Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Telinga merupakan salah satu pancaindra yang berfungsi sebagai alat

pendengaran dan keseimbangan yang letaknya berada di lateral kepala. Masing-masing

telinga terdiri dari tiga bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam (Wibowo

dan Paryana, 2007).

Telinga luar (auris externa) terletak pada pars tympanica ossis temporalis dan

pada bagian belakang berbatasan dengan processus mastoideus. Telinga luar terdiri dari

daun telinga (auricula/pinna) dan liang telinga (meatus acusticus externus) sampai

membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga

berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,sedangkan dua

pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang sejati. Panjangnya liang telinga

mencapai 2.5-3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar

serumen dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh liang telinga. Pada dua

pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen (Emanuel dan Letowski,

2009; Wibowo dan Paryana, 2007).

Telinga luar berperan dalam fungsi pendengaran dan proteksi indra pendengaran.

Fungsi pendengaran oleh telinga luar yaitu mengumpulkan gelombang suara dan

menghantarkannya menuju telinga tengah. Fungsi telinga luar dalam perambatan suara

tergantung dari intensitas, frekuensi, arah, dan ada atau tidaknya hambatan dalam

perambatan suara menuju gendang telinga. Sedangkan fungsi proteksinya yaitu


melindungi telinga tengah dengan menahan atau mencegah benda asing yang masuk ke

dalam telinga baik secara anatomis, proteksi mekanik dengan rambut yang tumbuh pada

satu per tiga luar liang telinga, dan proteksi biologis dengan memproduksi serumen yang

menstabilkan gelombang suara dari lingkungan yang masuk ke telinga tengah, serta

menjaga telinga tengah dari aliran udara serta trauma fisik (Emanuel dan Letowski,

2009).

Otitis Eksterna (OE) adalah suatu peradangan pada liang telinga luar, baik akut

maupun kronis, yang biasanya dihubungkan dengan infeksi sekunder oleh bakteri dan

atau jamur dengan gambaran umum berupa maserasi kulit dan jaringan subkutan, yang

dapat terlokalisir ataupun difus. Otitis eksterna terbagi menjadi otitis eksterna

superfisialis dan otitis eksterna profunda atau Otitis Eksterna Akut (OEA). Otitis eksterna

profunda merupakan jenis otitis yang paling sering ditemukan pada instalasi rawat jalan

(Adam dan Boies, 1997; Amri et al, 2013).

Penyakit ini sering dijumpai pada daerah beriklim panas dan lembab dan lebih

jarang ditemukan pada daerah beriklim sejuk dan kering. Dari beberapa penelitian,

disebutkan bahwa terjadinya otitis eksterna juga banyak ditemukan pada perenang yang

bahkan lebih rentan mengalami rekurensi. Disebutkan pula bahwa faktor yang penting

sebagai penyebab terjadinya otitis eksterna adalah keadaan panas, lembab, dan trauma

terhadap sel epitel liang telinga bagian luar. Penelitian lainnya mengatakan bahwa

pemaparan terhadap air dan penggunaan lidi kapas dapat menyebabkan terjadinya otitis

eksterna baik akut maupun kronis (Adam dan Boies, 1997; Amri et al, 2013).

Kebiasaan berenang diketahui dapat menjadi faktor pencetus bahkan pemberat

pada penyakit otitis eksterna. Kebiasaan berenang masih sangat sering ditemukan di
masyarakat, baik pada atlit, hingga pelancong. Bahkan, kebiasaan berenang umumnya

diakomodasi oleh pusat kunjungan turis/resort dengan berbagai bentuk hiburan untuk

aktivitas berenang seperti kolam renang, atau pantai (Milodar et al, 2012).

Kebiasaan berenang selain dapat meningkatkan kelembaban telinga bagian luar

akibat paparan air yang meningkatkan potensi infeksi yang tinggi, juga dapat

menimbulkan trauma akibat paparan halogen dan/atau klorin konsentrasi tinggi pada

individu yang berenang di kolam renang, dimana penggunaan kedua zat kimia ini

ditujukan untuk proses disinfeksi kolam renang. Berenang dalam air yang tidak

disterilisasi/disinfeksi seperti air laut maupun sungai juga berisiko mencetuskan infeksi

pada lingkungan telinga luar. Dalam hasil kultur patogen pada pasien dengan kebiasaan

berenang yang mengalami otitis eksterna, bakteri yang paling sering ditemukan adalah

Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus epidermidis, bakteri gram negatif, dan jamur

(Milodar et al, 2012).

