Anda di halaman 1dari 26

17

BAB II

TINJAUAN LITERATUR

A. Definisi Pajak

Pajak pada dasarnya mempunyai dua fungsi1, yaitu, pertama mengisi kas

negara ( budgetair ) yang merupakan fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat

bagi kas negara untuk kegiatan pemerintahan, baik pembiayaan rutin maupun

pembiayaan pembangunan. Kedua, fungsi mengatur (regulerend), yaitu di samping

sebagai sumber pemasukkan bagi kas negara, pajak juga berfungsi sebagai upaya

pemerintah untuk turut mengatur, bila perlu mengubah susunan pendapatan dan

kekayaan swasta.

Ada banyak ilmuwan dari berbagai bidang, khususnya ilmuwan dibidang

keuangan negara, Ekonomi maupun Hukum yang mengemukakan mengenai

pengertian pajak. Diantaranya adalah sebagai berikut :

 Prof. Dr. Rochmat Soemitro SH, seorang guru besar di Universitas

Padjadjaran, merumuskan pajak sebagai berikut :

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara ( peralihan kekayaan


dari sektor partikulir ke sektor pemerintah ) berdasarkan Undang-
undang ( dapat dipaksakan ) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen
prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk
membiayai pengeluaran umum2.”

 Boediono dalam bukunya Perpajakan Indonesia mengutip beberapa definisi

tentang pajak yang diberikan oleh sarjana manca negara dan memberikan
1
R. Mansury, Kebijakan Fiskal, (Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Pengetahuan Perpajakan,
1999), hal. 3.
2
Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, Cetakan ke IX,
(Bandung: Eresco, 1979), hal. 23.
18

kesimpulan atas definisi pajak yang sesuai dengan perundang-undangan yang

berlaku di Indonesia, yaitu:

“Pajak adalah iuran rakyat kepada negara, berdasarkan Undang-


undang yang dapat dipaksakan dengan imbalan yang diberikan secara
tidak langsung ( umum ) oleh pemerintah, gunanya untuk membiayai
kebutuhan pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengatur di bidang
sosial ekonomi3.”

 P.J.A. Andriani seperti yang dikutip oleh R. Santoso Brotodihardjo

merumuskan pajak sebagai berikut:

“Pajak adalah iuran kepada negara ( yang dapat dipaksakan) yang


terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum yang berhubungan dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan4.”

 Sommerfeld, Anderson dan Brock, merumuskan pajak sebagai:

“Any nonpenal yet compulsory transfer of resources from the private


to the public sector, levied on the basis of predetermined criteria and
without receipt of a specific benefit of equal value, in order to
accomplish some of a nations economic and social objectives5.”

 Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, mengemukakan pendapat

bahwa “ Taxes and Charges are withdraw from the private sector without

leaving the government with a liability to the payee6.”

3
Boediono, Perpajakan Indonesia, (Jakarta: Diadit Media, 2000), hal. 9.
4
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Eresco, 1989), hal. 2.
5
Ray M. Sommerfeld, Hershel M. Anderson, and Harace R. Brock, An Introduction to Taxation, (New
York: Harcourt Brace Jovanivic, Inc, 1983), hal. 1.
6
Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice, (Singapore:
Raw Hill Book Company, 1989), hal. 75.
19

Dari definisi di atas unsur-unsur pokok yang dapat diambil adalah sebagai

berikut :

1. Iuran dari rakyat kepada negara

Negara berhak untuk memungut iuran pajak kepada wajib pajak yang dalam hal

ini adalah rakyat. Beberapa pendapat di atas menyatakan bahwa pajak dipungut

dari sektor privat ke sektor publik. Di Indonesia hal ini tidak berlaku karena

BUMN dan BUMD juga harus membayar pajak.

2. Pajak dibedakan dari hukuman atau denda ( Nonpenal )

Pajak bukan merupakan hukuman atau denda, sebab pajak bukan merupakan

kesalahan dan kesengajaan atau ketidakpatuhan terhadap kewajiban hukum.

3. Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang

Pengenaan pajak harus didasarkan pada kriteria yang telah ditentukan terlebih

dahulu. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah ( fiskus ) harus

berdasarkan Undang-undang harus djelaskan mengenai siapa-siapa subjek yang

dikenakan pajak, apa objek pajaknya, dan bagaimana cara membayar pajaknya.

4. Pajak dapat dipaksakan

Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk membayar pajak. Terhadap wajib pajak

yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya, fiskus mempunyai wewenang

untuk memaksakan wajib pajak agar melaksakanan kewajibannya. Hal ini


20

diwujudkan dalam sanksi-sanksi baik sanksi administratif maupun sanksi pidana.

