Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Osteoarthritis (OA) juga dikenal sebagai artritis degeneratif atau penyakit sendi
degeneratif, adalah sekelompok kelainan mekanik degradasi yang melibatkan sendi, termasuk
tulang rawan artikular dan tulang subchondral. OA merupakan bentuk yang paling umum dari
artritis. Penyakit ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi, terutama pada orang tua.
Selain itu, osteoarthritis ini juga merupakan penyebab kecacatan paling banyak pada orang
tua. Faktor resiko utama penyakit ini adalah obesitas. Oleh sebab itu, semakin tinggi
prevalensi obesitas pada suatu populasi akan meningkatkan angka kejadian penyakit
osteoarthritis.
Osteoarthritis menyerang sendi-sendi tertentu. Sendi yang sering terkena meliputi
tulang belakang pada bagian servikal dan lumbosakral, pinggul, lutut, dan sendi
phalangeal metatarsal. Di tangan, OA juga sering terjadi pada sendi interphalangeal distal
dan proksimal dan pangkal ibu jari. Biasanya sendi-send yang tidak rentan terkena OA
adalah pergelangan tangan, siku, dan pergelangan kaki. Terjadinya OA pada sendi-
sendi yang telah disebutkan di atas dimungkinkan karena sendi- sendi tersebut
mendapat beban yang cukup berat dari aktivitas sehari-hari seperti
memegang/menggenggam benda yang cukup berat (memungkinkan OA terjadi di dasar ibu

jari), berjalan (memungkinkan OA di lutut dan pinggul), dan lain sebagainya. 1


Osteoarthritis dapat didiagnosis berdasarkan kelainan struktur anatomis dan
atau gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini. Menurut studi kadaver pada tahun-
tahun terdahulu, perubahan struktural OA hampir universal, antara lain hilangnya
tulang rawan (dilihat sebagai berkurangnya/menyempitnya ruang sendi pada
pemeriksaan radiologis sinar-x) dan osteofit. Banyak orang yang didiagnosis
mengalami OA berdasarkan temuan radiologis tidak menunjukkan gejala pada sendi.1
Osteoarthritis simptomatik (nyeri pada persendian yang didukung gambaran
radiologis OA) pada lutut terjadi sebesar 12% dari orang usia 60 di Amerika Serikat dan
6% dari seluruh orang dewasa usia 30. OA panggul simptomatik kira-kira sepertiga
dari penyakit OA pada lutut. Sementara OA asimtomatik (tidak menimbulkan gejala
namun sudah dibuktikan dari gambaran radiologis) pada tangan seringkali terjadi pada
pasien usia lanjut. Meski begitu, OA simptomatik di tangan juga terjadi pada 10% orang
tua dan sering menghasilkan keterbatasan fungsi gerak sendi.2,4
Prevalensi OA meningkat berbanding lurus dengan usia. Terlepas dari hal tersebut,
OA jarang terjadi pada orang dewasa di bawah usia 40 tahun dan sangat lazim terjadi
pada orang di atas usia 60 tahun. Penyekit ini juga jauh lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pada pria.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Sendi adalah semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang-tulang tersebut dapatbergerak
satu sama lain, maupun tidak dapat bergerak satu sama lain.pada sendi sinovial dilapisi oleh suatu kartilago yang
terbagi atas dua bagian yaitu kondrosit dan matriks ekstraseluler. Matriksekstraseluler yang mengandung banyak
kolagen tipe II, IX, dan XI serta proteoglikan (terutama agregat). Agregat adalah hubungan antara terminal sentral
protein dengan asam hialuronatmebentuk agreratyang dapat menghisap air. Sesudah kekuatan kompresi hilang
maka air akan kembali pada matriks dan kartilago kembali seperti semula. Jaringan kolagen merupakan
molekulprotein yang kuat. Kolagen ini berfungsi sebagai kerangka dan mencegah pengembangan berlebihan dari
agregat proteoglikan. 3
Rawan sendi hanya mempunyai sedikit kemampuan untuk penyembuhan (reparasi). Agar tetap berfungsi
dengan baik, rawan sendi hanya dapat menanggung perubahan sebab fisis sedikit yaitusebesar 25kg/cm3. Fungsi
utama rawan sendi yaitu disamping memungkinkan gesekan padagerakan, juga menyerap energi beban dengan
mengubah bentuk dan dengan efektif menyebarkan beban tersebut pada suatu daerah yang luas.1,3

Gambar 2.1 Sendi normal


Sumber : www.emedicine.com
Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu : Kapsula dan
ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya. Kapsula dan ligamen-
ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak (Range of motion) sendi.
Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan sendi
sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang disebut
dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai pelumas.
Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan peradangan pada sendi
Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu mekanoreseptor yang
tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang dikirimkannya memungkinkan
otot dan tendon mampu untuk memberikan tegangan yang cukup pada titik-titik tertentu
ketika sendi bergerak. Otot-otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari
pelindung sendi. Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan
akselerasi yang cukup pada anggota gerak untuk menyelesaikan tugasnya. Kontraksi otot
tersebut turut meringankan stres yang terjadi pada sendi dengan cara melakukan deselerasi
sebelum terjadi tumbukan (impact). Tumbukan yang diterima akan didistribusikan ke seluruh
permukaan sendi sehingga meringankan dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago
memiliki fungsi untuk menyerap goncangan yang diterima.7
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan sendi
sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika bergerak.
Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai penyerap tumbukan yang
diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum timbulnya OA dapat terlihat pada kartilago
sehingga penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang kartilago.
Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe dua dan
Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul – molekul aggrekan di
antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul proteoglikan yang berikatan dengan
asam hialuronat dan memberikan kepadatan pada kartilago. Kondrosit, sel yang terdapat di
jaringan avaskular, mensintesis seluruh elemen yang terdapat pada matriks kartilago.
Kondrosit menghasilkan enzim pemecah matriks, sitokin { Interleukin-1 (IL-1), Tumor
Necrosis Factor (TNF)}, dan faktor pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan enzim
tersebut akan merangsang kondrosit untuk melakukan sintesis dan membentuk molekul-
molekul matriks yang baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh
sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor lingkungan.
Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk memecah kolagen tipe
dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang dikelilingi oleh kondrosit.
Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek dari MPM menyebar hingga ke bagian
permukaan (superficial) dari kartilago.
Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi pergantian matriks,
namun stimulasi IL-1 yang berlebih malah memicu proses degradasi matriks. TNF
menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG), oksida nitrit (NO), dan protein
lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis dan degradasi matriks. TNF yang berlebihan
mempercepat proses pembentukan tersebut. NO yang dihasilkan akan menghambat sintesis
aggrekan dan meningkatkan proses pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung
pada proses awal timbulnya OA. 3

2.2 Definisi Osteoarthritis


Osteoarthritis merupakan gangguan pada satu sendi atau lebih, bersifat lokal, progresif dan
degeneratif yang ditandai dengan perubahan patologis pada struktur sendi tersebut yaitu
berupa degenerasi tulang rawan/kartilago hialin. Hal tersebut disertai dengan
peningkatan ketebalan dan sklerosis dari subchondral yang bisa disebabkan oleh
pertumbuhan osteofit pada tepian sendi, peregangan kapsul artikular, synovitis ringan
1
pada persendian, dan lemahnya otot-otot yang menghubungkan persendian.

2.3 Etiologi
Etiologi osteoarthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor biomekanik dan
biokimia sepertinya merupakan faktor terpenting dalam proses terjadinya osteoarthritis.
Faktor biomekanik yaitu kegagalan mekanisme protektif, antara lain kapsul sendi,
ligamen, otot-otot persendian, serabut aferen, dan tulang-tulang. Kerusakan sendi terjadi
multifaktorial, yaitu akibat terganggunya faktor-faktor protektif tersebut. Osteoarthritis
juga bisa terjadi akibat komplikasi dari penyakit lain seperti gout, rheumatoid arthritis, dan
1
sebagainya.

2.4 Klasifikasi
Menurut penyebabnya osteoarthritis dikategorikan menjadi5 :
a. Osteoarhritis primer adalah degeneratif artikular sendi yang terjadi pada sendi tanpa adanya
abnormalitas lain pada tubuh. Penyakit ini sering menyerang sendi penahan beban tubuh (weight
bearing joint), atau tekanan yang normal pada sendi dan kerusakkan akibatproses penuaan. Paling
sering terjadi pada sendi lutut dan sendi panggul, tapi ini juga ditemukan pada sendi lumbal, sendi
jari tangan, dan jari pada kaki
b. Osteoarthritis sekunder, paling sering terjadi pada trauma atau terjadi akibat dari suatu
pekerjaan, atau dapat pula terjadi pada kongenital dan adanya penyakit sistem sistemik.
Osteoarthritis sekunder biasanya terjadi pada umur yang lebih awal daripada osteoarthritis primer.
2.5 Epidemiologi
Penyakit ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi, terutama pada orang tua.
Prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia. Di Amerika Serikat, prevalensi
osteoartritis pada populasi dengan usia di atas 65 tahun mencapai 80% dan diperkirakan

akan meningkat pada tahun 2020. 1,2 OA terjadi pada 13,9% orang dewasa berusia lebih
dari 25 tahun dan 33,6% dari mereka yang berusia lebih dari 65 tahun. Prevalensi sendi
yang terkena OA menurut temuan radiologis adalah pada tangan 7,3%, kaki 2,3%, lutut
0,9%, dan panggul 1,5%. Prevalensi OA menurut gejala yang ditemui yaitu pada tangan
8%, kaki 2%, lutut 12,1% pada orang dewasa berusia lebih dari 60 tahun dan 16% pada
orang dewasa berusi 45 – 60 tahun, dan panggul 4,4%.
Angka kematian yang diakibatkan osteoarthritis adalah sekitar 0,2 hingga 0,3
kematian per 100.000 (1979-1988). Angka kematian akibat OA sekitar 6% dari semua
kematian akibat arthritis. Hampir 500 kematian per tahun disebabkan OA dan angka
tersebut meningkat selama 10 tahun terakhir.2,4
2.6 Faktor resiko
a. Faktor resiko sistemik
1. Usia: merupakan faktor risiko paling umum pada OA. Proses penuaan
meningkatkan kerentanan sendi melalui berbagai mekanisme. Kartilago pada
sendi orang tua sudah kurang responsif dalam mensintesis matriks kartilago
yang distimulasi oleh pembebanan (aktivitas) pada sendi. Akibatnya, sendi pada
orang tua memiliki kartilago yang lebih tipis. Kartilago yang tipis ini akan
mengalami gaya gesekan yang lebih tinggi pada lapisan basal dan hal inilah
yang menyebabkan peningkatan resiko kerusakan sendi. Selain itu, otot-otot
yang menunjang sendi menjadi semakin lemah dan memiliki respon yang kurang
cepat terhadap impuls. Ligamen menjadi semakin regang, sehingga kurang
bisa mengabsorbsi impuls. Faktor-faktor ini secara keseluruhan meningkatkan
kerentanan sendi terhadap OA.

