Anda di halaman 1dari 15

PAPER NAMA : HARASTHA K.

AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penurunan tajam pengelihatan akibat kelainan refraksi masih tinggi dan masih
menjadi masalah kesehatan terutama di negara berkembang. Data WHO pada
tahun 2004 menunjukkan 0.97% anak usia 2 sampai 15 tahun di seluruh dunia
mengalami penurunan tajam pengelihatan akibat kelainan refraksi yang tidak
dikoreksi.1
Di Indonesia, survei kesehatan rumah tangga pada tahun 2004
mendapatkan data gangguan kegiatan sehari-hari ang diakibatkan oleh gangguan
pengelihatan adalah sebesar 71% dengan 22.1% diakibatkan oleh kelainan
refraksi, sedangkan angka pemakaian kacamata masih 12.5% dari kebutuhan.2

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui cara pemeriksaan
subjektif kelainan refraksi sehingga pemeriksa terampil dalam melakukan
pemeriksaan umum mata . Selain itu, tujuan penulisan paper ini adalah sebagai
salah satu syarat menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu
Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

PENDAHULUAN

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui jenis kelainan refraksi dan mengukur
besarnya kelainan tersebut yang perlu dikoreksi. Pemeriksaan refraksi terdiri dari
pemeriksaan subyektif dan obyektif.

Pemeriksaan refraksi obyektif dilakukan menggunakan alat retinoscopy dan auto-


refractor yang hasilnya dapat dilihat atau diukur langsung, tidak tergantung apa
yang dikatakan oleh penderita kepada pemeriksa. Kelainan pembiasan mata
pasien diperiksa dengan alat tertentu tanpa perlu adanya kerjasama dengan pasien.
Pemeriksaan objektif dipakai alat dengan refrationometer apa yang disebut
pemeriksaaan dengan komputer dan streak retinoskopi

Sementara itu, hasil pemeriksaan refraksi subyektif sangat tergantung yang


dikatakan penderita kepada pemeriksa. Metode pemeriksaan subyektif antara lain
menggunakan metode best vision sphere, sphero-sylindrical dan near refraction
dengan menggunakan phoropter atau lensa coba (trial lens) yang dipakaikan pada
penderita. Mengingat masing-masing metode memilki kelebihan dan kekurangan
maka biasanya kedua jenis pemeriksaan tersebut dilakukan bersama.

Pemeriksaan dengan retinoscopy dan auto-refrakter membutuhkan keahlian


tingkat lanjut seorang ahli mata, dan alat phoropter termasuk alat yang berat,
rentan dan mahal, maka yang akan dilakukan pada ketrampilan dasar pemeriksaan
mata adalah metode pemeriksaan yang paling umum digunakan yaitu secara
subyektif menggunakan set alat trial lens.

TAJAM PENGELIHATAN
Secara teoritis, cahaya yang datang dari sumber titik jauh, ketika difokuskan ke
retina akan menjadi baangan yang sangat kecil. Namun karena sistem lensa mata

2
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

tidak pernah sempurna, bintik di retina biasana mempunai diameter total kira-kira
11 mikrometer walaupun dengan resolusi maksimal dari sistem optik mata ang
normal. Bintik yang paling terang di bagian tengah dan mengabur ke arah tepi.

Diameter rata-rata sel kerucut ang terdapat di fovea retina besarna kira-kira1.5
mikrometer yakni sepertujuh diameter titik cahaya. Namun karena titik cahaya
memiliki bagian tengah ang terang dan bagian tepi ang gelap, kita dapat secara
normal membedakan dua titik yang terpisah bila dibagian tengah dari kedua titik
itu mempunai jarak pada retina sebesar 2 mikrometer.

Pada manusia dengan tajam pengelihatan normal, sudut ang digunakan untuk
membedakan kedua titik sumber cahaya adalah 25 detik busur derajat. Jadi, bila
berkas cahaya yang berasal dari kedua titik terpisah mengenai mata dengan sudut
antara kedua titik paling sedikit 25 detik, biasana kedua titik tersebut dapat
dikenali sebagai satu titik. Ini berarti bahwa orang yang memiliki tajam
pengelihatan normal sewaktu melihat dua titik terang yang diletakkan 10 meter
darinya, dia hampir tidak dapat membedakan kedua titik tersebut sebagai dua titik
yang terpisah 1.5 sampai 2 milimeter.

