Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU ANASTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI


RUMAH SAKIT UMUM KABAN JAHE
PROVINSI SUMATERA UTARA
TAHUN 2017

Pasien Koma: Aspek Neurologis

( disusun dari data textbox handbox of ICU Theraphy hal. 391-402 )

Disusun Oleh
DELYA ALIFTA
17360305

Pembimbing
Dr. HUSNUL MUTMAINAH, M.Kes.Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANASTESI


RUMAH SAKIT UMUM KABAN JAHE KAB. KARO
FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS MALAHAYATI
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang

telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat ini dengan judul

“Pasien Koma: Aspek Neurologis.”

Tujuan refarat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti Kepaniteraan


Klinik Senior di Bagian Ilmu Anastesi RSU Kabanjahe Kabupaten Karo. Terima kasih
kepada Dr. Husnul Mutmainah, M.Kes,Sp.An selaku pembimbing saya dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anastesi RSU Kabanjahe Kabupaten
Karo.
Saya menyadari bahwa penulisan ini masih membutuhkan saran dan kritik untuk
meneyempurnakan tugas ini. Semoga refarat ini dapat bermanfaat.
Terima Kasih

Kabanjahe, November 2017

Penulis
Pasien Koma: Aspek Neurologis

G Bryan Young

Untuk sepenuhnya sadar (conscious), seseorang perlu terjaga (awake) dan

aware.

 Kewaspadaan adalah fungsi dari sistem aktivasi retikular asendens (ARAS/

ascending reticular activating system) pada rostrum tegmentum batang otak

(dari mid-pons melalui otak tengah) dan kemudian talamus dan proyeksinya

melalui substansia alba serebral ke korteks serebral. Ini memungkinkan adanya

keadaan kewaspadaan mata terbuka, termasuk gairah, serta siklus bangun dan

tidur spontan.

 Kesadaran bergantung pada integritas struktur substansia grisea serebral terpadu

dan serat interkoneksinya yang berjalan melalui substansia alba. Kesadaran

memiliki beberapa fungsi yang saling terkait, termasuk sensasi, persepsi, atensi,

memori, perhatian (dengan selektifitas), emosi, penilaian, motivasi dan tindakan

yang direncanakan, dengan berbagai lokus anatomis yang saling terkait.

 Untuk sepenuhnya sadar, seseorang perlu terjaga. Seseorang bisa terjaga, tapi

tidak aware pada keadaan kesadaran vegetatif dan minimal; ini menyiratkan

disfungsi berat dari fungsi dan struktur "lebih tinggi" yang disebutkan di atas.

Koma adalah keadaan unarousable unresponsiveness dan adanya disfungsi pada

sistem ARAS. Ada banyak penyebab (disinggung di bawah dalam kategori luas). Dalam

keadaan koma terdapat nilai ketidaksadaran mulai dari kematian otak hingga keadaan

rousable. Ini digambarkan dalam Skala Koma Glasgow (GCS/ Glasgow Coma Scale)

dan sistem skor FOUR yang ditunjukkan di bawah ini (Tabel 32.1 dan 32.2).
Tabel 32.1 Glasgow Coma Scale

Mata Tidak membuka mata 1


Membuka mata dengan rangsangan 2
Membuka mata dengan suara 3
Membuka mata dengan spontan 4
Verbal Tidak ada suara 1
Suara inkomrehensif/tidak jelas 2
Kata-kata yang tidak berkesesuaian 3
Bingung, disorientasi 4
Berbicara secara normal 5
Motorik Tidak ada gerakan 1
Respon deserebrasi (ekstensi) 2
Respon dekortikasi (fleksi) 3
Menghindar 4
Melokalisasi 5
Mengikuti perintah 6
Total skor terbaik dari 3 kategori

Tabel 32.2 Sistem skor FOUR

Respon mata Kelopak mata tertutup dengan rangsangan nyeri 0


Kelopak mata terbuka dengan rangsangan nyeri 1
Kelopak mata terbuka dengan rangsang vokal 2
Kelopak mata terbuka tapi tidak ada tracking 3
Kelopak mata terbuka dan melihat atau berkedip pada 4
perintah
Motorik Tidak ada respon terhadap rangsang nyeri atau 0
generalized myoclonic seizure
Postur tubuh ekstensor posturing terhadap rangsang 1
Respon fleksor/dekortikasi terhadap rangsang 2
Dapat melokalisasi rangsang nyeri 3
Memberikan tanda "thumbs up" atau peace terhadap 4
perintah
Reflex batang Tidak adanya refleks pupil, kornea dan batuk 0
otak Tidak adanya refleks pupil dan kornea 1
Adanya refleks pupil atau kornea 2
Satu pupil lebar dan terfiksir 3
Adanya refleks pupil dan kornea 4
Respirasi Bernafas pada tingkat ventilator atau apnea 0
Bernapas di atas tingkat ventilator 1
Tidak terintubasi dan bernafas secara irregular 2
Tidak terintubasi dengan respirasi Cheyne-Stokes 3
Tidak terintubasi dan bernafas secara normal 4
 Untuk GCS, skor 8 atau kurang biasanya dianggap koma. Biasanya pembukaan

mata minimal.

