Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat
episodik dan ditandai oleh gejala-gejala manik, hipomanik, depresi, dan
campuran, biasanya rekuren serta dapat berlangsung seumur hidup. Setiap
episode dipisahkan sekurangnya dua bulan tanpa gejala penting mania atau
hipomania. Tetapi pada beberapa individu, gejala depresi dan mania dapat
bergantian secara cepat yang dikenal dengan rapid cycling. Episode mania
yang ekstrim dapat menunjukkan gejala-gejala psikotik seperti waham dan
halusinasi.
Gangguan bipolar adalah gangguan yang lebih jarang dibandingkan
dengan gangguan depresif berat. Prevalensi gangguan bipolar di Indonesia
hanya sekitar 2% sama dengan prevalensi skizofrenia. Prevalensi antara laki-
laki dan wanita sama besar. Onset gangguan bipolar adalah dari masa anak-
anak (usia 5-6 tahun) sampai 50 tahun atau lebih. Rata-rata usia yang terkena
adalah usia 30 tahun. Gangguan bipolar cenderung mengenai semua ras.
Penyebab gangguan bipolar adalah multifaktor. Secara biologis
dikaitkan dengan faktor genetik dan gangguan neurotransmitter di otak.
Secara psikososial dikaitkan dengan pola asuh masa kanak-kanak, stress yang
menyakitkan, stress kehidupan yang berat dan berkepanjangan, dan banyak
lagi faktor lainnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan gangguan bipolar?
2. Bagaimana etiologi dari gangguan bipolar?
3. Apa saja penggolongan obat dari gangguan bipolar?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada gangguan bipolar?

1
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi dari gangguan bipolar.
2. Untuk mengetahui dan memahami etiologi dari gangguan bipolar.
3. Untuk mengetahui penggolongan obat dari gangguan bipolar.
4. Untuk memahami penatalaksanaan pada gangguan bipolar

D. MANFAAT
1. Dapat mengetahui definisi dari gangguan bipolar.
2. Dapat mengetahui dan mampu memahami etiologi dari gangguan bipolar.
3. Dapat mengetahui penggolongan obat dari gangguan bipolar.
4. Mampu memahami penatalaksanaan pada gangguan bipolar.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Bipolar Disorder atau penyakit gangguan bipolar adalah suatu penyakit


gangguan suasana hati (mood) atau perasaan yang sangat ekstrim dengan dua
kutub depresi (perasaan sedih berlebihan) dan mania (perasaan bahagia
berlebihan) yang mengganggu keberfungsian sosial individu dan merupakan
pemicu kuat upaya bunuh diri penderitanya. Penyakit ini termasuk penyakit otak
yang menyebabkan perubahan-perubahan yang tidak biasa pada suasana hati,
energi, aktivitas, dan kemampuan untuk melakukan tugas-tugas harian. Perasaan
mereka mudah naik dan turun secara berlebihan atau ekstrim bila dibandingkan
manusia normal pada umumnya (Banfatin, 2013).
Gangguan bipolar terdiri dari afek yang meningkat, dan juga aktivitas
yang berlebih (mania atau hipomania), dan dalam jangka waktu yang berbeda
terjadi penurunan afek yang disertai dengan penurunan aktivitas (depresi).
Gangguan bipolar terdiri dari afek yang meningkat, dan juga aktivitas yang
berlebih (mania atau hipomania), dan dalam waktu yang berbeda terjadi
penurunan mood yang diikuti dengan penurunan energi maupun penurunan
aktivitas (depresi). Sebagian besar orang yang mengalami manik, setidaknya
sekali dalam hidup mereka di lain waktu akan memiliki gangguan depresi.
Kombinasi dari dua episode, yang berada di kutub yang berlawanan dari suasana
hati, disebut gangguan bipolar atau gangguan afektif bipolar. Jarang terjadi,
beberapa orang menunjukkan fitur dari kedua manik dan depresi pada saat yang
sama. Mereka hiperaktif sementara juga mengalami suasana hati yang depresi.
Pasien tersebut dikatakan memiliki gangguan afektif campuran (Putra, 2014).
Terdapat faktro kepribadian pramorbid atau sebelum terjadinya penyakit
(gangguan bipolar) yang diartikan bahwa tidak ada sifat atu kepribadian tunggal
yang membuat seseorang menjadi depresi yang memicu munculnya gejala bipolar
dengan kata lain apapun pola kepribadiannya seseorang memiliki potensi untuk
merasakan depresi. Kemudian terdapat faktor psikodinamika yang
menggambarkan manik depresif sebagai manifestasi dari perasaan kehilangan

