Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saluran pencernaan merupakan suatu saluran kontinu yang berjalan dari
mulut sampai anus. Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk
memindahkan zat gizi atau nutrient seperti air dan elektrolit dari makanan
yang dimakan ke dalam lingkungan internal tubuh (Price, 2012).
Perdarahan saluran cerna merupakan masalah yang sering dihadapi.
Manifestasinya bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang mengancam
jiwa hingga perdarahan samar yang tidak dirasakan. Pendekatan pada pasien
dengan perdarahan dan lokasi perdarahan saluran cerna adalah dengan
menentukan beratnya perdarahan dan lokasi perdarahan. Perdarahan saluran
cerna dapat menyerang semua orang dan semua golongan (Price, 2012).
Perdarahan saluran cerna dapat dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan
saluran cerna bagian atas dan perdarahan saluran cerna bagian bawah.
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi di saluran
cerna yang dimulai dari mulut hingga ke 2/3 bagian dari duodenum atau
perdarahan saluran cerna proksimal dari ligamentum Treitz. Perdarahan
saluran cerna bagian atas merupakan masalah kegawatan dengan angka
mortalitas di rumah sakit sebesar 10%. Walaupun sudah ada perbaikan
manajemen penanganan perdarahan saluran cerna bagian atas, akan tetapi
belum mampu menurunkan angka mortalitas secara signifikan sejak 50 tahun
yang lalu (Edelman, 2007).
Perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah perdarahan yang berasal
dari usus di sebelah distal ligamentum Treitz. Pasien dengan perdarahan
saluran cerna bagian bawah datang dengan keluhan darah segar sewaktu
buang air besar. Hampir 80% dalam keadaan akut berhenti dengan sendirinya
dan tidak berpengaruh pada tekanan darah. Hanya 25% pasien dengan
perdarahan berat dan berkelanjutan berdampak pada tekanan darah (Edelman,
2007).

1
Angka kejadian perdarahan saluran cerna bagian bawah di Amerika
Serikat mencapai 22 kasus per 100.000 penduduk dewasa pada tahun 2007.
Walaupun sudah berkembang pemeriksaan diagnostik yang canggih, namun
10% dari jumlah kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah, lokasi
perdarahan tidak bisa teridentifikasi (Edelman, 2007).
Pengobatan dan perawatan pada pasien dengan perdarahan saluran
cerna seharusnya memperhatikan kebutuhan pasien dan etiologi dari
perdarahan tersebut (Price, 2012).
B. Tujuan
1. Menjelaskan definisi perdarahan saluran cerna atas
2. Menjelaskan etiologi perdarahan saluran cerna atas
3. Menjelaskan patofisiologi perdarahan saluran cerna atas
4. Menjelaskan klasifikasi perdarahan saluran cerna atas
5. Menjelaskan tanda dan gejala perdarahan saluran cerna atas
6. Menjelaskan penegakan diagnosis perdarahan saluran cerna atas
7. Menjelaskan penatalaksanaan medis perdarahan saluran cerna atas
8. Menjelaskan komplikasi perdarahan saluran cerna atas
9. Menjelaskan pemeriksaan penunjang perdarahan saluran cerna atas

