Disusun oleh :
Kartika Kencana Putri G4A016090
2017
1
LEMBAR PENGESAHAN
DISKUSI KASUS
Disusun oleh :
Kartika Kencana Putri G4A016090
2
I. PENDAHULUAN
3
II. PRESENTASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R.
Umur : 36 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Status : Menikah
Alamat : Jintung RT 02/01 Ayah Kebumen
Tanggal masuk RSMS : 1 November 2017
Tanggal periksa : 7 November 2017
Ruang Rawat : Asoka
No. CM : 02027779
II. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : demam
2. Keluhan tambahan : badan menggigil, lemas, keringat dingin, batuk,
sesak nafas
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poliklinik paru Rumah Sakit Margono Soekarjo
pada tanggal 1 November 2017 dengan keluhan demam. Keluhan demam
dirasakan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien
merasa demam yang terjadi tidak terlalu tinggi, namun lama-lama demam
menjadi semakin tinggi hingga membuat pasien menggigil. Pasien
mengaku demam dirasakan sepanjang hari dari pagi hingga malam. Dalam
satu hari biasanya demam dirasakan naik turun namun tidak pernah
mencapai suhu normal. Demam dirasakan membaik jika pasien meminum
obat penurun panas namun demam dirasakan memburuk jika pasien tidak
meminum obat tersebut. Selain itu pasien juga mengeluh badannya terasa
lemas dan keluar keringat dingin. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk
berdahak sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dan sesak nafas jika
melakukan aktivitas berlebih.
Pasien mengaku sempat berobat ke RS Purwoganda dan
didiagnosis demam typhoid. Kemudian pasien dirujuk ke RS PKU
Muhammadiyah Gombong dan dilakukan foto thorax. Hasil foto thorax
menunjukkan adanya gambaran TB milier pulmo, sehingga pasien diberi
4
Obat Anti Tuberculosis dari RS PKU Muhammadiyah Gombong pada
tanggal 23 Oktober 2017. Pasien sudah meminum OAT tersebut selama 1
minggu namun tidak ada perubahan yang terjadi. Pasien tetap merasa
demam, badan menggigil, lemas, batuk-batuk, dan sesak nafas. Selain itu
pasien juga mengaku nafsu makannya semakin menurun karena perutnya
terasa kembung. Pasien merasakan adanya penurunan berat badan yang
drastis kurang lebih 8 kg, sehingga pada tanggal 1 November 2017 pasien
datang sendiri ke poliklinik paru RSMS.
5
Pasien adalah seorang pedagang kelontong di pasar. Pasien
mengaku bahwa rekan kerjanya ada yang menderita penyakit TB.
d. Personal habit
Pasien mengaku bahwa pola makannya sehari-hari tidak
teratur. Pasien adalah seorang perokok sejak kurang lebih 15 tahun
yang lalu, merokok kira-kira 6 batang/hari.
6
a) Trakhea : deviasi trakhea (-)
b) Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
c) Kelenjar thyroid : tidak membesar
d) JVP : 5+2 cmH2O
7) Dada
a. Paru
a) Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan
gerak (-), retraksi (-), jejas (-)
b) Palpasi : vocal fremitus
Apex dextra = sinistra
Basal dextra = sinistra
Tidak ada ketinggalan gerak
c) Perkusi : suara sonor pada lapang paru kiri
dan kanan
d) Auskultasi : suara dasar vesikuler pada apex dan basal
paru +/menurun. Suara tambahan rhonki basah kasar (-/-)
ronkhi basah halus (-/-) Wheezing (-/-)
b. Jantung
a) Inspeksi : IC tampak pada SIC V LMCS
b) Palpasi : IC teraba di SIC V, 2 jari medial
LMCS, tidak kuat angkat
c) Perkusi
Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V 2 jari medial
LMCS
d) Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : tympani, tes pekak sisi (-), pekak beralih (-)
- Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
9) Ekstremitas
- Superior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)
- Inferior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium
7
1. Hematologi tanggal 1 November 2017
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Darah Lengkap
Hb 11,5 gr/dl 11.2 – 17.3
Leukosit 8600 U/L 3.800 – 10.600
Hematokrit 34 % (L) 40 – 52
Eritrosit 4.3 106/UL (L) 4.4 – 5.4
Trombosit 424.000 /uL 150.000 – 440.000
Kimia Klinik
SGOT 288 U/L 15-37
SGPT 330 U/L 16-63
GDS 108 mg/dL < 200
Ureum 35.4 mg/dL 14.98-38.52
Kreatinin 0.97 mg/dL 0.70-1.30
Albumin 2.58 g/dL (L) 3.40 – 5.00
Bilirubin total 1.3 mg/dL (H) 0.20 – 1.00
Bilirubin direk 0.73 mg/dL (H) 0.00 – 0.20
Bilirubin indirek 0.57 mg/dL 0.00 – 1.00
Asam urat 11.3 mg/dL (H) 3.5 – 7.2
8
BTA II Negatif
Epitel Positif
Leukosit Positif
Jamur Positif
B. Rontgen Thoraks
9
V. DIAGNOSIS KERJA
Tuberkulosis Paru Milier, TCM (-), Lesi Luas Kasus Baru
Drug Induced Hepatitis e.c. OAT
Hiperurisemia
Hipoalbumin
VI. PENATALAKSANAAN
A. Medikamentosa:
IVFD D5% / 8 jam
Aminofluid 1x/hari
OAT stop
Inj. Ceftazidim 2x1 gram (skin test)
Inj. Streptomisin 1x750 mg IM
Inj. Omeprazole 2x1 amp
Po Etambutol 500mg 1xII
Po Curcuma 3x1 tab
Po Sucralfat syr 3X1 C
Po Paracetamol 3x500 mg (k/p)
Po Largactil 1x25 mg (k/p)
Po Azitromicin 1x500 mg (5 hari)
VIP Albumin 3xII
B. Non-medikamentosa
o Bed rest
o Diet TKTP
o Edukasi tentang penyakit saat ini, penularan, pengobatan, efek samping
obat, serta komplikasi penyakit.
o Skrining anggota keluarga untuk tindakan pencegahan dan pengobatan
dini jika tertular
10
o Monitoring :
- Keadaan umum dan kesadaran
- Tanda vital
- Evaluasi klinis
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu sampai akhir bulan kedua
pengobatan, selanjutnya tiap 1 bulan mulai bulan ketiga.
2. Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping
obat serta ada tidaknya komplikasi
3. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan
fisik
- Evaluasi bakteriologis
1) Cek sputum BTA 1 minggu sebelum akhir bulan kelima.
2) Cek sputum pada akhir pengobatan
- Evaluasi radiologi
1) Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
2) Pada akhir pengobatan
- Evaluasi efek samping
1) Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
2) Periksa fungsi ginjal (ureum, kreatinin, asam urat)
3) Periksa GDS, GD2PP
4) Pemeriksaan visus
- Evaluasi keteraturan obat
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanamtionam : Dubia ad bonam
VIII. FOLLOW UP
Tanggal S-O A P
6/11/2017 S : demam TB Paru Milier - IVFD D5% / 8 jam
menggigil, DIH e.c. OAT - Aminofluid 1x/hari
keringat dingin, Hiperurisemia - Inj. Ceftazidine 2x1 G
lemas, kadang Hipoalbumin - OAT stop
sesak, batuk - Inj. SNMC 1 amp/hari
berkurang - Inj. Omeprazole 2x1
O: amp
TD : 100/70 - Inj. Streptomisin
N : 98 x/m 1x750mg IM
11
RR : 21 x/m - Po Etambutol 500mg
S : 37,2 C 1xII
SpO2 : 97 - Po Curcuma 3x1 tab
- Po Sucralfat syr 3x1C
- Po largactil 1x25 mg
(k/p)
- Po Alupurinol 1x300
mg
- Po paracetamol 3x500
mg (k/p)
- Po Azitromicin 1x500
mg (5 hari, hari ke 1)
12
8/11/2017 S : demam TB Paru Milier - IVFD D5% / 8 jam
menggigil, DIH e.c. OAT - Aminofluid 1x/hari
keringat dingin, Hiperurisemia - Inj. Ceftazidine 2x1 G
lemas, pusing, Hipoalbumin - Inj. Streptomisin
kadang sesak 1x750mg IM
jika jalan jauh - Po Etambutol 500mg
O: 1xII
TD : 90/60 - Po omeprazole 2x1
N : 58 x/m tab
RR : 20 x/m - Po Curcuma 3x1 tab
S : 36,7 C - Po Sucralfat syr 3x1C
SpO2 : 97 - Po largactil 1x25 mg
(k/p)
- Po paracetamol 3x500
mg (k/p)
- Po Azitromicin 1x500
mg (5 hari, hari ke 3)
- VIP Albumin 3xII
13
III. PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien terdiagnosis sebagai tuberkulosis paru milier, drug
induced hepatitis e.c. OAT, hiperurisemia, dan hipoalbumin. Pengobatan OAT
yang sebelumnya sudah diberikan sementara dihentikan karena pasien
menunjukan efek samping yang berlebih terhadap obat.
Menurut PDPI (2006), pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase
yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang
digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Jenis obat utama (lini 1)
yang digunakan adalah INH, rifampisin, pirazinamid, streptomisin dan etambutol.
Sedangkan jenis obat tambahan yang digunakan adalah kanamisin, amikasin dan
kuinolon.
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien tuberkulosis
BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Kemudian pada tahap
lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Pada kasus ini, pasien diketahui telah mengkonsumsi OAT selama kurang
lebih 1 minggu namun tidak ada perubahan yang terjadi. Pasien tetap merasa
demam, badan menggigil, lemas, batuk-batuk, dan sesak nafas. Selain itu pasien
juga mengaku nafsu makannya semakin menurun karena merasa perutnya
kembung. Pasien merasakan adanya penurunan berat badan yang drastis kurang
lebih 8 kg. Pasien dicurigai mengalami reaksi efek samping berlebih terhadap
OAT yaitu berupa kerusakan hati.
Kerusakan hati disebabkan oleh sebagian besar obat lini pertama dan hal
ini tidak hanya menjadi sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan
dan perawatan TB tetapi juga menimbulkam kesulitan dalam memulai
pengobatan. Regimen pengobatan untuk TB Nasional yang direkomendasikan
yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Etambutol (E), pirazinamid (P) dan
Streptomisin (S). (Kishore, dkk, 2010)
14
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/
streptomisin (S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik). Faktor risiko
hepatotoksisitas: Faktor Klinis (usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk,
alcohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi tinggi di negara
berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan
status asetilatornya) dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC
dengan HCV atau HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan
secara meyakinkan adanya keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada
berbagai populasi dan keterkaitan variasi gen NRAMPI dengan kerentanan
terhadap tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)
Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait
mirip dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas
dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik
seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase
mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut. (Kishore, dkk, 2010).
Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan
memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat
dijadikan acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang
dijangkiti akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera
makan, muntah-muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang
berwarna hitam pekat.
Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine
transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak
terdapat peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis.
Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa
penulis menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT
meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain
merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan
berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas.
(Kishore, dkk, 2010)
A. Isoniazid (INH)
Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki
disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan
15
sementara serum AST, ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien,
kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif dan
menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH
bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan apabila AST
meningkat menjadi lebih dari 5 kali nilai normal.
Sebuah penelitian prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang
menerima terapi pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat terjangkit
hepatitis lebih rendah. Sebanyak 11 dari mereka (0,10% dari mereka yang
memulai, dan 0,15% dari mereka yang menyelesaikan terapi) terjangkit
hepatitis. Dilaporkan juga dari bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh
Pusat Transplantasi Hati di New York dan Pennsylvania bahwa terkait
hubungan antara pasien hepatitis dengan terapi INH. Terdapat 8 pasien
yang sedang menjalankan monoterapi INH dg dosis biasa 300 mg per hari
(untuk mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas jarang terjadi
pada anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis retrospektif,
kejadian hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima INH (10 miligram
per kilogram per hari (mg / kg / hari) dan dosis maksimum 300 mg / hari)
untuk profilaksis pada pengobatan TB adalah 0,18% . Namun demikian,
kejadian hepatotoksisitas pada anak-anak yang menerima INH dan
rifampisin untuk TB adalah 3,3% di lain Studi retrospektif (14 dari 430
anak-anak). (Kishore, dkk, 2010)
2. Rifampisin
Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum
pada tahap awal terapi. Bhakan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka dengan penyakit hati yang
sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa dokter untuk mengubah
pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati. Rifampicin
menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya dalam 8
minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari 1% dari
pasien menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas.
Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima rifampisin dilaporkan
meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden
16
hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang
menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan
diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan
bahwa rejimen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis.
(Kishore, dkk, 2010)
3. Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap
saat selama terapi. Di Centre Disease Control (CDC) Update, 48 kasus
hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen 2
bulan Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37
pasien pulih dan 11 meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang
dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan terapi. (Kishore, dkk,
2010)
4. Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan
TB. Tes fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien
yang menggunakan etambutol yang dikombinasi dengan OAT lainnya
yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)
5. Streptomisin
Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yang dilaporkan. (Kishore, dkk,
2010)
III. KESIMPULAN
17
2. Tujuan pengobatan TB adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan
mencegah terjadinya resisitensi kuman
3. Beberapa pasien dapat mengalami efek samping akibat OAT yang
bermanifestasi di hepar.
4. Hal-hal yang perlu dievaluasi selama pengobatan yaitu keadaan klinis,
sputum, foto radilogi, efek samping obat dan keteraturan minum obat.
5. Keberhasilan pengobatan TB berdasarkan kepatuhan minum obat dan
penyakit yang menyertai.
DAFTAR PUSTAKA
Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. 2010. Drug
Induced Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and
Difficulties in Treatment. Kathmandu University Medical Journal. Vol. 5,
No. 2, Issue 18, 256-260
18