Fiskus juga mempunyai wewenang untuk menyita harta wajib pajak yang tidak

dapat memenuhi kewajibannya.

5. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi langsung

Wajib Pajak tidak akan mendapatkan jasa timbal balik atau kontraprestasi secara

individual melainkan secara kolektif dengan penduduk lainnya baik yang

membayar pajak maupun yang mungkin tidak membayar pajak.

6. Pajak digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Penerimaan pajak akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran

negara dan untuk membiayai pemerintahan.

B. Azas-azas Perpajakan

Setiap kali menentukan suatu pajak yang akan dipungut, diperlukan penentuan

tujuan utama pemungutan pajak tersebut. Dalam mencapai tujuan utama tersebut

diperlukan suatu azas dalam memilih alternatif pemungutan pajak. Mansury

mengemukakan tentang azas-azas perpajakan yang berpangkal tolak dari sarannya

Adam Smith, bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada empat azas yaitu:

Equality, Certainty, Convinience, dan Economy7.

Secara garis besar, keempat azas tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Keadilan ( Equality )

7
R. Mansury, Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia, Jilid I, (Jakarta: PT Bina Rena
Pariwara, 1994), hal. 4.
21

Subyek-subyek dari setiap negara menyumbang untuk membiayai

pemerintahan, sedekat mungkin, sesuai dengan kemampuan mereka atau

sesuai dengan proporsinya. Berkaitan dengan keadilan, Musgrave dalam

bukunya “Public Finance in Theory and Practice” yang disadur oleh

Mansury menyatakan bahwa ada dua macam azas keadilan yaitu Benefit

Principle dan Ability-to-Pay Principle. Oleh karena kedua azas tersebut untuk

mencapai azas keadilan, maka dua hal ini disebut pendekatan, yaitu

pendekatan manfaat ( Benefit Approach ) dan Ability-to-Pay Approach8.

Benefit Approach adalah bahwa dalam suatu sistem perpajakan yang adil,

maka setiap wajib pajak harus membayar sejalan dengan manfaat yang

dinikmatinya dari kegiatan pemerintah. Pendekatan ini dapat disebut juga the

revenue and expenditure approach, yaitu pendekatan sekaligus atas

penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah. Pendekatan Manfaat ini hanya

dapat diterapkan atas kegiatan pemerintah di bidang public utilities, seperti

pajak reklame, namun tidak dapat diterapkan untuk jasa pertahanan dan jasa

keamanan, serta kegiatan pemerintah lainnya yang manfaatnya sulit

ditentukan untuk orang seseorang atau sulit ditentukan untuk wajib pajak

tertentu mana.

Ability-to-Pay Approach, adalah bahwa pajak itu dibebankan kepada para

wajib pajak berdasarkan kemampuan untuk membayar masing-masing.

8
R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Cetakan Pertama, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1996), hal. 8.
22

2. Kepastian ( Certainty )

Pajak dimana setiap individu terikat untuk membayar pajak harus pasti dan

tidak berubah-ubah. Waktu pembayaran, cara pembayaran, jumlah yang harus

dibayar, harus jelas dan sederhana bagi pembayar pajak. Apabila ketentuan-

ketentuan diatas tidak dipenuhi maka wajib pajak akan membayar lebih atau

kurang atas hutang pajaknya.

3. Kecocokan atau Ketepatan ( Convinience )

Setiap pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak, harus dikenakan pada

waktu atau pada cara yang paling tepat.

4. Ekonomi ( Economy )

Setiap pajak harus disusun atau dibuat baik pada saat diperoleh oleh negara

maupun pada saat diperoleh oleh negara maupun pada saat dikeluarkan dari

kantong wajib pajak, dengan seminimal mungkin biaya yang harus

dikeluarkan oleh keduanya.

Beberapa azas penting lainnya yang disarankan oleh beberapa ahli, disamping

azas-azas yang dikemukakan oleh Adam Smith di atas, antara lain dikemukakan oleh:

1. Jesse Burkhead dalam tulisannya “Tax” dalam Encyclopedia Americana,

mengemukakan Azas “Revenue-Adequacy Principle” atau yang dikenal

dengan “Prinsip Kecukupan Penerimaan”. Azas ini mempunyai pertimbangan-

pertimbangan untuk apa memungut suatu pajak jika penerimaan yang


23

dihasilkan tidak memadai9. Karena pertimbangan di atas, azas ini lebih dekat

dengan kepentingan pemerintah.

