Anda di halaman 1dari 27

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai
pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di
dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya.
Pneumonia adalah keadaan akut pada paru yang di sebabkan oleh karena
infeksi atau iritasi dari bahan kimia sehingga alveoli terisi dengan eksudat
peradangan.1
Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah
kardiovaskuler dan tuberkulosis. Faktor sosial ekonomi yang rendah
mempertinggi angka kematian. Terdapat berbagai faktor risiko yang
menyebabkan tingginya angka mortalitas bronkopneumonia pada anak balita
di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah terjadi pada masa bayi,
berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat
ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens
kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap
polusi udara (polusi industri atau asap rokok).2
Upaya yang penting dalam penyembuhan dengan perawatan yang tepat
merupakan tindakan utama dalam menghadapi pasien bronkopneumonia
untuk mencegah komplikasi yang lebih fatal dan diharapkan pasien dapat
segera sembuh kembali. Intervensi keperawatan utama adalah mencegah
ketidakefektifan jalan nafas. Agar perawatan berjalan dengan lancar maka
diperlukan kerja sama yang baik dengan tim kesehatan yang lainnya, serta
dengan melibatkan pasien dan keluarganya.2
Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global.
Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan untuk menurunkan insidensi
dan kematian akibat tuberkulosis, tetapi pada tahun 2014 tuberkulosis masih
menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian. Jumlah kasus
baru tuberkulosis paru pada tahun 2014 sebanyak 5,2 juta dan sebanyak 3 juta
kasus terkonfimasi bakteriologis. Kasus tuberkulosis paling banyak berada di
India yakni 23% dari seluruh penderita di dunia, kemudian China dan

1
Indonesia dengan jumlah kasus yang sama yaitu sebesar 10% dari seluruh
penderita di dunia.2
Jumlah kasus tuberkulosis di Indonesia terus meningkat. Pada tahun
2015 jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 330.910 kasus, meningkat bila
dibandingkan jumlah kasus tuberkulosis pada tahun 2014 yaitu sebesar
324.539 kasus. Jumlah kasus baru tuberkulosis pada tahun 2015 sebanyak
130 per 100.000 penduduk, meningkat dibandingkan jumlah kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2014 sebesar 129 per 100.000 penduduk.2,3
WHO (2015) menyatakan kasus baru tuberkulosis di dunia pada usia di
bawah 15 tahun mencapai 1 juta dengan jumlah kematian sebanyak 140.000
setiap tahun. Kemenkes RI (2013) menyatakan bahwa tuberkulosis anak
merupakan penyakit tuberkulosis yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.
Kasus tuberkulosis pada anak di Indonesia mengalami peningkatan. Pada
tahun 2014 proporsi kasus tuberkulosis pada anak sebesar 7,1%, dan
mengalami peningkatan pada tahun 2015 menjadi 8, 59% dari seluruh kasus
tuberkulosis pada semua kelompok umur (Kemenkes, 2016). Di Jawa Tengah
proporsi kasus tuberkulosis anak di antara kasus baru tuberkulosis paru yang
tercatat sebesar 6,63% pada tahun 2014. Hal ini menunjukkan bahwa
penularan kasus tuberkulosis paru BTA Positif kepada anak cukup besar. Ada
sebanyak 1.386 anak yang tertular tuberkulosis paru BTA positif dewasa
yang berhasil ditemukan dan diobati. Rasio antara kasus tuberkulosis anak 3
dengan tuberkulosis paru BTA positif dewasa sebesar 1 banding 12.4

2
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. B U
Umur : 1 tahun 4 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Yotefa, Abepura
Suku : Papua
Berat badan : 11 kg
Tinggi badan : 77 cm
Agama : Kristen Protestan
No DM : 445051
Tanggal MRS : 21 Juli 2017
Tanggak KRS : 26 Juli 2017
Tiba di RKK : 17.50 WIT
Pendidikan Ayah : D3
Pekerjaan Ayah : Perawat
Pendidikan Ibu : SMA
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga

B. Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan Utama
Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang

Sesak napas timbul ± 20 menit sebelum masuk rumah sakit (SMRS), menurut
ibu pasien anaknya sedang tidur lalu tiba-tiba terbangun, menangis dan
kesulitan untuk bernapas sebelumnya pasien tidak pernah mengalami sesak
napas seperti ini. Sejak ± 1 bulan yang lalu terdapat keluhan batuk pada
pasien ini, batuk dirasakan berdahak namun sulit untuk dikeluarkan, darah (-)
sehingga warna dahak tidak diketahui. Batuk dirasakan terus-menerus dan