 Sistem skor FOUR diterapkan dengan cara yang sama dengan GCS, dengan skor

terbaik untuk masing-masing kategori dan jumlah ditentukan. Sistem ini

memiliki keuntungan atau bisa diterapkan pada pasien intubasi. Skor 0 sama

dengan kematian otak. Hanya nilai mata dan motorik yang menunjukkan

kesadaran: 3 atau lebih baik untuk mata dan 4 untuk fungsi motorik sama

dengan kesadaran.

Pendekatan Terhadap Pasien Yang Tidak Responsif Secara Akut

Pendekatannya bisa dibagi dalam riwayat, pemeriksaan dan tes. Seperti pada

pendekatan klinis untuk semua kelainan neurologis, langkah awalnya adalah

melokalkan masalah, kemudian menentukan etiologi. Terapi ini kemudian ditargetkan

untuk etiologi. Masalah prognostikasi sering mengikuti (lihat nanti).

 Riwayat: riwayat dapat membantu melokalisasi masalah, serta memberikan

kisah tentang tempo atau perjalanan penyakit, sehingga menangani lokalisasi

dan penyebabnya.

 Uraian tentang perubahan perilaku akut biasanya tersedia dari petugas ambulans

dan orang-orang yang tinggal dengan pasien. Apakah masalahnya gangguan

dalam kewaspadaan atau perubahan perilaku? Apakah tiba-tiba jatuh atau

perubahan bertahap dan progresif atau berfluktuasi? Apakah ada insiden atau

penyakit sebelumnya, mis. cedera kepala, konsumsi obat-obatan, demam atau

sakit kepala? Apakah ada gejala fokal, misalnya hemiparesis atau afasia, yang

mendahului hilangnya kesadaran? Kondisi kronis apa yang ada, mis. kanker,
diabetes, epilepsi, penyakit autoimun, atau gangguan jantung, paru, hati atau

ginjal? Obat apa yang dipakai pasien? Apakah ada riwayat penyalahgunaan

narkoba atau alkohol? Apa rincian jatuhnya - jatuh lemas seperti pohon? Apakah

ada gerakan kejang? Apakah ada yang memeriksa denyut nadi?

 Pemeriksaan neurologis: tingkat obtundasi, menggunakan Glasgow Coma Scale

(GCS) atau skor FOUR jika diperlukan. Amati gerakan spontan dan respons

terhadap rangsangan. Jika pasien tetap tidak responsif, berikan peningkatan

rangsangan secara progresif, dimulai dengan memanggil nama pasien lalu

menerapkan stimulasi somatik. Pemeriksaan saraf kranial dapat membantu

melokalisasi lesi pada saraf kranial tertentu atau batang otak. Periksa preferensi

atau paralisis (menggunakan okulosefalik (doll’s eye) atau tes kalori) visual,

reaktivitas dan ukuran pupil. Refleks kornea jika tidak ditemukan secara

unilateral dapat melokalisasi, namun ada tidaknya refleks kornea dapat

mencerminkan tingkat depresi ARAS akibat gangguan metabolisme atau

overdosis obat. Kombinasi refleks pupil yang intak dan tidak adanya reflex

okulovestibular meningkatkan kemungkinan ensefalopati Wernicke, namun

fenomena yang sama dapat dilihat pada berbagai macam obat sedatif dan

analgesik, serta overdosis antihistamin. Adanya nistagmus dengan pengujian

kalor sangat mendukung untuk tidak responsif karena psikogenik. Seseorang

harus selalu memeriksa gerakan vertical mata, karena lesi pada thalamus atau

rostrum batang otak menghilangkan gerakan mata vertikal, tapi tidak horizontal.