2. John F. Due dalam bukunya “Government Finance, An Economic Analysis”

mengemukakan azas “The Neutrality Principle”. Azas netralitas ini

menyatakan bahwa sepatutnya pajak dipungut secara netral, yaitu tidak

mempengaruhi pilihan masyarakat untuk melakukan konsumsi dan juga tidak

mempengaruhi pilihan produsen untuk menghasilkan barang-barang dan jasa,

juga jangan sampai mengurangi semangat orang untuk bekerja, sehingga

memilih santa-santai10. Oleh karena itu, pemindahan sumber daya dari sektor

swasta ke sektor publik perlu dijaga agar tidak menimbulkan distorsi.

3. K. J. Davey mengemukakan suatu azas khususnya bagi perpajakan daerah

yaitu : kecukupan dan elastisitas, keadilan, kemampuan, administratif dan

kesepakatan politis11.

Kecukupan dan Elastisitas

Yang dimaksud dengan kecukupan disini adalah sumber dari pajak yang akan

dipungut tersebut harus menghasilkan penerimaan yang besar, sedangkan elastisitas

merupakan suatu kualitas jenis pajak yang penerimaannya sejalan dengan perubahan

tingkat inflasi dan pendapatan Nasional Kotor ( GNP ).

Keadilan
9
Ibid, hal. 13.
10
Ibid, hal. 13-14.
11
K. J. Davey, Pembiayaan Pemerintahan Daerah : Praktek-Praktek Internasional dan Relevansinya
Bagi Dunia Ketiga, (Jakarta: UI Press, 1988), hal. 39-47.
24

Azas keadilan ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Adam Smith. Pengertian

azas keadilan disini adalah beban pengeluaran pemerintah haruslah dipikul bersama

oleh semua golongan dalam masyarakat, sedangkan azas keadilan yang dikemukakan

oleh Adam Smith lebih memperhatikan sisi wajib pajak.

Kemampuan Administratif

Pengertian kemampuan administratif adalah bahwa sumber pendapatan berbeda baik

dalam jumlah serta kondisinya. Kemampuan administrasi diperlukan untuk

menentukan saat kapan pemajakan dilakukan, yaitu pada saat memiliki suatu barang

atau saat membelanjakan, untuk ini diperlukan kecermatan kemampuan administratif

yang dapat menjaring pemajakan tersebut.

Kesepakatan Politis

Kesepakatan Politis diperlukan dalam pemungutan pajak, yaitu dalam pengenaan

pajak, menetapkan struktur tarif, menentukan siapa yang harus dikenakan pajak dan

bagaimana pajak tersebut ditetapkan, serta memaksakan sanksi kepada para

pelanggar.

Keempat azas yang disarankan oleh K. J. Davey lebih mementingkan pemerintah

daripada masyarakat sebagai pembayar pajak.

C. Penerimaan Daerah dan Pajak Daerah

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan

yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang
25

diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional

yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah

daerah. Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan

pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi,

dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan

desentralisasi terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah

dan lain-lain penerimaan yang sah.

Dalam pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan

daerah tersebut perlu memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan

kewenangan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, antara lain pembiayaan bagi

politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan

fiskal, agama serta kewajiban pengembalian pinjaman pemerintah pusat.

Sumber pendapatan daerah yang diatur dalam pasal 157 Undang-undang No.

32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah meliputi :

1. Pendapatan Asli Daerah

a. Hasil Pajak Daerah

b. Hasil Retribusi Daerah

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah

2. Dana Perimbangan; dan


26

3. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah

Sedangkan sumber Pendapatan Daerah yang diatur dalam pasal 5 dan 6

Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara

pemerintah pusat dan daerah meliputi:

1. Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi adalah:

a. Pendapatan Asli Daerah.

b. Dana Perimbangan.

c. Lain-lain Pendapatan.

2. Sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari :

a. Hasil Pajak Daerah.

b. Hasil Retribusi Daerah.

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan.

d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

Berdasarkan Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas

Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,

bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah khususnya dari hasil Pajak Daerah, telah

ditetapkan lapangan Pajak Daerah berdasarkan Undang-undang No. 34 Tahun 2000

bahwa Pajak Daerah terdiri dari:

1. Jenis Pajak Propinsi terdiri dari :


27

a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air

Permukaan

2. Jenis Pajak Kabupaten atau Kota terdiri dari :

a. Pajak Hotel

b. Pajak Restoran

c. Pajak Hiburan

d. Pajak Reklame

e. Pajak Penerangan Jalan

f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C

g. Pajak Parkir

Mengingat Propinsi DKI Jakarta tidak mempunyai Daerah Kabupaten/Kota,

maka kesemua jenis Pajak Daerah tersebut yang terdiri dari sebelas jenis Pajak

Daerah menjadi satu kesatuan dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Propinsi DKI

Jakarta.

