Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Rabies juga disebut penyakit anjing gila merupakan penyakit infeksi akut pada
system saraf pusat (otak) disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini merupakan
penyakit zoonosa (zoonosis) yaitu penyakit infeksi yang ditularkan dari hewan ke
manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yaitu anjing,
kera, musang, anjing liar, kucing. Penularan rabies juga biasanya terjadi melalui
gigitan hewan yang telah terinfeksi, pencemaran luka segar atau selaput lendir
dengan saliva atau otak hewan yang telah terinfeksi.1

2.2 Etiologi
Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia Rhabdoviridae , genus
Lyssa. Virus berbentuk peluru dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut dan
pada potongan melintang berbentuk bulat atau elips (lonjong). Virus tersusun dari
ribonukleokapsid dibagian tengah,memiliki membran selubung (amplop) di bagian
luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih
dari 500 buah. Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang
tinggi (glikoprotein). Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm, tonjolan
berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm.2 Virus peka terhadap sinar
ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol 70%, yodium, fenol dan klorofrom. Virus juga
akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi yodium.4 Virus dapat bertahan
hidup selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50%. Pada suhu 600ºC virus mati dalam
waktu 1 jam dan dalam penyimpanan kering beku (freezedried) atau pada suhu 40ºC
dapat tahan selama bebarapa tahun.

Gambar 1. Gambar Struktur Virus Rabies.

Keterangan : Virus rabies dengan bentuk seperti peluru yang dikelilingi oleh paku-
paku glikoprotein. Glikonukleoproteinnya tersusun dari nukleoprotein,
phosphorylated atau phosphoprotein dan polimerase. Diagram melintang ini
menunjukkan lapisan konsentrik yaitu amplop.
2.3.Patogenesis

Gambar 2. Perjalanan Penyakit Rabies

Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka atau kontak langsung dengan
selaput mukosa. Virus srabies tidak bisa menembus kulit yang utuh. Virus rabies
membelah diri dalam otot atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan kemudian
memasuki saraf tepi pada sambungan neuromuskuler. Setelah virus menempel pada
reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus menyebar secara sentripetal melalui serabut
saraf motorik dan juga serabut saraf sensorik tipe cepat dengan kecepatan 50 sampai
100 mm per hari. Setelah melewati medulla spinalis, virus bereplikasi pada motor
neuron dan ganglion sensoris, akhirnya mencapai otak. Virus melekat atau
menempel pada dinding sel inang. Virus rabies melekat pada sel melalui duri
glikoproteinnya, reseptor asetilkolin nikotinat dapat bertindak sebagai reseptor
seluler untuk virus rabies. Kemudian secara endositosis virus dimasukkan ke dalam
sel inang. Pada tahap penetrasi, virus telah masuk kedalam sel inang dan melakukan
penyatuan diri dengan sel inang yang ditempati, terjadilah transkripsi dan translasi.5
Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri dan menyebar
kedalam semua bagian neuron. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron
sentral virus kemudian bergerak ke perifer. Dengan demikian, virus dapat
menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan berkembang biak dalam
jaringan seperti kelenjar ludah. Virus rabies menyebar menuju multi organ melalui
neuron otonom dan sensorik terutama melibatkan jalur parasimpatis yang
bertanggung jawab atas infeksi pada kelenjar ludah, kulit, jantung, dan organ lain.
Gambaran patognomonik dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang
khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar hewan yang terinfeksi
rabies.7

Gambar 3. Negri body.


