Anda di halaman 1dari 3

Seringkali kalimat Uswatun Hasanah diucapkan oleh seorang disaat berpidato, ceramah,

khutbah, pengajian, dan kuliyah-kuliyah agama Islam. Dan kalimat uswatun hasanah selalu
diucapkan berdampingan dengan kalimat Muhammad Rosululloh S.A.W. Terlebih lagi pada
saat bulan Hijriyah Robi’ul Awwal seperti sekarang ini, dimana banyak ummat Islam yang
menyelenggarakan tasyakkuran, peringatan dalam rangka kelahiran Nabi Muhammad S.A.W.
atau biasa disebut dengan istilah “Maulidin Nabi Muhammad S.A.W”. dan karenanya bulan
Robi’ul Awwal ini dinamakan pula bulan Maulud yaitu bulan kelahiran Rosululloh. Tentu
kita semua sudah mengetahuinya, apakah artinya kalimat uswatun hasanah? Dari manakah
sumbernya kalimat uswatun hasanah? Dan apakah makna uswatun hasanah bagi kita?

Arti kalimat

Kalimat uswatun berarti contoh, dan hasanah berarti baik, uswatun hasanah artinya contoh
yang baik. Mungkin kita tidak pernah bertanya, mengapa kalimat contoh atau uswatun itu
selalu bergandengan dengan kalimat baik atau hasanah. Apakah kalimat contoh atau uswatun
boleh digandengkan dengan kalimat tidak baik/jelek atau sai’ah sehingga menjadi uswatun
sai’ah ? Tidak.

Kalimat contoh dalam bahasa Indonesia mengandung makna bahwa sesuatu yang dikatakan
contoh itu harus diikuti atau harus ditiru/dicontoh. Sehingga kalau kita mengatakan bahwa
Muhammad Rosululloh itu contoh yang baik, maka maknanya Muhammad Rosululloh itu
harus diikuti, harus ditiru, harus dicontoh. Artinya kita harus selalu berusaha menurut
kemampuan untuk mengikuti, meniru, mencontoh Muhammad Rosululloh. Tentu saja dalam
artian dalam batas-batas tertentu yang dicontohkan oleh beliau. Dan sebaliknya bila dikatakan
Fir’aun itu contoh jelek, maka maknanya Fir’aun itu harus diikuti, harus ditiru, harus
dicontoh. Apakah demikian? Tentu tidak. Kalimat Fir’aun itu contoh yang jelek mengandung
makna suatu pelajaran, suatu peringatan bagi kita agar tidak mengikuti, tidak meniru, tidak
mencontoh Fir’aun. Dengan kata lain Fir’aun itu bukan contoh, bukan uswatun, tetapi suatu
pelajaran dan peringatan dari Alloh Ta’ala agar kita tidak melakukan sesuatu seperti yang
telah dilakukan oleh Fir’aun.

Makna

Di dalam Al-qur’an kalimat uswatun hasanah itu disebut sebanyak tiga kali, Pertama :
“Laqod kaana lakum fii rosuulillahi uswaatun hasanatun liman kaana yarjuulloha wal
yaumal akhiro wadzakarollaha katsiron” artinya sesungguhnya telah ada pada (diri)
rosululloh itu suri tauladan/contoh yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
rohmat Alloh dan (keselamatan pada) hari kiyamat dan dia banyak menyebut Alloh. QS-Al-
ahzab (33) : 21. Kedua : “Qod kaana lakum uswatun hasanatun fii ibrohim walladzina
ma’ahu” artinya : Sesungguhnya telah ada suri tauladan/contoh yang baik bagimu pada
Ibrohim dan orang-orang yang bersama dengan dia. QS-Al-Mumtahinah (60) : 4. Ketiga :
“Laqod kaana fiihim uswatun hasanatun liman kaana yarjuulloha walyaumal akhiro”
artinya : Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrohim dan umatnya) ada suri tauladan/contoh
yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap rohmat Alloh dan kedatangan
hari kiyamat QS-Al Mumtahinah (60) : 6.

Dari ketiga ayat dapat kita ambil pokok-pokok pengertian bahwa, pertama : Sungguh telah
ada pada diri Muhammad S.A.W. dan Ibrohim A.S. Serta umatnya suri tauladan/contoh yang
baik, kedua : bagi orang-orang yang mengharap rohmatulloh, kedatangan hari kiyamat, dan
dia banyak menyebut nama Alloh. Dan perlu diingat bahwa diantara tugas Rosululloh
Muhammad SAW adalah pertama : Uswatun Hasanah (Suri tauladan/contoh yang baik),
kedua : Rohmatan Lil ‘alamin

(untuk rohmat seluruh alam).