Sutrisno dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Keuangan Negara” mengatakan

bahwa:
28

Pajak Daerah adalah pungutan daerah yang berdasarkan peraturan yang


ditetapkan guna pembiayaan pengeluaran-pengeluaran daerah, sebagai badan
publik, sedangkan lapangan pajaknya, adalah lapangan pajak yang belum
diusahakan oleh negara12.

Soelarno dalam bukunya “Pajak Daerah dan Retribusi Daerah” mengatakan bahwa:

Pajak Daerah adalah Pajak Asli Daerah maupun pajak negara yang diserahkan
kepada daerah, yang pemungutannya diselenggarakan oleh daerah di dalam
wilayah kekuasaannya, yang gunanya untuk membiayai Pengeluaran Daerah
berhubung dengan tugas dan kewajiban mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri, dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku13.
Lebih lanjut Kaho, menyimpulkan pendapat dari berbagai sarjana sebagai berikut :

Pajak Daerah adalah pajak negara yang diserahkan kepada daerah untuk
dipungut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dipergunakan guna
membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik14.

Sedangkan Dave dalam bukunya Pembiayaan Pemerintahan Daerah mengemukakan

bahwa Perpajakan Daerah dapat diartikan sebagai berikut15 :

1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan pengaturan dari


daerah sendiri;
2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan
tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah;
3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut pemerintah daerah;
4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi
hasil pemungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan, atau
dibebani pungutan tambahan (opsen) oleh Pemerintah daerah.

12
Sutrisno, P.H., Dasar-Dasar Ilmu Keuangan Negara, (Yogyakarta: UGM, 1982), hal. 202.
13
Slamet Soelarno, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Jakarta: STIA LAN Press, 1999), hal 22.
14
Yosef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 1997), hal. 129.
15
K.J. Davey, Pembiayaan Pemerintahan Daerah, diterjemahkan oleh Aminullah dkk, (Jakarta: UI-
Prees, 1988), hal. 39-40.
29

Dengan mengacu kepada definisi-definisi tersebut di atas maka pengertian pajak

reklame dapat didefinisikan sebagai berikut :

“Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang
menyelenggarakan reklame kepada daerah tanpa imbalan langsung yang
seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan Peraturan Daerah yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah dan Pembangunan Daerah.”

D. Efisiensi dan Efektifitas Pajak Daerah

Dalam menentukan suatu kebijakan tentang pemberlakuan suatu jenis pajak

daerah perlu diperhatikan berbagai unsur yang berkaitan dengan implementasinya dan

dampak yang mungkin terjadi dikemudian hari. Oleh karena itu sebelum suatu

kebijakan peraturan daerah diberlakukan, terlebih dahulu dikaji tentang tolok ukur

untuk menilai pajak daerah16. Sejauhmana peran pajak daerah dalam memberikan

kontribusi terhadap pendapatan daerah tergantung dari cocok tidaknya pajak daerah

tersebut untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah17.

Devas dalam bukunya Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia menyatakan

bahwa, untuk mengukur berbagai pajak daerah digunakan serangkaian ukuran :

16
Nick Devas and Brian Binder, Anne Booth, Kenneth Davey, Ray Kelly, Opcit, hal. 61-62.
17
M Ikhsan dan Roy V. Salomo, Keuangan Daerah di Indonesia, (Jakarta: STIA LAN Press, 2002) hal.
79.
30

Pertama, Hasil ( yield ) : memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitan

dengan berbagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah tidaknya

memperkirakan besar hasil itu dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi,

pertumbuhan penduduk dan sebagainya, juga perbandingan hasil pajak dengan

biaya pungut.

Kedua, keadilan ( Equality ) : Dasar pajak dan kewajiban membayar harus

jelas dan tidak sewenang-wenang; pajak bersangkutan harus adil secara

horizontal, artinya beban pajak haruslah sama benar antara berbagai kelompok

yang berbeda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama; harus adil secara

vertikal, artinya kelompok yang memiliki sumberdaya ekonomi yang lebih

besar memberikan sumbangan yang lebih besar daripada kelompok yang tidak

banyak memiliki sumberdaya ekonomi; dan pajak itu haruslah adil dari tempat

ke tempat, dalam arti hendaknya tidak ada perbedaan besar dan sewenang-

wenang dalam beban pajak dari suatu daerah ke daerah yang lain, kecuali jika

perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam cara menyediakan layanan

masyarakat.