Gambar 4. Skema patogenesis infeksi virus rabies.
2.1 Masa Inkubasi

Inkubasi (masa tunas) dari virus rabies masuk melalu gigtan sampai
timbul gejala klinis berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun, pada umumnya
3-8 minggu. Menurut WHO rata-rata 30-90 hari.
Variasi masa inkubasi bisa tergantung oleh letak luka gigitan, semakin
dekat dengan otak seperti di atas bahu, gejala klinis akan cepat timbul, juga
kedalaman luka, jenis virus dan jumlah virus yang masuk. 4,5,11 Dipengarui
juga oleh daya tahan tubuh penderita, virulensi virus, banyak gigitan, gigitan
terdapat pada wajah karena dekat dengan medulla oblongata dan banyak
mengandung saraf yang halus dan kecil.2

2.2 Gejala Klinis

1. Pada Hewan

Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium:8,9,11

a. Stadium Prodromal

Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat


berlangsung antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan
temperamen yang masih ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang
dingin/gelap, menyendiri, reflek kornea berkurang, pupil melebar dan hewan
terlihat acuh terhadap tuannya. Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut
dan cepat berontak bila ada provokasi. Dalam keadaan ini perubahan
perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.

b.Stadium Eksitasi

Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal,


bahkan dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang
hewan lain ataupun manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam
keadaan tidak ada provokasi hewan menjadi murung terkesan lelah dan
selalu tampak seperti ketakutan. Hewan mengalami fotofobia atau takut
melihat sinar sehingga bila ada cahaya akan bereaksi secara berlebihan dan
tampak ketakutan.

c. Stadium Paralisis

Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit


untuk dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada
kematian. Hewan mengalami kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan,
akhirnya lumpuh dan mati.

2. Pada Manusia
Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium: 8,9

a. Stadium Prodromal

Gejala awal yang terjadi adalah perasaan gelisah, demam, malaise,


mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh
lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.

b. Stadium Sensoris

Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat


bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang
berlebihan terhadap ransangan sensoris.

c. Stadium Eksitasi

Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan


gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan
terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Penderita
menjadi bingung, gelisah, dan rasa tidak nyaman. Kebingungan menjadi
semakin hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu
ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.

d.Stadium Paralisis

Gejala tidak khas, terdapat monoplegi atau paraplegi flaksid,


kematian karena kelumpuhan otot nafas.

Diagnosis5,6,7
2.1.1. Diagnosa Lapangan

Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat
adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut ;

- Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi.

- Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi.

- Jumlah penderita gigitan.

Penahanan dan observasi klinis selama 10 - 15 hari dilakukan terhadap


anjing, kucing yang walaupun tampak sehat dan diketahui telah menggigit orang
(sedangkan anjing atau kucing yang tidak ada pemiliknya dapat langsung dibunuh
dan diperiksa otaknya)
Berdasarkan pengalaman di lapangan, anjing menggigit lebih dari satu
orang tanpa didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut mati dalam masa
observasi yang kemudian specimen otaknya diperiksa dilaboratorium hasilnya
adalah positif rabies, selanjutnya indikasi kecenderungan rabies di lapangan tanpa
adanya tindakan provokasi dapat ditentukan sebagai berikut :

- Hewan menggigit 1 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 25 %.

- Hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 50 %.

- Hewan menggigit 3 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 75 %.

- Hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 100 %.

2.1.2. Diagnosa Laboratorium

Diagnosa rabies secara laboratorium didasarkan atas :

a. Penemuan badan negri (negri body)


b. Penemuan antigen

c. Penemuan virus (isolasi)

Antigen, badan negri dan virus banyak ditemukan pada sel saraf (neuron)
sedangkan kelenjar ludah dapat mengandung antigen dan virus tetapi badan negri
tidak selalu dapat ditemukan pada kelenjar ludah anjing. Adanya kontaminasi pada
specimen dapat mengganggu pemeriksaan dan khususnya untuk ”isolasi virus”
pengiriman harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kelestarian hidup virus
dalam specimen tetap terjamin sampai ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan dapat berupa seluruh kepala, otak, hippocampus, cortex
cerbri dan cerebellum, preparat pada gelas objek dan kelenjar ludah. Bila negri
body tidak ditemukan, supensi otak (hippocampus) atau kelenjar ludah sub
maksiler diinokulasikan intrakranial pada hewan coba (suckling animals), misalnya
hamster, tikus (mice) atau kelinci (rabbits).
Cara diagnosis rabies secara laboratoris dapat dilakukan dengan :
a. Mikroskopis untuk melihat dan menemukan badan negri, yakni pewarnaan
cepat Sellers, FAT (Fluorescence Antibody Technique) dan histopatologik.
b. Antigen-antibody reaksi dengan uji virus nertralisasi, gel agar presipitasi
atau reaksi peningkatan komplemen dan FAT
Isolasi virus secara biologis pada mencit atau in vitro pada biakan jaringan diikuti
identifikasi isolat dengan cara pewarnaan FAT atau uji virus netralisasi.