2. Jenis kelamin: masih belum banyak diketahui mengapa prevalensi OA pada


perempuan usila lebih banyak daripada laki-laki usila. Resiko ini dikaitkan
dengan berkurangnya hormon pada perempuan pasca menopause.
3. Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis. Adanya mutasi dalam
gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan sendi
seperti kolagen, proteoglikan berperan dalam timbulnya kecenderungan familial
pada osteoartritis.
b. Faktor intrinsik
1. Kelainan struktur anatomis pada sendi seperti vagus dan valrus.
2. Cedera pada sendi seperti trauma, fraktur, atau nekrosis.
c. Faktor beban pada persendian
1. Obesitas: beban berlebihan pada sendi dapat mempercepat kerusakan
pada sendi.
2. Penggunaan sendi yang sering : aktivitas yang sering dan berulang
pada sendi dapat menyebabkan lelahnya otot-otot yang membantu
pergerakan sendi.5,6,7

2.7 Patogenesis

Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan tidak dapat
dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan keseimbangan dari
metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang penyebabnya masih belum jelas
diketahui. Kerusakan tersebut diawali oleh kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta
diikuti oleh beberapa mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera.7
Pada Osteoarthritis terjadi perubahan-perubahan metabolisme tulang rawan sendi. Perubahan tersebut
berupa peningkatan aktifitas enzim-enzim yang merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi, disertai
penurunan sintesis proteoglikan dan kolagen. Hal ini menyebabkan penurunan kadar proteoglikan, perubahan
sifat-sifat kolagen dan berkurangnya kadar air tulang rawan sendi. Pada proses degenerasi dari kartilago
artikular menghasilkan suatu substansi atau zat yang dapat menimbulkan suatu reaksi inflamasi yang
merangsang makrofag untuk menhasilkan IL-1 yang akan meningkatkan enzim proteolitik untuk degradasi
matriks ekstraseluler.5
Gambaran utama pada Osteoarthritis adalah :8
1. Dektruksi kartilago yang progresif
2. Terbentuknya kista subartikular
3. Sklerosis yang mengelilingi tulang
4. Terbentuknya osteofit
5. Adanya fibrosis kapsul
Perubahan dari proteoglikan menyebabkan tingginya resistensi dari tulang rawan untuk menahan
kekuatan tekanan dari sendi Penurunan kekuatan dari tulang rawan disertai degradasi kolagen
memberikan tekanan yang berlebihan pada serabut saraf dan tentu saja menimbulkan kerusakan
mekanik. Kondrosit sendiri akan mengalami kerusakan. Selanjutnya akan terjadi perubahan komposisi
molekuler dan matriks rawan sendi, yang diikuti oleh kelainan fungsi matriks rawan sendi. Melalui mikroskop
terlihat permukaan mengalami fibrilasi dan berlapis-lapis. Hilangnya tulang rawan akan menyebabkan
penyempitan rongga sendi. Pada tepi sendi akan timbul respons terhadap tulang rawan yang rusak dengan
pembentukan osteofit. Pembentukan tulang baru (osteofit) dianggap suatu usaha untuk memperbaiki dan
membentuk kembali persendian. Dengan menambah luas permukaan sendi yang dapat menerima beban,
osteofit diharapkan dapat memperbaiki perubahan-perubahan awal tulang rawan sendi pada Osteoarthritis. Lesi
akan meluas dari pinggir sendi sepanjang garis permukaan sendi. Adanya pengikisan yang progresif
menyebabkan tulang yang dibawahnya juga ikut terlibat. Hilangnya tulang-tulang tersebut merupakan usaha
untuk melindungi permukaan yang tidak terkena. Sehingga tulang subkondral merespon dengan meningkatkan
selularitas dan invasi vaskular,akibatnya tulang menjadi tebal dan padat (eburnasi). Pada akhirnya rawan sendi
menjadi aus, rusak dan menimbulkan gejala-gejala Osteoarthritis seperti nyeri sendi, kaku, dan deformitas.6,7,8
Patologik pada OA ditandai oleh kapsul sendi yang menebal dan mengalami fibrosis
serta distorsi. Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas
fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya
penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkondral tersebut. Ini
mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yang
selanjutnya menimbulkan bone angina lewat subkondral yang diketahui mengandung ujung
saraf sensibel yang dapat menghantarkan rasa sakit.6
Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator kimiawi
seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi, peregangan tendon atau
ligamentum serta spasmus otot-otot ekstraartikuler akibat kerja yang berlebihan. Sakit pada
sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang
berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis vena
intrameduler karena proses remodelling pada trabekula dan subkondral.
Sinovium mengalami keradangan dan akan memicu terjadinya efusi serta proses
keradangan kronik sendi yang terkena. Permukaan rawan sendi akan retak dan terjadi fibrilasi
serta fisura yang lama-kelamaan akan menipis dan tampak kehilangan rawan sendi fokal.
Selanjutnya akan tampak respon dari tulang subkhondral berupa penebalan tulang, sklerotik
dan pembentukkan kista. Pada ujung tulang dapat dijumpai pembentukan osteofit serta
penebalan jaringan ikat sekitarnya. Oleh sebab itu pembesaran tepi tulang ini memberikan
gambaran seolah persendian yang terkena itu bengkak.5,7
Gambar 2.2 Osteoarthritis
Sumber: www.emedicine.com

2.8 Tanda dan Gejala Klinis

Pada umumnya, pasien OA mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang


dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan Berikut adalah
keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA:
a. Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah dengan
gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan dan tertentu terkadang
dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi gerakan lain. Perubahan ini dapat
ditemukan meski OA masih tergolong dini ( secara radiologis ). Umumnya bertambah
berat dengan semakin beratnya penyakit sampai sendi hanya bias digoyangkan dan
menjadi kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris ( seluruh arah gerakan ) maupun
eksentris ( salah satu arah gerakan saja ).7
Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan kartilago pada sendi tidak
diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga dapat diasumsikan bahwa nyeri yang timbul
pada OA berasal dari luar kartilago.7
Pada penelitian dengan menggunakan MRI, didapat bahwa sumber dari nyeri yang
timbul diduga berasal dari peradangan sendi ( sinovitis ), efusi sendi, dan edema sumsum
tulang.
Osteofit merupakan salah satu penyebab timbulnya nyeri. Ketika osteofit tumbuh,
inervasi neurovaskular menembusi bagian dasar tulang hingga ke kartilago dan menuju
ke osteofit yang sedang berkembang Hal ini menimbulkan nyeri.6
Nyeri dapat timbul dari bagian di luar sendi, termasuk bursae di dekat sendi. Sumber
nyeri yang umum di lutut adalah akibat dari anserine bursitis dan sindrom iliotibial
band.7,8
b. Hambatan gerakan sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan dengan
pertambahan rasa nyeri.7
c. Kaku pagi
Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak
melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup
lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari.7
d. Krepitasi
Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala ini umum
dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya
sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Seiring dengan
perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak tertentu.7
e. Pembesaran sendi ( deformitas )
Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar.7

f. Pembengkakan sendi yang asimetris


Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi yang biasanya
tidak banyak (< 100 cc) atau karena adanya osteofit, sehingga bentuk permukaan sendi
berubah.7
g. Tanda – tanda peradangan
Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri tekan, gangguan gerak, rasa
hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat dijumpai pada OA karena adanya
synovitis. Biasanya tanda – tanda ini tidak menonjol dan timbul pada perkembangan
penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering dijumpai pada OA lutut.7
h. Perubahan gaya berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan merupakan ancaman
yang besar untuk kemandirian pasien OA, terlebih pada pasien lanjut usia. Keadaan ini
selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan terutama pada
OA lutut.7

2.9 Diagnosis
Diagnosis osteoarthritis lutut berdasrkan klinis, klinis dan radiologis, serta klinis dan
laboratoris (JH Klippel, 2001): 10
a. Klinis:
Nyeri sendi lutut dan 3 dari kriteria di bawah ini:
1. umur > 50 tahun
2. kaku sendi < 30 menit
3. krepitus
4. nyeri tekan tepi tulang
5. pembesaran tulang sendi lutut
6. tidak teraba hangat pada sendi
Catatan: Sensitivitas 95% dan spesifisitas 69%.
b. Klinis, dan radiologis:
Nyeri sendi dan paling sedikit 1 dari 3 kriteria di bawah ini:
1. umur > 50 tahun
2. kaku sendi <30 menit
3. krepitus disertai osteofit
Catatan: Sensitivitas 91% dan spesifisitas 86%.
c. Klinis dan laboratoris:
Nyeri sendi ditambah adanya 5 dari kriteria di bawah ini:
1. usia >50 tahun
2. kaku sendi <30 menit
3. Krepitus
4. nyeri tekan tepi tulang
5. pembesaran tulang
6. tidak teraba hangat pada sendi terkena
7. LED<40 mm/jam
8. RF <1:40
9. analisis cairan sinovium sesuai osteoarthritis
Catatan: Sensitivitas 92% dan spesifisitas 75%.