Ketiga, Daya Guna Ekonomi ( Economic Efficiency ) : dalam hal ini pajak

hendaknya mendorong penggunaan sumber daya secara berdaya guna dalam

kehidupan ekonomi, mencegah jangan sampai pilihan konsumen dan pilihan

produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan bekerja atau

menabung, dan memperkecil beban lebih pajak.


31

Keempat, Kemampuan Melaksanakan Suatu Pajak ( Ability to Implement ) :

dilihat dari sudut kemauan politik dan kemauan tata usaha.

Kelima, Kecocokan Sebagai Sumber Penerimaan Daerah ( Suitable as Local

Revenue Source ) : hal ini berarti, haruslah jelas kepada daerah mana suatu

pajak harus dibayarkan, dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama

dengan tempat akhir beban pajak, pajak tidak mudah dihindari, dengan cara

memindahkan obyek pajak dari suatu daerah ke daerah lain, pajak daerah

jangan hendaknya mempertajam perbedaan-perbedaan antar daerah, dari segi

potensi ekonomi masing-masing; dan pajak hendaknya tidak menimbulkan

beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak daerah.

Ada tiga tolok ukur hasil kebijaksanaan anggaran yang dikenal, yaitu upaya

pajak, hasil guna ( effectiveness ) dan daya guna ( efficiency )18. Uraian lebih lanjut

tentang ketiga tolok ukur tersebut sebagai berikut:

Upaya Pajak ( Tax Effort )

Upaya pajak adalah hasil suatu sistem pajak dibandingkan dengan

kemampuan bayar Pajak Daerah yang bersangkutan. Upaya pajak lebih banyak

menyangkut sistem pajak bersangkutan daripada menyangkut administrasi

penerimaan pajak.

Hasil Guna ( Effectiveness )

18
Ibid, hal. 143-146.
32

Efektifitas adalah untuk mengukur antara hasil pungut suatu pajak dan potensi

hasil pajak itu, dengan anggapan semua wajib pajak membayar pajak masing-masing,

dan membayar seluruh pajak terutang masing-masing.

Hasil guna menyangkut semua tahap administrasi penerimaan pajak:

menentukan wajib pajak, menetapkan nilai kena pajak, memungut pajak, menegakkan

sistem pajak, dan membukukan penerimaan. Ada tiga faktor yang mengancam hasil

guna yaitu: menghindari pajak ( oleh wajib pajak ), kerjasama antara petugas pajak

dengan wajib pajak untuk mengurangi jumlah pajak terhutang, dan penipuan oleh

petugas pajak.

Menentukan wajib pajak :

Dalam menentukan wajib pajak, harus ada prosedur pajak yang menyulitkan

bagi wajib pajak untuk menyembunyikan hutang pajaknya.

Menetapkan nilai pajak terhutang :

Nilai pajak terhutang harus ditentukan dengan cermat dan ini melibatkan

wajib pajak atau petugas pajak atau keduanya dalam menentukan nilai sesungguhnya

dari obyek pajak dalam menentukan tarif pajak yang benar. Semakin besar

wewenang petugas pajak dalam menentukan pajak terhutang, dan semakin besar

peluang untuk berunding dengan wajib pajak, semakin kurang cermat besar pajak

terhutang yang dihasilkan.

Memungut pajak :
33

Memungut pajak terhutang pada waktunya dapat lebih mudah : bila

pembayaran bersifat otomatis, seperti jika orang harus membeli karcis bila masuk

kesuatu tempat, bila pembayaran dapat dipancing, misal, untuk mendapatkan kontrak,

surat izin atau layanan masyarakat lainnya, orang harus menunjukkan surat yang

sudah melunasi pajak terhutang.

Pemeriksaan kelalaian pajak :

Untuk mengetahui wajib pajak yang belum memenuhi kewajibannya

dibutuhkan sistem catatan yang baik sehingga kelalaian pajak dapat segera diketahui,

dan dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan silang dengan jenis-jenis pajak

daerah yang lain. Sistem harus dilengkapi dengan prosedur untuk menegakkan pajak

dan sungguh-sungguh dijalankan.

Prosedur pembukuan yang baik :

Dibutuhkan cara pembukuan yang baik agar semua pajak yang dipungut

petugas pajak benar-benar dibukukan dan masuk rekening pemerintah. Untuk itu

perlu ada langkah-langkah untuk mencegah kehilangan atau pencurian hasil pajak.