2.3 Penatalaksanaan11
Penderita gigitan Anjing, Kucing, Kera segera :
- Cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air mengalir
selama 10 – 15 menit dan beri anti septik (betadine, alkohol 70 %,
obat merah dll)
- Segera ke Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit untuk
mencari pertolongan selanjutnya.
Di Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit di lakukan :
Penanganan luka gigitan :
- Ulangi cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air
mengalir selama 10 – 15 menit dan beri anti septik (betadine,
alkohol 70 %, obat merah dll)
- Amamnesis apakah didahului tindakan provokatif, hewan yang
menggigit menunjukkan gejala rabies, penderita gigitan hewan
pernah divaksinasi dan kapan, hewan penggigit pernah divaksinasi
dan kapan.
- Identifikasi luka gigitan
 Luka resiko tinggi : Jilatan/luka pada mukosa,luka diatas daerah
bahu (mukosa, leher, kepala), luka pada jari tangan, kaki, genetalia,
luka lebar/dalam dan luka yang banyak multiple wound)
 VAR (Vaksin Anti Rabies)
1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
Produksi Institute Merieux Perancis
(Verorab)
Dosis Dewasa/anak sama yaitu : hari ke 0 (pertama berkunjung ke
Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit). Diberikan 2 dosis @ 0,5
ml diberikan deltoideus kanan/kiri.
Hari ke 7 dan 21 diberikan 0,5 ml lagi secara intra muskuler di
deltoideus kanan/kiri. Apabila VAR Verorab + SAR perlu diberikan
booster pada hari ke 90.
2. Suckling Mice Brain Veccine
(SMBV) Produksi Bio Farma
Bandung.
Dosis : Dewasa, dasar 2 ml, diberikan 7x setiap hari sub cutan
didaerah sekitar pusar/umbillus. Ulangan 0,25 ml diberikan ke
11,15,30 dan 90 secara intra cutan dibagian fleksor lengan bawah.
Anak-anak 3 tahun ke bawah, dasar 1 ml diberikan 7x setiap hari
sub cutan disekitar daerah sekitar pusar/umbillus. Ulangan 0,1 ml
diberikan hari ke 11,15,30,dan 90 secara intra cutan dibagian fleksor
lengan bawah. Pemberian SMBV + SAR (Serum Anti Rabies)
Jadwal pemberian VAR dasar sama ulangan boostar jadwalnya 11,
15, 25, 35,
dan 90.

SAR (Serum Anti Rabies)

SAR Heterolog (serum kuda) produksi Bio Farma Bandung, dosis


40 IU/Kg BB, harus dilakukan skin test positif tidak boleh diberikan,
kemasan vial = 20 ml(1 ml = 100 IU)
Serum omolog, misal IMDGAM produksi Pasteur Merieux Perancis,

dosis 20 IU/Kg kemasan Vial 2 ml (1ml = 150 IU) cara pemberian


disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka sebanyak mungkin sisanya
intra muskuler di gluleus/pantat.18
Gambar 5. Tata Laksana Rabies

2.2. Tipe-tipe Vaksin5

Semua vaksin rabies untuk manusia mengandung virus rabies


yang telah diinaktifkan.