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Perdarahan saluran cerna adalah suatu perdarahan yang bisa terjadi
dimana saja di sepanjang saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus..
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan gastrointestinal yang
berasal dari proximal ligamentum Treitz, yang menghubungkan empat bagian
dari duodenum dengan flexura splenic dari bagian distal usus. Gejalanya
berupa di temukannya darah dalam tinja atau muntuh darah, tetapi gejala bisa
juga tersembunyi dan hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan tertentu.
Perdarahan yang terjadi di saluran cerna bila di sebabkan oleh adanya erosi
arteri akan mengeluarkan darah lebih banyak (Mansjoer,2010).
B. Anatomi
Saluran pencernaan dibagi menjadi dua bagian yaitu saluran pencernaan
atas dan saluran pencernaan bawah yang dipisahkan oleh ligamentum treitz
yang merupakan bagian duodenum pars ascending yang berbatasan dengan
jejunum. Saluran cerna bagian atas diantaranya (Snell, 2006):
1. Rongga mulut
2. Pharynx
Saluran berbentuk pipa fibromaskuler yang berfungsi melakukan gerakan
peristaltik untuk menghancurkan dan mendorong makanan masuk ke
dalam esofagus (Faradilla, 2009).
3. Oesophagus
Oesophagus adalah tuba muskular yang menghubungkan Pharynx dengan
gaster. Oesophagus memiliki panjang 25 cm dan berpangkal di kartilago
krikoid yang diproyeksi pada vertebra cervical VI. Oesophagus berujung
di cardia lambung setinggi vertebra thorakal X ( di bawah Proc.
xiphoideus Sternum).
Oesophagus dibagi menjadi 3 yaitu (Sherwood, 2011);
- Pars cervicalis (5-8 cm)

3
Letaknya bersebelahan dengan kolumna vetebralis. Disuplai oleh A.
thyroidea inferior dan V. thyroidea inferior
- Pars thoracica (16 cm)
Bagian ini berjalan bersama bronkus utama kiri dan turun ke depan
dengan semakin menjauhi kolumna vertebralis. Disuplai oleh Aorta
dan dan V. azygos dan V. hemiazygos bermuara pada V. cava
superior.
- Pars abdominalis (1-4 cm)
Terletak intraperitoneum dan disuplai oleh A. gastrica sinistra dan A.
phrenica inferior.
4. Gaster
5. Duodenum

Gambar 2.1 Saluran Cerna Atas

4
Gambar 2.2 Ligamentum Treitz

C. Etiologi
Penyebab perdarahan saluran bagian atas terbanyak di indonesia adalah
karena pecahnya varises esophagus dengan rata – rata 45-50% seluruh
perdarahan saluran cerna bagian atas. Penyebab perdarahan saluran cerna
bagian atas di antaranya :
Variseal Non Variseal
Varises Esophagus Tukak peptik
Gastritis erosif
Keganasan
Ulkus duodenum
Gastropati NSID
(Sudoyo, 2007)
D. Patofisiologi
a. Variseal
Penyebab tersering dari perdarahan saluran cerna adalah pecahnya
varises esofagus. Varises esofagus merupakan salah satu komplikasi dari
sirosis hepatis. Sirosis ini menyebabkan peningkatan tekanan pada vena
porta yang biasa disebut dengan hipertensi porta. Peningkatan tekanan
pada vena porta menyebabkan terjadinya aliran kolateral menuju vena
gastrika sinistra yang pada akhirnya tekanan vena esofagus akan
meningkat pula. Peningkatan tekanan pada vena esofagus ini
menyebabkan pelebaran pada vena tersebut yang disebut varices esofagus
(Price, 2012).

5
Varises esofagus ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan.
Terjadinya perdarahan ini bergantung pada beratnya hipertensi porta dan
besarnya varises. Darah dari pecahnya varises esofagus ini akan masuk ke
lambung dan bercampur dengan asam klorida (HCL) yang terdapat pada
lambung. Darah yang telah bercampur dengan asam clorida menyebabkan
darah berwarna kehitaman. Jika darah ini dimuntahkan maka akan
bermanifestasi sebagai hematemesis. Selain dimuntahkan, darah ini juga
dapat bersama makanan masuk ke usus dan akhirnya keluar bersama feses
yang menyebabkan feses berwarna kehitaman (melena) (Price, 2012).
b. Non Variseal
Hematemesis dan melena juga dapat ditemukan pada penyakit tukak
peptik (ulcus pepticum). Mekanisme patogenik dari ulkus peptikum ialah
destruksi sawar mukosa lambung yang dapat menyebabkan cedera atau
perdarahan, dimana cedera tersebut nantinya akan menimbulkan ulkus
pada lambung (Price, 2012).