Efektifitas pada umumnya digunakan sebagai ukuran keberhasilan perangkat

usaha dan kegiatan dalam rangka pencapaian sasaran yang telah ditetapkan.

Efektifitas pemungutan pajak dalam hal ini, merupakan gambaran kemampuan unit
34

organisasi perpajakan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Secara makro,

efektifitas pemungutan pajak dapat diukur dengan membandingkan realisasi

penerimaan dengan sasaran penerimaan yang direncanakan atau target.

Menurut Zain untuk dapat mengukur tingkatan efektifitas administrasi

perpajakan, maka dapat diketahui, dengan melihat tinggi rendahnya tingkat

penyelundupan pajak. Semakin tinggi tingkat penyelundupan pajak, maka berarti

bahwa tingkat efektifitasnya semakin berkurang dan selanjutnya dianggap pula,

bahwa dengan semakin rendahnya tingkatan efektifitas maka semakin rendah pula

tingkatan kesadaran membayar pajak. Selain itu bila tingkat penyelundupan pajak

tinggi, maka selain menunjukkan administrasi perpajakan yang buruk, juga

menunjukkan bahwa kebijaksanaan yang dibuat pun akan merupakan pekerjaan yang

sia-sia, sehingga penerimaan pemerintah yang ada dari sektor pajak hanya sebagai

kemurahan hati dari wajib pajak, bukan atas dasar rencana penerimaan yang

diharapkan19.

Daya Guna ( Efficiency )

Daya guna adalah mengukur bagian dari hasil pajak yang digunakan untuk

biaya memungut pajak bersangkutan, yang mencakup biaya langsung kantor yang

bersangkutan, biaya operasional dan biaya lain dalam rangka meningkatkan

kepatuhan wajib pajak.

19
Moh. Zain dan Arinta Kustadi, Pembaharuan Perpajakan Nasional, Cetakan Ketiga, (Bandung: PT.
Citra Aditia Bakti, 1990), hal. 111-112.
35

Huseini dalam buku Teori Organisasi menjelaskan tentang efektifitas dan

efisiensi organisasi, yaitu bahwa Efektifitas Organisasi dapat dinyatakan sebagai

tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran.

Efektifitas merupakan suatu konsep yang luas mencakup berbagai faktor didalam

maupun diluar organisasi. Efisiensi organisasi merupakan sebuah konsep yang lebih

terbatas dan menyangkut proses internal yang terjadi dalam suatu organisasi. Efisiensi

menunjukkan banyaknya input atau sumbangan yang diperlukan oleh organisasi

untuk menghasilkan satu satuan output20.

Pendekatan dalam pengukuran efektifitas organisasi salah satunya adalah

pendekatan sasaran ( goal approach ) dimana dalam pengukuran efektifitas

memastikan perhatian terhadap aspek out put, yang direncanakan21. Jika dilihat dari

pendekatan dalam pengukuran efektifitas organisasi sebagaimana dijelaskan di atas,

maka dalam pengukuran efektifitas pemungutan pajak daerah dapat dengan cara

membandingkan antara realisasi penerimaan dengan rencana atau target yang telah

ditentukan.

Untuk mengetahui pengukuran efektifitas pemungutan pajak reklame dengan

menggunakan rumus TPI ( Tax Performance Index )22.

TPI = Realisasi Penerimaan Pajak Reklame

Target Penerimaan Pajak Reklame

20
Martani Huseini dan Lubis, S.B. Hari, Teori Organisasi, Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial,
(Jakarta: UI, 1987), hal. 54-56.
21
Ibid, hal. 54-56.
22
Machfud Sidik dan Soewondo, Keuangan Daerah, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1996), hal. 65-76.
36

Sedangkan menurut Devas, efektifitas adalah untuk mengukur antara hasil pungut

suatu pajak dengan potensi hasil pajak itu dengan anggapan semua wajib pajak

membayar pajak masing-masing, dan membayar seluruh pajak terhutang masing-

masing23.

E. Penegakan Hukum

Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus

dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang

ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan azas-azas keadilan dari

masyarakat tersebut. Dengan demikian, hukum itu bertujuan untuk menjamin adanya

kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada

keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.

S. M. Amin SH dalam bukunya “Bertamasya ke Alam Hukum”, merumuskan

hukum sebagai kumpulan-kumpulan peraturan aturan yang terdiri dari norma dan

sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan

ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban

terpelihara24.