3
objek yang dicintai dan menyalahkan diri sendiri yang didorong oleh super-ego
yang sangat dominan dan menghindar dari kenyataan dunia luar (denying reality),
serta faktor kognitif individu berupa kesalahan interprestasi atas penilaian diri
yang negatif, pesimisme dan keputusasaan (Robbani dkk., 2016).

4
BAB III
PEMBAHASAN

A. DEFINISI GANGGUAN BIPOLAR


Gangguan bipolar adalah kondisi yang juga dikenal dengan nama
gangguan manik-depresif ini ditandai dengan perubahan suasana hati yang
sama sekali tidak dapat diperkirakan. Suasana hati penderitanya dapat
berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar) yang berlawanan yaitu
kebahagiaan (mania) dan kesedihan (depresi) yang berlebihan tanpa pola atau
waktu yang pasti.

B. ETIOLOGI
1. Genetik
Gen bawaan adalah faktor umum penyebab bipolar disorder.
Seseorang yang lahir dari orang tua yang salah satunya merupakan
pengidap bipolar disorder memiliki resiko mengidap penyakit yang sama
sebesar 15%-30% dan bila kedua orang tuanya mengidap bipolar disorder,
maka 50%-75%. anak-anaknya beresiko mengidap bipolar disorder.
Kembar identik dari seorang pengidap bipolar disorder memiliki resiko
tertinggi kemungkinan berkembangnya penyakit ini daripada yang bukan
kembar identik. Penelitian mengenai pengaruh faktor genetis pada bipolar
disorder pernah dilakukan dengan melibatkan keluarga dan anak kembar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10-15% keluarga dari pasien
yang mengalami gangguan bipolar disorder pernah mengalami satu
episode gangguan mood.

2. Fisiologis
a. Sistem Neurochemistry dan Mood Disorders
Salah satu faktor utama penyebab seseorang mengidap bipolar
disorder adalah terganggunya keseimbangan cairan kimia utama di
dalam otak. Sebagai organ yang berfungsi menghantarkan rangsang,

5
otak membutuhkan neurotransmitter (saraf pembawa pesan atau
isyarat dari otak ke bagian tubuh lainnya) dalam menjalankan
tugasnya. Norepinephrin, dopamine, dan serotonin adalah beberapa
jenis neurotransmitter yang penting dalam penghantaran impuls
syaraf. Pada penderita bipolar disorder, cairan-cairan kimia tersebut
berada dalam keadaan yang tidak seimbang. Sebagai contoh, suatu
ketika seorang pengidap bipolar disorder dengan kadar dopamine yang
tinggi dalam otaknya akan merasa sangat bersemangat, agresif, dan
percaya diri. Keadaan inilah yang disebut fase mania.Sebaliknya
dengan fase depresi.Fase ini terjadi ketika kadar cairan kimia utama
otak itu menurun di bawah normal, sehingga penderita merasa tidak
bersemangat, pesimis, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri yang
besar. Seseorang yang menderita bipolar disorder menandakan adanya
gangguan pada sistem motivasional yang disebut dengan behavioral
activation system (BAS). BAS memfasilitasi kemampuan manusia
untuk memperoleh reward (pencapaian tujuan) dari lingkungannya.
Hal ini dikaitkan dengan positive emotional states, karakteristik
kepribadian seperti ekstrovert(bersifat terbuka), peningkatan energi,
dan berkurangnya kebutuhan untuk tidur. Secara biologis, BAS
diyakini terkait dengan jalur saraf dalam otak yang melibatkan
dopamine dan perilaku untuk memperoleh reward. Peristiwa
kehidupan yang melibatkan reward atau keinginan untuk mencapai
tujuan diprediksi meningkatkan episode mania tetapi tidak ada
kaitannya dengan episode depresi. Sedangkan peristiwa positif lainnya
tidak terkait dengan perubahan pada episode mania.
b. Sistem Neuroendokrin
Area limbik di otak berhubungan dengan emosi dan
mempengaruhi hipotalamus.Hipotalamus berfungsi mengontrol
kelenjar endokrin dan tingkat hormon yang dihasilkan. Hormon yang
dihasilkan hipotalamus juga mempengaruhi kelenjar pituarity.
Kelenjar ini terkait dengan gangguan depresi seperti gangguan tidur