Kriteria diagnosis osteoarthritis tangan adalah nyeri tangan, ngilu atau kaku dan
disertai 3 atau 4 kriteria berikut:10
1. pembengkakan jaringan keras > 2 diantara 10 sendi tangan
2. pembengkakan jaringan keras > 2 sendi distal interphalangea (DIP)
3. pembengkakan < 3 sendi metacarpo-phalanea (MCP)
4. deformitas pada ≥ 1 diantara 10 sendi tangan
Catatan: 10 sendi yang dimaksud adalah: DIP 2 dan 3, PIP 2 dan 3 dan CMC 1 masing-
masing tangan. Sensitivitas 94% dan spesifisitas 87%.

Tes-tes provokasi yang dilakukan untuk memeriksa sendi lutut antara lain :
1. McMurray Test
Tes ini merupakan tindakan pemeriksaan untuk mengungkapkan lesi meniskus medial
dan lateral. Pada tes ini penderita berbaring terlentang dengan satu tangan pemeriksa
memegang tumit penderita dan tangan lainnya memegang lutut. Tungkai kemudian
ditekuk pada sendi lutut. Tungkai bawah eksorotasi dan endorotasi kemudian secara
perlahan-lahan diekstensikan. Kalau terdengar bunyi “klek” atau teraba sewaktu lutut
diluruskan, maka meniskus medial atau bagian lateral yang mungkin terobek (Miller
et al, 2009).

Gambar 2.4 : Pemeriksaan McMurray (Miller et al, 2009)

2. Appley Compresion Test


Tes ini dilakukan untuk menentukan cedera ligamental atau meniskus. Penderita
dalam posisi berbaring tengkurap dengan tungkai bawah difleksikan 90º. Kemudian
dilakukan penekanan pada tumit pasien. Penekanan dilanjutkan sambil memutar
tungkai ke arah dalam (endorotasi) dan luar (eksorotasi). Tes ini apabila pasien
merasakan nyeri pada bagian lutut (Miler et al, 2009)
3. Appley Distraction Test
Tes ini dilakukan untuk menentukan cedera meniskus atau ligamental pada persendian
lutut. Tindakan pemeriksaan ini merupakan kelanjutan dari Appley Comppresion
Test. Lakukan distraksi pada sendi lutut sambil memutar tungkai bawah keluar
(eksorotasi) dan kedalam (endorotasi). Apabila pada distraksi eksorotasi dan
endorotasi itu terdapat nyeri maka hal tes ini positif (Miller et al, 2009)

Gambar 2.5 Pemeriksaan Appley Compression dan Appley Distraction (Miller et al,
2009)

4. Test for Medial Stability


Tes ini untuk menilai instabilitas ligamen kolateral medial. Penderita tidur telentang
dengan lutut ekstensi penuh. Pegang tungkai bawah dengan satu tangan diletakkan
pada lutut bagian posterior lateral dan memaksakan bagian distal tungkai bawah ke
lateral. Buatlah daya valgus pada lutut dan tekanan pada ligamentum kolateral medial.
Manuver dilakukan pada 0º dan fleksi lutut 30º. Tes bernilai positif jika nyeri dan atau
peningkatan pemisahan pada garis sendi medial (Miler et al, 2009)

Gambar 2.6 : Test for Medial Stability (Miller et al, 2009)


5. Joint play movement test fleksi dan ekstensi sendi lutut firm end feel

Gambar 2.7 Tes Khusus Joint play movement (Sugijanto, 2008)

6. Anterior Drawer Test


Merupakan suatu tes untuk mendeteksi ruptur pada ligamen cruciatum lutut. Penderita
harus dalam posisi terlentang dengan panggul fleksi 45°. Lutut fleksi dan kedua kaki
sejajar. Caranya dengan menggerakan tulang tibia ke atas maka akan terjadi gerakan
hiperekstresi sendi lutut dan sendi lutut akan terasa kendor. Posisi pemeriksa di depan
kaki penderita. Jika terdorong lebih dari normal, artinya tes drawer positif

7. Posterior Drawer Test


Sama halnya dengan anterior drawer tes, hanya saja menggenggam tibia kemudian
didorong ke arah belakang
8. Lachman Test
Tes ini dilakukan dengan meletakkan lutut pada posisi fleksi kira-kira dalam sudut
30°, dengan tungkai diputar secara eksternal. Satu tangan dari pemeriksa
menstabilkan tungkai bawah dengan memegang bagian akhir atau ujung distal dari
tungkai atas, dan tangan yang lain memegang bagian proksimal dari tulang tibia,
kemudian usahakan untuk digerakkan ke arah anterior

Berdasarkan beberapa tes yang bisa dilakukan untuk pemeriksaan oa lutut, penelitian
ini akan digunakan tes joint play movement test fleksi dan ekstensi sendi lutut firm end feel
saat melakukan assemen fisioterapi.
Pemeriksaan penunjang rutin yang dilakukan untuk evaluasi OA lutut adalah
pemeriksaan rontgen konvensional. Gambaran khas pada OA lutut adalah adanya osteofit dan
penyempitan celah sendi.

Gambar 2.8 : Rontgen OA Lutut Kellgren & Lawrence (Menkher , 2012)

Tabel 2.1 : Grade kriteria OA sendi lutut secara radiologis, dari Kellgren dan Lawrence
(Anwar, 2012)
Beratnya
Grade Temuan radiologis
OA
Grade 0 Tidak ada Tidak ada gambaran OA
Grade I Diragukan Osteofit kecil, signifikansinya diragukan

a. Osteofit jelas kelihatan


Grade II Minimal
b. Cela sendi tidak terganggu

a. Osteofit jelas kelihatan


Grade III Moderat
b. Pengurangan moderat dari cela sendi

a. Osteofit jelas kelihatan


Grade IV Berat b. Cela sendi amat terganggu atau menyempit
c. Dengan adanya sklerosis tulang subkondral

2.6 Nyeri Pada Osteoarthritis Sendi Lutut


Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman, yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan atau berpotensi terjadinya kerusakan jaringan atau
menggambarkan adanya kerusakan jaringan (Dharmady, 2004).
Nyeri juga merupakan suatu refleks untuk menghindari rangsangan dari luar badan,
atau melindungi dari semacam bahaya, tetapi perasaan nyeri itu terlalu keras atau
berlangsung terlalu lama akan berakibat tidak baik bagi badan. Nyeri juga merupakan
perasaan tidak menyenangkan yang menjadikan tanda bahwa tubuh telah mengalami
kerusakan.
Berdasarkan patofisiologinya nyeri terbagi atas :
1. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat adanya stimulus
mekanis terhadap nociseptor.
2. Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada system saraf.
3. Nyeri idiopatik, nyeri dimana kelainan patologi tidak dapat ditemukan.
4. Nyeri psikologik, penyebab nyeri tidak dapat ditemukan tetapi penderita mengeluh
nyeri dan biasanya keluhan nyeri sering berubah-ubah.
Nyeri diklasifikasikan dalam beberapa bagian yaitu sebagai berikut :
1. Nyeri perifer (peripheral pain)
a. Superfisial : rangsangan secara kimiawi, fisik, pada kulit, mukosa, biasanya
terasa nyeri tajam-tajam didaerah rangsangan.
b. Deep : bila didaerah visceral, sendi, pleura, peritoneum terangsang akan
timbul rasa nyeri dalam. Umumnya nyeri dalam banyak berhubungan dengan
refered pain, keringat, kejang otot didaerah yang berjauhan dari asal nyerinya.
c. Refered pain : rasa nyeri didaerah jauh dari tempat yang terangsang, biasanya
terlihat pada nyeri dalam, yang dirasakan atau menyebarkan nyeri kearah
superficial, kadang-kadang disamping rasa nyeri terjadi pada otot-otot atau
kelainan susunan saraf otonom seperti gangguan vaskuler, berkeringat yang
luar biasa. Penyebaran nyeri yang timbul bisa berupa : hiperalgesia,
hiperasthesia dan allodynia, yang mana penjalaran nyeri ini dapat berasal dari
system somatic maupun sistem otonom.
2. Nyeri sentral (central pain)
Nyeri sentral adalah nyeri yang dirasakan akibat adanya rangsangan dari sistem-
sistem saraf pusat.
3. Nyeri psikologik (psycologic pain)
Penyebab nyeri tidak dapat ditemukan, atau tidak ditemukan kelainan organik tapi
penderita mengeluh nyeri hebat, umumnya keluhan berupa sakit kepala, sakit perut,
dan lain-lain (Tamsuri, A. 2007).