6
Asam dalam lumen + empedu, ASA, alkohol, lain-lain

Penghancuran sawar epitel

Asam kembali berdifusi kemukosa

Penghancuran sel mukosa

↑ Pepsinogen → Pepsin Asam ↑ ↑ Histamin

Rangsang kolinergik

Fungsi sawar ↓ ↑ Vasodilatasi


↑ Motilitas

↑ Pepsinogen
Permeabilitas terhadap protein
Destruksi kapiler dan vena Plasma bocor ke lumen lambung
Dan interstisium
edema
Perdarahan

Ulkus

Aspirin, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain yang merusak


mukosa lambung mengubah permeabilitas sawar kapiler, sehingga
memungkinkan difusi balik asam klorida yang mengakibatkan kerusakan
jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang
sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas
kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema, dan sejumlah besar
protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak, mengakibatkan
terjadinya hemoragi interstisial dan perdarahan. Sama seperti varises
esofagus, darah ini akan dapat bermanifestasi sebagai hematemasis dan
atau melena (Price, 2012).

E. Manifestasi Klinik

7
Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami
perdarahan. Dari seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber
perdarahannya berasal dari esofagus, gaster dan duodenum.
Gejalanya bisa berupa :
1. Muntah darah (Hematemesis)
Muntah darah dan biasanya di sebabkan oleh penyakit saluran cerna
bagian atas. Melena adalah keluarnya feses berwarna hitam per rectal yang
mengandung campuran darah biasanya disebabkan oleh perdarahan usus
proksimal.
2. Mengeluarkan tinja yang kehitaman (Melena)
Tinja berwarna hitam merupakan akibat dari perdarahan di saluran bagian
atas. Misalnya lambung atau duodenum. Warna hitam terjadi karena darah
tercemar oleh asam lambung dan pencernaan kuman selama beberapa jam
sebelum keluar dari tubuh. Sekitar 200 gram darah dapat menghasilkan
tinja yang berwarna kehitaman.
3. Mengeluarkan darah dari rektum (hematoskezia)
4. Waterbrash merupakan regurgitasi isi lambung kedalam rongga mulut.
Gangguan ini dirasakan terdapat pada tenggorokan sebagai rasa asam atau
cairan panas yang pahit
5. Pirosis (Nyeri epigastrik)
Pirosis sering ditandai sensasi panas. Nyeri epigastik dapat disebabkan
oleh refluks asam lambung atau sekrat empedu kedalam esofahus bagian
bawah, keduanya sangat mengiritasi mukosa.
6. Penderita dengan perdarahan jangka panjang, bisa menunjukkan gejala-
gejala anemia, seperti mudah lelah, terlihat pucat, nyeri dada dan pusing.
7. Gejala yang menunjukan adanya kehilangan darah yang serius adalah
denyut nadi yang cepat isi dan tekanan lemah, tekanan darah rendah dan
berkurangnya pembentukan air kemih. Tangan dan kaki penderita juga
akan teraba dingin dan basah. Berkurangnya aliran darah ke otak karena
kehilangan darah, bisa menyebabkan bingung, disorientasi, rasa
mengantuk dan bahkan syok

8
8. Pada penderita perdarahan saluran pencernaan yang serius, gejala dari
penyakit lainnya, seperti gagal jantung, tekanan darah tinggi, penyakit
paru-paru dan gagal ginjal, bisa bertambah buruk. Pada penderita penyakit
hati, perdarahan ke dalam usus bisa menyebabkan pembentukan racun
yang akan menimbulkan gejala seperti perubahan kepribadian, perubahan
kesiagaan dan perubahan kemampuan mental (ensefalopati hepatik).
(Price, 2012).
F. Penegakan Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
- Tanda-tanda syok : takikardia, akral dingin dan lembab, takipnu,
oliguria, penurunan kesadaran, hipotensi ortostatik, JVP (Jugular Vein
Pressure) meningkat.
- Tanda-tanda penyakit hati kronis dan sirosis : hipertensi portal
(pecahnya varises esofagus, asites, splenomegali), ikterus, edema
tungkai dan sakral, spider nevi, eritema palmarum, ginekomasti,
venektasi dinding perut (caput medusa), asteriksis (flapping tremor).
- Tanda-tanda anemia : pucat, koilonikia, telangiektasia
- Tanda-tanda sindrom Peutz-Jegher : bintik-bintik coklat pada kulit
muka dan mukosa pipi.
- Lesi-lesi telangiektasi yang berdenyut merupakan indikasi
telangiektasi hemoragik herediter.

- Koagulopati : purpura, memar, epistaksis


- Tanda-tanda keganasan : limfadenopati, organomegali (hepatomegali,
splenomegali), penurunan berat badan, anoreksia, rasa lemah.
- Pemeriksaan abdomen : untuk mengetahui adanya nyeri tekan,
distensi, atau massa. Adanya nyeri tekan epigastrik merupakan tanda
ulkus peptikum, dan adanya hepatosplenomegali meningkatkan
kemungkinan varises.
- Pemeriksaan rektal untuk massa, darah, melena, dan darah samar pada
feses (Price, 2012).
2. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium

9
Pemeriksaan darah lengkap : Hb, Ht, golongan darah, jumlah eritrosit,
leukosit, trombosit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, PT, APTT,
morfologi darah tepi, fibrinogen, dan crossmatch jika diperlukan
transfusi. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin
< 10 g% atau hematokrit < 30 %.
a. Pemeriksaan ureum dan kreatinin :
Perbandingan BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin serum
dapat dipakai untuk memperkirakan asal perdarahan. Nilai puncak
biasanya dicapai dalam 24-48 jam sejak terjadinya perdarahan.
Normal perbandingannya adalah 20. Bila di atas 35, kemungkinan
perdarahan berasal dari saluran cerna bagian atas (SCBA). Di
bawah 35, kemungkinan perdarahan saluran cerna bagian bawah
(SCBB). Azotemia sering terjadi pada perdarahan saluran cerna.
Derajat azotemia tergantung pada jumlah darah yang hilang,
lamanya perdarahan, dan derajat integritas fungsi ginjal. Azotemia
terjadi tidak tergantung pada penyebab perdarahan. BUN
mempunyai kepentingan untuk menentukan prognosis. BUN
sampai setinggi 30mg/100ml mempunyai prognosis yang baik. 50
– 70 mg/100 ml mempunyai mortalitas setinggi 33%. Nilai di atas
70 mg/100 ml mengakibatkan keadaan fatal. BUN = 2,14 x nilai
ureum darah.
b. Penentuan NH3 darah merupakan indikasi pada sirosis hepatis.
Nilai yang meninggi dapat memberi petunjuk adanya koma
hepatik.
c. Pemeriksaan fungsi hati : AST (SGOT), ALT (SGPT), bilirubin,
fosfatase alkali, gama GT, kolinesterase, protein total, albumin,
globulin, HBSAg, AntiHBS.
d. Tes guaiac positif : pemeriksaan darah samar dari feses masih
dapat terdeteksi sampai seminggu atau lebih setelah terjadi
perdarahan.
e. Pemeriksaan elektrolit : kadar Na+, Cl-, K+. K+ bisa lebih tinggi dari
normal akibat absorpsi dari darah di usus halus. Alkalosis