3
tidak dipengaruhi oleh dingin atau faktor yang lain. Menurut ibu pasien
selama ± 1 bulan batuk sudah mengkonsumsi obat batuk yang dibeli sendiri
di apotik namun batuk tidak mengalami perubahan, dan satu minggu SMRS
sudah berobat ke praktek Sp.A namun tidak ada perubahan juga. Menurut
keterangan orang tua pasien, dirumah terdapat orang dewasa (nenek pasien)
yang serumah dengan pasien yang mengalami batuk aktif ≥ 1 bulan namun
belum pernah berobat. Keluhan batuk juga disertai pilek (+), dan demam (+)
yang dirasakan ≥ 2 minggu dan demam yang dirasakan hilang timbul tidak
disertai mengigil dan keringat pada malam hari. Demam hilang setelah diberi
parasetamol kemudian demam kembali timbul lagi, demam timbul tetapi
tidak demam tidak tinggi.
Menurut ibu pasien tidak terdapat keluhan pusing, nyeri menelan, mual,
muntah, kejang, mimisan, gusi berdarah, riwayat perdarahan lain, nyeri perut.
Buang air besar 1x sehari, konsistensi lunak. Buang air kecil lancar, tidak
terdapat rasa nyeri dan perih saat berkemih. Selama sakit menurut ibu pasien
tidak terjadi penurunan nafsu makan. Ibu pasien tidak pernah secara rutin
mengontrol berat badan pasien, namun ibu pasien merasakan bahwa tidak ada
penurunan berat badan pada pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Sejak kecil pasien sering timbul keluhan batuk, namun hanya
mengkonsumsi obat batuk yang dibelikan oleh ibu pasien di apotik.
 Tidak ada riwayat mengkonsumsi OAT sebelumnya
 Tidak ada riwayat alergi makanan, obat, dingin dan debu.
 Tidak ada riwayat asma, bersin-bersin di pagi hari, kejang dan penyakit
jantung.

Riwayat Penyakit Keluarga

 Nenek pasien mempunyai keluhan batuk lama ≥ 1 bulan namun tidak


melakukan pengobatan.
 Tidak riwayat keluarga mengkonsumsi obat anti tubekulosis (OAT)
 Tidak ada riwayat alergi makanan, obat, dingin dan debu.

4
 Tidak ada riwayat asma, bersin-bersin di pagi hari, dan penyakit jantung.

Riwayat Lingkungan Rumah

Pasien tinggal bersama kedua orang tua serta kakek dan neneknya di kawasan
yang padat penduduknya disekitar pasar Yotefa Abepura.

Riwayat Sosial Ekonomi

Ayah pasien bekerja sebagai perawat di Nabire dan ibu sebagai Ibu rumah
tangga

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Kehamilan
Perawatan Antenatal : Rutin periksa ke bidan, imunisasi
TT2x
Penyakit Kehamilan : Tidak ada
Kelahiran
Tempat kelahiran : Rumah
Penolong persalinan : Ibu (Nenek pasien)
Cara persalinan : spontan pervaginam
Masa gestasi : 37-38 minggu
Keadaan bayi
 Berat badan lahir : tidak diketahui
 Panjang badan lahir : tidak diketahui
 Lingkar kepala : tidak diketahui
 Langsung menangis : ya
 Nilai APGAR : tidak diketahui
 Kelainan bawaan : tidak ada

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Pertumbuhan:

Berat badan lahir tidak diketahui. Panjang badan lahir tidak diketahui.

5
Berat badan sekarang 11 kg. Tinggi badan 77cm.

Perkembangan:

Pertumbuhan gigi pertama : 8 bulan

Psikomotor
 Tengkurap dan berbalik sendiri : 6 bulan
 Duduk : 6 bulan
 Merangkak : 9 bulan
 Berdiri : 10 bulan
 Berjalan : 14 bulan
 Berbicara : 12 bulan
Tidak ada gangguan perkembangan dalam mental dan emosi.
Interaksi dengan orang sekitar baik.

Riwayat Makan dan Minum Anak

 Ibu memberikan ASI eksklusif sejak lahir sampai usia 10 bulan


 Usia 11 bulan diberikan susu formula namun anak menolak
mengkonsumsi susu formula.
 Usia 11 bulan tidak diberikan susu formula, hanya mengkonsumsi
bubur saring 3 x sehari.
 Usia 1 tahun diberikan makanan lunak dan pisang yang dilumatkan

Riwayat Imunisasi

1. BCG :1
2. Hepatitis B : -, 2, 3
3. Polio : 1, 2, 3
2. DPT : 1, 2, 3
3. Campak :1

6
Riwayat Gizi
Pasien mendapat ASI sampai umur 10 bulan dan saat ini tidak minum ASI
maupun susu formula.

Berdasarkan kurva WHO BB/TB pasien ini berada pada nilai z-score diantara +1
dan +2 yang dapat diinterpretasikan sebagai gizi normal.

7
C. Pemeriksaan Fisik

Kesan Umum :

Kesadaran compos mentis, tampak sesak

Tanda Vital

 Nadi : 136 x/menit


 Laju Nafas : 50 x/menit
 Suhu : 38,4 ˚C (axilla)
 SpO2 : 94%

Status Generalis

Kepala : normocephal, rambut hitam, tidak rontok


Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikteris (-/-), pupil
ishokor, refleks cahaya (+)
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-), epistaksis (-), pembauan
normal
Telinga : Auricula eksterna normal, sekret (-), otore (-), nyeri tekan
tragus (-)
Mulut : Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Leher : Deviasi trakea (-), Pembesaran kelenjar getah bening (+)
pada regio coli dekstra dan sinistra ukuran 0,5 x 0,5 cm dan
2 x 1 cm konsistensi padat, permukaan rata, mobile, nyerti
tekan (-), pembesaran thyroid (-)
Thoraks

Inspeksi : Simetris, ikut gerak nafas, retraksi (-)

Palpasi : Tidak dilakukan

Perkusi : Sonor

8
Auskultasi : Suara napas vesikuler menurun, Rhonki +/+, wheezing -/-

Cor (Jantung)