Nyeri osteoartritis sendi lutut, terjadi pada saat menumpu berat badan dan diperberat
pada saat berjalan, berlari, naik turun tangga, dari duduk ke berdiri atau jongkok-berdiri dan
nyeri akan hilang jika di istirahatkan. Rasa nyeri awalnya ringan, timbul secara intermiten
dan sembuh atau hilang dengan sendirinya. Pada perjalanan berikutnya nyeri menetap baik
pada waktu istirahat maupun malam hari.
Rasa nyeri pada saat menumpu berat badan, hal ini disebabkan oleh karena adanya
ketegangan pada membrana sinovial dan tertekannya atau pembebanan berat badan pada
permukaan tulang akibat rangsangan pada periosteum dimana periosteum kaya serabut -
serabut saraf penerima rangsang nyeri. Nyeri pada malam hari dapat terjadi terutama setelah
beraktifitas yang berlebihan, hal ini diduga terjadi karena pembedungan pembuluh darah vena
pada ujung tulang, keadaan ini dapat lebih buruk lagi pada pasien dengan varises dan keluhan
ini dapat berkurang jika tungkai ditinggikan.
Sifat nyeri pada awalnya singkat dan kemudian menjadi lebih konstan, yang dapat
digambarkan menjalar sampai ujung kaki dari sendi yang terkena. Nyeri tajam dan menusuk
disebabkan loose body yang terjepit pada sendi. Nyeri berdenyut berhubungan dengan suatu
episode peradangan dan akan lebih memburuk pada malam hari (Anwar, 2012).
2.7 Mekanisme Timbulnya Nyeri pada Osteoartritis Sendi lutut
Nyeri osteoartritis sendi lutut, terjadi pada saat menumpu berat badan dan diperberat
pada saat berjalan, naik turun tangga atau jongkok berdiri, nyeri akan hilang jika
diistirahatkan. Rasa nyeri awalnya ringan, timbul secara intermiten dan sembuh atau hilang
dengan sendirinya. Pada perjalanan berikutnya nyeri menetap baik pada waktu istirahat
maupun malam hari.
Rasa nyeri pada saat menumpu berat badan, hal ini disebabkan oleh karena adanya
ketegangan pada membran sinovial dan tertekannya atau pembebanan berat badan pada
permukaan tulang akibat rangsangan pada periosteum dimana periosteum kaya akan serabut-
serabut saraf penerima rangsang nyeri.
Kapsul sendi mengalami degenerasi dan proses peradangan kronis. Hal tersebut
mengakibatkan menurunnya elastisitas kemudian menjadi kontraktur dan menyebabkan
keterbatasan gerak dan nyeri regang. Nyeri pada malam hari dapat terjadi terutama setelah
beraktifitas yang berlebihan, hal ini diduga terjadi karena vasokontriksi pembuluh darah vena
pada ujung tulang. Nyeri tajam dan menusuk disebabkan loose body/serpihan tulang rawan
yang terjepit pada sendi. Serpihan tulang rawan yang patah tersebut diantara permukaan sendi
akan menyebabkan penguncian dan peradangan sehingga timbul nyeri.
Spasme otot awalnya sebagai protektif terhadap adanya nyeri dan proses radang. Otot
mengalami ketegangan ataupun kontraksi secara terus-menerus, maka akan menyebabkan
spasme lokal pada extrafusal otot yang kemudian akan menyebabkan vasokontriksi yang
disebabkan penjepitan mikrosirkulasi. Sehingga suplai nutrisi dan oksigen ke otot berkurang
selanjutnya otot akan mengalami hypogizi atau hipoksia yang kemudian akan menyebabkan
ischemic pada spasme lokal. Berkurangnya O2 pada otot juga akan menimbulkan reaksi pada
tubuh berupa inflamasi dimana terjadi vasodilatasi pembuluh darah dalam keadaan otot yang
menegang (neurogenik inflamation). Sementara pada serabut otot yang tidak tegang, terjadi
vasokonstriksi sehingga menyebabkan kurang baiknya penyerapan tropocolagen. Kondisi ini
akan menyebabkan nyeri dimana nyeri akan menyebabkan spasme, spasme akan
menyebabkan ischemic, ischemic akan menyebabkan nyeri dan seterusnya disebut viscous
cyrcle of pain (Anwar, 2012).

2.8 Ultrasound (US)


Ultrasound (US) adalah bunyi atau gelombang suara dimana terjadi peristiwa getaran
mekanik dengan bentuk gelombang longitudinal yang berjalan melalui medium tertentu
dengan frekwensi yang bervariasi (Prentice, 2002).
Terapi US menggunakan transduser yang bergerak dinamis secara sirkular dan
parallel yang dapat merambat melalui media padat, cair, dan gas karena gelombang suara
merupakan rambatan energy sehingga merambat sebagian interaksi dengan molekul dan sifat
enersia media yang dilaluinya.

Gambar 2.9 : Ultrasoud Enraf Nonius Tipe Sonopuls 992


Mekanisme gelombang US terhadap penurunan nyeri yaitu melalui beberapa efek
yang dihasilkan gelombang tersebut. Efek-efek tersebut yang dapat menurunkan nyeri yaitu
(Prentice, 2002) :
a. Efek Mekanik
Bila gelombang ultrasonik masuk ke dalam tubuh maka akan menimbulkan
pemampatan dan peregangan dalam jaringan sama dengan frekwensi dari transduser
ultrasonik sehingga terjadi variasi tekanan dalam jaringan. Dengan adanya variasi
tersebut menyebabkan efek mekanik yang sering disebut dengan istilah mikro massage
yang merupakan efek terapeutik yang sangat penting karena hampir semua efek yang
timbul oleh ultrasonik disebabkan oleh mikro massage.
b. Efek Panas
Mikro massage pada jaringan akan menimbulkan efek friction yang hangat. Panas yang
ditimbulkan oleh jaringan tidak sama tergantung dari nilai akustic impedence,
pemilihan bentuk gelombang, intensitas yang digunakan dan durasi yang pengobatan.
Area yang paling banyak mendapatkan panas adalah jaringan interface yaitu antara
kulit dan otot serta periosteum.
c. Efek Piezoelectrik
Adalah suatu efek yang dihasilkan apabila bahan-bahan piezoelectrik seperti kristal
kwarts, bahan keramik polycrystalline seperti lead-zirconate-titanate dan barium
titanate mendapatkan pukulan atau tekanan sehingga menyebabkan terjadinya aliran
muatan listrik pada sisi luar dari bahan piezoelectric tadi.
Gambar 2.10 : Efek Biofisik (Irfan, 2015)
Indikasi intervensi US adalah untuk kondisi peradangan sub akut dan kronik OA,
kondisi traumatik sub akut dan kronik OA, adanya jaringan parut atau scar tissue pada kulit
sehabis luka operasi atau luka bakar, kondisi ketegangan, pemendekan dan perlengketan
jaringan lunak (otot, tendon dan ligamentum) pada OA dan kondisi inflamasi kronik.
Sedangkan kontra indikasi intervensi US adalah untuk penyakit jantung atau penderita
dengan alat pacu jantung, kehamilan, khususnya pada daerah uterus, jaringan lembut (mata,
testis, ovarium, otak), jaringan yang baru sembuh atau jaringan granulasi baru, pasien dengan
gangguan sensasi, tanda-tanda keganasan atau tumor malignan, insufisiensi sirkulasi darah
(thrombosis, thromboplebitis atau occlisive occular disease), infeksi akut dan daerah
epiphysis untuk anak-anak dan dewasa.
Jadi mekanisme menurunkan intensitas nyeri dengan US yaitu pemberian modalitas
US menimbulkan iritasi pada jaringan menyebabkan timbulnya reaksi peradangan fisiologis,
hal ini disebabkan oleh pengaruh mekanik dan panas ultrasonik. Pengaruh mekanik juga
merangsang syaraf polymodal dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memacu
aktivasi “P substance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder, atau dikenal “neorogenic
inflammation”. Stimulasi “P substance” tersebut mengakibatkan proses induksi proliferasi
akan lebih terpacu sehingga mempercepat terjadinya proses penyembuhan jaringan yang
mengalami kerusakan.
US dapat meningkatkan threshold aktivasi ujung-ujung syaraf melalui efek thermal.
Panas yang dihasilkan terhadap serabut syaraf yang bermyelin besar dapat mengurangi nyeri
melalui “gating mechanism”. Ultrasonik dapat meningkatkan konduksi velositas syaraf
sehingga menimbulkan efek kontra iritasi melalui “thermal mechanism”. Dengan
berkurangnya rasa nyeri maka aktivitas fungsional diharapkan dapat meningkat (Prentice,
2002).

2.9 Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)


Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation/TENS merupakan suatu cara
penggunaan energi listrik guna merangsang sistem syaraf melalui permukaan kulit dan
terbukti efektif untuk merangsang berbagai tipe nyeri. TENS mampu mengaktivasi baik
syaraf berdiameter besar maupun kecil yang akan menyampaikan berbagai informasi sensoris
ke syaraf pusat. Efektifitas TENS dapat diterangkan lewat teori gerbang kontrol (Kuntono,
2000).

Gambar 2.11 : Electroterapy/TENS Enraf Nonius Tipe Endomed 982


Pada TENS konvensional mempunyai bentuk pulsa monophasic, biphasic dan
polyphasic. Monophasic mempunyai bentuk gelombang rektanguler, triangular dan
gelombang separuh sinus searah pada biphasic simetris. Sedangkan pada polyphasic ada
rangkaian gelombang sinus dan bentuk interferensi atau campuran.
Pulsa monopasik atau simetrik bipasik yang mengandung arus galvanik memodulasi
rasa nyeri pada level spinal dengan menghambat serabut syaraf bermielin tipis dan tak
bermielin pada level supraspinal inhibisi produksi dari endorphin. Sedangkan pulsa simetrik
bipasik dan rektanguler bipasik tidak mengandung arus galvanik dan hanya dapat
memodulasi nyeri pada level spinal yaitu menghambat serabut syaraf bermielin tipis dan tak
bermielin.
Pada TENS ini juga menggunakan burst sehingga akan menimbulkan kontraksi otot
sangat jelas pada saat terapi dilakukan. Dari kontraksi ini akan dihasilkan efek samping
pumping action pada otot sehingga akan memacu proses sirkulasi jaringan yang
menyebabkan otot lemas atau tidak tegang (efek sedatif) yang pada akhirnya iritasi pada
syaraf akan berkurang sehingga terjadi modulasi nyeri level sensoris (Kuntono, 2000).

Metoda penempatan elektroda sebagai berikut :


a. Di sekitar lokasi nyeri
Cara ini paling mudah dan paling sering digunakan, sebab metoda ini dapat langsung
diterapkan pada daerah nyeri tanpa memperhatikan karakter dan letak yang paling
optimal dalam hubungannya dengan jaringan penyebab nyeri.
b. Dermatom.
Dasar pemikiran dari metoda ini ialah daerah kulit akan mempunyai persyaratan yang
sama dengan struktur / jaringan yang tepat di bawahnya.
c. Para vertebral
Posisi elektroda diletakkan pada sisi kanan kiri vertebra.
d. Kontra planar / Trough and Through
Metoda ini diterapkan pada sendi yang terasa nyeri.