Sedangkan ciri-ciri hukum antara lain:

a. Adanya perintah dan/atau larangan.

23
Nick Devas and Brian Binder, Anne Booth, Kenneth Davey, Ray Kelly, Opcit, hal. 144.
24
C. S. T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jilid I, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1978), hal. 11.
37

b. Perintah dan/atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang25.

Penegakan hukum di bidang perpajakan dan kebijaksanaan perpajakan pada

umumnya, termasuk penetapan jangkauan serta pemungutan pajak, merupakan bagian

dari penegakan hukum pada umumnya. Penegakan hukum di bidang perpajakan

merupakan salah satu wujud pengamanan pembangunan dari segi hukum, khususnya

yang menyangkut dana yang diperlukan bagi pelaksanaan dan kelangsungan

pembangunan khususnya, dan penyelenggaraan pada umumnya. Penegakan hukum di

bidang perpajakan, seperti dalam penegakan hukum pada umumnya, bersifat

preventif dan represif26. Yang bersifat represif adalah pengenaan sanksi hukum bagi

wajib pajak yang melakukan pelanggaran hukum dalam kaitannya dengan

perpajakan. Sedangkan yang bersifat preventif adalah penerangan dan penyuluhan

hukum perpajakan guna meningkatkan kesadaran hukum wajib pajak.

Pada kenyataannya tidak semua wajib pajak patuh terhadap kewajiban

perpajakannya. Ketidakpatuhan ini dapat berupa penghindaran pajak ( tax

Avoidance), penyelundupan pajak ( tax evasion ), atau bahkan dengan memanfaatkan

celah-celah yang ada dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Adapula ketidak patuhan yang dilakukan secara tidak disengaja, misalnya seseorang

yang tidak memiliki pengetahuan dibidang perpajakan. Karena itulah perlu pula

dilakukan enforcement pajak agar dapat meningkatkan kepatuhan pajak.

Enforcement adalah :

25
Ibid, hal. 12.
26
Sukarton Marmosudjono, Penegakan Hukum di Negara Pancasila, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1989),
hal. 66.
38

Enforcement is action taken by the tax authorities to ensure that a tax payer
or potential tax payer complies with the laws, e. g. by submitting returns or
accounts or providing other relevant information and paying or otherwise
accounting for tax which is due. Means of enforcement include penalties for
failure to submit returns, interest charged on late payments of tax, criminal
prosecutions in cases of evasion or fraud, etc27.

Enforcement merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh pejabat

berwenang agar wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya. Tindakan tersebut

termasuk membuat Undang-undang yang jelas termasuk sanksi apabila wajib pajak

tidak melakukan kewajibannya. Purnadi Purbacaraka menyatakan bahwa penegakan

hukum adalah:

“kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-


kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantah dan
sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan ( sebagai social engineering ), memelihara dan mempertahankan
( sebagai social control ) kedamaian pergaulan hidup28”.

Dengan demikian, sistem penegakan hukum yang baik, menyangkut penyerasian

antara nilai dengan kaidah serta dengan perilaku nyata manusia.

Penyelenggaraan reklame dalam hal ini merupakan suatu elemen yang

penting dalam memasarkan suatu produk. Keberhasilan suatu produk sebagian besar

ditentukan oleh iklan yang diselenggarakan oleh pihak produsen. Karena begitu

potensialnya penyelenggaraan reklame maka Pemerintah Daerah Propinsi DKI

Jakarta dalam hal ini Dinas Pendapatan Daerah Propinsi DKI Jakarta, reklame

merupakan sumber penerimaan yang bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.

Pengertian Reklame seperti yang disebutkan oleh Undang–Undang Nomor 8 Tahun


27
International Bureau Fiscal Documentation, International Tax Glossary, Second Edition Completely
Revised, (Amsterdam, Netherlands: IBFD Publication, 1992), hal. 87.
28
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Binacipta, 1983), hal. 13.
39

1998 adalah merek, simbol atau logo perusahaan yang merupakan tanda, inisial atau

lambang perusahaan yang tidak dapat dipergunakan oleh setiap perusahaan, sehingga

dengan simbol atau logo tersebut dapat dengan mudah dikenal orang ( umum ).

Didalam pemasangan iklan perlu adanya suatu penataan dan peraturan dimana

peraturan tersebut berguna untuk menertibkan dan sebagai dasar untuk pemungutan

pajaknya. Di dalam pelaksanaannya diperlukan suatu penegakan hukum ( law

enforcement ) yang secara tidak langsung dapat membantu terciptanya ketertiban,

keserasian dan dapat juga menambah jumlah pendapatan yang lebih besar lagi.