10
hipokloremik pada waktu masuk rumah sakit menunjukan adanya
episode perdarahan atau muntah-muntah yang hebat (Price, 2012).
- Pemeriksaan Penunjang
Berbagai pemeriksaan penunjang dapat digunakan
untuk membantu mendiagnosa abnormalitas sistem gastrointestinal
dan abdomen. Adapun pemeriksaan penunjang atau tes diagnostic
yang dilakukan adalah (Sjamsuhidajat, 2005):
a. Sinar X
Serangkaian pemeriksaan abdomen, atau gambaran abdomen dalam
tiga cara, terdiri atas film abdomen datar, film abdomen atas dan
dada bagian atas dengan pasien berdiri tegak, dan film dimana
pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi (dekubitus).
Radiografi dapat membantu menggambarkan adanya udara bebas
di dalam abdomen yang disebabkan oleh masalah-masalah seperti
perforasi viskus atau pecahnya abses. Obtruksi usus, seperti yang
ditunjukkan oleh dilatasi loop usus dengan tingkat cairan udara
atau volvulus intestine, dapat dilihat dari foto-foto tersebut. Posisi
film dekubitus dapat membantu adanya asites.
b. Endoskopi Gastrointestinal
Prosedur ini merupakan suatu tambahan penting pada pemeriksaan
barium karena prosedur itu memungkinkan untuk dilakukan
pengamatan langsung tentang bagian-bagian traktus intestinal.
Instrumen yang digunakan adalah endoskop serat optic yang lentur.
Alat ini dirancang dengan ujung yang dapat digerakkan sehingga
operator dapat memanipulasi sepanjang saluran intestinal. Alat itu
mempunyai saluran instrumen yang memungkinkan untuk biopsy
lesi, seperti tumor, ulser atau peradangan. Cairan dapat
diaspirasikan dari lumen saluran intestine dan udara dapat
dihembuskan untuk menggelembungkan saluran intestine sehingga
mempermudah pengamatan. Endoskop dan kolonoskop dasar untuk
intestinal bagian atas dirancang dalam bentuk yang hampir sama
dan hanya berbeda pada diameter dan panjangnya. Endoskop

11
intestinal atas sebelah sisi juga dirancang untuk pemeriksaan
khusus pada duktus empedu komunis dan duktus pankreatik.
Terapi spesifik dapat dilakukan melalui endoskopi gastrointestinal
bagian atas, termasuk sklerosis varises esophagus. Pada prosedur
ini agen penksklerosing, seperti natrium morhuate, dimasukkan ke
vena yang berdilatasi dalam esofagus dengan harapan akan terjadi
jaringan ikat di dalam vena untuk mencegah perdarahan spontan
selanjutnya.
c. Kolonoskopi
Kolonoskopi digunakan untuk mengevaluasi adanya tumor,
peradangan atau polip di dalam kolon. Kolonoskopi juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi kondisi daerah anstomotik dari
pembedahan dan mengkaji derajat striktura baik karena
pembedahan atau peradangan. Kolonoskop dapat dimasukkan
melalui rektum menuju sepanjang kolon ke dalam sekum. Dari sini
katup ileosekal dapat dikaji begitu juga abnormalitas lainnya,
seperti adanya karsinoma awal atau polip di sebelah kanan kolon.
Polip ini dapat dikeluarkan melalui endoskopi, atau dapat
difulgurasi dan dibakar. Letak perdarahan khusus seperti yang
terjadi pada colitis, polip, tumor, atau angiodisplasia (pengumpulan
pembuluh darah yang abanormal yang dapat menyebabkan
perdarahan terus menerus) dapat diobservasi. Karena pasien
biasanya diberi sedatif sebelum dilakukan prosedur endoskopi
sangat penting mengawasi jalan napasnya untuk mencegah
terjadinya depresi pernapasan atau aspirasi dan untuk memantau
tanda-tanda vital.
f. Pemeriksaan Barium Kontras
Pemeriksaan diagnostic ini sangat penting untuk menemukan
abnormalitas di dalam saluran intestinal. Penyinaran sinar X pada
gastrointestinal bagian atas atau telan barium dilakukan dengan
meminta pasien minum minuman yang telah dicampur dengan
barium radioopak, sementara ahli radiologi mengamati penyalutan