6
dan rangsangan selera. Berbagai temuan mendukung hal tersebut,
bahwa orang yang depresi memiliki tingkat dari cortisol (hormon
adrenocortical) yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh produksi yang
berlebih dari pelepasan hormon rotropin oleh hipotalamus. Produksi
yang berlebih dari cortisol pada orang yang depresi juga menyebabkan
semakin banyaknya kelenjar adrenal. Banyaknya cortisol tersebut juga
berhubungan dengan kerusakan pada hipoccampus dan penelitian juga
telah membuktikan bahwa pada orang depresi menunjukkan
hipoccampal yang tidak normal. Penelitian mengenai Cushing’s
Syndrome juga dikaitkan dengan tingginya tingkat cortisol pada
gangguan depresi

3. Lingkungan
Penelitian telah membuktikan faktor lingkungan memegang peranan
penting dalam gangguan perkembangan bipolar. Faktor lingkungan yang
sangat berperan pada kehidupan psikososial dari pasien dapat
menyebabkan stress yang dipicu oleh faktor lingkungan. Stress yang
menyertai episode pertama dari gangguan bipolar dapat menyebabkan
perubahan biologik otak yang bertahan lama. Perubahan bertahan lama
tersebut dapat menyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmitter dan sistem pemberian signal intraneuronal. Perubahan
mungkin termasuk hilangnya neuron dan penurunan besar dalam kontak
sinaptik. Hasil akhir perubahan tersebut adalah menyebabkan seseorang
berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita gangguan mood
selanjutnya, bahkan tanpa adanya stressor eksternal.

C. PATOFISIOLOGI
Sejak ditemukannya beberapa obat yang berhasil meringankan gejala
bipolar, peneliti mulai menduga adanya hubungan neurotransmiter dengan
gangguan bipolar. Neurotransmiter tersebut adalah dopamine, serotonin, dan
noradrenalin. Sejak ditemukannya beberapa obat yang berhasil meringankan

7
gejala bipolar, peneliti mulai menduga adanya hubungan neurotransmiter
dengan gangguan bipolar. Neurotransmiter tersebut adalah dopamine,
serotonin, dan noradrenalin.
Penelitian terbaru menemukan gen lain yang berhubungan dengan
penyakit ini yaitu gen yang mengekspresi brain derived neurotrophic factor
(BDNF). BDNF adalah neurotropin yang berperan dalam regulasi plastisitas
sinaps, neurogenesis dan perlindungan neuron otak. BDNF diduga ikut
terlibat dalam mood. Gen yang mengatur BDNF terletak pada kromosom
11p13. Terdapat 3 penelitian yang mencari tahu hubungan antara BDNF
dengan gangguan bipolar dan hasilnya positif.
Kelainan pada otak juga dianggap dapat menjadi penyebab penyakit ini.
Terdapat perbedaan gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita
bipolar. Melalui pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) dan positron-
emission tomography (PET), didapatkan jumlah substansia nigra dan aliran
darah yang berkurang pada korteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu,
Blumberg dkk dalam Arch Gen Psychiatry 2003 pun menemukan volume
yang kecil pada amygdala dan hipokampus. Korteks prefrontal, amygdala dan
hipokampus merupakan bagian dari otak yang terlibat dalam respon emosi
(mood dan afek).
Penelitian lain menunjukkan ekspresi oligodendrosit-myelin berkurang
pada otak penderita bipolar. Seperti diketahui, oligodendrosit menghasilkan
membran myelin yang membungkus akson sehingga mampu mempercepat
hantaran konduksi antar saraf. Bila jumlah oligodendrosit berkurang, maka
dapat dipastikan komunikasi antar saraf tidak berjalan lancar.