Secara umum, angka epidemiologi otitis eksterna di Indonesia belum diketahui,

namun diketahui bahwa insidensinya meningkat di negara-negara tropis, dan terutama

meningkat pada individu dengan kebiasaan berenang (Amri et al, 2013; Milodar et al,

2012).

Dalam perspektif Islam, diketahui bahwa menjaga kesehatan dengan olahraga

merupakan tindakan yang disarankan, mengingat olahraga merupakan tindakan yang

dicontohkan dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW, selama kegiatan olahraga yang

dimaksud tidak dilaksanakan dengan melanggar batasan-batasan syariat agama Islam

(Umar, 2012). Namun di sisi lain, kebiasaan berenang dapat berisiko menimbulkan
penyakit-penyakit tertentu diantaranya otitis eksterna, yang dapat menurunkan kualitas

hidup dan bahkan menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan kesehatan.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membahas lebih jauh

terkait tentang kebiasaan berenang sebagai faktor risiko terjadinya otitis eksterna ditinjau

dari segi kedokteran dan Islam.

1.2. Permasalahan

1. Bagaimana anatomi dan histologi telinga luar?

2. Apa definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, serta tatalaksana otitis eksterna?

3. Bagaimana mekanisme terjadinya otitis eksterna akibat kebiasaan berenang?

4. Bagaimana pandangan Islam terhadap kebiasaan berenang sebagai faktor risiko

terjadinya otitis eksterna?

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum.

Menambahkan pengetahuan ilmiah dan pengetahuan agama serta memperluas

informasi kepada masyarakat tentang kebiasaan berenang terhadap faktor risiko

terjadinya otitis eksterna

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Memberikan informasi ilmiah mengenai anatomi dan histologi telinga luar.

2. Memberikan informasi ilmiah mengenai definisi, etiologi, klasifikasi

patofisiologi, serta tatalaksana penyakit otitis eksterna


3. Memberikan informasi ilmiah mengenai mekanisme terjadinya otitis eksterna

yang disebabkan kebiasaan berenang.

4. Mengetahui pandangan Islam terhadap kebiasaan berenang sebagai faktor risiko

terjadinya otitis eksterna.

1.4. Manfaat

1.4.1. Bagi Penulis

Diharapkan skripsi ini dapat menambah pengetahuan ilmiah dan pengetahuan

agama penulis dan teman sejawat mengenai kebiasaan berenang sebagai faktor risiko

terjadinya otitis eksterna.

1.4.2. Bagi Universitas YARSI

Diharapkan skripsi ini bermanfaat sebagai masukan kepustakaan sehingga dapat

menambah informasi bagi civitas akademika universitas YARSI.

1.4.3. Bagi Masyarakat

Diharapkan skripsi ini dapat menambah pengetahuan ilmiah dan pengetahuan

agama masyarakat mengenai kebiasaan berenang sebagai faktor risiko terjadinya otitis

eksterna ditinjau dari segi kedokteran dan Islam.


BAB II

KEBIASAAN BERENANG SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERJADINYA

OTITIS EKSTERNA DITINJAU DARI PERSPEKTIF ILMU KEDOKTERAN

2.1. Telinga Luar

2.1.1 Anatomi Telinga Luar

Telinga adalah organ dengan reseptor-reseptor khusus yang menunjang fungsi

auditorik/pendengaran dan juga keseimbangan. Pada manusia, terdapat tiga bagian utama

dari telinga, yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam (Soepardi et al, 2011).

Gambar 1. Anatomi Telinga (Sherwood, 2014).