1. Vaksin sel diploid manusia (HDCV)

Untuk mendapkatkan suatu suspensi virus rabies yang bebas


dari protein asing dan protein sistem saraf, virus rabies diadaptasi
untuk tumbuh dalam lini sel fibroblast normal manusia WI-38.
Preparasi virus rabies dipekatkan oleh ultrafiltrasi dan diinaktivasi
dengan β-propiolakton. Tidak ada reaksi ensefalitik ataupun
anafilaktik serius yang pernah dilaporkan.

2. Vaksin rabies, terabsorbsi (RVA)

Suatu vaksin yang dibuat dalam lini sel diploid yang berasal dari
sel-sel paru janin kera rhesus diijinkan di AS tahun 1988. Virus vaksin
ini diinaktivasi oleh β- propiolakton dan dipekatkan oleh adsorbsi
dengan aluminium fosfat.

10
3. Vaksin sel embrio ayam yang dimurnikan (PCEC)

Vaksin ini dipreparasi dari strain virus rabies fixed flury LEP
yang tumbuh dalam fibroblast ayam. Diinaktivasi oleh β-
propiolakton dan dimurnikan lebih lanjut oleh sentrifugasi zonal.
4. Vaksin jaringan saraf

Dibuat dari otak domba, kambing atau tikus yang terinfeksi dan
digunakan di banyak bagian dunia termasuk Asia, Afrika dan
Amerika Selatan. Menimbulkan sensitisasi pada jaringan saraf dan
menghasilkan ensefalitis pasca vaksinasi (suatu penyakit alergi)
dengan frekuensi subscansial (0,05%). Perkiraan efektivitasnya pada
orang yang digigit oleh hewan buas/gila bervariasi dari 5 sampai
50%.

5. Vaksin embrio bebek

Vaksin ini dikembangkan untuk meminimalkan masalah


ensefalitis pasca vaksinasi. Virus rabies ditanam dalam telur bebek
berembrio. Jarang terdapat reaksi anafilaktik, tetapi antigenisitas
vaksinnya rendah, sehingga beberapa dosis harus diuji untuk
mendapatkan respon antibodi yang memuaskan.

6. Virus hidup yang dilemahkan

Virus hidup yang dilemahkan yang diadaptasi untuk tumbuh


pada embrio ayam (misalnya, strai flury) digunakan untuk hewan
tetapi tidak untuk manusia. Kadang-kadang vaksin demikian bisa
menyebabkan kematian oleh rabies pada kucing atau anjing yang
disuntik. Virus rabies yang tumbuh pada biakan sel hewan yang
berlainan telah dipakai sebagai vaksin untuk hewan piaraan.

Prosedur
1) Penanganan luka gigitan hewan penular rabies :
 Cuci luka gigitan hewan tersangka rabies dengan air (seba air
yang mengalir), dengan sabun atau detergent selama 10 menit.
 Beri antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain).
 Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan si
2) Dosis dan cara pemberian vaksin anti rabies :
 Vaksin PVRV ( Purufied Vero Rabies Vaccine) terdiri dari v
kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe
 Dosis dan cara pemberiannya sesudah digigit ada Cara
pemberiannya adalah Disuntikkan secara muskular (im) didaerah
deltoideus / lengan atas kanan dan kiri. Dosis untuk anak dan
dewasa sama yaitu 0 dengan 4 kali pemberian yaitu hari ke 0

11
(dua pemberian sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian hari ke
21 satu kali pemberian.
 Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan sesudah
digigit ; cara pemberiannya sama diatas. untuk anak dan dewasa
sama yaitu Dasar 0,5 ml den kali pemberian yaitu hari ke 0 (dua
kali pemb sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian dan hari k
satu kali pemberian. Ulangan 0,5 ml sama pada ana dewasa pada
hari ke 90.
 Dosis dan cara pemberian Serum Anti Rabies ( SAR ).
 Serum heterolog ( Kuda ), mempunyai kemasan bentuk vial
( 1ml=100 IU). Cara pemberian ; disuntikkan secara infi
disekitar luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan muscular.
Dosis 40 Iu/KgBB diberikan bersamaan
de pemberian VAR hari ke 0, dengan melakukan skin test ter
dahulu.
 Serum homolog, mempunyai kemasan bentuk vial 2 ml ( 1150
IU). Cara pemberian ; disuntikkan secara infiltrasi dise luka
sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intra muscular.