KELAINAN REFRAKSI
Seseorang dengan kelainan refraksi akan datang dengan mata yang tampak normal
dengan keluhan sulit melihat dengan jelas. Kelainan refraksi terjadi karena
kelainan bentuk dan ukuran bola mata, sehingga seseorang membutuhkan kaca
mata atau lensa kontak (contact lens) agar dapat melihat dengan jelas dan nyaman.
Kelainan refraksi terdiri dari miopia, hiperopia, astigmatisme dan presbiopia.
Besarnya kelainan refraksi dan koreksi yang perlu dilakukan tergantung pada
kelengkungan kornea, lensa dan panjang bola mata.

3
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Pada mata normal (emetrop) sinar yang masuk akan difokuskan tepat pada retina,
sedangkan pada mata ammetrop sinar tidak tepat jatuh di retina sehingga tidak
didapatkan bayangan benda yang jelas.

Gambar 2. Emetrop

Miopia
Berkas sinar sejajar yang memasuki mata tanpa akomodasi, jatuh pada fokus yang
berada di depan retina akan menimbulkan kelainan yang disebut miopia. Dalam
keadaan ini obyek yang jauh tidak dapat dilihat secara teliti karena sinar yang
datang saling bersilangan pada badan kaca, ketika sinar tersebut sampai di retina
sinar-sinar ini menjadi divergen, membentuk lingkaran difus dengan akibat
bayangan kabur.

Miopia terdiri dari miopia axial yaitu bila sumbu mata lebih panjang dari normal
dan miopia pembiasan bila daya bias lebih besar dari normal misalnya pada orang
dengan lensa terlalu cembung. Koreksi miopia harus diberi kaca mata sferis lensa
negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal.

4
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Gambar 3. Refraksi cahaya pada miopia

Hipemetropia
Sinar yang difokuskan di belakang retina menyebabkan keadaan hipemetropia
yang juga dapat disebabkan sumbu mata terlalu pendek disebut hipermetropia
axial atau karena daya bias lensa kurang dari norma akibat kornea terlalu datar
atau lensa yang menipis sehingga disebut hiperopia bias. Pada waktu koreksi
hipermetropia harus diberi lensa positif sekuat-kuatnya.

5
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TEKNIK PEMERIKSAAN REFRAKSI SUBYEKTIF MENGGUNAKAN


TRIAL FRAME dan TRIAL LENS

Tujuan Pemeriksaan dengan mengguanakan trial lens adalah untuk menentukan


jenis lensa bantu yang memberikan penglihatan paling jelas dan nyaman untuk
mengkoreksi kelainan refraksi

6
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Gambar 1. Pemeriksaan dengan menggunakan trial frame.

Gambar Trial Lens

7
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Alat Yang Perlu Dipersiapkan


1. Penggaris
2. Optotype Snellen
3. Set alat trial frame dan trial lens (kaca mata dan lensa coba)
4. Keratoskop Plasido
5. Kartu baca dekat

Cara Pemeriksaan
Persiapkan penderita untuk duduk sejajar pada jarak 6 meter dari optotype snellen
(=d). Tentukan dahulu ketajaman penglihatan masing-masing mata, dengan
menutup mata yang tidak diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan menunjukkan
huruf-huruf pada optotype snelen mulai dari deretan huruf terbesar sampai deretan
huruf terkecil yang masih dapat dilihat atau dibaca dengan jelas dan lengkap (=D).
Disebelah kanan deretan huruf tersebut, tertera angka yang menunjukkan jarak
dalam meter yang masih dapat dibaca mata normal (emmetrop). Ketajaman
penglihatan ditentukan dengan rumus snellen yaitu V= d/D, harga d selalu 5 atau 6
meter.

Ukur jarak pupil (PD/Pupil Distance) kedua mata untuk mengukur jarak frame
kanan dan kiri pada trial frame yang akan dipasangkan dan kaca mata atau lensa
bantu koreksi nantinya. Tentukan jarak pupil mata kanan dan kiri dengan
meletakkan penggaris di depan kedua mata, kemudian mengarahkan senter di
tengah kedua mata pasien. Perhatikan reflek cahaya pada kedua kornea mata,
kemudian ukur jarah antara kedua reflek tersebut dalam mm maka didapatkan
jarak pupil untuk penglihatan dekat. Tambahkan 2mm untuk jarak pupil untuk
penglihatan jauh.

Bila hasil visus awal adalah 6/6, maka kemungkinan keadaan mata adalah
emmetropia atau hipermetropia dengan akomodasi. Pasang kaca mata coba pada

8
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

posisi yang tepat yaitu jarak pupil untuk penglihatan dekat. Pasang penutup
(occluder) di depan salah satu mata yang belum akan diperiksa.