12
dari bahan ini di dalam esofagus, lambung dan usus halus. Barium
mampu memperlihatkan kelainan struktur seperti tumor atau ulkus
juga dapat menemukan adanya peradangan atau penyempitan.
g. Ultrasonografi
Pemeriksaan noninvasive ini menggunakan gelombang echo untuk
mendeteksi adanya abnormalitas dalam rongga abdomen. Dilatasi
dari duktus empedu komunis, distensi kandung empedu karena
batu empedu, dan abnormalitas pancreas seperti tumor, pseudokis,
atau abses dapat ditemukan. Aneurisme aorta dapat diperhitungkan
untuk membantu memutuskan apakah diperlukan pembedahan
eksisi. Penebalan kolon desenden dan kolon sigmoid dengan abses
perikolonik yang disebabkan oleh kondisi seperti divertikolusis
dapat diidentifikasikan. Prosedur ini biasanya dilakukan pada
bagian radiologi rumah sakit.
h. Computed Axial Tomography (CT) dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI).
Tumor pada hati, pancreas, esofagus, lambung dan kolon dapat
diidentifikasi menggunakan pemeriksaan ini. Tumor
retroperitoneal atau nodus limfe juga dapat dilihat.

G. Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien dengan perdarahan akut SCBA meliputi tindakan umum
dan tindakan khusus.

Tindakan umum:

Tindakan umum terhadap pasien diutamakan untuk ABC. Terhadap pasien


yang stabil setelah pemeriksaan dianggap memadai,pasien dapat segera
dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi. Untuk pasien-pasien
risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti:

13
1. Pemasangan IV line paling sedikit 2 dengan jarum(kateter) yang besar
minimal no 18. Hal ini penting untuk keperluan transfusi. Dianjurkan
pemasangan CVP
2. Oksigen sungkup/ kanula.Bila ada gangguan A-B perlu dipasang ETT
3. Mencatat intake output,harus dipasang kateter urine
4. Memonitor Tekanan darah, Nadi, saturasi oksigen dan keadaan lainnya
sesuai dengan komorbid yang ada.
5. Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan
endoskopi

Dalam melaksanakan tindakan umum ini, terhadap pasien dapat diberikan


terapi:
1. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
2. Pemberian vitamin K
3. Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
4. Terapi lainnya sesuai dengan komorbid

Terhadap pasien yang diduga kuat karena ruptura varises gastroesofageal


dapat diberikan oktreotid bolus 50 g dilanjutkan dengan drip 50 g tiap 4
jam. Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat berhenti sendiri,
tetapi pada 20% dapat berlanjut. Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi
pasien dapat mengalami perdarahan ulang. Oleh karena itu perlu dilakuka
assessmen yang lebih akurat untuk memprediksi perdarahan ulang dan
mortalitas.

Terapi khusus perdarahan variseal


Terapi Farmakologi:
1. Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif.
- Otreotid
- Somatostatin
- Glipressin (Terlipressin)

Terapi Non Farmakologi:

14
1. Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota
2. Terapi endoskopi
- Skleroterapi
- Ligasi
3. Terapi secara radiologik dengan pemasangan TIPS (Transjugular
Intrahepatic Portosystemic Shunting) dan Perkutaneus obliterasi spleno
– porta.
4. Terapi pembedahan
- Shunting
- Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi
- Devaskularisasi + splenektomi
Outcome pasien ruptura varises gastroesofageal sangat bergantung pada
berbagai faktor antara lain:
1. Beratnya penyakit hati (Kriteria Child-Pugh)
2. Ada tidak adanya varises gaster, walaupun disebutkan dapat diatasi
dengan semacam glue(histoakrilat)
3. Komorbid yang lain seperti ensefalopati,koagulopati, hepato renal
sindrom dan infeksi

Terapi khusus Non variseal

Terapi Farmakologi:

1. Terapi medikamentosa
- PPI
- Obat vasoaktif
Terapi Non Farmakologi:
2. Terapi endoskopi
- Injeksi (adrenalin-saline, sklerosan,glue,etanol)
- Termal (koagulasi, heatprobe,laser
- Mekanik (hemoklip,stapler)
3. Terapi bedah

15
Untuk pasien-pasien yang dilakukan terapi non bedah perlu dimonitor akan
kemungkinan perdarahan ulang. Second look endoscopy masih kontroversi.
Realimentasi bergantung pada hasil endoskopi. Pasien-pasien bukan risiko
tinggi dapat diberikan diit segera setelah endoskopi sedangkan pasen dengan
risiko tinggi perlu puasa antara 24-48 jam, kemudian baru diberikan makanan
secara bertahap.

Pencegahan perdarahan ulang variseal


1. Terapi medik dengan betabloker nonselektif
2. Terapi endoskopi dengan skleroterapi atau ligasi

Pencegahan perdarahan ulang non variseal

1. Tukak gaster PPI selama 8-12 minggu dan tukak duodeni PPI 6-8
minggu
2. Bila ada infeksi helicobacter pilory perlu dieradikasi
3. Bila pasien memerlukan NSAID,diganti dulu dengan analgetik dan
kemudian dipilih NSAID selektif(non selektif?) + PPI atau misoprostol

Memulangkan pasien Sebagian besar pasien umumnya pulang pada hari ke 1 –


4 perawatan. Adanya perdarahan ulang atau komorbid sering memperpanjang
masa perawatan. Apabila tidak ada komplikasi, perdarahan telah berhenti dan
hemodinamik stabil serta risiko perdarahan ulang rendah pasien dapat
dipulangkan. Pasien biasanya pulang dalam keadaan anemis, karena itu selain
obat untuk mencegah perdarahan ulang perlu ditambahkan preparat Fe.

H. Komplikasi
1. Syok hipovolemia
2. Aspirasi pneumonia
3. Gagal ginjal akut
4. Anemia karena perdarahan
5. Sindrom hepatorenal
6. Koma hepatikum
(Muttaqin, 2011).

16
I. Prognosis
Pada umumnya penderita dengan perdarahan saluran cerna bagian atas
yang disebabkan pecahnya varises esofagus mempunyai faal hati yang buruk
atau terganggu sehingga setiap perdarahan baik besar maupun kecil
mengakibatkan kegagalan hati yang berat. Banyak faktor yang mempengaruhi
prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hb, tekanan darah selama
perawatan, dan lain-lain. Mengingat tingginya angka kematian dan sukarrnya
dalam menanggulangi perdarahan saluran cerna bagian atas maka perlu
dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif terutama untuk mencegah
terjadinya sirosis hati (Dubey, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Pangestu. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 4. Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007. Hal 289-92

Dubey, S., 2008. Perdarahan Gastrointestinal Atas. Dalam: Greenberg, M.I.,


et al. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Greenberg Vol 1. Jakarta:
Penerbit Erlangga

Edelman, D.A, Sugawa, C, 2007, Upper Gastrointestinal Bleeding: a review,


Surg Endosc, vol. 21, pp. 514-520,
http://misanjuandedios.org/files/20_HGII_A_.pdf

Faradillah, Firman, dan Anita. 2009. Gastro Intestinal Track Anatomical


Aspect. Surakarta : Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.

17
Muttaqin, A. dan Sari, K. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.

Price S. Wilson L. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Ed 6. Vol 1. Jakarta: EGC.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S. 2007. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC

Sjamsuhidajat R, Wim De Jong. 2005. Esofagus dan Diafragma dalam Buku


Ajar Ilmu Bedah, EGC. Jakarta.

Snell, Richard S.2006. Anatomi Klinik ed. 6. Jakarta: EGC

18

Anda mungkin juga menyukai