-Vaksin Anti Rabies dilakukan lengkap bila:


Hewan atau anjing yang menggigit positif rabies
Hewan atau anjing liar atau gila yang tidak dapat di observasi
atau hewan tersebut dibunuh.
-Penyuntikan vaksin anti rabies tidak dilanjutkan bila hewan
yang menggigit tetap sehat selama observasi sampai 10 hari.
-Petugas atau tenaga medis harus memakai sarung tangan,
pakaian dan masker
-Dokter/perawat harus beri penjelasan mengenai jumlah
VAR/SAR, termasuk manfaat ataupun efek samping yang
mungkin timbul.
-Minta persetujuan tindakan sebelum pemberian VAR/SAR Selain
VAR/SAR, terapi hanya bersifat simptomatis dan suportif seperti
pemberian anti kejang.

12
2.4 Komplikasi

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies.


Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan
intracranial, disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi,
hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung.
Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan
dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal
sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik,
sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan terjadi pada fase
neurologik akut.4

2.5 Prognosis

Tanpa penanganan, penderita hanya bertahan sekitar 8


hari, sedangkan dengan penangan suportif, penderita dapat
bertahan hingga beberapa bulan. Sebelum ditemukan
pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari.
Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan nafas,
kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Hingga saat ini belum
ada laporan kasus yang dapat bertahan hidup setelah manifestasi
dari penyakit rabies timbul. Pada manusia yang tidak
mendapatkan vaksin rabies hampir selalu fatal terutama setelah
muncul gejala neurologi, tetapi bila setelah terpapar virus
diberikan vaksin akan mencegah perkembangan virus.8

13
DAF
TAR
PUST
AKA

1. Harijanto, Gunawan, P. N. & Carta, A. Rabies. In: Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007, p 1736-1740.

2. Bagian Neurologi KUH. Standar Pelayanan Medik Neurologi.


Makassar: Bagian Neurologi FKUH; 2011.

3. Bleck, T. P. & Rupprecht, C. E. Rabies Virus. In: Mandell


GL, Bennet JE,Dollin R (Eds). Mandell, Douglas amd
Bennet’s Principles and Practice of I n f e c t i o u s D i s e
a s e s . 5 th e d . P h i l a d e l p h i a : C h u r c h i l l L i v i n
g s t o n e . 2 0 0 0 , p 1811-1820.

4. Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.


Edisi 17. Jakarta:American Public Health Association. 2000, p
427- 436.

5. Mardjono, M. & Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar.


Cetakan Ke- 13.Jakarta: PT. Dian Rakyat. p 169-170.

6. Haryono, Yudha, dkk (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf


Indonesia). Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah
Nasional II C e t a k a n P e r t a m a . Airlangga University
Press: Surabaya. 2006

7. Dr. R. Yoseph Budiman, Sp.S. Pedoman Standar Pelayanan


Medik dan Standar Operasional Prosedur Neurologi. Refika
Aditama ; 2013.

8. Deptan. Patofisiologi Rabies.


Available from:

14
http://www.deptan.go.id/rabies.pdf . Accessed on February 6th
2016.

9. Smith, Jean S. New Aspects of Rabies with Emphasis


on Epidemiology, Diagnosis and Prevention of the Disease
in the United States. C l i n i c a l Microbiology Reviews, Vol.
9, No. 2.27. 2000

10. Hiswani. Pencegahan dan Pemberantasan Rabies. 2003.


Available from: http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-
hiswani10.pdf . Accessed on February 6th 2016.

11. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Situasi


dan Analisis Rabies 2014.

15

Anda mungkin juga menyukai