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba di intra costa space V


midclavicula sinistra

Perkusi : Pekak, Batas atas : intra costa space III linea para
sternal sinistra Batas kanan : Parasternal dextra
Batas kiri : Linea midclavicula sinistra intra costa
space V

Auskultasi : Bunyi Jantung S1- S2 : regular, murmur (-), gallop


(-)

Abdomen

Inspeksi : Tampak cembung, stria (-), spider nevi (-)

Auskultasi : Suara bising usus (+) normal 2-3 kali/15 detik

Palpasi : Teraba supel, nyeri tekan (-), Hepar dan lien tidak
teraba

Perkusi : Nyeri ketok (-), timpani

Ekstremitas

Akral teraba : Hangat


Superior : ikterus (-/-), edema (-/-), ulkus (-/-)
Inferior : ikterus (-/-), edema (-/-), ulkus (-/-)

9
3.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen Thoraks tanggal 22-07-2017
Jenis Foto: Anteroposterior

Deskripsi :
 Jantung dalam batas normal, COR CTR <0,5
 Tampak bercak infiltrat
 Sinus kostofrenikus kanan dan kiri tajam.
 Hemidiafragma kanan dan kiri baik.
 Alignment dan trabekulasi tulang masih baik.
 Soft tissue dengan dinding normal.
Kesan : Bronkopneumonia, sugestif TB

10
2. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil Nilai rujukan


Pemeriksaan
19.50 (21-07-2017) 3.5-10.103/ul
Lekosit
11.93 (22-07-2017)
4.5 3.8-5.8.106/ul
Eritrosit
7.8 11.0-16.5 g/dL
Hemoglobin
25.8 35-45 %
Hematokrit
56.5 80-97 U
MCV
17.1 26.5-33.5
MCH
30.2 31.5-35.0 g/dL
MCHC
713 150-500.103/ul
Trombosit

11
D. Resume

Pasien laki-laki umur 1 tahun 4 bulan datang ke IGD Abepura diantar oleh
keluarga dengan keluhan sesak nafas ± 20 menit sebelum masuk rumah sakit
(SMRS), pasien batuk berdahak sejak ± 1 minggu SMRS. Batuk dirasakan
sejak ± 1 bulan yang lalu, dan sudah mengkonsumsi obat batuk yang dibeli
sendiri di apotik, dan satu minggu SMRS pasien juga berobat ke praktek Sp.A
namun tidak ada perubahan. Pasien juga mengeluhkan demam sejak ± 2
minggu yang lalu dan demam yang dirasakan hilang timbul.
Pada pemeriksaan fisik di IGD, keadaan umum pasien tampak sesak,
kesadaran pasien kompos mentis. Pada tanda-tanda vital didapatkan suhu
badan 38,40c, HR 136 x/menit, respirasi 50 x/menit, Spo2 94%. Kepala/leher
didapatkan keadaan kepala/leher. Konjungtiva anemis (-/-), sklera Ikterik (-/-),
deformitas (-), PCH (+), bibir sianosis (-), Oral kandidiasis (-), Pembesaran

12
Kelenjar Getah Bening (+) diregio colli dekstra dan sinistra ukuran 0,5 x 0,5
cm, dan 2 x 1 cm dengan konsistensi padat, permukaan rata, mobile, nyeri
tekan (-). Pemeriksaan thoraks simetris, ikut gerak nafas, suara nafas
bronkovesikuler menurun pada kedua lapang paru, rhonki (+/+), wheezing (-/-
), BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-). Abdomen supel, tampak cembung,
bising usus (+) normal, hepar/lien tidak teraba. Akral hangat, edema (-/-),
minum baik, BAB baik, BAK baik. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
tanggal 22-07-2017 Hb 7,8 g/dl, leukosit 11.93 x 103/ul, hematokrit 25,8 %,
MCV 56,5 U, MCH 17,1g/dl, MCHC 30,2 g/dl., trombosit 713.000/ul

E. Diagnosa Kerja
- Bronkopneumoni
- TB paru

F. Diagnosis Banding
- Asma
- Bronkitis
- Bronkiolitis

G. Penatalaksanaan
Terapi Awal di IGD :
- O2 nasal 1-2 lpm
- IVFD D5 ½ NS 44 tpm mikro
- Inj. Cefotaxime 2 x 275 mg (i.v)
- Inj. Ranitidin 2 x 11 mg (i.v)
- Inj. Paracetamol 3 x 120 mg
- Nebulizer combivent 0,5 cc