 Tonus motorik dinilai secara pasif dengan menggerakkan tungkai pasien dan

mencatat resistensi terhadap gerakan. Pasien dengan sindroma maligna

neuroleptik, hipertermia maligna atau sindrom serotonin biasanya mengalami


peningkatan resistensi terhadap gerakan yang jelas. Pasien dengan penyebab

ensefalopati lain, ketika koma, mungkin memiliki tonus flaksid, namun pasien

ensefalopati dengan penyebab metabolik atau septik sering menunjukkan

peningkatan tonus yang berfluktuasi, peningkatan tonus yang bergantung pada

kecepatan (resistensi meningkat dengan kecepatan gerakan) yang dikenal

sebagai gegenhalten atau rigiditas paratonik. Pada rigiditas Parkinson (biasanya

disebabkan oleh obat neuroleptik atau metoklopramid), resistensi terdapat pada

rentang pergerakan dan tidak bergantung pada kecepatan seperti pada

gegenhalten. Pada spastisitas, terdapat peningkatan tonus yang bergantung pada

kecepatan dan kemudian dilepaskan saat spindle otot dirangsang, menyebabkan

flaksiditas (clasp-knife effect). Hal ini berguna untuk mencatat respon motorik

terhadap stimulasi. Kurangnya gerakan di satu sisi tubuh atau hemiplegia

mengindikasikan penyebab sentral kelumpuhan tersebut. Gerakan yang

bertujuan di mana lengan bergerak ke stimulus, sering mendorongnya menjauh

atau melewati garis tengah, menunjukkan tingkat kesadaran yang lebih ringan

dan sistem motorik yang utuh pada sisi yang menunjukkan gerakan. Deserebrasi

(ekstensi ekstremitas atas dan bawah) atau dekortikasi (anggota gerak fleksi

pada siku) diperkirakan menunjukkan lesi di bawah atau di atas nukleus merah

di otak tengah, masing-masing, namun pada manusia keduanya dapat terjadi

pada lesi serebral dalam, dan jenis postur bisa bergantian seiring berjalannya

waktu.

 Pada pasien dengan obtundasi kurang, adanya tremor postural (dengan tungkai

atas menahan gravitasi dan / atau bergerak ke target), asteriks (flapping tremor

yang disebabkan oleh hilangnya tonus postural saat pasien menahan tungkai atas
dan mengekstensikan pergelangan tangan) dan mioklonus multifokal sangat

sugestif terhadap ensefalopati toksik atau metabolik.

 Tes darah dan urin rutin: tes rutin glukosa serum, elektrolit, magnesium,

kalsium, fosfat, urea dan kreatinin, dan gas darah arteri atau kapiler biasanya

bermanfaat. Urin biasanya dikirim untuk pemeriksaan jumlah glukosa, protein

dan sel, namun kultur bakteri dan skrining obat (biasanya dengan obat spesifik

dalam pikiran) biasanya diindikasikan. Konsentrasi obat serum, memeriksa

intoksikasi alkohol atau obat-obatan atau untuk kepatuhan obat, mis.

Pemeriksaan kadar antikonvulsan sering dilakukan. Penentuan gas darah dapat

membantu mempersempit diagnosis banding (misalnya asidosis metabolik

umumnya disebabkan oleh peningkatan laktat (seperti pada sepsis atau

hipoperfusi), keton, toksin uremik atau beberapa agen eksogen seperti metanol

atau propilen glikol). Pemeriksaan point of care seringkali meniadakan

kebutuhan untuk memberikan glukosa secara intravena; jika yang terakhir

dilakukan, adalah bijaksana untuk memberi tiamin secara bersamaan untuk

mencegah ensefalopati Wernicke.

 Lumbal Puncture (LP): pada pasien koma akut LP digunakan untuk

menyingkirkan adanya infeksi SSP atau perdarahan subarakhnoid. Yang kurang

umum, kanker meningeal bisa terjadi dengan hilangnya kesadaran. CT kepala

sebelum LP biasanya dilakukan, karena lesi massa yang tidak terduga, (misalnya

abses serebral atau serebelum) dapat terjadi bersamaan dengan meningitis

bakteri, membuat LP berbahaya. Perdarahan subarakhnoid dapat dideteksi

dengan CT di lebih dari 95% kasus. Kontraindikasi lainnya meliputi koagulopati

dan infeksi di sekitar atau di atas lokasi pungsi yang diusulkan.


 Neuro-imaging pada setting akut: neuro-imaging diperlukan pada semua kasus

gangguan kesadaran kecuali untuk kasus dimana penyebab koma nonstruktural

mudah dikenali, mis. hipoglikemia membaik oleh infus glukosa. Bahkan pada

kasus metabolik, toksik atau infeksius, neuro-imaging sering dianjurkan untuk

menyingkirkan edema serebral, lesi traumatik atau abses serebral atau empiema.

