antipsikotik. ECT dapat dipertimbangkan sebagai terapi yang tidak tepat
pada epilepsi psikotik karena terdapatnya kemungkinan rekurensi epilepsi karena induksi
ECT yang sengaja diberikan memicu kejang spontan. Namun berbagai survey epidemiologi
skala besar menunjukkan tidak terdapat bukti bahwa ECT menyebabkan epilepsi. Pada
faktanya, banyak bukti yang menunjukkan bahwa ECT sebenarnya memiliki efek
anticonvulsan. ECT telah dilaporkan sebagai terapi yang efisien pada psikosis yang memiliki
komorbid epilepsi.
Pada studi eksperimen yang menggunakan model hewan, ECT (atau electroconvulsive
shock, istilah yang digunakan pada hewan) memiliki efek anti-kindling. Pada manusia,
sejalan dengan progres terapi, jumlah electrical charge yang dibutuhkan untuk menginduksi
kejang meningkat (ambang kejang meningkat), dan durasi kejang yang memendek, hal ini
mengindikasikan adanya efek anticonvulsan dari ECT. Terdapat berbagai literatur yang
mengindikasikan bahwa pada pasien epilepsi, ECT dapat mengurangi frekuensi kejang
spontan. Berbagai data substansi mendukung keamanan kejang gand mal terprogram, yang
pada faktanya ECT juga diindikasikan sebaai terapi intractable epilepsy. Terapi kejang
terprogram, meningkatkan ambang kejang dan tidak menyebabkan perubahan irreversibel
atau morbiditas lebih lanjut, dan dengan demikian dapat menjadi pilihan terapi pasien
epilepsi psikotik (postictal psychosis).
Mekanisme neurofisiologis pada efek terapeutik ECT masih belum jelas. Beberapa
hipotesis menyebutkan terdapat penurunan eksitabilitas melalui ECT yang menginduksi
konsenstrasi GABA kortikal. ECT memperbesar transmisi GABAergic yang berkontribusi
dalam meningkatkan ambang kejang. Selain itu efek ECT terhadap struktur otak disebutkan
oleh beberapa peneliti yaitu berdasarkan studi review terhadap struktur otak menggunakan
berbagai teknik radio-imaging (animal electroconvulsive stimulation/ECS) dan studi otopsi
manusia (case reports) menyimpulkan bahwa bukti kerusakan struktur otak akibat ECT
sangat tidak adekuat.

REFERENSI

1. Kanner AM, Rivas-Grajales AM. Psychosis of epilepsy: a multifaceted neuropsychiatry


disorder. CNS Spectrum. 2016: 21, 245-257.
2. Ruppert E, Lalanne L, Foucher J, Zimmermann M, Hirsch E, Vidailhet P.
Electroconvulsive theraphy for psychosis in a patient with epilepsy related to
hypothalamic hamartoma. Epileptic Disord. 2013: 15 (3), 347-351.
3. Rasmussen KG, Lunde ME. Patients who develop epilepsy during extended treatment
with electroconvulsive theraphy. Biritish Epilepsy Association Seizure. 2007; 16, 266-
270.
4. Aranda AP, Morales IG, Fuentenebro JS. Postictal psychosis: resolution after
electroconvulsive theraphy. Epilepsy & Behavior. 2001: 2, 363-366.
5. Grover S, Mattoo SK, Gupta N. Theories on mechanism of action of electrocinvulsive
theraphy. (German) Psychiatry. 2005: 8, 70-84.

Anda mungkin juga menyukai