13
Follow Up Ruangan di RKK RSUD Abepura
Tanggal/HP Catatan Tindakan
HP 1 S : Batuk (+), demam (+), sesak - IVFD D5 NS 18 tpm mikro
22/07/2017 berkurang - Inj. Cefotaxim 2 x 500 mg
BB: 11 kg O : KU: TSS Kes: CM - Inj. Gentamisin 2 x 25 mg (i.v)
TTV: - Inj. Dexamethason 2 x 1 mg
SB: 36,50C , HR: 100 x/mnt, RR : 33 - Sanmol drip 3 x 150 mg
x/mnt, SpO2 97% - Nebulizer combivent + NS 2,5 cc/8
Status generalis: jam
Kepala/leher : conjungtiva anemis (-/-), - Cek DL, DDR, x-ray thorax
sklera ikterik (-/-), oral candidiasis (-),
PCH (-)
Thoraks : SN Vesikuler (↓/↓), Rhonki
(+/+), Wheezing (-/-), BJ I-II reguler,
murmur (-), galop (-). Abdomen : Tampak
cembung, Nyeri tekan (-), Hepar/Lien :
ttb/ttb. Ekstremitas : Hangat, edem
tungkai (-/-)
A : Bronkopneumoni
HP 2 S : batuk (+),sesak (-), demam (-) - IVFD D5 NS 18 tpm (mikro)
23/07/2017 O : KU: TSS Kes: CM - Inj. Cefotaxim 2 x 500 mg
BB: 11 kg TTV: - Inj. Gentamisin 2 x 25 mg (i.v)
SB: 36,00C, HR:125x/mnt, RR: 40 - Inj. Dexametason 2 x 1 mg
x/mnt, SpO2: 97% - Sanmol drip 3 x 150 mg
Status generalis: - Nebulizer combivent + NS 2,5 cc/8
Conjungtiva anemis -/-, jam
Sklera ikterik -/-, PCH (-), sekret nasal (-),
Thorax simetris, Rh (+/+), Whz (-/-),
retraksi (+), abdomen supel, BU (N),
sianosis (-), lain-lain dalam batas normal
A : Bronkopneumoni

14
HP 3 S : batuk(+), lendir (+), demam (-), sesak - IVFD D5 NS 18 tpm (mikro)
24/07/2017 (-) - Inj. Cefotaxim 2 x 500 mg
BB: 11 kg O : KU: TSS Kes: CM - Inj. Gentamisin 2 x 25 mg (i.v)
TTV: - Inj. Dexametason 2 x 1 mg
SB: 36,60C, HR:115x/menit, RR:32 - Sanmol drip 3 x 150 mg
x/menit, SpO2: 97%. - Nebulizer combivent 0,3 ml + NS 2,5
cc/8 jam
Status generalis: - Rifampisin 1 x 200 mg
PCH (-), Conjungtiva anemis -/-, Sklera - Izoniazid 1 x 100 mg
ikterik (-/-), secret nasal (-),Thorax - Pirazinamid 1 x 300 mg
simetris, Rh (+/+) Whz (-/-), retraksi (-),
abdomen supel, BU (+), sianosis (-), lain-
lain dalam batas normal
A : Bronkopneumoni, TB paru

HP 4 S : batuk (+), sesak (-), demam (-) - IVFD D5 NS 18 tpm (mikro)


25/07/2017 O : KU: TTS Kes CM - Inj. Cefotaxim 2 x 500 mg
BB: 11 kg TTV: - Inj. Gentamisin 2 x 25 mg (i.v)
SB: 36,90C, HR: 95 x/mnt, RR : 36x/mnt, - Inj. Dexametason 2 x 1 mg
SpO2: 98% - Sanmol drip 3 x 150 mg
- Nebulizer combivent + NS 2,5 cc/8
Status generalis: jam
PCH (-), Conjungtiva anemis -/-, - Rifampisin 1 x 200 mg
Sklera ikterik -/-, Thorax simetris, Rh (+/+) - Izoniazid 1 x 100 mg
Whz (-/-), retraksi (-), abdomen supel, BU - Pirazinamid 1 x 300 mg
(+) normal,lain-lain dalam batas normal
A: Bronkopneumoni, TB paru
HP 5 S : batuk (+) berkurang, demam (-) - Cefixime 2 x 25 mg
02/07/2017 O : KU: TTS Kes : CM - Rifampisin 1 x 200 mg
BB: 12 kg TTV: - Izoniazid 1 x 100 mg
- (Pagi) - Pirazinamid 1 x 300 mg
SB: 36,50c , HR: 110 x/mnt, RR - Pasien boleh pulang
: 36x/mnt, spo2: 97%. - Kontrol poli Jumat. 28-07-2017
Status generalis:
PCH (-), Conjungtiva anemis -/-, Sklera
ikterik -/-, Thorax simetris, Rh (+/+)
minimal, Whz (-), retraksi (-), abdomen
supel, BU (N),lain-lain dalam batas

15
normal
A:
Bronkopneumoni, TB paru

H. Prognosis
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanam : Dubia ad bonam
 Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam

16
PEMBAHASAN DAN ANALISA KASUS

Pasien an. B U laki-laki umur 1 tahun 4 bulan datang ke IGD Abepura


diantar oleh keluarga dengan keluhan sesak nafas ± 20 menit sebelum masuk
rumah sakit (SMRS), pasien sedang tertidur lalu tiba-tiba terbangun,
menangis dan tidak dapat bernapas dengan baik sehingga dibawa ke IGD
RSUD Abepura, sebelumnya pasien tidak pernah mengeluhkan sesak napas.
Berdasarkan anamnesis yang dilakukan pada orang tua pasien, pasien batuk
berdahak sejak ± 1 minggu SMRS, dahak sulit untuk dikeluarkan oleh pasien
sehingga warna dahak tidak ketahui oleh orang tua pasien. Menurut ibu
pasien batuk sudah dirasakan sejak ± 1 bulan yang lalu, batuk darah disangkal
dan sudah mengkonsumsi obat batuk yang dibeli sendiri namun tidak ada
perubahan. Demam naik turun ≥ 2 minggu, dan hilang setelah pemberian
parasetamol namun demam tetap timbul kembali namun demam dirasakan
tidak tinggi. Dari gejala yang didapatkan sesuai dengan gejala pada
bronkopneumoni dan TB paru, yaitu gejala infeksi umum seperti demam,
sakit kepala, gelisah, malasie, penurunan nafsu makan, mual, muntah, diare.
Gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
pernapasan cuping hidung, air hunger, merintih, sianosis.5 Demam lebih dari
2 minggu yang tidak diketahui penyebabnya merupakan salah satu gejala
tuberkulosis. Temuan demam pada pasien TB berkisar antara 40 -80% kasus.
Demam biasanya tidak tinggi dan hilang timbul dalam jangka waktu yang
cukup lama.3,6 Demam pada tuberkulosis terjadi akibat peran dari sel
makrofag dan sel dendritik yang terinfeksi oleh kuman TB sehingga
memproduksi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1b, IL-6, IL-8, IL-12,
IL-15 dan IFN-γ.5 Pada pasien ini ditemukan adanya gejala seperti, batuk ± 1
bulan yang lalu, demam ≥ 2 minggu, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
pernapasan cuping hidung, sehingga untuk mendiagnosis pasti maka perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

17
Berbeda dengan orang dewasa, diagnosis penyakit TB anak merupakan hal
yang sulit karena TB anak merupakan TB primer yang seringkali tidak
menunjukkan gejala yang khas. Upaya pemeriksaan bakteriologis sebagai
diagnosis pasti TB pada anak sulit untuk dilakukan.7 Tuberkulosis paru pada
anak jarang memproduksi sputum. Umumnya anak belum mampu untuk
mengekspektorasi sputum. Upaya untuk mendapatkan sputum pada anak
dilakukan dengan menggunakan metode bilas lambung, namun demikian
hasil BTA (+) tetap rendah, yaitu berkisar 20−40%. WHO melaporkan BTA
(+) pada anak usia 0−14 tahun di Indonesia tahun 2003 hanya 2/100.000
populasi.5,8 Karena sulitnya menemukan M. Tuberculosis sebagai etiologi dari
penyakit tuberculosis pada anak, maka salah satu yang diterapkan di sarana
pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas adalah dengan menggunakan
sistem skoring.5,8 Parameter yang digunakan dalam sistem skoring ini adalah
riwayat kontak dengan penderita dewasa, keadaan gizi, demam yang tidak
diketahui penyebabnya, batuk kronik.5,8,9
Parameter lainnnya, dari aspek pemeriksaan fisik adalah pembesaran kelenjar
limfe, pembengkakan sendi panggul, lutut, falang. Parameter dari aspek
pemeriksaan pemeriksaan penunjang berupa uji tuberkulin dan foto toraks.
Pada sistem skoring terbaru, skor tertinggi terletak pada uji tuberkulin dan
adanya kontak TB dengan BTA positif. Uji tuberkulin mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai uji tapis dalam
menunjang diagnosis. Demikian pula dengan adanya kontak dengan pasien TB
dewasa BTA positif. Pasien TB dewasa dengan BTA positif dapat menjadi
sumber penularan yang utama karena berdasarkan penelitian akan menularkan
kepada sekitar 65% orang disekitarnya.6
Sistem skoring dikembangkan terutama untuk penegakkan diagnosis TB pada
sarana kesehatan dengan fasilitas yang terbatas. Untuk mendiagnosis TB
disarana yang memadai, sistem skoring hanya digunakan sebagai uji tapis.
Setelah itu dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti bilas
lambung (BTA dan kultur M.tuberculosis), patologi anatomi, pungsi pleura,
pungsi lumbal, CT-scan, funduskopi, serta permeriksaan radiologis untuk
tulang dan sendi.3,7

18
Sistem skoring untuk diagnosis tuberkulosis pada anak ditetetapkan oleh
UKK Respirologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Sistem skoring ini
dianggap mudah diterapkan di negara berkembang atau di fasilitas kesehatan
dengan fasilitas terbatas. Sistem skoring yang diterapkan oleh UKK
Respirologi IDAI telah sepakat untuk menggunakan sistem skor yang terdiri
atas delapan kriteria, yaitu adanya kontak dengan TB dewasa, uji kulit
tuberkulin, berat badan/keadaan gizi, demam >2 minggu, batuk >3 minggu,
pembesaran kelenjar limfe, pembengkakan tulang/sendi, dan foto toraks
dengan nilai skor masing-masing 0−3. Diagnosis TB ditegakkan bila jumlah
skor >6, kecuali bila terdapat skrofuloderma langsung didiagnosis sebagai
TB.8,9,10
Pada pasien ini, diagnosis tuberkulosis ditegakkan dengan sistem skoring TB
berdasarkan manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang dan dari hasil
sistem skoring TB penderita berjumlah 6.
Sko
Parameter 0 1 2 3
r
laporan
keluarga,
tidak BTA (-)/
Kontak TB - BTA (+) 2
jelas tidak tahu/
BTA tidak
jelas
Positif
( ≥ 10 mm atau
Uji Tuberkulin ≥ 5 mm pada
negatif - - 0
(Mantoux) keadaan
imunokompromai
s)
klinis gizi
BB/TB < 90% buruk atau
Berat badan/
- atau BB/TB < 70% - 0
keadaan gizi
BB/U < 80% atau
BB/U < 60%
Demam yang tidak
diketahui - ≥ 2 minggu - - 1
penyebabnya
Batuk kronik - ≥ 3 minggu - - 1
Pembesaran kelenjar ≥ 1 cm, lebih
limfe kolli, aksila, - dari 1 KGB, - - 1
inguinal tidak nyeri
Pembengkakan
tulang/sendi ada
- - - -
panggul, lutut, pembengkakan
falang