Computed tomographic (CT) scanning biasanya tersedia dan umumnya cukup

untuk membuat keputusan tentang keamanan melakukan pungsi lumbal. Salah

satu indikasi yang paling umum untuk neuro-imaging di ER adalah untuk stroke.

Hemorrhagic stroke mudah terdeteksi di CT. Namun, stroke iskemik mungkin

tidak terlihat pada infark yang sangat akut. Diferensiasi samar substansia alba

dan grisea dapat membantu dalam menunjukkan kerusakan iskemik yang

mempengaruhi korteks, insula dan ganglia basal. Baru-baru ini, American

Academy of Neurology lebih merekomendasikan MRI diffusion-weigted

dibanding CT untuk penilaian stroke iskemik akut. Hal ini memungkinkan

penggambaran yang lebih jelas dari daerah vaskular yang mengalami infark.

 Pemeriksaan neurofisiologis: EEG dapat sangat berharga dalam mengkonfirmasi

kejang sebagai penyebab koma dan patut dipertimbangkan saat pasien gagal

bangun setelah serangan konvulsif atau setelah waktu normal terlewati untuk

prosedur operasi di otak, dan bila obtundasi tampak lebih besar dari yang diduga

setelah cedera otak traumatis. Sampai 20% pasien koma setelah cedera otak

mengalami kejang nonkonvulsif. EEG 20 menit akan menangkap kurang dari

15% dari jumlah ini; perekaman kontinu 24-48 jam diperlukan untuk menangkap

lebih dari 80%. Mioklonus wajah atau nistagmus spontan dapat menjadi

petunjuk bahwa kejang terjadi, namun fitur ini ditemukan pada sebagian kecil
kejang nonkonvulsif. Bila etiologi tidak jelas, adalah bijaksana untuk melakukan

EEG. Pengujian elektrofisiologis lainnya, mis. Somatosensory evoked potential

digunakan terutama untuk keperluan prognostik.

Terapi

 Pasien didukung pada jalan nafas, pernapasan dan sirkulasi saat pemeriksaan

berlangsung.

 Jika ada kecurigaan adanya hipoglikemia, 50 mL glukosa 50% diberikan

didahului dengan tiamin (biasanya 50 mg IM) untuk mencegah ensefalopati

Wernicke.

 Adalah bijaksana untuk menurunkan suhu tubuh pada lebih dari 40oC untuk

mencegah kerusakan serebelum: biasanya pendinginan dengan kipas dan

kompres.

 Terapi definitif sesuai dengan etiologi yang terungkap.

 Pengelolaan status epileptikus dibahas secara lebih rinci nanti di bab ini.

Status Epileptikus

Status epilepticus (SE) didefinisikan sebagai kejang yang berlangsung lebih dari

30 menit atau terjadi intermitten selama 30 menit tanpa pemulihan antara kejang. Tabel

32.3 memberikan klasifikasi varietas SE.


Tabel 32.3 Klasifikasi status epileptikus

Status epileptikus generalisata


1. Tonik-klonik
2. Tonik (misalnya di Lennox-Gastaut)
3. Klonik (bayi dan anak-anak)
4. Status mioklonik (jerking bilateral simetris, terutama dengan kelainan otak akut /
subakut, termasuk cedera pasca-anoksik / iskemik)
5. Absence
6. Status generalisata nonkonvulsif (NCSE) di ICU
Status epileptikus parsial
1. Parsial sederhana (termasuk epilepsia partialis continua)
2. Status epileptikus parsial kompleks
3. NCSE dengan seizure terkait lokalisasi, termasuk bentuk peralihan

Hampir semua jenis gangguan kejang bisa berevolusi menjadi SE jika terus

berlanjut cukup lama. Terdapat bukti yang cukup bahwa semua kecuali absence (petit

mal) SE dapat menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut. Kerusakan seperti itu dimulai

sekitar 30 menit pada SE konvulsif dan 60 menit pada SE non-konvulsif, maka penting

untuk kontrol segera.

 Secara patofisiologis terdapat peningkatan reseptor N-methyl-D-aspartate

(glutamat) dan penurunan regulasi reseptor asam γ-amino-butyric (GABA)-A

membran neuronal pada SE. Ini menyebabkan aktivitas eksitatorik lebih lanjut.

 Karena benzodiazepin memfasilitasi reseptor GABA-A, agen ini dapat dengan

cepat kehilangan keefektifannya dalam menghentikan SE yang presisten dalam

waktu yang lama.