D. GAMBARAN KLINIS
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV, gangguan
bipolar dibedakan menjadi 2 yaitu gangguan bipolar I dan II. Perbedaannya
adalah pada gangguan bipolar I memiliki episode manik sedangkan pada
gangguan bipolar II mempunyai episode hipomanik. Beberapa ahli

8
menambahkan adanya bipolar III dan bipolar IV namun sementara ini yang 2
terakhir belum dijelaskan.
Gangguan bipolar I dibagi lagi menjadi beberapa bagian menurut
perjalanan longitudinal gangguannya. Namun hal yang pokok adalah paling
tidak terdapat 1 episode manik di sana. Walaupun hanya terdapat 1 episode
manik tanpa episode depresi lengkap maka tetap dikatakan gangguan bipolar
I. Adapun episode-episode yang lain dapat berupa episode depresi lengkap
maupun episode campuran, dan episode tersebut bisa mendahului ataupun
didahului oleh episode manik.
Gangguan bipolar II mempunyai ciri adanya episode hipomanik.
Gangguan bipolar II dibagi menjadi 2 yaitu tipe hipomanik, bila sebelumnya
didahului oleh episode depresi mayor dan disebut tipe depresi bila sebelum
episode depresi tersebut didahului oleh episode hipomanik.
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) III, gangguan ini bersifat episode berulang yang menunjukkan
suasana perasaan pasien 5 dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, dan
gangguan ini pada waktu tertentu terdiri dari peninggian suasana perasaan
serta peningkatan energi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada
waktu lain berupa penurunan suasana perasaan serta pengurangan energi dan
aktivitas (depresi). Yang khas adalah terdapat penyembuhan sempurna antar
episode. Episode manik biasanya mulai dengan tiba-tiba dan berlangsung
antara 2 minggu sampai 4-5 bulan, sedangkan depresi cenderung berlangsung
lebih lama.
Episode pertama bisa timbul pada setiap usia dari masa kanak-kanak
sampai tua. Kebanyakan kasus terjadi pada dewasa muda berusia 20-30
tahun. Semakin dini seseorang menderita bipolar maka risiko penyakit akan
lebih berat, kronik bahkan refrakter.
Episode manik dibagi menjadi 3 menurut derajat keparahannya yaitu
hipomanik, manik tanpa gejala psikotik, dan manik dengan gejala psikotik.
Hipomanik dapat diidentikkan dengan seorang perempuan yang sedang dalam
masa ovulasi (’estrus’) atau seorang laki-laki yang dimabuk cinta. Perasaan

9
senang, sangat bersemangat untuk beraktivitas, dan dorongan seksual yang
meningkat adalah beberapa contoh gejala hipomanik. Perasaan senang, sangat
bersemangat untuk beraktivitas, dan dorongan seksual yang meningkat adalah
beberapa contoh gejala hipomanik.
Pada manik, gejala-gejalanya sudah cukup berat hingga mengacaukan
hampir seluruh pekerjaan dan aktivitas sosial. Harga diri membumbung tinggi
dan terlalu optimis. Perasaan mudah tersinggung dan curiga lebih banyak
daripada elasi.
Tanda manik lainnya dapat berupa hiperaktifitas motorik berupa kerja
yang tak kenal lelah melebihi batas wajar dan cenderung non-produktif,
euphoria hingga logorrhea (banyak berbicara, dari yang isi bicara wajar
hingga menceracau dengan 'word salad'), dan biasanya disertai dengan
waham kebesaran, waham kebesaran ini bisa sistematik dalam artian
berperilaku sesuai wahamnya, atau tidak sistematik, berperilaku tidak sesuai
dengan wahamnya. Bila gejala tersebut sudah berkembang menjadi waham
maka diagnosis mania dengan gejala psikotik perlu ditegakkan.