Indikasi intervensi TENS adalah pada kondisi neurologi (Bell’s palsy, Erbs palsy,
spinal cord injury, trigeminal neuralgia), kondisi musculoskeletal (osteoarthritis, rematoid
arthritis, sakit setelah operasi, low back pain), Viseral pain dan dysmennore, angina pectoris,
keterbatasan gerak dan post fracture.
Kontra indikasi intervensi TENS adalah pada kondisi pacu jantung/pase maker,
kehamilan, inflamasi terlokalisir, thrombosis, metal inplant, tumor, tuberkulosa (Prentice,
2002).
Mekanisme menurunkan intensitas nyeri dengan TENS yaitu dapat mengurangi nyeri
dengan merangsang syaraf halus yang sedikit atau tidak bermyelin yang mengelilingi
jaringan dan pembuluh darah. TENS dapat merangsang pelepasan endorphine dependen
system dan serotonin dependen oleh tubuh, menghambat stimulasi substan “P”.
Pelepasan endorphine dependen system oleh TENS frekwensi rendah dengan
merangsang reseptor sensorik serabut saraf A-delta dan C sehingga dapat menghambat rasa
nyeri pada cornu posterior medulla spinalis.
Di samping berpengaruh pada syaraf, juga mempengaruhi otot sehingga terjadi
pumping actions. Dimana akan terjadi peningkatan sirkulasi darah dan akan mereabsorbsi
inflamasi dan sisa metabolisme sehingga menurunkan iritan pada tingkat noci sensoris
sehingga nyeri berkurang. Dengan berkurangnya rasa nyeri maka aktivitas fungsional
diharapkan dapat meningkat, sehingga panjang langkah akan meningkat pula (Kuntono,
2000).
2.10 Latihan Isometrik
Isometrik adalah kontraksi yang mempengaruhi tenaga melalui ketegangan intra
muscular tanpa perubahan panjang otot. Ketika suatu otot bekerja secara isometrik maka
panjang otot akan memendek dan komponen-komponen non kontraktil sedikit memanjang
serta tidak ada gerakan yang terjadi pada suatu sendi dimana otot melewati sendi tersebut.
Respon isometrik terhadap penguatan otot adalah menghilangkan profokasi, efek
fisiologis didapat. Pada isometrik selain penguatan otot juga meningkatkan stabilitas sendi
(penguatan ligamentum dan struktur sendi). Juga terjadi gliding, serta pemekaran ligamentum
(Sugijanto, 2008).
Gerakan-gerakan isometrik yang terjadi yaitu kontraksi otot yang dilakukan dalam
latihan ini disesuaikan dengan otot mana yang akan diberikan latihan. Bila tujuan latihan
pada otot quadricep, maka seolah-olah terjadi gerakan ekstensi lutut (Rubensteins, 2005).
Dosis latihan disini diberikan sebanyak 2 seri 10 repetisi. 6 detik kontraksi, 9 detik
istirahat, kemudian istirahat selama 30 detik sebelum masuk pada seri berikutnya. Hal
tersebut mengacu pada penghitungan 1 RM menurut Holten, dengan tujuan latihan untuk
meningkatkan kekuatan aerobik lokal (Kisner, 2007).

2.11 Stretching
2.11.1 Pengertian
Stretching atau peregangan merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu manuver terapeutik yang bertujuan untuk memanjangkan struktur
jaringan lunak yang memendek baik secara patologis maupun non patologis sehingga dapat
meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS).
Stretching terdapat 3 tipe cara, yaitu static stretching, ballistic stretching,
proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF) stretching (Freshmen, 2002). Pada penelitian
ini stretching otot hamstring dilakukan dengan metode auto static stretching, dimana didalam
auto static stretching dilakukan proses penguluran otot dan diberikan tahanan selama 10-60
detik, banyak pengulangan dan menghasilkan sedikit nyeri tetapi kecil untuk mengalami
cidera saat latihan.
Auto static stretching adalah stretching otot pada posisi yang benar, yang dapat
mencegah atau mengurangi kekakuan dan perasaan yang tidak nyaman. Auto static stretching
dapat mengurangi iritasi terhadap saraf yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal
cross link. Auto static stretching merupakan stretching yang efektif karena berpengaruh
terhadap semua otot yang membatasi gerakan. (Evjenth et al,1997)
Alasan penerapan teknik ini adalah bahwa kontraksi isotonik yang dilakukan saat auto
static stretching dari otot yang mengalami pemendekan akan menghasilkan otot memanjang
secara maksimal tanpa perlawanan.
Pemberian auto static stretching yang dilakukan secara perlahan juga akan
menghasilkan peregangan pada sarkomer sehingga peregangan akan mengembalikan
elastisitas sarkomer yang terganggu pada saat melakukan auto static stretching (Ismaningsih,
2011).
Auto static stretching merupakan stretching yang efektif, karena berpengaruh terhadap
semua otot yang membatasi gerakan. Adapun prinsip untuk mengaplikasikan auto static
stretching adalah sebagai berikut:
1. Posisi awal harus aman dan stabil
2. Fungsi dari otot atau grup otot yang sebenarnya adalah harus selalu dihitung.
3. Latihan harus selalu terkontrol dan mempunyai dampak yang sesuai (diharapkan).
4. Otot atau grup otot harus dalam keadaan terulur di berbagai posisi dan memanjang
sebisa mungkin sehingga dapat mencapai batas dari mobilitas normal.
Prinsip-prinsip vital ini yang membuat auto static stretching efektif dan aman. Auto
static stretching membantu bergerak dengan mudah dan lebih baik. Tidak ada reaksi
perlindungan yang ditimbulkan dan tidak terdapat resiko overstretch atau kerobekan pada
otot jika stretching dilakukan secara perlahan dan lembut (Natalia, 2008).
Auto statik stretching dapat mengurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan saraf tipe C
yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal crosslink. Hal ini dapat terjadi karena pada
saat diberikan auto static stretching serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer
penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa serabut atau
abnormal crosslink pada otot yang memendek. Auto static stretching dapat bermanfaat pada
serabut otot yang mengalami pemendekan. Serabut otot yang terganggu akan menyebabkan
penurunan elastisitas otot akibat adanya taut band dalam serabut otot. Sarkomer sebagai
komponen elastis di dalam serabut otot akan mengalami gangguan.
Pemberian auto static stretching yang dilakukan secara perlahan akan menghasilkan
peregangan pada sarkomer sehingga peregangan akan mengembalikan elastisitas sarkomer
yang terganggu (Natalia, 2008).

2.11.2 Respon Mekanik dan Neurofisiologi Pada Otot Terhadap Stretching


Stretching yang diberikan pada otot maka akan memiliki pengaruh yang pertama akan
terjadi pada komponen elastin (aktin dan miosin) dan tegangan dalam otot meningkat dengan
tajam, sarkomer memanjang dan bila dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal
ini hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan (Kisner,
2007).
Respon mekanik otot terhadap peregangan bergantung pada myofibril dan sarkomer
otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut otot. Satu serabut otot terdiri atas beberapa
myofibril. Serabut myofibril tersusun dari beberapa sarkomer yang terletak sejajar dengan
serabut otot. Sarkomer merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen aktin
dan miosin yang saling tumpang tindih. Sarkomer memberikan kemampuan pada otot untuk
berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai kemampuan elastisitas jika diregangkan. Ketika
otot secara pasif diregang, maka pemanjangan awal terjadi pada rangkaian komponen elastis
(sarkomer) dan tension meningkat secara drastis. Kemudian, ketika gaya regangan dilepaskan
maka setiap sarkomer akan kembali ke posisi resting length. Kecenderungan otot untuk
kembali ke posisi resting length setelah peregangan disebut dengan elastisitas.
Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung pada struktur muscle
spindle dan golgi tendon organ. Ketika otot diregang dengan sangat cepat, maka serabut
afferent primer merangsang α (alpha) motor -neuron pada medulla spinalis dan memfasilitasi
kontraksi serabut ekstrafusal yaitu meningkatkan ketegangan (tension) pada otot. Hal ini
dinamakan dengan monosynaptik stretch refleks. Tetapi jika peregangan dilakukan se- cara
lambat pada otot, maka golgi tendon organ terstimulasi dan menginhibisi ketegangan pada
otot sehinggga memberikan pemanjangan pada komponen elastik otot yang parallel (Natalia,
2008).
2.11.3 Indikasi, Kontra Indikasi dan Manfaat Stretching
Indikasi stretching yaitu :
a. Miostatik kontraktur: merupakan kasus yang paling sering terjadi biasanya tanpa
disertai patologis pada jaringan lunak ( soft tissue ) dan dapat diatasi dengan gentle
stretching exercise dalam waktu yang pendek misalnya pada otot hamstring, otot
rektus femoris dan otot gastroknemius.
b. Scar tissue contracture adhession : paling sering terjadi pada kapsul sendi bahu dan
bila pasien menggerakkan bahu terdapat nyeri sehingga pasien cenderung melakukan
imobilisasi akibatnya kadar glikoamino-glikans dan air dalam sendi berkurang
sehingga fleksibilitas dan ekstensibilitas sendi berkurang.
c. Fibrotic adhession : kasus yang lebih berat dari kondisi kedua di atas karena biasanya
bersifat kronis dan terdapat jaringan fibrotik seperti pada kondisi tortikolis.
d. Ireversibel kontraktur : biasanya digunakan untuk mengembalikan lingkup gerak
sendi dengan tindakan operatif karena dengan penanganan manual tidak
menghasilkan dampak yang baik.
e. Pseudomiostatik kontraktur : Pada umumnya diakibatkan gangguan pada susunan
saraf pusat sehingga mengakibatkan gangguan sistem muskuloskeletal.

Kontra indikasi stretching yaitu :


a. Terdapat fraktur yang masih baru pada daerah hip joint,
b. Post immobilisasi yang lama karena otot sudah kehilangan tensile strength.
c. Ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi akut.
Manfaat stretching adalah :
a. Meningkatkan lingkup gerak sendi.
b. Menghilangkan spasme otot.
c. Meningkatkan panjang jaringan lunak (soft tissue).
d. Meningkatkan komplians jaringan sebagai persiapan pertandingan (Natalia, 2008).

2.10 Pemeriksaan Penunjang


2.10.1 Pemeriksaan Radiologi
Diagnosis OA selain dari gambaran klinis, juga dapat ditegakkan dengan gambaran
radiologis, yaitu menyempitnya celah antar sendi, terbentuknya osteofit, terbentuknya kista,
10
dan sklerosis subchondral.

Gambar 2.3. Pencitraan radiologis sinar-x pada osteoarthritis lutut.


Sumber : LS, Daniel, Deborah Hellinger. 2001. Radiographic Assessment of Osteoarthritis.
American Family Physician. 64 (2): 279-286
Keterangan :

a. Gambar atas kiri : pandangan anteroposterior menunjukkan menyempitnya celah


sendi (tanda panah)
b. Gambar bawah kiri : pandangan lateral menunjukkan sklerosis yang
ditandai terbentuknya osteofit (tanda panah)
c. Gambar atas kanan : menyempitnya celah sendi (tanda panah putih)
menyebabkan destruksi padapada kartilago dan sunchondral (tanda panah
terbuka)
d. Gambar bawah kanan : ditemukan kista subchondral (tanda panah)

Gambar 2.4 Pencitraan radiologis sinar-x osteoarthritis pada jari kaki.


Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis :Degenerative
Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3) : 737-747.

Keterangan: Gambaran radiologis anteroposterior kaki menunjukkan menyempitnya


celah sendi metatarsophalangeal pertama, sklerosis, dan pembentukan
osteofit (panah).9
Gambar 2.5. Pencitraan radiologis sinar-x osteoarthritis pada lutut.

Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis :


Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3) : 737-747.

Keterangan: Gambaran radiologis anteroposterior lutut menunjukkan penyempitan


ruang sendi, sklerosis, dan pembentukan osteofit (panah).10

Gambar 2.6. Pencitraan radiologis sinar-x osteoarthritis pada pinggul.


Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis :
Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3) : 737-747.

Keterangan: Kedua gambar di atas menunjukkan penyempitan ruang superolateral


sendi, sklerosis, kista subkondral, dan pembentukan osteofit (panah).10
2.10.2 Pemeriksaan Laboratorium dan MRI
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna.
Pemeriksaan darah tepi masih dalam batas – batas normal. Pemeriksaan imunologi masih
dalam batas – batas normal. Pada OA yang disertai peradangan sendi dapat dijumpai
peningkatan ringan sel peradangan (< 8000 / m ) dan peningkatan nilai protein. 10
Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah MRI yaitu untuk
mengetahui derajat patologisnya, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan sebagai
penunjang diagnostik dalam osteoarthritis, karena sebagian besar gambaran penyakit ini
sudah bisa dinilai berdasarkan pemeriksaan sinar-x.

2.11 Penatalaksanaan
Strategi pengelolaan pasien dan pilihan jenis pengobatan ditentukan oleh letak sendi
yang mengalami OA, sesuai dengan karakteristik masing-masing serta kebutuhannya. Oleh
karena itu diperlukan penilaian yang cermat pada sendi dan pasiennya secara keseluruhan,
agar pengelolaannya aman, sederhana, memperhatikan edukasi pasien serta melakukan
pendekatan multidisiplin atau holistic.11
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan osteoarthritis adalah:11
1. Meredakan nyeri
2. Mengoptimalkan fungsi sendi
3. Mengurangi ketergantungan kepada orang lain dan meningkatkan kualitas hidup
4. Menghambat progresivitas penyakit
5. Mencegah terjadinya komplikasi

Penatalaksanaan pada pasien dengan osteoarthritis yaitu:


2.11.1 Nonfarmakologis: 11
a. Modifikasi pola hidup
b. Edukasi
c. Istirahat teratur yang bertujuan mengurangi penggunaan beban pada sendi
d. Modifikasi aktivitas
e. Menurunkan berat badan
f. Rehabilitasi medik/ fisioterapi
o Latihan statis dan memperkuat otot-otot
o Fisioterapi, yang berguna untuk mengurangi nyeri, menguatkan otot, dan
menambah luas pergerakan sendi
g. Penggunaan alat bantu (Mairunzi, 2010).

Program rehabilitasi medik yang sering dilakukan pada OA dapat berupa:


1. Fisioterapi12-14
a. Terapi panas
Terapi panas superfisial yaitu panas hanya mengenai kutis atau jaringan sub kutis saja
(Hot pack, infra merah, kompres air hangat, paraffin bath) Sedangkan terapi panas
dalam, yaitu panas dapat menembus sampai ke jaringan yang lebih dalam yang sampai
ke otot,tulang, dan sendi (Diatermi gelombang mikro (MWD), Diatermi gelombang
pendek (SWD), Diatermi gelombang suara ultra(USD). Pada kasus OA digunakan
SWD (short wave diathermi) dan USD (ultra sound diathermi).
Efek panas yang diharapkan adalah :
1) Mengurangi rasa nyeri dengan jalan meningkatkan nilai ambang nyeri ujung syaraf
sensoris. Mekanisme tersebut berdasarkan teori “Gate control” dari malzac dan wall
: rangsangan pada serabut syaraf berdiameter besar akan mempengaruhi transmisi
nyeri yang disalurkan oleh saraf berdiameter kecil.
2) Meningkatkan sifat viscoelastik jaringan kolagen sehingga mengurangi kekakuan
sendi sehingga mengurangi kekuatan sendi.
3) Mengurangi spasme otot, memperbaiki sirkulasi/ suplai darah didaerah nyeri,
meningkatkan metabolism didaerah terapi.
Kontraindikasi SWD:
1) Berkurangnya sensai pada daerah yang akan diterapi
2) Diatas area dengan insufisiensi vaskuler.
3) Diatas area adanya keganasan
4) Penderita hemofili
5) Diatas area dengan inflamasi akut
6) Diatas area yang diketahui ada infeksi
7) Penderita dengan imolant metal
b. Terapi dingin
Terapi dingin digunakan untuk melancarkan sirkulasi darah,mengurangi peradangan,
mengurangi spasme otot dan kekakuan sendi sehingga dapat mengurangi nyeri. Dapat
juga menggunakan es yang di kompreskan pada sendi yang nyeri. Terapi dingin dapat
berupa cryotherapy, kompres es dan masase es.
c. Terapi listrik
Yang digunakan adalah TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation). TENS
merupakan modalitas yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri
melalui peningkatan ambang rangsang nyeri.
d. Hidroterapi
Hidroterapi bermanfaat untuk memberi latihan. Daya apung air akan membuat ringan
bagian atau ekstermitas yang direndam sehingga sendi lebih mudah digerakan. Suhu air
yang hangat akan membantu mengurangi nyeri, relaksasi otot dan memberi rasa
nyaman.
e. Latihan
Latihan diketahui dapat meningkatkan dan mempertahankan pergerakan sendi,
menguatkan otot, meningkatkan ketahanan statik dan dinamik dan meningkatkan fungsi
yang menyeluruh.Latihan terdiri dari latihan pasif, aktif, ketahanan, peregangan dan
rekreasi.
1. Latihan mobilitas sendi ROM : latihan ini bertujuan menambah / mempertahankan
lingkup gerak sendi , mencegah terjadinya kontraktur, mencegah udem. Latihan
peregangan ini harus ditentukan gradasinya sesuai dengan tingkat inflamasi, nyeri,
toleransi penderita terhadap nyeri, modalitas panas dapat dilakukan dalam latihan
peregangan yaitu untuk meningkatkan daya lentur jaringan kolagen, ltihan dapat
dilakukan dengan pasif maupun aktif
2. Latihan penguatan otot : pengurangan kekuatan sering terjadi pada otot sekitar sendi
yang sakit dan dapat terjadi atrofi.latihan ini bertujuan mempertahankan kekuatan
otot yang ada dan menguatkan otot yang lemah, pada latihan ini kekuatan otot
minimal 3 dan diberikan latihan dengan beban dikenal 2 metode yaitu
1) Isometric : pada dasarnya merupakan kontraksi otot statis, kedua ujung otot
terfiksasi pada tempatnya, tanpa gerakan otot sebagai akibat dari model
kontraksi, kontraksi ini merupakan penggunaan tenaga yang maksimal melawan
obyek yang relatif tidak bergerak dan tanpa perubahan panjang otot, kontraksi
maksimal memberikan hasil yang lebih baik, latihan ini dapat melindungi sendi
dari tekanan yang tidak semestinya dan akan menimbulkan respon inflamasi
yang lebih kecil bila disbanding latihan isotonic
2) Isotonic : latihan isotonic atau kecepatan yang konstan, latihan ini
memungkinkan pembentukan kekuatan maksimal disepanjang lingkup gerak
sendi, latihan isotonic meliputi latihan geerakan sendi dengan kecepatan
konstan yang telah ditentukan sebelumnya, latihan ini menimbulkan gesekan
pada patellofemoral dan tidak dianjurkan pada penderita rheumatoid arthtritis
Latihan yang dapat dilakukan pada OA lutut dapat berupa latihan isotonic maupun
isometric
a) Quadriceps setting exercise: penderita dalam posisi berbaring ditempat tidur
dengan posisi lutut lurus, kemudian penderita disuruh menekan lututnya
kebawah. Pertahankan selama 5 detik, istirahat selama 5 detik dan diulangi
selama 10-15 kali
b) Straight leg raises : penderita dalam posisi berbaring terlentang, bila tungkai
kanan yang akan dilatih maka tingkai kiri dipertahankan lurus, kemudian
tungkai kanandiangkat lurus tinggi-tinggim kemudian diturunkan perlahan-
lahan sampai 15 cm dari atas dan dipertahankan selama 5 detik dan istirahat
selama 5 detik ulangi 5-10 kali. Latihan dilakukan selama 2kali sehari/
c) Progressive resistive exercise (PRE): penderita dalam posisi duduk dengan lutut
dalam keadaan fleksi dan tungkai bawah diberi beban, kemudian luttu
diekstensikan perlahan-lahan sampai tercapai ekstensi maksimal dan
pertahankan selama 5 detik kemudian istirahat, latihan diulangu sampai 10 kali
d) Speda static.
f. Ortotik Prostetik
Digunakan untuk mengembalikan fungsi, mencegah dan mengoreksi kecacatan,
menyangga berat badan dan menunjang anggota tubuh yang sakit. Pada penderita OA
biasa dilakukan rencana penggunaan knee brace atau knee support.14
g. Terapi okupasi
Terapi okupasi meliputi latihan koordinasi aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) untuk
memberikan latihan pengembalian fungsi sehingga penderita bisa melakukan kembali
kegiatan/perkerjaan normalnya.13,14
h. Sosial medik
Tujuannya adalah menyelesaikan/memecahkan masalah sosial yang berkaitan dengan
penyakit penderita, seperti masalah penderita dalam keluarga maupun lingkungan
masyarakat.13,14.
i. Home program atau edukasi :
1) Mengurangi aktivitas yang berdampak besar pada lutut seperti naik turun tangga,
berjalan lama, serta beridir dalam waktu yang lama.
2) Posisi kaki lebih banyak diluruskan saat duduk (jangan ditekuk)
3) Tetap menggunakan WC duduk.
4) Kompress dengan es pada lutut atau daerah yang bengkak
5) Kontrol ke poli rehabilitasi medic secara rutin.

