Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Botani Aegle marmelos (L.) Correa

2.1.1 Taksonomi

Klasifikasi Aegle marmelos (Badan POM RI, 2008)

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Sapindales

Family : Rutaceae

Genus : Aegle

Species : Aegle marmelos (L.) Correa

Sinonim : Crateva marmelos L; Belon marmelos W.F Wight

2.1.2 Morfologi

Maja merupakan tanaman perdu, dengan kulit buah berwarna hijau dan

memiliki kulit tempurung yang sangat keras. Pohon maja dapat tumbuh sampai

20 meter dengan tajuk yang tumbuh menjulang ke atas dan kayunya sangat

keras. Batangnya berkayu, bulat, bercabang, berduri, dan berwarna putih

Kekuningan (Badan POM RI, 2008). Dahan pohon memiliki banyak duri yang

tumbuh di ketiak daun dengan panjang 2-3 cm. Daunnya berseling dan beranak

masing-masing tiga. Buah berbentuk seperti buah pir, berwarna kuning kelabu,

dan berbau “peer drops”. Buah buni, beruang 5-10 cm, berbentuk bulat

panjang, kulit sangat keras dengan lubang-lubang berisi minyak, banyak


mengandung pelengket. Biji melekat pada sudut dalam setiap keping, panjang,

bergerombol rapat dan berbulu. Jika dahan dipotong akan terdapat getah

berwarna putih-kuning (AgroMedia, 2008). Buahnya berbentuk buni agak bulat

dan berwarna hijau, diameter 5-12,5 cm. Kulit buah mengayu dan keras,

bijinya 6-10 buah berada dalam daging buah yang jernih (Sunarto, 1992).

2.1.3 Asal dan Nama Daerah

Tumbuhan maja tersebar luas di Indonesia karena tumbuh baik di iklim

seluruh wilayah Indonesia. Maja berasal dari daerah Asia tropika dan

subtropika, merupakan suku jeruk-jerukan atau Rutaceae. Tumbuhan A.

marmelos Linn merupakan salah satu jenis tumbuhan obat yang terdapat di

hutan tropis Indonesia. Tumbuhan ini dikenal masyarakat Indonesia dengan

nama daerah yaitu : maja (Sunda); maja, maja galepung, maja gedang, maja

pait, maos (Jawa); bila, bila gedang, bila paek (Madura); wabila (Sumba

Timur); dilak (Timor). (Sastroamidjojo, 1997).

2.2. Kegunaan dan Kandungan Kimia Tumbuhan Aegle marmelos (L.)

2.2.1. Kegunaan Tumbuhan Aegle marmelos (L.)

Maja berkhasiat sebagai obat penyakit jantung, hipokondria,

melancholia, sakit usus, koreng, kudis dan bisul. Buah, akar, dan daun

maja bersifat antibiotik (Agromedia, 2008). Menurut penelitian yang

berjudul “Studies on Hepatoprotective Activity of Ethanolic Extracts of

Fruit pulp of Aegle marmelos (L.) corr” bahwa ekstak etanol buah maja

masak berpotensi efektif untuk menekan agen hepatoprotektif

(Rajasekaran et al, 2009). Efek farmakologis akar maja diantaranya


mengobati demam. Kulit batang dan akar maja untuk obat nyeri jantung,

stomakikum, dan sedatif. Daun maja untuk, eksim, abortif, demam, dan

radang selaput lendir hidung. Buah maja untuk disentri dan diare

sedangkan kulit buahnya untuk pewangi (Hariana, 2008). Di Ayurveda,

buah ini biasanya menyembuhkan penyakit berhubungan dengan jantung,

lambung, usus, diare kronis dan disentri; beberapa bentuk gangguan

pencernaan, penyakit tipus, kelemahan, demam, wasir, hipokondria, dan

untuk palpitasi jantung (Kumar et al., 2013).