Apakah maknanya uswatun hasanah bagi kita? Apakah kalimat uswatun hasanah cukup kita
ucapkan diwaktu kita sedang berpidato, ceramah, khutbah, pengajian atau kuliyah-kuliyah
agama Islam? Ataukah cukup ditulis dalam sebuah buku atau artikel seperti ini? Pastilah kita
sepakat untuk menjawab tidak demikian tentunya. Lalu kita harus bagaimana? Ini sebuah
pertanyaan yang patut kita tujukan pada diri kita masing-masing sebagai ummat Muhammad,
untuk direnungkan, difahami, dihayati dan ditemukan jawabannya untuk diaktualisasikan
dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Di bulan Maulidin Nabi, bulan yang penuh
berkah ini sudah selayaknya kita memaknai nilai uswatun hasanah beliau dalam dua hal :

Pertama : Kita berusaha mengikuti, meneladani uswatun hasanah beliau menurut


kemampuan. Sebagai contoh : beliau Muhammad Rosululloh pernah merasakan betapa sedih
dan pedihnya menjadi anak yatim, menjadi faqir dan miskin sehingga beliau menyeruhkan
agar kita memperhatikan anak yatim, orang faqir dan miskin. Maka kita mengikutinya
dengan memperhatikan atau menyampaikan santunan kepada anak yatim, orang faqir dan
miskin. Beliau menyampaikan bahwa uswatun hasanah itu bagi kamu yang mengharap
rohmatulloh (QS-Al-Ahzab: 21), maka kitapun mengikuti uswatun hasanahnya dengan
mengharap rohmatulloh yaitu berusaha untuk tetap didalam alladzina amanuu (beriman),
alladzina haajaruu (hijrah), alladzina jaahaduu (jihad), sebagaimana diterangkan dalam Al-
qur’an surat Al-baqoroh (2) ayat 218 : “Innalladzina amanuu walladzina haajaruu
wajaahaduu fii sabiilillah, ulaaika yarjuuna rohmatallohi wallohu ghofuurun rohiimun”
artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad
di jalan Alloh, mereka itu mengharap rohmat Alloh. Dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Jadi yang dinamakan orang-orang yang mengharap rohmat Alloh itu bukan orang
yang berangan-angan saja, tetapi orang-orang yang ada tiga unsur tesebut pada diri mereka.

Kedua : Kita harus berusaha untuk menjadi contohyang baik atau suri tauladan yang baik
bagi diri kita sendiri dan masyarakat menurut bidangnya masing-masing.

Seorang penulis haruslah menjadi contoh yang baik bagi pembacanya. Sebagai penulis yang
baik tentu saja tidak boleh hanya pandai menulis diatas kertas, atau menulis di buku, atau
menulis di majalah, tetapi harus pandai pula menulis di masyarakat. Artinya: boleh saja kita
menulis bermacam-macam diatas kertas atau majalah, tetapi tulisan-tulisan kebaikan itu
haruslah diaplikasikan di masyarakat dengan amal-amal sholeh. Apabila Sang Penulis hanya
pandai menulis diatas kertas saja, tentu bukanlah contoh yang baik.

Seorang pendidik haruslah dapat menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya. Apabila
mengajarkan kepada murid-muridnya tentang kebaikan, tentu saja sebagai contoh yang baik
Sang Guru haruslah terlebih dahulu berbuat kebaikan. Apabila mengajarkan kedisiplinan,
maka Sang Guru haruslah terlebih dahulu selalu disiplin. Dan apabila mengajarkan membaca
dan menulis kepada murid-muridnya, maka Sang Guru harus terlebih dahulu dapat membaca
dan menulis. Bagaimana seandainya Sang Guru yang tidak dapat membaca dan menulis
mengajarkan membaca dan menulis? Bagaimana Sang Guru yang tidak bisa disiplin
mengajarkan disiplin? Tentu bukan contoh yang baik bagi murid-muridnya. Bahkan hal itu
sangat bertentangan dengan nilai pendidikan itu sendiri. Setidaknya para pendidik di
Indonesia ingat akan semboyan dari tokoh pendidikan nasional Indonesia Ki Hajar
Dewantoro yang berbunyi : Ing ngarso sung tuladha (di depan memberi contoh yang baik),
ing madya mangun karso (di tengah memberi dukungan dan semangat), tutwuri handayani
(di belakang memberi dorongan).

Seorang Mubaligh harus dapat menjadi contoh yang baik bagi pengikutnya. Seorang
pemimpin negara atau penguasa harus dapat menjadi contoh yang baik bagi rakyatnya.
Seorang bapak harus dapat menjadi contoh yang baik bagi keluarganya. Kita sendiri harus
dapat menjadi contoh yang baik untuk diri kita sendiri dan orang lain.

Sebagai penutup artikel ini patutlah kita renungkan dua dalil sebagai berikut :

Pertama : “Yaa ayyuhalladziina aamanu lima taquuluna maa laa taf’alluuna” Wahai orang-
orang yang beriman, mengapa kamu berkata sesuatu yang tidak kamu kerjakan. QS-Ash-
shoff (61) : 2.

Kedua : “Kullu roo’in mas’ulun ‘an ro’iyatihi” Tiap-tiap pemimpin akan ditanya dari hasil
pimpinannya”. Kitab hadits Jaami’us Shoghir jilid II bab huruf kaf halaman 280. (#Ofi#).*

Anda mungkin juga menyukai