19
normal/ gambaran 1
kelainan sugestif
Foto toraks - -
tidak (mendukung
jelas TB)

TOTAL SKOR 6

Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat kontak dengan nenek penderita


yang tinggal di rumah yang sama dengan penderita yang mengalami batuk ±
1 bulan, tetapi ini hanya berdasarkan laporan keluarga. Laporan ini pun tidak
jelas karena nenek penderita tidak pernah memeriksakan diri sehingga
keluarga tidak tahu pasti apakah nenek penderita menderita penyakit
tuberkulosis atau tidak, hanya didasarkan pada adanya riwayat batuk lama,
berdasarkan skoring TB adanya riwayat kontak atau laporan keluarga
memiliki skoring yang besar. Uji tuberkulin pada pasien ini tidak dilakukan,
berat badan atau keadaan gizi pada pasien ini dinilai menggunakan kurva
pertumbuhan WHO berdasarkan BB/TB didapatkan nilai z-score diantara +1
dan +2 yang dapat diinterpretasikan gizi normal. Pada pasien ini juga
didapatkan adanya demam yang ≥ 2 minggu tanpa diketahui penyebabnya.
Batuk kronik selama ± 1 bulan, pembesaran kelenjar getah bening pada regio
colli dekstra dan sinistra masing-masing dengan ukuran 0,5 x 0,5 cm dan 2 x
1 cm dengan konsistensi padat, permukaan rata, mobile, nyeri tekan (-), dan
gambaran foto toraks dengan sugestif TB.
Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak tidak menunjukkan manifestasi
respiratorik yang menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering pada
TB paru dewasa. Hal ini dikarenakan TB paru pada anak biasanya berlokasi
di parenkim paru sebagai lanjutan dari proses TB primer, yang mana pada
daerah tersebut tidak terdapat reseptor batuk. Tetapi, gejala batuk kronik pada
anak dapat timbul bila limfadenitis regional menekan bronkus sehingga
merangsang reseptor batuk secara kronik. Selain itu, karena imunitas tubuh
yang menurun akibat penekanan sitokin anti-inflamasi maka anak mudah
mengalami infeksi respiratorik akut berulang. Gejala sesak jarang dijumpai,
kecuali pada keadaan sakit berat yang berlangsung akut, misalnya pada TB
milier, efusi pleura, dan pneumonia TB.3,5,10

20
Pada penderita ditemukan batuk sejak ± 1 bulan yang lalu, dan selama batuk
mengkonumsi obat batuk yang dibeli sendiri diapotik dan tidak menunjukkan
adanya perubahan, hal ini kemungkinan disebabkan karena anak dengan TB
mengalami penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi
respiratorik yang berulang.
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis sebagai manifestasi TB sering
dijumpai. Kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe coli anterior atau
posterior, tetapi juga dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan
supraklavikula. Secara klinis, karakteristik kelenjar yang dijumpai biasanya
multipel, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak hangat pada perabaan, mudah
digerakkan, dan dapat saling melekat (confluence) satu sama lain. Limfadenitis
biasanya merupakan komplikasi dini TB primer, umunya terjadi dalam 6 bulan
pertama setelah infeksi. Sebagian besar infeksi kelenjar limfe superfisialis
terjadi akibat penyebaran limfogen dan hematogen. Pada awal perjalanan
penyakit TB, kuman TB yang mencapai aliran darah dapat bersarang di satu
kelompok atau lebih kelenjar limfe. Dalam beberapa bulan, penyebaran
hematogen dapat terlihat dengan adanya pembesaran sementara (transient).
Sebagian besar lesi di kelenjar akan sembuh total, tetapi sebagian kecil kuman
TB tetap berkembang biak. Manifestasi ini dapat terjadi bertahun-tahun
kemudian.11,13
Pada pasien ini ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening pada
regio coli dekstra dan sinistra masing-masing dengan diameter 0,5 x 0,5 cm
dan 2 x 1 cm dengan konsistensi padat, permukaan rata, mobile, nyeri tekan
tidak ada.
Gambaran foto rontgen toraks pada TB tidak khas, karena kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit-penyakit lain.
Sebaliknya foto rontgen toraks yang normal (tidak terdeteksi secara
radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan
pemeriksaan penunjang lainnya mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan
foto rontgen toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB,
kecuali gambaran milier.8,9 Secara umum gambaran radiologis yang sugestif
TB adalah pembesaran kelenjar hilus dengan atau tanpa infiltrate, konsolidasi