2.10.2 Farmakologis
1. Sistemik
a. Analgetik
- Non narkotik: parasetamol
- Opioid (kodein, tramadol)
b. Antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs)
- Oral
- injeksi
- suppositoria
c. Chondroprotective
Yang dimaksud dengan chondoprotectie agent adalah obat-obatan yang dapat
menjaga dan merangsang perbaikan (repair) tuamg rawan sendi pada pasien OA,
sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting Anti
Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs
(DMAODs). Sampai saat ini yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah:
tetrasiklin, asam hialuronat, kondrotin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-C,
superoxide desmutase dan sebagainya.
a. Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai efek menghambat kerja enzime MMP.
Salah satu contohnya doxycycline. Sayangnya obat ini baru dipakai oleh
hewan belum dipakai pada manusia.
b. Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan dalam
degradasi tulang rawan, antara lain: hialuronidase, protease, elastase dan
cathepsin B1 in vitro dan juga merangsang sintesis proteoglikan dan asam
hialuronat pada kultur tulang rawan sendi. Pada penelitian Rejholec tahun
1987
c. pemakaian GAG selama 5 tahun dapat memberikan perbaikan dalam rasa sakit
pada lutut, naik tangga, kehilangan jam kerja (mangkir), yang secara statistik
bermakna.
d. Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan kelompok
vertebra, dan terutama terdapat pada matriks ekstraseluler sekeliling sel.
Menurut penelitian Ronca dkk (1998), efektivitas kondroitin sulfat pada pasien
OA mungkin melalui 3 mekanisme utama, yaitu : 1. Anti inflamasi 2. Efek
metabolik terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan. 3. Anti degeneratif
melalui hambatan enzim proteolitik dan menghambat oksigen reaktif.
e. Vitamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat aktivitas enzim
lisozim dan bermanfaat dalam terapi OA
f. Superoxide Dismutase, dapat diumpai pada setiap sel mamalia dam
mempunyai kemampuan untuk menghilangkan superoxide dan hydroxyl
radicals. Secara in vitro, radikal superoxide mampu merusak asam hialuronat,
kolagen dan proteoglikan sedang hydrogen peroxyde dapat merusak
kondroitin secara langsung. Dalam percobaan klinis dilaporkan bahwa
pemberian superoxide dismutase dapat mengurangi keluhan-keluhan pada
pasien OA.
2. Topikal
a. Krim rubefacients dan capsaicin.
Beberapa sediaan telah tersedia di Indonesia dengan cara kerja pada umumnya
bersifat counter irritant.
b. Krim NSAIDs
Selain zat berkhasiat yang terkandung didalamnya, perlu diperhatikan campuran
yang dipergunakan untuk penetrasi kulit. Salah satu yang dapat digunakan adalah gel
piroxicam, dan sodium diclofenac.
3. Injeksi intraartikular/intra lesi
Injeksi intra artikular ataupun periartikular bukan merupakan pilihan utama dalam
penanganan osteoartritis. Diperlukan kehati-hatian dan selektifitas dalam penggunaan
modalitas terapi ini, mengingat efek merugikan baik yang bersifat lokal maupun sistemik.
Pada dasarnya ada 2 indikasi suntikan intra artikular yakni penanganan simtomatik dengan
steroid, dan viskosuplementasi dengan hyaluronan untuk modifikasi perjalanan penyakit.
Dengan pertimbangan ini yang sebaiknya melakukan tindakan, adalah dokter yang telah
melalui pendidikan tambahan dalam bidang reumatologi.
a. Steroid: ( triamsinolone hexacetonide dan methyl prednisolone )
Hanya diberikan jika ada satu atau dua sendi yang mengalami nyeri dan inflamasi
yang kurang responsif terhadap pemberian NSAIDs, tak dapat mentolerir NSAIDs atau ada
komorbiditas yang merupakan kontra indikasi terhadap pemberian NSAIDs. Teknik
penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar untuk menghindari penyulit yang timbul.
Sebagian besar literatur tidak menganjurkan dilakukanpenyuntikan lebih dari sekali dalam
kurun 3 bulan atau setahun 3 kali terutama untuk sendi besar penyangga tubuh. Dosis untuk
sendi besar seperti lutut 40-50 mg/injeksi, sedangkan untuk sendi-sendi kecil biasanya
digunakan dosis 10 mg.
b. Hyaluronan: high molecular weight dan low molecular weight
Di Indonesia terdapat 3 sediaan injeksi Hyaluronan. Penyuntikan intra artikular
biasanya untuk sendi lutut (paling sering), sendi bahu dan koksa. Diberikan berturut-turut 5
sampai 6 kali dengan interval satu minggu masing-masing 2 sampai 2,5 ml Hyaluronan.
Teknik penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar. Kalau tidak dapat timbul berbagai
penyulit seperti artritis septik, nekrosis jaringan dan abses steril. Perlu diperhatikan faktor
alergi terhadap unsur/bahan dasar hyaluronan misalnya harus dicari riwayat alergi terhadap
telur. Ada 3 sediaan di Indonesia diantaranya adalah Hyalgan, dan Osflex.
4. Pembedahan
Sebelum diputuskan untuk terapi pembedahan, harus dipertimbangkan terlebih dahulu
risiko dan keuntungannya.
Pertimbangan dilakukan tindakan operatif bila :
1. Deformitas menimbulkan gangguan mobilisasi
2. Nyeri yang tidak dapat teratasi dengan penganan medikamentosa dan rehabilitatif
Ada 2 tipe terapi pembedahan: Realignment osteotomi dan replacement joint
1. Realignment osteotomi
Permukaan sendi direposisikan dengan cara memotong tulang dan merubah sudut dari
weightbearing. Tujuan : Membuat karilago sendi yang sehat menopang sebagian besar
berat tubuh. Dapat pula dikombinasikan dengan ligamen atau meniscus repair.11
2. Arthroplasty
Permukaan sendi yang arthritis dipindahkan, dan permukaan sendi yang baru ditanam.
Permukaan penunjang biasanya terbuat dari logam yang berada dalam high-density
polyethylene.11

Macam-macam operasi sendi lutut untuk osteoarthritis:


a. Partial replacement/unicompartemental
b. High tibial osteotmy : orang muda
c. Patella &condyle resurfacing
d. Minimally constrained total replacement: stabilitas sendi dilakukan sebagian oleh
ligament asli dan sebagian oelh sendi buatan.
e. Cinstrained joint : fixed hinge : dipakai bila ada tulang hilang&severe instability
Indikasi dilakukan total knee replacement apabila didapatkan nyeri, deformitas,
instability akibat dari Rheumatoid atau osteoarthritis. Sedangankan kontraindikasi meliputi
non fungsi otot ektensor, adanya neuromuscular dysfunction, Infeksi, Neuropathic Joint,
Prior Surgical fusion.11
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Umur : 41 thn
Alamat : Mayangan, Probolinggo
Perkerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 5 September 2017

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri lutut sebelah kiri
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri lutut sebelah kiri setelah pasien jatuh di kamar
mandi tiga bulan yang lalu. Pasien tidak bisa mengingat bagaimana posisi pasien saat jatuh.
Setelah jatuh pasien pergi berobat ke tukang pijat untuk memijat lututnya, namun lutut pasien
tambah nyeri dan bengkak. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul, dan tidak
menjalar, hanya pada lutut. Nyeri dirasakan terutama bila penderita berganti posisi (dari
duduk ke berdiri dan dari berdiri ke duduk). Nyeri berkurang bila pasien beristirahat. Saat ini
pasien datang dengan keadaan lutut kanan yang mulai bengkak, panas dan kemerahan. Pasien
mendengar ada bunyi “krek” pada lutut saat akan mulai berjalan atau saat digerakkan.
Kadang-kadang pasien mengalami kaku pada pagi hari namun sebentar, kurang dari 5 menit.
Pasien masih dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa menggunakan alat bantu dan tanpa
bantuan orang lain, namun pasien merasa kesulitan bila harus berjalan jauh dan dalam hal
toileting. Pasien belum pernah ke dokter sebelumnya untuk mengobati lututnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi, DM dan penyakit jantung disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Hanya penderita yang sakit seperti ini.
Riwayat Kebiasaan
Penderita merupakan ibu rumah tangga, perkerjaan sehari-hari berupa menyapu,
memasak (berdiri lama) dan mencuci. Penderita juga sering berbelanja di pasar dengan
berjalan kaki dan membawa keranjang belanja yang cukup berat.
Riwayat Sosisal Ekonomi
Penderita tinggal di rumah dengan suami di rumah berlantai satu, jumlah kamar 2
dengan toilet jongkok. Sumber air adalah sumur bor atau pompa. Sumber listrik berasal dari
PLN. Penderita memiliki 3 orang anak, semuanya belum menikah dan berkerja. Penderita
merupakan pengguna BPJS, biaya pengobatan pasien ditanggung oleh BPJS.
Riwayat Psikologis
Penderita merasa cemas dengan penyakit yang diderita karena penderita takut
penyakitnya bertambah parah, tidak dapat disembuhkan dan menghambat perkerjaan sehari-
harinya.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Tanggal Pemeriksaan 5 September 2017
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Kompos Mentis
GCS : E4M6V5 = 15
Tanda Vital : Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 72 x/menit, reguler, isi cukup
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,5°C
BB : 75 kg
TB : 155 cm
BMI : 31,2 (obesitas derajat I)
Kepala : Konjungtiva anemis ( - ), sklera ikterik ( - ), pupil bulat isokor
diameter 3mm kiri = 3mm kanan, reflex cahaya ( +/+)
Leher : Trakea letak ditengah, pembesaran KGB ( - )
Thoraks : Simetris, retraksi ( - )
Cor : Bising ( - )
Pulmo: Ronkhi ( -/- ) Wheezing ( -/-)
Abdomen : Supel, bunyi usus ( + ) normal
Hepar/Lien : Tidak teraba
Ekstremitas : Ekstremitas: Akral hangat , capillary refill <2 detik.

2. Status Lokalis Regio Genu


Inspeksi : Deformitas ( -/- ) , kemerahan ( -/+), atrofi ( -/-), edema ( -/ +)
Palpasi : Teraba hangat ( -/+ ), Krepitasi ( -/ +)
Movement : Nyeri gerak ( -/+ )

Visual Analogue Scale (VAS) genu dekstra


5 September 2017
0 10
Visual Analogue Scale (VAS) genu sinistra
5 September 2017
0 6 10

3. Lingkup Gerak Sendi (LGS) regio genu dekstra dan sinistra

Dekstra Sinistra
Normal
Aktif Pasif Aktif Pasif
Fleksi 0-130º 0-130º 20-130º 20-130º 0 - 1350
Ekstensi 0-0º 0-0º 20º 0-150

Dekstra Sinistra Normal


Q angle 180 180 13-18º
Lingkar Paha 45 cm 45 cm
Lingkar Betis 32 cm 32 cm
4. Status Motorik

Ekstremitas Inferior
Status Motorik
Dekstra Sinistra
Gerakan Normal Normal
Kekuatan otot 5 4
Tonus otot Normal Normal
Refleks fisiologis Normal Normal
Refleks patologis - -

5. Sensibilitas

Ekstremitas Inferior
Sensibilitas
Dekstra Sinistra
Eksteroseptif Normal Normal
Proprioseptif Normal Normal

6. Tes Provokasi
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Anterior drawer test - -
Posterior drawer test - -
McMurray’s test - -
Apley grinding test - -
Apley distraction test - -
7. Pemeriksaan penunjang

Foto Rontgen genu sinistra AP/lateral pada tanggal 29 Agustus 2017.


Kesan: Osteoatritis (OA) genu sinistra grade II-III. Tak tampak fraktur atupun disloksi tulang.
Osteochondrosis tipe sessile di proximal OS Tibi sinistra

RESUME
Seorang wanita 41 tahun datang dengan keluhan nyeri lutut sebelah kiri setelah jatuh
di kamar mandi kurang lebih tiga bulan yang lalu dan bertambah berat hingga sekarang.
Nyeri dirasakan hilang timbul, timbul saat berganti posisi (dari duduk ke berdiri dan sari
berdiri ke duduk) atau saat duduk dan berdiri terlalu lama.Nyeri berkurang bila pasien
beristirahat. Terdapat kaku pada pagi hari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema dan nyeri gerak pada genu sinistra.
Terdapat pula keterbatsan LGS genu (fleksi- ekstensi genu sinistra: 20-130º). Visual
Analogue Scale dextra 0, sinistra 6.

DIAGNOSIS
Diagnosa klinik : Osteoartritis genu sinistra
Diagnosa Etiologi : Trauma
Diagnosa Topis : Kartilago genu sinistra
Diagnosa fungsional :
Impairment : Nyeri lutut sebelah kiri
Keterbatasan lingkup gerak sendi
Disabilitas : Gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari
Handicap :-

PROBLEM
Nyeri lutut setelah kiri ( VAS 6)
Keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS) genu sinistra
Gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari (AKS) terutama toileting
Kecemasan terhadap penyakit yang diderita
Obesitas derajat I

PROGRAM
a. Fisioterapi
Evaluasi :
 Nyeri regio genu sinistra, VAS genu dekstra 0 dan sinistra 6
 Keterbatasan LGS genu sinistra
 Gangguan AKS seperti berdiri lama, duduk lama, perpindahan posisi dari
duduk ke berdiri dan dari berdiri ke duduk, kesulitan dalam toileting.
Program :
 Terapi dingin pada genu sinistra
 Ultasound regio genu sinistra
 TENS regio genu sinistra
 Latihan LGS aktif genu sinistra sesuai toleransi pasien
 Stretching musculus quadriceps dan hamstring
 Strengthening musculus quadriceps dan hamstring dengan menggunakan
sepeda statis

b. Okupasi Terapi :
Evaluasi :
 Nyeri regio genu sinistra, VAS genu dekstra0 dan sinistra 6
 Gangguan AKS seperti berdiri lama, duduk lama, perpindahan posisi dari
duduk ke berdiri dan dari berdiri ke duduk, kesulitan dalam toileting.
Program :
 Latihan atau edukasi melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari dengan
prinsip mengurangi beban pada sendi lutut (joint protection).

c. Ortotik Prostetik
Evaluasi :
 Nyeri regio genu sinistra, VAS genu dekstra 0dan sinistra 6
 Gangguan AKS seperti berdiri lama, duduk lama, perpindahan posisi dari
duduk ke berdiri dan dari berdiri ke duduk, kesulitan dalam toileting.
 Deformitas (-) tetapi terdapat masalah obesitas
Program :
 Rencana pemakaian Knee Brace, lutut kiri

d. Psikologi
Evaluasi :
 Penderita merasa cemas terhadap penyakit yang diderita
Program :
 Memberi dukungan pada penderita agar rajin mengikuti terapi dan kontrol
secara teratur. Memberi dukungan mental pada penderita agar tidak cemas
dengan penyakit yang diderita.

e. Sosial Medik
Evaluasi :
 Biaya hidup sehari-hari cukup, biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS
Program :
 Memberi edukasi pada penderita dan keluarga mengenai penyakit yang di
derita dan memberi dukungan agar penderita rajin mengikuti terapi.
f. Home Program dan Edukasi
 Mengurangi aktivitas yang berdampak besar pada lutut seperti naik turun
tangga, berjalan lama, serta berdiri dalam waktu yang lama.
 Posisi kaki lebih banyak diluruskan saat duduk (jangan ditekuk).
 Mengganti toilet jongkok dengan toilet duduk atau memodifikasi toilet
jongkok dengan kursi yang dilubangi.
 Kompres dengan es pada lutut.
 Kontrol ke poli rehabilitasi medic secara rutin
 Kontrol ke poli gizi untuk perencanaan diet
BAB IV
KESIMPULAN

Osteoarthritis merupakan gangguan pada sendi yang ditandai dengan


perubahan patologis pada struktur sendi tersebut yaitu berupa degenerasi tulang
rawan/kartilago hialin. Penyakit ini memilik prevalensi yang cukup tinggi,
terutama pada orang tua. Selain itu, osteoarthritis ini juga merupakan penyebab
kecacatan paling banyak pada orang tua. Etiologi osteoarthritis belum diketahui
secara pasti, namun faktor biomekanik dan biokimia sepertinya merupakan faktor
terpenting dalam proses terjadinya osteoarthritis. Ketidakseimbangan antara
pembentukan dan penghancuran matriks-matriks kartilago merupakan kata kunci
dalam perjalanan penyakit ini. Osteoarthritis menyerang sendi-sendi tertentu terutama
sendi-sendi yang mendapat beban cukup berat dari aktivitas sehari-hari.
Osteoarthritis dapat didiagnosis berdasarkan kelainan struktur anatomis dan atau
gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini. Gejala yang sering muncul pada
osteoarthritis adalah nyeri sendi yang diperburuk oleh aktivitas dan gejala akan mereda
setelah istirahat.
Diagnosis osteoarthritis didasarkan pada pemeriksaan fisik dan dilakukan
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologis berupa foto sinar-x sebagai
penunjang/pemastian diagnosis.Gambaran yang ditemukan pada foto sinar-x pasien
dengan osteoarthritis adalah menyempitnya celah antar sendi, terbentuknya osteofit,
terbentuknya kista, dan sklerosis subchondral. Pemeriksaan tambahan lain yang dapat
dilakukan adalah MRI yaitu untuk mengetahui derajat patologisnya, namun pemeriksaan
ini jarang dilakukan sebagai penunjang diagnostik dalam osteoarthritis, karena sebagian
besar gambaran penyakit ini sudah bisa dinilai berdasarkan pemeriksaan sinar-x.
Sampai saat ini belum ada terapi definitif untuk mengobati osteoarthritis. Terapi
yang sudah ada bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri dan meminimalisasi hilangnya
fungsi fisik. Hal ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara
membantu pasien agar tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Anthony S, et al. 2012. Osteoarthritis. Dalam: Harrison’s Principles Of


Internal Medicine Eighteenth Edition. The McGraw-Hill Companies.
2. Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, et al. 2008. Estimates of the prevalence of
arthritis and other rheumatic conditions in the United States. Part II. Arthritis Rheum.
58(1):26–35.
3. Christine G, 1922, Bones and Joint. A Guide for student, second edition, Tokyo,
Churchill Livingstone.
4. Dillon CF, Rasch EK, et al. 2006. Prevalence of knee osteoarthritis in the United States:
arthritis data from the Third National Health and Nutrition Examination Survey 1991–
1994. J Rheumatol. 33(11):2271–2279.
5. David, T. 2006. Osteoarthritis of the knee. The New England Journal of Medicine.
6. Lozada, Carlos J. 2009. Osteoarthritis. http://emedicine.medscape.com. Diakses tanggal
15 maret 2013.
7. Iannone F, Lapadula G. 2003. The pathophysiology of osteoarthritis. Aging Clin
Exp Res. 15(5):364–372.
8. Tjokroprawiro, Askandar, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga
University Press.
9. Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis : Degenerative
Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3):737–747.
10. LS, Daniel, Deborah Hellinger. 2001. Radiographic Assessment of
Osteoarthritis. American Family Physician. 64(2):279–286.
11. Kasmir, Yoga. 2009. Penatalaksanaan Osteoartritis. Sub-bagian Reumatologi, Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
12. Elyas E. Pendekatan Terapi Fisik pada Osteoarthritis. Pertemuan Ilmiah Tahunan
PERDOSRI 2002. Bidang Pendidikan da Latihan Pengurus BesarPERDOSRI. Jakarta,
2002;53-63.
13. Tulaar ABM. Peran Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik padaTatalaksana
Osteoarthritis. Semijurnal Farmasi dan Kedokteran EthicalDigest. Februari 2006;46-54.
14. Mansjoer A, dkk. Reumatologi. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:Media
Aesculapius FKUI, 1999;525-6.

Anda mungkin juga menyukai