Telinga luar berfungsi menangkap getaran mekanik yang dihasilkan gelombang

suara, untuk kemudian diteruskan ke telinga tengah lalu telinga dalam. Reseptor yang ada
pada telinga dalam akan menerima rangsang gelombang tersebut kemudian

meneruskannya sebagai impuls auditorik menuju otak otak untuk diolah sebagai stimulus

yang kemudian akan menghasilkan respon terdengarnya suara (Soepardi et al, 2011).

Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna/aurikula), saluran telinga luar (meatus

akustikus eksternus) dan selaput gendang/membran tympani, bagian-bagian telinga

tersebut secara berturut-turut menerima, meneruskan, dan menggetarkan membran

tympani, dimana hasil dari getaran tersebut diteruskan ke telinga tengah kemudian ke

telinga dalam lalu menuju otak (Sherwood, 2014; Soepardi et al, 2011).

Meatus akustikus eksternus terbentang dari lubang telinga luar hingga membran

tympani. Meatus akustikus eksternus tampak sebagai saluran silindris dengan celah

sempit berdinding kaku. Meatus akustikus eksternus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah

sel-sel folikel rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar seruminosa (Soepardi et al, 2011).

Bagian akhir dari telinga luar adalah membran timpani. Membran timpani terbagi

menjadi dua bagian yaitu pars flaksida dan pars tensa. Pars flaksida terletak superior

terhadap prosesus lateral dari tulang malleus, melekat pada tulang petrous. Pars tensa

mendominasi bagian dari membran timpani dengan struktur yang lebih tebal

dibandingkan pars flaksida, dan pada pusatnya membentuk cincin fibrokartilago yang

disebut anulus timpanikus. Titik tengah dari pars tensa menyembul ke dalam setinggi

tulang malleus, membentuk struktur yang disebut umbo. Dari umbo, bermula suatu serat

sirkuler dan radial yang membentuk refleks cahaya (cone of light) ke arah pukul 7 pada

membran timpani kiri dan pukul 5 pada membran timpani kanan (Soepardi et al, 2011).
Gambar 2. Daun Telinga (Netter, 2014).

Gambar 3. Membran Timpani Telinga Kanan (Bregman, 2015).


2.1.2. Histologi Telinga Luar

Daun telinga (aurikula/pinna) terdiri atas tulang rawan elastin, yang ditutupi

lapisan kulit di seluruh sisinya. Meatus akustikus eksterna terdiri atas epitel berlapis

skuamosa, dan mengandung folikel rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat

keringat yang mengalami modifikasi menjadi kelenjar seruminosa; suatu kelenjar apokrin

tubuler yang berkelok-kelok yang menghasilkan serumen. Satu per tiga dinding luarnya

terdiri atas tulang rawan elastin dan dua pertiga dinding dalam terdiri atas tulang

temporal. Membran timpani terdiri atas dua bagian yaitu pars flaksida dan pars tensa.

Pars flaksida terdiri atas lapisan epitel dari meatus akustikus eksternus pada bagian luar

dan epitel kuboid bersilia pada bagian dalamnya, sedangkan pars tensa terdiri atas lapisan

epitel kuboid, jaringan ikat fibrosa, dan lapisan mukosa (Gartner et al, 2007).

Gambar 4. Histologi Meatus Akustikus Eksternus (Bregman et al, 2015).


2.2. Otitis Eksterna

Otitis eksterna adalah radang liang telinga akut maupun kronis yang disebabkan

oleh trauma baik akibat infeksi bakteri, jamur, dan virus, ataupun akibat trauma yang

disebabkan oleh kebiasaan mengorek liang telinga dan penggunaan zat kimia pada

telinga. Penyakit ini sering dijumpai pada populasi yang tinggal di daerah–daerah panas

dan lembab, dan jarang ditemukan pada populasi yang tinggal di iklim–iklim sejuk dan

kering (Soepardi et al, 2011).

Otitis eksterna sering ditemukan pada individu yang memiliki kebiasaan

berenang, atau beraktivitas di lingkungan dengan kelembaban tinggi. Otitis eksterna yang

terjadi pada individu dengan kerentanan akan kondisi lembab tersebut dikenal dengan

sebutan “Swimmer’s Ear”, yaitu otitis eksterna dengan bentuk peradangan difus yang

terjadi di dalam kanalis auditorius eksternus yang dapat meluas ke arah distal menuju

aurikula/pinna, dan menyebar ke arah proksimal menuju membran timpani. Apabila

peradangan tidak beresolusi, infeksi dapat menginvasi jaringan lunak dan tulang di

sekitar area telinga luar, menyebabkan otitis eksterna maligna/ganas (necrotizing), yang

merupakan bentuk kegawatdaruratan yang sering ditemukan terutama pada pasien lanjut

usia dengan diabetes melitus (Sander, 2001; Soepardi et al, 2011).

2.2.1. Etiologi, Klasifikasi, Patofisiologi, dan Tatalaksana Otitis Eksterna

Otitis eksterna diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan morfologinya sebagai

berikut (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, 2013; Soepardi et al, 2011):
1. Otitis eksterna akut, yang terdiri atas otitis eksterna sirkumskripta dan otitis

eksterna difus.

a. Otitis eksterna sirkumskripta

Peradangan pada sepertiga luar liang telinga akibat infeksi yang umumnya

disebabkan oleh bakteri Sthapylococcus aureus atau Staphylococcus albus

yang membentuk bisul/furunkel.

Gambar 5. Otitis Eksterna Sirkumskripta (Saunders, 2015).

b. Otitis eksterna difus

Otitis eksterna yang terjadi pada dua per tiga kulit liang telinga bagian

dalam yang paling sering ditemukan pada perenang. Umumnya

disebabkan oleh infeksi Pseudomonas aeruginosa, Escherecia coli,

Sthapylococcus albus, dan infeksi jamur.


Gambar 6. Otitis Eksterna Difus (Rapini et al, 2007).

2. Otomikosis, infeksi jamur pada liang telinga yang disebabkan kelembaban liang

telinga yang tinggi. Otomikosis sering disebabkan oleh infeksi jamur

Pityrosporum, Aspergillus, dan Candida albicans.

3. Herpes zoster otikus, yang disebabkan oleh infeksi virus Varicella zoster.

4. Infeksi kronis liang telinga. Infeksi yang berlangsung lama, yang dapat

menyebabkan stenosis liang telinga.

5. Keratosis obturans dan kolesteatoma eksternal.

a. Keratosis obturans, terbentuknya gumpalan epidermis di liang telinga

akibat hiperproliferasi epitel yang tidak bermigrasi ke telinga luar.

b. Kolesteatoma eksternal, invasi kolesteatoma pada liang telinga luar.


6. Otitis eksterna maligna. Infeksi ganas telinga luar yang sering disebabkan oleh

Pseudomonas aeruginosa yang meluas secara progresif.

2.2.2. Patofisiologi dan Tatalaksana Otitis Eksterna

Terjadinya otitis eksterna serta tatalaksana yang dapat diberikan sebagai terapinya

pada dapat dijelaskan sebagai berikut (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, 2013;

Soepardi et al, 2011);

1. Otitis eksterna sirkumskripta

Otitis eksterna sirkumskripta terjadi akibat infeksi pada pilosebaseus adneksa

kulit liang telinga sepertiga bagian luar yang membentuk furunkel yang dapat

menyumbat liang telinga, dan menyebabkan nyeri hebat pada penekanan dan

mobilisasi sendi temporomandibula. Tatalaksana disesuaikan dengan keadaan

furunkel di liang telinga. Apabila furunkel telah berkembang menjadi abses, maka

dilakukan drainase abses dengan aspirasi atau insisi. Tatalaksana juga dapat

ditunjang dengan antibiotik lokal menggunakan polymixin B atau bacitracin, atau

dengan larutan antiseptik (asam asetat 2.5% dalam alkohol).

2. Otitis eksterna difus

Otitis eksterna difus terjadi pada dua per tiga kulit liang telinga bagian dalam

dengan gambaran edema dan hiperemis dengan batas tidak jelas akibat reaksi

peradangan terowongan kulit telinga luar. Peradangan dapat meluas hingga

membran timpani, menyebabkan gejala nyeri tekan tragus, keluarnya sekret

berbau tak berlendir, penyempitan liang telinga, dan pembesaran kelenjar getah
bening regional. Otitis eksterna difus ditatalaksana dengan membersihkan liang

telinga menggunakan tampon antibiotik ke liang telinga, dan pemberian antibiotik

sistemik spektrum luas sesuai indikasi.

3. Otomikosis

Kelainan telinga luar akibat infeksi jamur yang disebabkan faktor kelembaban

tinggi pada lingkungan liang telinga. Infestasi jamur dapat merusak integritas

lapisan epidermis kulit liang telinga dengan tumbuhnya hifa atau akar semu

jamur, yang menunjukkan tampilan deskuamasi lapisan kulit liang telinga

membentuk gambaran sisik atau ketombe, dapat terasa gatal atau bahkan tidak

menunjukkan gejala sama sekali. Penatalaksanaan otomikosis adalah dengan

membersihkan liang telinga dengan larutan asam asetat 2% dalam alkohol, larutan

povidon iodine 5%, atau dengan tetes telinga antibiotik-steroid. Dapat juga

dilakukan pemberian salep antifungal nistatin, atau klotrimazol.

4. Herpes zoster otikus

Penderita herpes yang disebabkan oleh infeksi virus Varicella zoster yang meluas

hingga area telinga menyebabkan timbulnya lesi kulit vesikuler pada kulit sekitar

liang telinga dan wajah, disertai otalgia dan dalam keadaan yang berat dapat

menyebabkan paralisis otot wajah hingga tuli sensori-neural. Penatalaksanaan

pada herpes zoster otikus disesuaikan dengan tatalaksana herpes zoster.

5. Infeksi kronis liang telinga.

Infeksi yang berlangsung lama pada liang telinga luar dapat menimbulkan

jaringan parut/sikatrik yang mempersempit diameter dan luas permukaan liang


telinga. Infeksi kronis dengan sikatrik umumnya ditatalaksana secara operatif

dengan rekonstruksi liang telinga.

6. Keratosis obturans

Terjadinya abnormalitas berupa kegagalan migrasi sel epitel menuju telinga luar

yang kemudian menumpuk dan membentuk gumpalan epidermis. Gumpalan

epidermis dapat mengerosi tulang liang telinga menyeluruh/sirkumferensial

sehingga melebarkan liang telinga, menyebabkan rasa nyeri hebat dan tuli

konduktif akut. Keratosis obturans sering terjadi bilateral dan umumnya

ditemukan pada individu dewasa muda, individu dengan sinusitis, dan

bronkiektasis. Pada keratosis obturans dilakukan tatalaksana dengan pengeluaran

gumpalan keratin, dan pembersihan debris secara berkala.

7. Kolesteatoma eksternal

Invasi kolesteatoma pada liang telinga luar yang menyebabkan perioesteitis akibat

erosi tulang telinga luar bagian posteroinferior. Invasi kolesteatoma menyebabkan

nyeri tumpul menahun disertai dengan sekresi otore, dan sering terjadi unilateral.

Penatalaksanaan dilakukan secara operatif untuk mengangkat kolesteatoma dan

jaringan nekrotik pada liang telinga, namun juga dapat dilakukan secara

konservatif dengan irigasi telinga menggunakan obat tetes campuran alkohol atau

gliserin dalam H2O2 3% tiga kali seminggu.

8. Otitis eksterna maligna

Infeksi yang tidak ditangani atau terjadi pada pasien dengan predisposisi penyakit

metabolik (pasien usia lanjut, diabetes melitus), dapat meluas secara progresif
hingga lapisan subkutis, tulang rawan dan tulang sekitarnya sehingga timbul

kondiritis, osteitis, dan osteomyelitis hingga tulang temporal. Otitis eksterna

maligna umumnya ditemukan pada individu usia lanjut dengan diabetes melitus,

atau individu dengan mikroangiopati dan/atau penyakit kelemahan/defisiensi

sistem imun, dengan gejala gatal, nyeri yang terus meningkat intensitasnya,

pembengkakan liang telinga, disertai sekresi otore dengan jumlah yang terus

meningkat. Apabila tidak ditangani, otitis eksterna maligna dapat menyebabkan

kerusakan saraf fasial sehingga menimbulkan paresis atau paralisis fasial.