21
segmental, milier, kalsifikasi dengan infiltrate, atelektasis, infiltrate, efusi
pleura, tuberkuloma. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus
merata pada kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas
hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial.19
Pada pasien ini gambaran foto rontgen toraks menunjukkan jantung dalam
batas normal, COR CTR <0,5 tampak bercak infiltrat, sinus kostofrenikus
kanan dan kiri tajam, hemidiafragma kanan dan kiri baik, alignment dan
trabekulasi tulang masih baik, soft tissue dengan dinding normal. Dari hasil
foto rontgen memberikan kesan bronkopneumoni, sugestif TB.
Usia 1 tahun merupakan usia anak balita, dimana anak balita merupakan usia
paling rentan terinfeksi tuberkulosis.14 Hal ini dibuktikan juga oleh penelitian
epidemiologi tahun 1993-2001 pada anak tuberkulosis di Amerika yang
menunjukkan bahwa kasus tuberkulosis lebih banyak ditemukan pada anak
usia di bawah 5 tahun dibandingkan anak usia 10 – 14 tahun. Sistem imunitas
yang belum siap menyebabkan anak balita mudah tertular tuberkulosis.
Sehingga anak balita dengan kondisi seperti gizi buruk, terinfeksi HIV, atau
kontak dengan dewasa penderita tuberkulosis akan meningkatkan faktor
risiko terinfeksi tuberkulosis.15
Rendahnya konsentrasi hemoglobin biasa ditemukan pada anak-anak dengan
tuberkulosis.20 Penyakit infeksi diketahui sebagai salah satu faktor penyebab
anemia pada anak di negara berkembang. abnormalitas tersebut ditemukan
dengan frekuensi yang sama pada kelompok kontrol. Anak dengan
tuberkulosis umunya mengalami abnormalitas hematologi, namun di negara
berkembang abnormalitas tersebut juga dapat muncul pada anak dengan
infeksi lain.14,15 Diperkirakan prevalensi anemia pada anak usia prasekolah di
Afrika sebesar 64,6% dan di Asia sebesar 47,7% dimana faktor gizi
(defisiensi vitamin dan mineral) dan faktor non-gizi seperti infeksi berperan
terhadap terjadinya anemia.16 Rendahnya Hb pada anak berusia ≤ 2 tahun
dapat disebabkan oleh gabungan dari tingginya kebutuhan zat besi untuk
kebutuhan pertumbuhan dan rendahnya asupan makanan yan mengandung zat
besi baik secara kuantitas maupun bioavailabilitas.16 Hal ini didukung dengan

22
data hasil penyelidikan terhadap 11 negara yang berpartisipasi dalam
Demographics and Health Research, ditemukan bahwa setiap bulannya
sekitar 50% dari anak pada rentang usia ini mengalami anemia.26 Penelitian di
Brazil pada anak usia ≤ 2 tahun menunjukkan bahwa usia menjadi faktor
risiko penting yang berkaitan dengan kejadian anemia.15
Pada pasien ini, didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 22-07-
2017 Hb 7,8 g/dl, MCV 56,5 U, MCH 17,1, MCHC 30,2 g/dl yang
menunjukkan adanya anemia, kemungkinan timbulnya anemia adalah karena
adanya infeksi, dan kekurangan mikronutrien pada pasien ini mengingat usia
penderita yang masih membutuhkan banyak nutrisi untuk pertumbuhan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anemia penyakit kronis lebih
banyak ditemukan pada penderita tuberkulosis dibanding dengan anemia
defisiensi besi. Anemia penyakit kronis terjadi karena adanya penekanan
eritropoeisis oleh mediator inflamasi.18 Sitokin inflamasi seperti Tumor
necrosis faktor (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1), dan Interferon gamma (IFN-γ)
terlibat dalam terjadinya anemia penyakit kronik karena mengganggu proses
eritropoeisis, serta TNF- α dan IFN-γ menimbulkan hypoferremia dan
meningkatkan produksi feritin.15,18 Hypoferremia (kekurangan zat besi dalam
darah) yang dipicu oleh perubahan besi dari bentuk transferrin-bound
available menjadi bentuk ferritin-incorporated storage dianggap sebagai hal
utama dalam patogenesis anemia penyakit kronik. Upaya penahanan besi dari
kuman ini juga akan melenyapkan suplai prekursor besi untuk eritropoesis.
Maka dari itu, keadaan defisiensi besi dapat muncul sebagai respon dalam
melawan serbuan kuman.16,18 Ditambah dengan usia anak yang rawan
defisiensi asupan zat besi, anemia defisiensi besi dapat muncul pada
tuberkulosis paru. Anemia pada penderita tuberkulosis paru merupakan
abnormalitas hematologi yang biasa terjadi pada penderita tuberkulosis.14,18
Anemia pada penderita tuberkulosis paru umumnya tergolong ringan atau
sedang. Anemia dapat sembuh sejalan dengan kesembuhan penyakit
tuberkulosis dan pengobatan. Penelitian di Korea menunjukkan hanya sekitar
64,5% pasien mengalami kesembuhan anemia selama pengobatan anti
tuberkulosis. Hal ini dikarenakan yang menjadi faktor prediktif dalam