Sedangkan penegakan hukum itu dalam perpajakan adalah sesuatu hal yang

penting, agar dalam pelaksanaan pemungutan pajak dapat memberikan rasa keadilan

bagi para wajib pajak. Melalui penegakan hukum ( law enforcement ), hukum tersebut

menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada 3 ( tiga ) unsur yang harus

diperhatikan, yaitu:29

1. Kepastian hukum. Dengan adanya kepastian masyarakat akan menjadi tertib.

Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk

menciptakan ketertiban di masyarakat.

2. Kemanfaatan. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam penegakan hukum.

Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan

hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan

29
Sudikno Nertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1999), hal. 145-
146.
40

sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul

keresahan di dalam masyarakat.

3. Keadilan. Dalam pelaksanaan penegakan hukum keadilan harus diperhatikan.

Sebab hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, dan bersifat

menyamaratakan.

Dalam penegakan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga

unsur tersebut harus mendapatkan perhatian secara proporsional seimbang.

Didalam pelaksanaannya, penegakan hukum Pajak Reklame merupakan

suatu kegiatan yang dapat menunjang peningkatan dan pelayanan jika dilaksanakan

dengan benar sehingga penerimaan Pendapatan Asli Daerah di sektor Pajak Reklame

tidak hilang sehingga didapat penerimaan yang lebih baik dan maksimal. Peningkatan

tersebut merupakan rangkaian yang perlu dilakukan secara maksimal dan efektif

sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan tercapainya target penerimaan dan

realisasinya.

Dengan metode penelitian sebagai alat analisis, maka akan diharapkan

membantu dalam upaya penyempurnaan maupun pemanfaatan di dalam mencari

sumber daya penerimaan daerah. Dengan adanya hal tersebut diatas, penulis dalam

menyelesaikan skripsi berupaya mendapatkan data masukan baik dari hasil penelitian

dan dari literatur perkuliahan sehingga dapat menjadikan bahan masukan bagi Dinas

Pendapatan Daerah Propinsi DKI Jakarta dalam melakukan penegakan hukum pajak

reklame secara baik dalam penyelenggaraan pajak reklame guna meningkatkan

Penerimaan Pajak Daerah.


41

F. Sistem Pemungutan

Pada dasarnya ada 4 ( empat ) sistem pemungutan pajak yang dapat

dipergunakan yaitu :

Official Asssessment Tax System, yaitu suatu pemungutan pajak dimana wewenang

untuk menghitung besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada

pemungut atau aparatur pajak ( Fiskus ), dalam sistem ini Wajib Pajak bersifat

pasif, menunggu ketetapan dari aparat pajak. Hutang pajak baru timbul bila sudah

ada Surat Ketetapan Pajak dari aparatur pajak.

Self Assessment Tax System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang

untuk menghitung besarnya pajak yang terhutang oleh suatu wajib pajak berada

pada wajib pajak, dalam sistem ini wajib pajak harus aktif menghitung,

memperhitungkan besarnya pajak yang terhutang kecuali wajib pajak menyalahi

peraturan yang berlaku.

Full Self Assessment Tax System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak dimana

wewenang untuk menghitung besarnya pajak yang terutang oleh suatu wajib

pajak berada pada wajib pajak itu sendiri, dalam sistem tersebut wajib pajak harus
42

aktif menghitung, memperhitungkan besarnya pajak yang terhutang kecuali wajib

pajak menyalahi peraturan yang berlaku. ( sama dengan Self Assessment System ).

Withholding Tax System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang

untuk menghitung besarnya pajak yang terutang berada pada pihak ketiga ( bukan

oleh fiskus atau oleh wajib pajak ) namun demikian sistem ini masih ada yang

berpendapat, bahwa sistem ini bukan merupakan sistem pemungutan pajak, tetapi

salah satu pembayaran pajak. Misalnya Pajak penghasilan, gaji, upah, honorarium

atau bunga deposito dihitung oleh pemberi kerja atau penanggung pajak.

Pajak Reklame termasuk kategori Official Assessment Tax System karena

perhitungan pajaknya dilakukan oleh petugas pajak ( fiskus ). Tarif pajak reklame

bervariasi terhadap jenis reklame, ukuran reklame, klasifikasi, lokasi dan ketinggian

reklame, sehingga wajib pajak setelah menerima penetapan Surat Ketetapan Untuk

Membayar ( SKUM ) harus segera menyetorkan pajaknya ke kantor kas daerah

Propinsi DKI Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai