Tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini bersifat obligat
anaerob, berbentuk batang Gram positif. Dapat membentuk spora yang terdapat di
terminal sehingga menghasilkan drum-stick appearance pada pewarnaan spora
maupun pewarnaan gram. Spora dapat ditemukan di tanah, debu, garam, air, atau
feses. Sedangkan bentuk vegetatif beserta spora terdapat di feses binatang, cavum
oris mamalia, dan manusia.
Patogenesis
Bentuk vegetatif C. tetani gampang mati akibat paparan oksigen, akan tetapi spora
dapat bertahan di berbagai kondisi dan memungkinkan transmisi bakteri. Spora dapat
bertahan dari perubahan pH maupun suhu, bahkan dapat bertahan selama
autoclaving beberapa menit. Begitu spora masuk ke dalam jaringan, spora akan
berubah menjadi bentuk vegetatif. Tetanus neonatorum terjadi karena perawatan tali
pusar yang tidak baik. Penggunaan alat yang tidak steril sewaktu pemotongan tali
pusar menyebabkan tetanus pada neonates. Sedangkan infeksi pada anak-anak dan
dewasa disebabkan oleh laserasi atau luka yang terkontaminasi bakteri maupun
sporanya. Otitis media, caries dentis juga penting dalam infeksi tetanus pada anak-
anak.
Clostridium tetani menghasilkan dua jenis toxin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin.
Tetanolysin merupakan suatu hemolisin dan bersifat oxygen labile (mudah diinaktivasi
oleh oksigen), sedangkan tetanospasmin merupakan suatu neurotoxin yang bersifat
heat labile (tidak tahan panas). Tetanolysin merupakan suatu toxin yang dikode oleh
plasmid. Toxin ini secara serologis mirip dengan Streptolysin O (Streptococcus
pyogenes) dan hemolysin yang dihasilkan oleh Clostridium perfringens dan Listeria
monocytogenes. Kepentingan klinis dari toxin ini tidak diketahui karena sifatnya yang
mudah dihambat oleh oksigen dan serum kolesterol.
Tetanospasmin adalah toxin yang berperan dalam manifestasi klinis dari tetanus.
Begitu toxin ini terikat dengan saraf, toxin tidak dapat dieliminasi. Penyebaran
tetanospasmin dapat melalui hematogen ataupun limfogen yang kemudian mencapai
targetnya di ujung saraf motorik. Toxin ini memiliki 2 subunit dan 3 domain, subunit A
(light chain) dan subunit B (heavy chain). Begitu toxin disekresikan, suatu protease
endogen akan memecah tetanospasmin mejadi 2 subunit. Reseptor untuk toxin ini
adalah gangliosida pada neuron motoris. Domain pengikat karbohidrat (Carbohydrate-
binding Domain) pada ujung carboxy-terminal subunit B berikatan dengan reseptor
asam sialat yang spesifik dan glikoprotein pada permukaan sel saraf motoric.
Kemudian toxin akan diinternalisasi oleh vesikel endosome. Asidifikasi endosome
akan menyebabkan perubahan konformasi ujung N-terminus subunit B, kemudian
terjadi insersi subunit B kedalam membrane endosome, sehingga memungkinkan
subunit A keluar menembus membrane endosome menju ke sitosol. Toxin mengalami
retrograde axonal transport dari perifer kemudian menu saraf presinaps, tempat toxin
tersebut bekerja. Subunit A merupaan suatu zinc-dependent metalloprotease yang
memecah vesicle-associated membrane protein-2, VAMP-2 (atau sinaptobrevin).
Protein ini merupakan komponen utama SNARE-complex yang berperan dalam
endositosis dan pelepasan neurotransmitter. Toxin ini menghambat pelepasan
inhibitory neurotransmitter, yaitu glycine dan GABA (gamma-amino butyric acid).
Sehingga aktifitas motor neuron menjadi tidak terinhibisi dan memberikan gambaran
kekakuan otot, spasme dan paralisis spastik. Proses ini terjadi di semua sinaps,
termasuk neuromuscular junction (NMJ). Otot-otot yang memiliki jaras persarafan
(neuronal pathways) terpendek akan terkena lebih dahulu, seperti otot-otot mastikasi.
Sehingga pada awal gejala timbul trismus (kaku rahang) dan disfagia.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari tetanus disebabkan oleh kerja toxin tetanus di dalam susunan
saraf pusat. Hambatan inhibisi motor neuron mengakibatkan peningkatan tonus otot
dan spasme otot skelet. Terdapat suatu periode asimtomatik setelah inokulasi
bakteri C. tetani, yang dinamakan periode inkubasi. Periode ini biasanya berlangsung
7-10 hari. Kemudian muncul gejala berupa spasme otot, periode ini disebut periode
onset yang berkembang selama kira-kira 24-72 jam. Gejala awal yang tampak berupa
trismus (kaku rahang), kaku otot, dan myalgia. Terkadang spasme otot terjadi hanya
di daerah sekitar luka (tetanus lokalisata) tetapi biasanya terjadi di seluruh tubuh
(tetanus generalisata). Spasme terjadi karena amplifikasi dari tonus otot yang
bervariasi intensitas dan durasinya akibat stmulasi motoric yang tidak terinhibisi.
Spasme dapat muncul akibat stimuli sederhana seperti suara keras, cahaya yang
terang, ataupun manipulasi fisik. Spasme otot-otot wajah menimbulkan gambaran
risus sardonicus, dan keterlibatan otot-otot punggung dan leher menimbulkan
gambaran opisthotonus. Pada kasus yang parah spasme dapat menyerang otot-otot
pernapasan sehingga menyebabkan kematian oleh karena asfiksia. Spasme otot-otot
laryng yang melibatkan vocal cord juga dapat menyebabkan obstruksi jalan napas.
Diagnosis
Keluhan
Pasien datang dengan manifestasi klinis tetanus yang dapat bervariasi dari kekakuan
otot setempat, trismus, sampai kejang yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri
atas 4 macam yaitu:
1. Tetanus lokal
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar
atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.
2. Tetanus sefalik
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan
oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia,
rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang
menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
3. Tetanus umum/generalisata
Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan
dada dan perut (opistotonus), rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang
dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran
yang tetap baik.
4. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, Gejala yang
sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable, diikuti oleh
kekakuan dan spasme.
Faktor resiko : riwayat imunisasi yang buruk (belum pernah mendapat imunisasi tetanus),
melahirkan dengan alat-alat yang tidak steril.
Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat.
Diagnosis Klinis
1. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang
2. Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat keparahan
3. Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari
4. Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam
5. Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100ºF ( > 400 C), atau aksila 99ºF ( 37,6 ºC).
Grading
1. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak ada
kematian)
2. Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2. Biasanya masa
inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam (kematian 10%)
3. Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari 7 hari
atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%)
4. Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%)
5. Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus neonatorum
(kematian 84%).
1. Grade 1 (ringan) Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada penyulit
pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.
2. Grade 2 (sedang) Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang
namun singkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu
3. Grade 3 (berat) Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dan sering,
serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan yang sering dan terjadi
refleks, penyulit pernafasan disertai dengan takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf
otonom sedang yang terus meningkat.
4. Grade 4 (sangat berat) Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat,
sering kali menyebabkan “autonomic storm”.
Diagnosis banding
Komplikasi
a. Saluran pernapasan
Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret,
pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
b. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardia, hipertensi,
vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada tulang
dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang yang terus-menerus terutama pada
anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans
sirkumskripta.
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja, panas
yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat
pengatur suhu.
Tata laksana
c. TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun jika riwayat imunisasi
tidak diketahui, TT dapat diberikan. d. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun
yang lalu, maka tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor
penentu pemberian TIg
1. Eradikasi kuman
f. Interval
UG < 30 minggu
<28 hari tiap 12 jam
>28 hari tiap 8 jam
UG > 30 minggu
< 14 hari tiap 12 jam
> 14 hari tiap 8 jam
2. Netralisasi toksin
a. ATS 50.000 – 100.000 IU, setengah dosis IM, setengahnya IV, dilakukan uji kulit lebih
dahulu.