2.2.2. Kandungan Kimia Tumbuhan Aegle marmelos (L.)

Buah maja dilaporkan mengandung sejumlah kumarin, alkaloid,

sterol dan minyak esensial. Akar dan buah mengandung kumarin seperti

scoparon, scopoletin, umbelliferon, marmesin (Lambole et al., 2010). Pada

biji buah maja ditemukan asam lemak tak jenuh. Daging buah maja

mengandung substansi semacam minyak balsem, 2-furocoumarins

psoralen dan marmelosin (Hasrah, 1994). Ramuan buah maja

mengandung asam palmitat 15.6%, asam stearat 8.3%, linoleat 28.7% ,

dan asam linolenat 7.6%.Residu dari biji tanaman ini mengandung 70 %

protein. Dengan struktur sebagai berikut :


Tabel 1. Komposisi Gizi Dalam Buah Maja (A.marmelos)

Nutrisi Jumlah

Lemak 0.2 g

Protein 1.6 g

Mineral 1.9 g

kalsium 80 mg

Phosfor 52 mg

Besi 0.5 mg

Vitamin C 8 mg

Kalium 610 mg

2.3. Flavonoid

2.3.1. Tinjauan Umum Flavonoid

Flavonoid adalah suatu senyawa metabolit sekunder yang tersebar merata

dalam dunia tumbuhan dan merupakan salah satu golongan fenol alam yang

terbesar. Aglikon flavonoid terdapat dalam berbagai bentuk struktur yang tersusun

dalam konfigurasi C6-C3-C6 yaitu dua cincin aromatik dihubungkan oleh satuan 3

karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga (Markham, K.R.,

1988). Struktur umum dari flavonoid dan cara penomorannya adalah sebagai

berikut :
3'
2' 4'
1 B
8
9/8a O 5'
7
2 6'
A
6 3
10/4a
5
4
O

Gambar 2. Struktur Umum Flavonoid (Markham, K. R., 1988)

Susunan dasar flavonoid dapat menghasilkan tiga jenis struktur yang

berbeda, yaitu : 1,3-diaril propan (Flavonoid), 1,2-diaril propan (isofalvonoid),

1,1-diaril propan (neoflavonoid). Modifikasi flavonoid lebih lanjut terjadi pada

berbagai tahap dan menghasilkan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil,

metilasi gugus hidroksil atau inti flavonoid, isoprenilasi gugus hidroksil atau inti

flavonoid, metilenasi gugus orto-dihidroksi, dimerisasi (pembentukan

biflavonoid), pembentukan bisulfat dan glikosilasi gugus hidroksil (pembentukan

flavonoid O-glikosida) atau inti flavonoid (pembentukan flavonoid C-glikosida)

Berdasarkan tingkat oksidasi rantai propan flavonoid dapat dibedakan atas

beberapa golongan antara lain yaitu : Flavon, flavonol,flavanon, flavanol,

isoflavon, khalkon, dihidrioksi khalkon, auron, antosianidin, katekhin, flavan 3,4-

diol (luekoantosianidin) ( Ikan, R., 1974).

2.3.2. Sumber Flavonoid

Flavonoid terbesar pada seluruh bagian tanaman seperti pada daun, bunga,

buah, biji,akar, kayu, kulit kayu, tepung sari, batang dan getah batang. Biasanya

flavonoid glikosida dijumpai pada vakuola dan beberapa diantaranya terdapat

dalam kromoplast dan kloroplast, aglikon yang kurang polar ditemukan pada

jaringan lilin kutikula sedangkan biflavonoid dalam kulit luar tumbuhan.


Flavonoid juga terdapat pada sayap kupu-kupu, sekresi lebah (propolis) dan dalam

kelenjar bau berang-berang. Itupun dengan anggapan bahwa flavonoid tersebut

berasal dari tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan bagi hewan tersebut dan

tidak dibiosintesa di dalam tubuh mereka (Harborne, J. B., 1974)

2.3.3. Biosintesa Flavonoid

Biosintesa senyawa golongan flavonoid merupakan alur yang sama karena

sama-sama memasukkan pra zat dari alur sikimat dan asetat malonat. Unit fenil

propanoid (cincin B dan tiga atom karbon dari rantai propan) berasal dari asam

sinamat yang terbentuk lewat jalur sikimat, sedangkan cincin A dibentuk dari tiga

unit asetat dan malonat pada jalur poliketida. Kedua jalur tersebut bertemu dan

membentuk flavonoid khalkon, sedangkan bentuk yang lainnya diturunkan dari

khalkon lewat berbagai alur (Harborne, J. B., T. J. Mabry and H. Maby, 1974).

Seperti terlihat pada gambar 4 dan 5.

2.3.4. Sifat Fisika dan Kimia Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa polar yang akan larut dalam pelarut-pelarut

polar seperti : metanol, etanol, butanol, aseton air dan lain-lain. Adanya gula yang

terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air

dan dengan demikian campuran pelarut diatas dengan air merupakan pelarut yang lebih

baik untuk glikosida (20, 22).

Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti : isoflavon, flavanon, flavon serta

flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut semipolar

seperti etil asetat, eter dan kloroform. Aglikon flavonoid ini adalah suatu polifenol,

karena itu mempunyai sifat kimia senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga
dapat larut dalam basa, tetapi apabila dibiarkan dalam larutan basa dan berkontak

dengan oksigen maka flavonoid tersebut akan terurai (Harbourne, J. B., 1987).

OH

O O O O O O

C C C

CH 2 CH 2 CH 2

sCoA C sCoA C sCoA C sCoA C

O O O O

Malonil – ScoA

OH
H2

O CH O
C C
H2
H2C C
O

O O

OH
OH

HO O HO OH

OH O OH O

Flavon kalkon

Gambar 4. Mekanisme Biosintesa Flavonoid dari Ester ScoA Asam

Malonat dan Asam p-Kumarat ()


2.2 Tinjauan Umum

2.2.1 Ektraksi

Ektraksi atau penyarian adalah suatu proses penarikan zat yang dapat larut

dalam pelarut cair sehingga terpisah dengan bahan yang tidak dapat larut dengan

pelarut cair. Faktor kecepatan difusi sangat mmpengaruhi kecepatan penyarian,

karena dalam penyarian larutan harus melewati lapisan batas antara butir serbuk

dengan cairan penyari. Kecepatan melintasi lapisan batas dipengaruhi oleh derajat

perbedaan konsentrasi, tebal lapisan, serta koefisien difusi (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

Ekstrak merupakan kumpulan senyawa – senyawa dari berbagai golongan

yang terlarut di dalam pelarut yang sesuai, termasuk didalamnya senyawa-

senyawa aktif atau yang tidak aktif (Sidik dan Mudahar, 2000). Pengolahan

ekstraksi bahan tumbuhan obat dengan pelarut yang sesuai (air, alkohol, dan

pelarut organik lain) menjadi ekstrak cair atau ekstrak kering banyak dilakukan

untuk tujuan standarisasi sediaan obat herba sekaligus memberi keuntungan dari

segi formulasi sediaannya (Sinambela, 2003)

Pemilihan pelarut sangat penting dalam proses eksraksi sehingga bahan

berkhasiat yang akan ditarik dapat tersari sempurna. Departemen Kesehatan

merekomendasikan air, alkohol, dan air dengan alkohol untuk cairan penyari

ekstrak untuk keperluan bahan baku obat tradisional (Farouq, 2003)

Prinsip dasar ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut

polar dan senyawa non-polar dalam pelarut non-polar. Serbuk simplisia

diekstraksi berturut-turut dengan pelarut yang berbeda polaritasnya. Proses


ekstraksi merupakan penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat

dengan menggunakan pelarut yang dipilih dengan zat yang diinginkan larut.

Metode ekstraksi akan memisahkan metabolit tanaman yang larut dan

menyisakan yang tidak terlarut. Produk hasil ekstraksi tanaman mengandung

campuran metabolit yang sangat kompleks (Handa dkk., 2008). Senyawa aktif

yang terkandung dalam simplisia dapat digolongankan ke dalam golongan minyak

atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Bila sudah diketahui senyawa aktif yang

dikandung oleh simplisia tersebut, akan mempermudah dalam pemilihan pelarut

dan cara ekstraksi yang tepat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

Faktor penting dalam proses ekstraksi adalah simplisia, pelarut, dan

metode ekstraksi. Masing-masing faktor diuraiakan sebagai berikut :

a. Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun dan kecuali dinyatakan lain, berupa

bahan yang telah dikeringkan. Simpilia dapat dibagi menjadi simplisia

nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 1989)

Tahapan pembuatan simplisia dimulai dengan pengumpulan bahan

baku. Tahap selanjutnya adalah sortasi basah, pencucian, perajangan, dan

pengeringan. Tahapan terakhir adalah pengepakan dan penyimpanan

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985)

b. Pelarut

Pelarut atau cairan penyari akan digunakan untuk ekstraksi adalah

pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa berkhasiat yang diinginkan,


sehingga senyawa tersebut dapat dipisahkan antara bahan dan kandungan

lain yang tidak diinginkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

2000). Selain itu, pelarut harus mempertimbangkan banyak faktor,

diantaranya adalah : murah dan mudah diperoleh; stabil secara fisika dan

kimia; bereaksi netral atau inert; tidak mudah menguap dan tidak mudah

terbakar; selektif, yang berarti hanya menarik zat berkhasiat yang

diinginkan; tidak mempengaruhi senyawa aktif; diperbolehkan oleh

peraturan atau mendapat izin departemen kesehatan. Pengunaan pelarut

pada perusahaan obat tradisional adalah aquadest (air), etanol atau etanol-

air. Pelarut aquadest digunakan karena murah dan mudah diperoleh; stabil;

tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar; tidak beracun; dan alami,

namun kekurangan aquadest sebagai cairan penyari yaitu tidak selektif;

sari dapat ditumbuhi kapang atau kuman sehingga cepat rusak; dan

penguapannya diperlukan waktu yang lama. Pelarut etanol digunakan

sebagai cairan penyari dengan pertimbangan dapat melarutkan berbagai

senyawa, merupan pelarut universal; kapang dan kuman sulit tumbuh

dalam etanol 20 % ke atas; tidak beracun; netral; etanol dapat bercampul

dengan air pada segala perbandingan; untuk menguapkan pelarut

dibutuhkan waktu yang relative lebih cepat, sedangkan kerugiannya adalah

pelarut etanol harganya lebih mahal harganya dibandingkan dengan air

atau aquadest (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

c. Metode ekstraksi

1. Maserasi
Maserasi adalah suatu proses pengestraksian simplisia dalam suatu

wadah yang diberi pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada temperatur ruangan. Campuran simplisia dan pelarut

kemudian dipisahkan, ampasnya akan mengendap dan maseratnya

didapatkan dengan penyarian sehingga tidak ada sisa simplisia yang

terbawa. Maserasi kinetik berarti adanya pengadukan yang berulang

(terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan

penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan pertama dan

seterusnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000; hamda

dkk., 2008).

Keuntungan ekstraksi secara maserasi adalah cara pengerjaan dan

peralatan yang digunakan sederhana, serta mudah dilakukan.

Kerugiaanya adalah pengerjaannya lama, penyarianya kurang

sempurna. Ekstraksi secara maserasi diperlukan pengadukan untuk

meratakan konsentrasi larutan diluar butir serbuk simplisia, sehingga

derajat perbedaan konsentrasi antara laruttan di dalam sel dengan

pelarut akan tetap terjaga. Hasil penyarian atau maserat perlu dibiarkan

selama waktu tertentu agar zat-zat yang tidak diperlukan mengendap

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986)

2. Sokletasi

Sokletasi merupakan proses ekstraksi yang mengunakan penyarian

berulang dan pemanasan. Pengunaan metode sokletasi adalah dengan

cara memanaskan pelarut hingga membentuk uap dan membasahi

sampel. Pelarut yang sudah membasahi sampel kemudiaan akan turun


menuju labu pemanasan dan kembali menjadi uap untuk membasahi

sampel, sehingga pengunaan pelarut dapat dihemat karena terjadi

sirkulasi pelarut yang selalu membasahi sampel. Proses ini sangat baik

untuk senyawa yang tidak terpengaruh oleh panas (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

2.2.2 Identifikasi

Kromatografi Lapis Tipis (Thin Layer Chromatography)

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan suatu teknik pemisahan dengan

menggunakan adsorben (fase stasioner) berupa lapisan tipis seragam yang disalut-

kan pada permukaan bidang datar berupa lempeng kaca, pelat aluminium, atau

pelat plastik. Pengembangan kromatografi ter-jadi ketika fase gerak tertapis

melewati adsorben (Deinstrop, Elke H, 2007 ). KLT dapat digunakan jika

Senyawa tidak menguap atau tingkat penguapannya rendah, Senyawa bersifat

polar, semi polar, non polar, atau ionik, Sampel dalam jumlah banyak harus

dianalisis secara simultan, hemat biaya, dan dalam jangka waktu tertentu,

Senyawa dalam sampel yang akan dianalisis tidak dapat dideteksi dengan metode

KC ataupun KG atau memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, Setelah proses

kromatografi semua komponen dalam sampel perlu dideteksi (berkaitan dengan

nilai Rf).

Kromatografi lapis tipis digunakan secara luas untuk analisis solute-solute

organik terutama da-lam bidang biokimia, farmasi, klinis, forensic, baik untuk

analisis kualitatif dengan cara membandingkan nilai Rf solut dengan nilai Rf

senyawa baku atau untuk analisis kuantitatif (Gandjar IG., 2008). Penggunaan

umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam campuran,


identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektifitas

pemurnian,, melakukan skrining sampel untuk obat (Gandjar IG, 2008).

Anda mungkin juga menyukai