Gambar 3. Beberapa jenis optotype snellen

9
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Pemeriksaan dimulai dengan memberikan lensa speris positif (+)0,25D. Ulangi


pemeriksaan dengan meminta penderita membaca semua deretan huruf snellen
dari yang terbesar hingga terkecil yang masih dapat dibaca dengan jelas dan
lengkap.

Bila dengan lensa ini deretan huruf 6/6 yang semula jelas menjadi kabur maka
berarti mata penderita adalah emmetropia. Pada hipermetropia, mata dapat melihat
huruf-huruf yang lebih kecil dari 6/6 dengan akomodasi. Untuk koreksinya,
pemeriksa mulai dengan memberikan lensa positif (+)0,25D, berturut-turut
meningkat 0,25D. Hal ini adalah usaha untuk membuat mata menjadi emmetrop
dengan mengurangi akomodasi, sebagai hasilnya diharapkan penderita dapat
melihat deretan huruf 6/6 dengan jelas tanpa akomodasi. Lensa positif terkuat
dimana mata hipermetropia masih dapat melihat deretan huruf 6/6 dengan jelas
menunjukkan besar kelainan hipermetropianya.

Bila visus kurang dari 6/6, lanjutkan dengan tes pinhole dengan meletakkan
pinhole didepan mata yang diperiksa. Bila dengan tes pinhole ketajaman
penglihatan menjadi lebih baik maka terbukti pasien mengalamai kelainan
refraksi, namun bila pada tes pinhole tidak mengalami perbaikan maka pasien
tidak mengalami kelainan refraksi dan perlu dirujuk untuk pemeiksaan mata lebih
lanjut.

Bila visus kurang dari 6/6 dengan tes pinhole positif, maka kemungkinan mata
termasuk miopia. Untuk menilai besar miopia, dimulai dari lensa negatif (-)0,25D,
ditambahakan berturut-turut -0,25 sampai pada lensa negatif terlemah penderita
dapat membaca deretan huruf 6/6.

Untuk melakukan koreksi, kadang terdapat beberapa jenis kekuatan lensa yang
pas untuk digunakan melihat dengan jelas, namun tidak semua lensa tersebut akan
nyaman digunakan sebagai lensa bantu. Hanya akan ada satu jenis kekuatan lensa
yang memberikan penglihatan yang jelas dan kenyamanan saat dipakai sebagai

10
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

lensa bantu yaitu lensa yang akan meminimalkan akomodasi penderita. Untuk
melakukan koreksi perlu dicoba beberapa jenis kekuatan lensa secara berurutan
yang tetap memberikan penglihatan yang jelas dan kenyamanan saat membaca
huruf tersebut.

11
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Seseorang dengan miopia bila diberikan lensa bantu negatif yang terlalu lemah
akan menimbulkan ketidaknyamanan karena membuat orang tersebut
berakomodasi untuk dapat melihat dengan jelas atau pada hiperopia yang
diberikan lensa positif terlalu kuat akan menyebabkan pandangan orang tersebut
kabur. Jadi bila pasien miopia dikoreksi dengan -3,0D memberikan tajam
penglihatan 6/6, dan demikian juga bila diberi -3.25D, maka sebaiknya diberikan
lensa koreksi -3,0 agar untuk memberikan istirahat mata dengan baik sesudah
dikoreksi. Demikian pula pada penderita hipermetropia, perlu ditambah atau
kurangkan kekuatan lensa sampai didapatkan visus terbaik (trial and error).
Ketepatan koreksi sangat ditentukan oleh ketepatan ukuran lensa bantu yang dapat
membiaskan sinar tepat pada retina dengan akomodasi lensa yang minimal agar
penderita dapat melihat dengan jelas dan nyaman. Orang yang tidak mengontrol
akomodasinya sering menyatakan bahwa kadang ia melihat deretan huruf yang
sama secara jelas dan kabur. Hal tersebut harus dapat dikontrol oleh pemeriksa.

Usahan untuk melakukan pemeriksaan refraksi secepat mungkin untuk


menghindari kebosanan dari penderita yang akan mempengaruhi keakuratan hasil
pemeriksaan. Terutama pada anak-anak yang cepat bosan sehingga perlu banyak
dihibur untuk membantu konsentrasinya dan orangtua yang cepat lelah sehingga
pemeriksaan dapat diteruskan di lain waktu.

Pemeriksaan adanya presbiopia berhubungan dengan keluhan membaca dekat dan


usia lanjut, karena presbiopia biasanya terjadi pada usia diatas 38 tahun. Metode
yang digunakan adalah near refraction dengan kartu baca dekat. Sebelumnya
sesuakan jarak pupil penglihatan dekat pada kaca mata coba. Berikan lensa speris
(+) umumnya disesuaikan umur S+1,00D (usia 40 tahun), S+1,50D (45 tahun)
hingga S+3,00D (60 tahun). Minta penderita untuk membaca kartu baca dekat
pada jarak baca yang baik (±30 cm).

12
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Astigmatisme
Astigmatisme merupakan kelainan refraksi mata yang menyebabkan bayangan
pengelihatan pada suatu bidang difokuskan pada jarak yang berbeda dari bidang
yang tegak lurus terhadap bidang tersebut. Hal ini paling sering diakibatkan oleh
variasi kelengkungan kornea dan lensa mata yang akan menyebabkan sinar tidak
terfokus pada 1 titik.

Daya akomodasi mata tidak dapat mengkompensasi kelainan astigmatisme karena


selama akomodasi , lengkung lensa mata berubah kurang lebih dama kuatnya di
semua bidang, oleh karena itu pada astimagtisma, kedua bidang memerlukan
derajat akomodasi yang berbeda. Sehingga, pada pasien astigmatisme bila tidak
dibantu dengan kacamata pengelihatannya tidak pernah tajam.

Ada dua jenis astigmatisme yaitu irreguler yang memiliki titik bias tidak teratur
dan jenis reguler yang titik bianya tertatur pada sumbu mata. Kelainan
astigmatisme ireguler terdapat pada ketidakteraturan permukaan kornea yang
dapat dinilai dengan tes menggunakan keratoskop plasido berupa piringan datar
bergambar lingkaran-lingkaran hitam putih concentrik dengan lubang kecil
ditengahnya.

13
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Pemeriksaan kelainan refraksi astigmatisme dapat dilakukan dengan metode


refraksi spero-cylindrical menggunakan lensa silindris untuk mengoreksinya.
Selain itu dapat juga menggunakan keratoscop palsido. Pemeriksaan astigmatisme
dengan ketatoskop plasido bertujuan untuk mengetahui keteraturan permukaan
kornea. Ketatorkop plasido diletakkan kurang lebih 20cm didepan mata orang
yang diperiksa, kemudian penderita diminta terus memandang lubang keratoskop.
Dari lubang tersebut pemeriksa dapat melihat bayangan lingkaran pada kornea.
Bila kornea bulat sempurna, yang tampak adalah lingkaran konsentrik. Bila ada
meredian yang lebih melengkung daripada yang lain tegak lurus pada meredian I
tadi, maka tampak lingkaran-lingkaran lonjong sehingga disebut sebagai
astigmatisme reguler. Pada astigmatisme irreguler, bentuk bayang garis hitam
putih yang tampak tidak teratur.

Mengingat pemeriksaan ini adalah subyektif, maka dapat terjadi kasus maligering
terutama pada anak-anak yang hanya ingin memakai kaca mata sepeti orang
tuanya atau pada orang dengan kelainan perilaku. Gunakan plano test pada lensa
coba untuk mengetes adanya maliongering dan lihat adanya perbaiakan.
Pindahkan anak lebih dengan kartu snellen dan ulangi pemeriksaan tajam
penglihatan bila tidak ada perbaikan maka dapat dikatakan penderita berpura-pura
mengalami kelaian refraksi.

Penulisan hasil pemeriksaan refraksi dan koreksi lensa bantu yang diperlukan
meliputi identitas penderita, usia, jenis kelainan refraksi yang didapatkan pada
mata kanan (OD/Oculi dextra) dan mata kiri (OS/Oculi sinistra), jarak pupil (PD)
penglihatan jauh dan dekat dan besarnya koreksi yang diperlukan.

14
PAPER NAMA : HARASTHA K. AFINA
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA NIM : 090100028
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Resnikoff S, Pascolini D, Mariotti SP, and Pokharel GP. Global Magnitude


of Visual Impairment Caused by Uncorreected Refractive Error in 2004.
Buletin of The World Health Organization. 2008: 86(1):63-70.
2. Departemen Kesehtan RI. Survey Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI: 2004.
3. Guyton.A.C.dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22 cetakan I.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

15

Anda mungkin juga menyukai