Anda di halaman 1dari 20

Presentasi Kasus Ortopedi & Traumatologi

SEORANG LAKI-LAKI 31 TAHUN DENGAN CLOSED FRACTURE


SHAFT FEMUR SINISTRA DAN HAIRLINE FRACTURE PATELLA
SINISTRA
Periode : 31 Desember 2017 – 6 Januari 2018

Oleh:
Dessy Rachmawati G99161031
Syayma Karimah G99161096

Pembimbing:
dr. Asep Santoso, Sp.OT. M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSO PROF. DR. R. SOEHARSO
SURAKARTA
2018
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. NT
Umur : 31 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Tuban, Jawa Timur
Tanggal Masuk : 31 Desember 2017
Tanggal Periksa : 2 Januari 2018

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Nyeri paha kiri setelah kecelakaan lalu lintas.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada paha kiri. + 2 hari SMRS
pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Mobil yang ditumpangi pasien
menabrak sebuah pohon setelah sopir membanting setir ke kiri akibat
berpapasan dengan truk dari arah berlawanan. Pasien saat itu duduk di
kursi penumpang depan dekat pintu mobil kiri dari sopir. Setelah kejadian
pasien merasakan nyeri pada paha kiri dan tidak bisa menggerakkan kaki
kirinya. Keluhan pingsan, pusing, mual, muntah dan kejang disangkal.
Pasien dibawa ke puskesmas terdekat oleh penolong dan dilakukan
medikasi luka. Kemudian pasien dibawa ke RSUD DR. R Koesma Tuban
dan diinjeksi RL 20 tpm dan Inj. Ketorolac 30 mg serta dilakukan foto
rontgent. Namun karena keterbatasan fasilitas pelayanan, pasien dirujuk ke
RS Ortopedi Prof. Dr. Soeharso.

2
3. Riwayat Penyakit Dahulu
R. Trauma : disangkal
R. Alergi obat : disangkal
R. Diabetes Mellitus : disangkal
R. Hipertensi : disangkal
R. Mondok : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


R. Alergi obat : disangkal
R. Diabetes Mellitus : disangkal
R. Hipertensi : disangkal

5. Anamnesa Sistemik
Kepala : pusing (-), nyeri kepala (-)
Mata : pandangan kabur (-/-), pandangan dobel (-/-)
Hidung : mimisan (-), hidung tersumbat (-)
Telinga :pendengaran berkurang (-/-), keluar cairan (-/-),
berdenging (-/-)
Mulut ` : mulut kering (-), bibir biru (-), sariawan (-), gusi berdarah
(-), bibir pecah- pecah (-), keluar darah dari mulut (+)
Tenggorokan : nyeri telan (-)
Respirasi : sesak (-), batuk (-), batuk darah (-), mengi (-)
Cardiovascular : nyeri dada (-), kaki bengkak(-), keringat dingin (-), lemas
(-)
Gastrointestinal: mual (-), muntah (-), perut terasa panas (-), kembung (-),
muntah darah (-), BAB warna hitam (-), BAB lendir
darah (-), BAB sulit (-)
Genitourinaria : BAK warna kuning jernih, nyeri saat BAK (-)
Muskuloskeletal: nyeri otot (+), nyeri sendi (-), bengkak sendi (-)
Ekstremitas : Atas : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-), luka

3
(-/-), nyeri (-/-), terasa dingin (-/-), terasa kebal
(-/-), gerakan terbatas (-/-)
Bawah : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/+), luka
(-/-), nyeri (-/+), terasa dingin (-/-), terasa kebal
(-/-), gerakan terbatas (-/+)

C. PEMERIKSAAN FISIK

Primary Survey
1. Airway : bebas
2. Breathing :
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri, spontan,
thoracoabdominal, pernafasan 21 x/menit
Palpasi : Krepitasi (-)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara
tambahan (-/-)
3. Circulation : Tekanan darah : 120/80 mmHg, Nadi 88x/menit
4. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm), lateralisasi (-)
5. Exposure : suhu 36,5 ºC, jejas (+) lihat status lokalis

Secondary Survey
1. Kepala : mesochepal, jejas (-)
2. Mata : hematom periorbita (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-),
oedem (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm),
reflek cahaya (+/+)
3. Telinga : secret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid(-), nyeri Tragus (-)
4. Hidung : bentuk simetris, nafas cuping hidung (-), sekret (-), darah (-)
5. Mulut : gusi berdarah (-), lidah kotor (-), jejas (-), mukosa basah (+),
gigi goyang (-), gigi tanggal (-)

4
6. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan (-
), jejas (-)
7. Thorax : bentuk normochest, pengembangan dada kanan = kiri, retraksi
(-), nyeri tekan (-)
8. Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
9. Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan (-/-), krepitasi (-/-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi: SDV (+ /+), suara tambahan (-/-)
10. Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi: Bising usus (+) normal, 12x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defans muskuler (-)
11. Ekstremitas : nyeri (+) ekstremitas bawah sinistra. Lihat status lokalis.
akral dingin oedem
- - - -
- - - +

Status Lokalis
1. Regio Femoralis Sinistra
Inspeksi : skin intak, bengkak (+), memar (+), deformitas (+)
shortening, exorotation.
Palpasi : NVD (-), nyeri dirasakan dari tengah paha atas
sampai distal cruris.

5
ROM : panggul dan genu terbatas karena nyeri, ankle dan
telapak kaki full.
Foto Klinis

6
D. ASSESSMENT I
1. Suspek CF femur sinistra dd CF subtrochanter femur sinistra dd CF shaft
femur sinistra
2. Suspek fraktur patella

E. PLANNING I
a. Edukasi penyakit, tatalaksana dan prognosis
b. Imobilisasi
c. Inj. Metamizole 1 g/24 jsm
d. Foto rontgen femur dan patella
e. Cek lab darah rutin

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Serial Foto Femur sinistra, patella dan pelvis dari RSUD DR. R Koesma
Tuban (31 Desember 2017)

7
Serial Foto Femur sinistra dan patella dari RS Ortopedi Prof. Dr.
Soeharso (1 Januari 2018)

8
9
Laboratorium Darah (31 Desember 2017)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HematologiRutin
Hemoglobin 13.1 g/dl 13– 17
Hematokrit 40 % 40 - 54
Leukosit 11 ribu/µl 4.0 – 10
Trombosit 185 ribu/µl 150 -500
Eritrosit 4.2 juta/µl 4.40–6.20
GolonganDarah O
Hemostasis
PT 13.4 detik 10 - 14
APPT 33.1 detik 15 - 36
INR 1.08
Kimia Klinik
GDS 116 mg/dl <120
Imunoserologi
HbsAg NR

10
G. ASSESMENT II
CF 1/3 shaft femur sinistra tipe kominutif grade WH IV
Hair line fraktur upper patella sinistra
H. PLAN II
Terapi awal: Imobilisasi dengan traksi beban
Terapi definitif: ORIF

11
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang


femur (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2004) fraktur femur
adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma
langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai
hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa
fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit,
jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi, 2012).
B. Klasifikasi
1. Fraktur Intertrokhanter Femur
Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari femur,
sering terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini
memiliki risiko nekrotik avaskuler yang rendah sehingga prognosanya
baik. Penatalaksanaannya sebaiknya dengan reduksi terbuka dan
pemasangan fiksasi internal. Intervensi konservatif hanya dilakukan
pada penderita yang sangat tua dan tidak dapat dilakukan dengan
anestesi general.
2. Fraktur Subtrokhanter Femur
Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor, diklasifikasikan
menurut Fielding & Magliato sebagai berikut:
- Tipe 1 adalah garis fraktur satu level dengan trokhanter minor
- Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atas
trokhanter minor
- Tipe 3 adalah 2-3 inci dari batas atas trokhanter minor.
Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka dengan fiksasi
internal dan tertutup dengan pemasangan traksi tulang selama 6-7
minggu kemudian dilanjutkan dengan hip gips selam tujuh minggu
yang merupakan alternatif pada pasien dengan usia muda.

12
3. Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung,
secara klinis dibagi menjadi fraktur terbuka yang disertai dengan
kerusakan jaringan lunak, risiko infeksi dan perdarahan dengan
penatalaksanaan berupa debridement, terapi antibiotika serta fiksasi
internal maupun ekternal. Sedangkan, fraktur tertutup dengan
penatalaksanaan konservatif berupa pemasangan skin traksi serta
operatif dengan pemasangan plate-screw.
4. Fraktur Suprakondiler Femur
Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan
tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan
disertai gaya rotasi. Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi
berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut
Pearson, cast-bracing dan spika pinggul serta operatif pada kasus
yang gagal konservatif dan fraktur terbuka dengan pemasangan
nail-phroc dare screw.
5. Fraktur Kondiler Femur
Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi dari
gaya hiperabduksi dan adduksi disertai denga tekanan pada sumbu
femur ke atas. Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi
tulang selama 4-6 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan
penggunaan gips minispika sampai union sedangkan reduksi
terbuka sebagai alternatif apabila konservatif gagal. (Mansjoer,
2000)
C. KlasifikasiFrakturBatang Femur
Menurut sistem Winquist dan Hansen, pola fraktur dibagi menjadi
lima grade (grade 0 – IV) berdasar persentase kontak antar fragmen.
(Bucholz, 2010)

13
D. Proses PenyembuhanFraktur
Fraktur akan menyatu baik di bebat atau tidak, tanpa suatu mekanisme alami
untuk menyatu. Namun tidak benar bila dianggap bahwa penyatuan akan terjadi
jika suatu fraktur dibiarkan tetap bergerak bebas. Sebagian besar fraktur dibebat,
tidak untuk memastikan penyatuan, tetapi untuk meringankan nyeri, memastikan
bahwa penyatuan terjadi pada posisi yang baik dan untuk melakukan gerakan
lebih awal dan mengembalikan fungsi (Smeltzer & Bare, 2002). Proses
penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang terkena dan
jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan dimulai dengan lima tahap, yaitu
sebagai berikut
1. Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3 hari)
Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk
hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur,
yang tidak mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau dua
milimeter. Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel

14
jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi
jaringan fibrosis dengan kapiler di dalamnya (Black & Hawks, 2001).
2. Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari–2 minggu)
Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai
proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang
tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel yang
menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan
diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah
tersebut (Black & Hawks, 2006; Sjamsuhidajat dkk, 2011). c) Tahap
pembentukan kalus (2-6 minggu) Sel yang berkembangbiak memiliki
potensi kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel
itu akan mulai membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan, juga
kartilago. Populasi sel juga mencakup osteoklas yang mulai membersihkan
tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang yang
imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan
periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur menjadi
lebih padat, gerakan pada tempat fraktur semakin berkurang pada empat
minggu setelah fraktur menyatu (Black & Hawks, 2006; Sjamsuhidajat,
2004).
3. Osifikasi (3 minggu-6 bulan)
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahan–
lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas
yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara
bertahap. Pembentukan kalus dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah
tulang melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus
ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu (Black & Hawks, 2006;
Smeltzer & Bare, 2002).
4. Konsolidasi (6-8 bulan)
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa yang imatur
berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk
memungkinkan osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis

15
fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang
tersisa antara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang
lambat dan mungkin perlu sebelum tulang cukup kuat untuk membawa
beban yang normal (Black & Hawks, 2006; Sjamsuhidajat, 2004).
5. Remodeling (6-12 bulan)
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk
ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang akan memperoleh
bentuk yang mirip bentuk normalnya (Black & Hawks, 2006;
Sjamsuhidajat, 2004; Smeltzer & Bare, 2002).
E. Komplikasi
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa
jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan
sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent
jika tidak ditangani segera.
Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:
1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis,
dan vertebra karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka
dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat
trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis (Mansjoer, 2000).

2. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera
remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-
30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam
darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan
memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam

16
aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk
emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok
otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat,
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera
gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia
(Mansjoer, 2000).
3. Sindrom kompartemen (Volkmann’s Ischemia)
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam
kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra
kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan
tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi
jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf
dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot
individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen
ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut
nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di
anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama
mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas (Helmi, 2012).
4. Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia
tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini
sering dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid,
os. Lunatum, dan os. Talus (Mansjoer, 2000).
5. Atrofi otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran
normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu
selsel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada
pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse)
sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot
(Mansjoer, 2000).

17
F. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat, 2004).
1. Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada
fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus
selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti
dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila
direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini
dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur
(Nayagam, 2010). Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan
pemasangan fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang
pada fraktur kolum femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan
meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara
operatif pada kolum femur (Nayagam, 2010). Reposisi diikuti dengan
imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF) dilakukan untuk fiksasi fragmen
patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen
tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh dengan batangan logam
di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur
dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka),
dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi,
atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi
yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak
untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera multiple yang berat,
fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan
cedera kepala, fraktur dengan infeksi (Nayagam, 2010). Reposisi secara
operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi
interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan
bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum

18
tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan tulang.
Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi
sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi
tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan
imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa
di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung
terjadi displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan
yang buruk dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur
multiple dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur
pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri)
(Sjamsuhidajat, 2004).
2. Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi,
tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen.
Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi
yang penting. Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot
dan kakunya sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin (Nayagam, 2010).
3. Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota yang
cedera atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti
sebelum mengalami gangguan atau cedera (Smeltzer & Bare, 2002).

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Arif, Mansjoer, et al. 2000.Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3,


Jakarta:FKUIMedica Aesculpalus
2. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2,
Jakarta: EGC
3. Smelthzer, Suzanne C.Bare,Brenda G. 2002.Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner and Suddart, Edisi 8, Jakarta: EGC
4. Helmi, Noor Zairin. 2012 Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal, jilid
1, Jakarta:Salemba Medika
5. Black, JM, Hawks JH. 2006.Medical Surgical Nursing, Clinical
Management for Positive Outcomes 8th Edition, Philadelpia: WB.
Saunders Company
6. Nayagam, Selvadurai. 2010. Apley’s System of Orthopedic and
Fracture; 9th ed. London: Hodder Arnold.
7. Bucholz FW. HeckmanJD, Court-Brown. CM. Tornetta P. 2010.
Rockwood and Green’s Fracture in Adults.7ed. USA: Lippincot
William and Wilkins.

20

Anda mungkin juga menyukai