4. Terapi suportif
a. Pemberian oksigen
5. Imunisasi
Diberikan imunisasi Tetanus Toksoid sesuai dengan jadwal imunisasi diberikan pada saat
penderita pulang.
Sebelum memasukkan ATS ke tubuh pasien, harus dilakukan uji sensitivitas terlebih dahulu.
Terdapat dua cara untuk melakukan uji sensitivitas, dengan tes kulit dan tes mata.
a. Tes kulit. Sering dilakukan (lebih disukai dari pada tes mata).
Caranya yaitu 0,1 cc serum diencerkan dengan akuades atau cairan NaC1 0,9 % menjadi 1
cc. Suntikkan 0,1 cc dari larutan yang telah diencerkan pada lengan bawah sebelah voler secara
intrakutan, tunggu selama 15 menit. Reaksi positif (penderita hipersensitif terhadap serum)
bila terjadi infiltrat / indurasi dengan diameter lebih besar dari 10 mm (1 cm), yang dapat
disertai rasa panas dan gatal.
b. Tes mata.
Caranya yaitu dengan meneteskan 1 tetes cairan serum pada mata, kemudian ditunggu selama
15 menit. Reaksi positif bila mata merah dan bengkak.
Bila hasil uji sensitivitas positif, maka pemberian ATS harus dilakukan dengan cara Bedreska
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. 0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 % disuntikkan secara subkutan, ditunggu
selama 30 menit.
2. Kemudian suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5 cc akuades atau NaC1 0,9 %
secara subkutan, tunggulah 30 menit. Perhatikan reaksi. Bila tampak tanda –
tanda hipersensitivitas, hentikan pemberian, dan berikan antihistamin serta
kortikosteroid. Rawat penderita sesuai keadaannya.
3. Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa serum dapat disuntikkan secara
intramuscular.
Pencegahan
Pecegahan tetanus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi DPT. Imunisasi DPT juga
termasuk komitmen global dalam rangka eliminasi tetanus. Imunisasi DPT diberikan 3 kali
secara serial sebagai imunisasi dasar pada usia 2, 4, dan 6 bulan, dilanjutkan dengan imunisasi
ulangan 1 kali (interval 1 tahun setelah DPT3). Pada usia 5 tahun, diberikan ulangan lagi
(sebelum masuk sekolah) dan pada usia 12 tahun berupa imunisasi Td. Pada wanita, imunisasi
TT perlu diberikan 1 kali sebelum menikah dan 1 kali pada ibu hamil, yang bertujuan untuk
mencegah tetanus neonatorum.
Apabila imunisasi DPT terlambat diberikan, berapa pun interval keterlambatannya, jangan
mengulang dari awal, tetapi lanjutkan imunisasi sesuai jadwal. Bila anak belum pernah
diimunisasi dasar pada usia <12 bulan, lakukan imunisasi sesuai imunisasi dasar baik jumlah
maupun intervalnya. Bila pemberian DPT ke-4 sebelum usia 4 tahun, pemberian ke-5 paling
cepat diberikan 6 bulan sesudahnya. Bila pemberian ke-4 setelah umur 4 tahun, pemberian ke-
5 tidak diperlukan lagi.
Referensi :
1. Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White NJ. 2014. Manson’s Tropical
Diseases, Twenty-Third Edition. Elsevier, Philadelphia.
2. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. 2013. Medical Microbiology, Seventh Edition.
Elsevier, Philadelphia.
3. Brooks GF, Caroll KC, Butel JS, Morse, SA, Mietzner, TA. 2013. Jawetz, Melnick
&Adelberg’s Medical Microbiology International Edition, Twenty Sixth. ed. McGraw-
Hill Companies, New York.
4. Dirjen Bina Upaya Kesehatan. Kemenkes RI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, Edisi Revisi. 2014.