E. PENGGOLONGAN OBAT GANGGUAN BIPOLAR


Berikut ini adalah sejumlah obat yang dapat digunakan untuk
mengobati gangguan bipolar, tergantung kepada gejala serta riwayat
kesehatan masing-masing penderita, antara lain:
a. Antikonvulsan (contohnya lamotrigine, carbamazepine, dan valproate).
Antikonvulsan sebenarnya merupakan obat yang biasa digunakan untuk
mengobati epilepsi. Namun karena memiliki khasiat yang bisa
menstabilkan suasana hati dan meredakan episode mania, maka kadang-
kadang antikonvulsan diresepkan kepada penderita gangguan bipolar.
Penggunaan antikonvulsan tidak boleh sembarangan dan harus
berdasarkan resep dokter. Jika digunakan tanpa melalui pemeriksaan
dokter terlebih dahulu, efek obat antikonvulsan bisa berbahaya. Salah
satunya adalah penggunaan valproate pada wanita usia subur yang bisa

10
meningkatkan risiko cacat dan gangguan saraf otak pada bayi yang nanti
dikandungnya.

b. Lithium. Obat yang digunakan secara jangka panjang ini mampu


mencegah terjadinya gejala mania dan depresi serta menstabilkan
suasana hati. Selama penggunaan lithium, tes darah untuk memeriksa
kadar lithium di dalam tubuh perlu dilakukan secara rutin. Hal tersebut
untuk memastikan kadar lithium masih dalam kisaran yang aman
sehingga mencegah terjadinya efek samping serius berupa gangguan
pada ginjal dan kelenjar tiroid. Efek samping penggunaan lithium yang
tergolong ringan adalah muntah dan diare. Efek samping tersebut
biasanya muncul akibat dosis yang tidak tepat. Dokter kadang-kadang
mengombinasikan lithium dengan obat antikonvulsan seperti valproate
atau lamotrigine untuk mengobati pasien gangguan bipolar yang
mengalami rapid cycling (perubahan episode secara cepat dari tinggi ke
rendah atau sebaliknya tanpa adanya periode normal yang menengahi).

c. Antidepresan. Salah satu contoh obat antidepresan yang sering


digunakan adalahfluoxetine. Pada sebagian penderita gangguan bipolar,
obat pereda depresi ini dapat memicu episode mania. Oleh karena itu
antidepresan kerap dipasangkan dokter dengan obat-obatan penstabil
suasana hati.

d. Benzodiazepine. Obat yang termasuk kelompok antiansietas ini bisa


digunakan secara jangka pendek untuk meredakan kecemasan. Selain itu,
benzodiazepine juga bisa digunakan untuk memperbaiki kualitas tidur
penderita gangguan bipolar.

e. Antipsikotik. Sama seperti obat-obatan antikonvulsan, antipsikotik


diresepkan untuk mengatasi episode mania dan juga efektif untuk
menstabilkan suasana hati. Namun dokter biasanya akan meresepkan
obat ini jika episode mania sudah dianggap parah dan menimbulkan

11
perilaku yang mengganggu. Beberapa efek samping yang mungkin saja
terjadi dari penggunaan antipsikotik adalah kenaikan berat badan,
konstipasi, mulut kering, dan penglihatan buram. Contoh-contoh obat
antipsikotik yang mungkin diresepkan adalah olanzapine, risperidone,
aripiprazole, dan quetiapine.