Penatalaksanaan dilakukan dengan menunggu hasil kultur dan resistensi,

dilakukan bersamaan dengan pemberian antibiotik fluoroquinolon (ciprofloxacin)

dosis tinggi per oral atau parenteral dikombinasikan dengan aminoglikosida

selama 6-8 minggu. Tindakan ini diikuti dengan debridemen luka secara radikal

untuk membersihkan sisa infeksi sehingga tidak terjadi rekurensi.

2.3. Otitis Eksterna pada Individu dengan Kebiasaan Berenang

Kebiasaan berenang diketahui dapat menyebabkan terjadinya otitis eksterna baik

pada individu atlet profesional olahraga yang melibatkan kegiatan berenang, maupun

pada individu bukan atlet. Faktor-faktor yang menentukan terjadinya otitis eksterna pada

individu dengan kebiasaan berenang antara lain sifat fisis air (suhu air, jenis air; air asin,

air tawar, air kolam yang disterilisasi), higienitas perenang, kondisi imunitas dan faktor

predisposisi yang dapat memungkinkan terjadinya otitis eksterna pada perenang (usia,

penyakit metabolik, lama dan frekuensi paparan dalam air), serta kondisi iklim dan cuaca

area tempat berenang (Milodar et al, 2012).


Dalam penelitian oleh yang dilakukan oleh Milodar et al (2012) mengenai otitis

eksterna yang disebabkan kebiasaan berenang pada atlet dan bukan atlet, diketahui bahwa

individu yang lebih sering mengalami otitis eksterna akibat kebiasaan berenang adalah

anak-anak, lebih sering ditemukan pada atlet perenang (perenang dan atlet polo air)

dibandingkan atlet bukan perenang (atlet sepakbola) dengan perbandingan 2.5:1, lebih

sering terjadi pada atlet profesional yang lebih sering dan lama terpajan oleh air, lebih

sering disebabkan oleh faktor higienitas pribadi atlet (tidak menggunakan penutup liang

telinga saat berenang, menggunakan korek kuping untuk membersihkan liang telinga

setelah berenang, higienitas pasca aktivitas renang yang tidak baik), juga ditemukan pada

perenang bukan atlet (lebih sering terjadi pada perenang di musim panas dibandingkan

musim lainnya), dan tidak dipengaruhi secara signifikan oleh higienitas air. Penelitian ini

berhasil membuktikan bahwa kebiasaan berenang dapat mempengaruhi kesehatan telinga

luar dan menjadi faktor pencetus terjadinya otitis eksterna.

Kebiasaan berenang memaparkan lingkungan telinga terhadap paparan air,

menyebabkan peningkatan kelembaban liang telinga dan juga memungkinkan terjadinya

infeksi oleh jasad renik pada liang telinga. Meningkatnya kelembaban telinga

menyebabkan meningkatnya habitasi jasad renik infeksius pada liang telinga, yang

menimbulkan respon inflamasi pada liang telinga. Respon inflamasi yang terjadi memicu

peradangan dan trauma yang diikuti rasa gatal subjektif pada liang telinga. Trauma yang

terjadi meningkatkan reaksi peradangan liang telinga, menyebabkan edema dan

penyempitan liang telinga. Reaksi peradangan dapat meluas ke area rambut telinga dan

menimbulkan furunkulosis, dan/atau lapisan kulit liang telinga sehingga terjadi perluasan

infeksi hingga membran timpani (Milodar et al, 2012; Soepardi et al, 2011).
Pada otitis eksterna yang disebabkan kebiasaan berenang, dilakukan tatalaksana

sebagaimana otitis eksterna pada umumnya, ditambah dengan mengurangi paparan liang

telinga terhadap air, dan edukasi higienitas sebelum, sesaat, dan setelah kegiatan renang,

penggunaan alat pelindung telinga dari paparan air (earplug) saat melakukan aktivitas

renang, serta edukasi untuk tidak membersihkan liang telinga dengan mengorek liang

telinga (Milodar et al, 2012).

Anda mungkin juga menyukai