23
kesembuhan anemia pada penderita tuberkulosis adalah adalah respon tubuh
yang baik terhadap pengobatan, umur (≤ 65 tahun), dan kadar Hb awal yang
baik (initial high hemoglobin).14,15
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (dua bulan
pertama) dan dilanjutkan dengan fase lanjutan/sterilisasi (empat bulan atau
lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular,
sedangkan pemberian obat jangka panjang bertujuan selain untuk membunuh
kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan.8,10
Susunan panduan OAT pada anak adalah 2RHZ/4RH yaitu pada fase intensif
terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) yang diberikan
setiap hari selama 2 bulan (2 RHZ) dan fase lanjutan yang terdiri dari
Rifampisin (R) dan Isoniazid (H) yang diberikan setiap 4 hari selama 4
bulan.8,9 Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpisahkan antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan
pengobatan penyakit penyerta. Selain itu, penting untuk dilakukan pelacakan
sumber infeksi, bila ditemukan sumber infeksi juga harus mendapatkan
pengobatan.8,10

Dosis
Dosis harian
maksimal
Nama Obat Efek samping
(mg/kgBB/hari)
(mg/hari)

Isoniazid Hepatitis, neuritis perifer,


5-15 300
(INH) hipersensitivitas

Gastrointestinal, reaksi kulit,


Rifampisin hepatitis, trombositopenia,
10-20 600
peningkatan enzim hati, cairan
(R)
tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid Toksisitas hati, artralgia,


15-30 2000
(Z) gastrointestinal

24
Neuritis optik, ketajaman mata
Etambutol berkurang, buta warna merah-hijau,
15-20 1250
penyempitan lapang pandang,
(E)
hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

Pada pasien ini hasil skoring TB didapatkan hasil 6 sehingga diterapi dengan
obat anti tuberculosis (OAT), pasien telah diterapi dengan menggunakan OAT
Rifampisin 1 x 200 mg, izoniazid 1 x 100 mg, pirazinamid 1 x 300 mg. Dan
juga terapi lain Inj. Cefotaxim 2 x 500 mg, inj. Gentamisin 2 x 25 mg, inj.
Dexametason 2 x 1 mg, sanmol drip 3 x 150 mg, dan nebulizer combivent 0,3
ml + NS 3,5 cc/8 jam. Sejak terdiagnosis hingga mendapatkan terapi, pasien
memperlihatkan perbaikan secara klinis berupa hilangnya demam dan sesak,
berkurangnya batuk.
Penilaian hasil terapi dilakukan baik dengan evaluasi klinis, laboratorium
maupun radiologis, namun dasar utama evaluasi terapi adalah keadaan klinis
pasien. Terapi TB yang berhasil berdampak nyata pada keadaan klinis pasien.
Pasien akan meningkat nafsu makannya, berat badan naik secara bermakna dan
pasien menjadi lebih jarang sakit. Keluhan klinis seperti demam dan batuk
juga akan menghilang.17

25
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO Indonesia. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit


Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten atau Kota. Alih bahasa: Tim
Adaptasi Indonesia. Jakarta: Depkes RI; 2004
2. World Health Organization. Global tuberculosis report 2014. Geneva; 2014
3. Kementrian Kesehatan RI. Data Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI
4. Hardiono, et al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi Pertama.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004
5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto D. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
Pertama. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008
6. Sumarmo S, Soedarmo P, Hadinegoro SR. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008
7. Werdhani, Retno A. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi
Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Ilmu kedokteran Komunitas, Okupasi,
dan Keluarga FKUI; 2002
8. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis
programmer on the management of tuberculosis in children; 2006
9. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2, Ed. 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000. p.
459-61.
10. Nelson LJ, Schneider E, Wells CD, Moore M. Epidemiology of Childhood
Tuberculosis in the United States 1993-2001: The Need for Continued
Vigilance. Journal Pediatric 2004; 114(2): p. 333-341
11. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama; 2001. p 162, 187, 249-60
12. Hillaliah, R. Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit Tuberkulosis pada
Anak di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. Tesis,
Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2010
13. Tollosa et all., Community knowledge, attitude, practices towards
tuberculosis in Shinile town, Somali regional state, eastern ethiopia: a
cross-sectional study. BMC Public Health. 2014.

26
14. Wessels G, Schaaf HS, Beyers N, Gie RP, Nel E & Donald PR.
Haematological abnormalities in children with tuberculosis. J Trop
Pediatric 1999; 45, 307–310.
15. Velles CM. 2012. Tuberculosis in children. The new England journal of
medicine. Available: http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1008049
16. Paul,et all., Knowledge and attitude of key community members towards
tuberculosis : mixed method study from BRAC TB control areas in
Bangladesh. BMC Public Health. 2015
17. Sectish, Theodore C, and Charles G, Prober. Ilmu Kesehatan Anak
Nelson’s vol. 2 edisi. 15. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC; 2000.
p. 882
18. Tasnim S, Rahman A, Hoque FMA. Patients Knowledge and attitude
towards tuberculosis in an urban setting. Bangladesh; Hindawi Publishing
Corporation; 2012
19. Grafakou O, Moustaki M, Tsolia M, Kavazarakis E, Mathioudakis J,
Fretzayas A, et al. Can chest X-ray predict pneumonia severity. Pediatric
Pulmonol 2004; 38:465–9
20. Brian SE, Alan AS, Shurtleworth M, Gregory DH. A prospective, cross-
sectional study anaemia and peripheral iron status in antiretrovial naїve,
HIV- 1 infected children in Cape Town, South Africa. BMC Infectious
Disease 2002; 2(3):1-6

27

Anda mungkin juga menyukai