F. PENATALAKSANAAN
a. Farmakoterapi
Fluoxetin (prozac) telah digunakan dengan suatu keberhasilan pada
remaja dengan gangguan depresif barat. Karena beberapa anak dan remaja
yang menderita depresif akan mengalami gangguan bipolar, klinisi harus
mencatat gejala hipomanik yang mungkin terjadi selama pemakaian
fluoxetin dan anti depresan lain. Pada kasus tersebut medikasi harus
dihentikan untuk menentukan apakah episode hipomanik selanjutnya
menghilang. Tetapi, respon hipomanik terhadap antidepresan tidak selalu
meramalkan bahwa gangguan bipolar telah terjadi.
Gangguan bipolar pada masa anak-anak dan remaja adalah diobati
dengan lithium (Eskalith) dengan hasil yang baik. Tetapi, anak-anak yang
memiliki gangguan defisitatensi/hiperaktivitas dan selanjutnya mengalami
gangguan bipolar pada awal masa remaja adalah lebih kemungkinannya
untuk berespon baik terhadap lithium dibandingkan mereka yang tanpa
gangguan perilaku.
Pasien dengan gangguan bipolar membutuhkan dorongan untuk
mencari dan mempertahankan pengobatan dan tindak lanjutnya dengan
segala keterbatasannya lithium merupakan pengobatan untuk gangguan
bipolar yang telah lama digunakan meskipun banyak obat-obat generasi
baru yang ditemukan, namun efektifitas pencegahan bunuh diri masih
belum jelas.
Garam Lithium (carbonate) merupakan antidepresan yang dianjurkan
untuk gangguan depresi bipolar (terdapatnya episode depresi dan mania)

12
dan penderita gangguan depresi. Lithium tidak bersifat sedative, depresan
ataupun eforian, inilah yang membedakannya dari antidepresan lain.
Mekanis aksi lithium mengendalikan alam perasaan belum diketahui,
diduga akibat efeknya sebagai membrana biologi. Sifat khas ion lithium
dengan ukuran yang amat kecil tersebar melalui membrana biologik,
berbeda dari ion Na dan K. Ion lithium menggantikan ion Na mendukung
aksi potensial tunggal di sel saraf dan melestarikan membrana potensial
itu. Masih belum jelas betul makna interaksi antara lithium (dengan
konsentrasi 1 mEq per liter) dan transportasi monovalent atau divalent
kation oleh sel saraf. Aksi lithium disusunan saraf pusat dispekulasikan
merobah distribusi ion didalam sel susunan saraf pusat, perhatian terpusat
pada efek konsentrasi ionnya yang rendah dalam metabolisme biogenik
amin yang berperanan utama dalam patofisiologi gangguan alam perasaan.
Terdapat orang-orang yang kurang memberi respon terhadap lithium
di antaranya penderita dengan riwayat cedera kepala, mania derajat berat
(dengan gejala psikotik), dan yang disertai dengan komorbid. Bila
penggunaanya dihentikan tiba-tiba, penderita cepat mengalami relaps.
Selain itu, indeks terapinya sempit dan perlu monitor ketat kadar lithium
dalam darah. Gangguan ginjal menjadi kontraindikasi penggunaan lithium
karena akan menghambat proses eliminasi sehingga menghasilkan kadar
toksik. Di samping itu, pernah juga dilaporkan lithium dapat merusak
ginjal bila digunakan dalam jangka lama. Karena keterbatasan itulah,
penggunaan lithium mulai ditinggalkan.
Antipsikotik mulai digunakan sebagai antimanik sejak tahun 1950-
an. Antipsikotik lebih baik daripada lithium pada penderita bipolar dengan
agitasi psikomotor. Perhatian ekstra harus dilakukan bila hendak
merencanakan pemberian antipsikotik jangka panjang terutama generasi
pertama (golongan tipikal) sebab dapat menimbulkan beberapa efek
samping seperti ekstrapiramidal, neuroleptic malignant syndrome, dan
tardive dyskinesia.

13
Valproat menjadi pilihan ketika penderita bipolar tidak memberi
respon terhadap lithium. Bahkan valproat mulai menggeser dominasi
lithium sebagai regimen lini pertama. Salah satu kelebihan valproat adalah
memberikan respon yang baik pada kelompok rapid cycler. Penderita
bipolar digolongkan rapid cycler bila dalam 1 tahun mengalami 4 atau
lebih episode manik atau depresi. Efek terapeutik tercapai pada kadar
optimal dalam darah yaitu 60-90 mg/L. Efek samping dapat timbul ketika
kadar melebihi 125 mg/L, di antaranya mual, berat badan meningkat,
gangguan fungsi hati, tremor, sedasi, dan rambut rontok. Dosis akselerasi
valproat yang dianjurkan adalah loading dose 30 mg/kg pada 2 hari
pertama dilanjutkan dengan 20 mg/kg pada 7 hari selanjutnya.
Pencarian obat alternatif terus diupayakan. Salah satunya adalah
lamotrigine. Lamotrigine merupakan antikonvulsan yang digunakan untuk
mengobati epilepsi. Beberapa studi acak, buta ganda telah menyimpulkan,
lamotrigine efektif sebagai terapi akut pada gangguan bipolar episode kini
depresi dan kelompok rapid cycler. Sayangnya, lamotrigine kurang baik
pada episode manik.
Selain itu pengobatan dengan antidepresan, terutama yang
mengandung agen serotonergik seperti sertraline (zoloft 50 mg/hari).
Beberapa pasien memberikan respon yang cukup bagus dengan pemberian
obat psikostimulan dalam dosis kecil seperti amfetamin 5-15 mg/ hari.
Dalam semua kasus harus ada kombinasi kedua hal tadi.
Gangguan bipolar harus diobati secara kontinu, tidak boleh putus.
Bila putus, fase normal akan memendek sehingga kekambuhan semakin
sering. Adanya fase normal pada gangguan bipolar sering mengakibatkan
buruknya compliance untuk berobat karena dikira sudah sembuh. Oleh
karena itu, edukasi sangat penting agar penderita dapat ditangani lebih
dini.

14
b. Psikoterapi
Sedikit data yang menguatkan keunggulan salah satu pendekatan
psikoterapi dibandingkan yang lain dalam terapi gangguan mood masa
anak-anak dan remaja. Tetapi, terapi keluarga adalah diperlukan untuk
mengajarkan keluarga tentang gangguan mood serius yang dapat terjadi
pada anak-anak saat terjadinya stres keluarga yang berat. Pendekatan
psikoterapetik bagi anak terdepresi adalah pendekatan kognitif dan
pendekatan yang lebih terarah dan lebih terstruktur dibandingkan yang
biasanya digunakan pada orang dewasa. Karena fungsi psikososial anak
yang terdepresi mungkin tetap terganggu untuk periode yang lama,
walaupun setelah episode depresif telah menghilang, intervensi
keterampilan sosial jangka panjang adalah diperlukan. Pada beberapa
program terapi, modeling dan permainan peran dapat membantu
menegakkan keterampilan memecahkan masalah yang baik. Psikoterapi
adalah pilihan utama dalam pengobatan depresi

15
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Gangguan bipolar adalah kondisi yang juga dikenal dengan nama
gangguan manik-depresif ini ditandai dengan perubahan suasana hati yang
sama sekali tidak dapat diperkirakan. Suasana hati penderitanya dapat berganti
secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar) yang berlawanan yaitu kebahagiaan
(mania) dan kesedihan (depresi) yang berlebihan tanpa pola atau waktu yang
pasti.

16
TINJAUAN PUSTAKA

Banfatin F. F., 2013, Identifikasi Peningkatan Keberfungsian Sosial Dan


Penurunan Risiko Bunuh Diri Bagi Penderita Gangguan Kesehatan
Mental Bipolar Disorder di Kota Medan Melalui Terapi
Pendampingan Psikosial, Welfare statE, Vol 2 (3).
Putra H. G. S. A., 2014, Gangguan Afektif Bipolar Mania dengan Psikotik:
Sebuah Laporan Khusus, Jurnal Medika Udayana, Vol 3 (4).

Robbani M., Salmah L., dan Arif T. S., 2016, Strategi Koping pada Bipolar yang
Mengalami Perceraian (Studi Kasus), Jurnal Psikologi, Vol 8 (16).

17

Anda mungkin juga menyukai