Tujuan manajemen status epileptikus adalah:

1. Memastikan fungsi vital yang memadai (oksigenasi dan perfusi)

2. Menghentikan kejang

3. Mencegah rekurensi kejang

4. Memprediksi dan mencegah komplikasi sistemik.


Pencarian yang seksama untuk penyebab yang mendasarinya harus selalu

dilakukan sejak awal. Tentu saja, penyebab reversibel juga harus segera ditangani.

Untuk tujuan praktis kita harus berkonsentrasi pada aspek menghentikan kejang.

 Untuk memastikan kejang, termasuk kejang nonkonvulsif (yang sering

berevolusi dari kejang konvulsif) dihentikan dan untuk memastikan efek

farmakologis yang diinginkan, sangat disarankan agar pemantauan EEG

kontinue dilakukan, terutama bila pasien tidak terbangun setelah

penatalaksanaan SE awal atau refrakter atau SE super refrakter (lihat di bawah).

Tujuan pemantauan EEG adalah memastikan bahwa kejang dihentikan. Jika

kejang masih terjadi, strategi yang biasa dilakukan adalah dengan menginduksi

pola burst-suppression, dengan periode generalized flattening (supresi) dari

aktivitas kortikal setidaknya selama beberapa detik di setiap layar. Jika ini gagal

menghentikan kejang, beberapa neuro-intensivists melakukan supresi komplit

EEG selama 24 jam atau lebih dan kemudian menghentikan obat anestesi untuk

melihat apakah kejang kambuh. Jika terjadi rekurensi, maka anestesi diberikan

kembali.

 Terapi obat awal: penelitian random dan kontrol menunjukkan bahwa lorazepam

2 mg secara intravena lebih efektif daripada diazepam atau fenitoin dalam

menghentikan kejang sebagai pengobatan lini pertama. Sebuah penelitian yang

lebih baru menunjukkan bahwa 10 mg midazolam (pada orang dewasa)

setidaknya sama efektifnya dengan lorazepam. Ini memiliki beberapa nilai

praktis bila akses intravena tidak segera dapat dilakukan.

 Karena lorazepam dan midazolam memiliki durasi kerja yang cukup singkat,

dosis pemuatan dengan obat antiepilepsi standar biasanya diberikan segera


setelah benzodiazepin. Phenitoin 15-20 mg / kg (atau prodrug fosphenytoin pada

ekuivalen fenitoin yang sama), valproat (30-60 mg / kg) atau fenobarbital (15

mg / kg), masing-masing diberikan secara intravena, adalah agen yang paling

umum diberikan dan, jika efektif, akan mencegah kejang keesokan harinya, saat

dosis perawatan dimulai.

 Status Epileptikus Refrakter didefinisikan sebagai kegagalan dua agen pertama

untuk bekerja, yaitu benzodiazepin dan fenitoin, valproat atau fenobarbital. Pada

tahap ini pasien harus diintubasi di ICU dan agen anestesi kemudian digunakan.

Propofol atau midazolam intravena paling umum digunakan. Agen anestesi

pentobarbital atau thiopental berikutnya. Ketamin (biasanya 1-1,5 mg / kg dosis

pemuatan diikuti dengan infus pada 0,5 mg / menit) juga merupakan pilihan

yang baik, karena ini berkaitan dengan peningkatan transmisi eksitasi pada SE,

sementara agen lainnya menopang sistem inhibisi yang terganggu.

 Status Epileptikus Super-Refraktor didefinisikan sebagai SE yang gagal

dikendalikan oleh agen anestesi setelah 24 jam. Dalam situasi ini, biasanya agen

anestesi dilanjutkan, seringkali dengan tujuan untuk menekan semua aktivitas

korteks serebral untuk beberapa saat (24 jam atau lebih). Terapi lain yang

didasarkan pada rangkaian kasus dibandingkan usaha untuk kontrol meliputi:

terapi hipotermia (biasanya 32-34oC), pilihan bedah (misalnya reseksi kortikal

jika kejang bersifat fokal atau regional) atau bahkan terapi elektrokonvulsif.

 Obat antiepilepsi standar: tidak lebih dari tiga biasanya digunakan saat agen

anestesi diberikan dan untuk membantu kejang akut serta untuk mencegah

kejang saat anestesi dihentikan.


Prognosis SE sangat bergantung pada etiologi, namun durasi dan refraktori juga

penting. Untuk SE pada umumnya angka kematian paling sedikit 10%. Untuk kejang

refrakter dan super-refraktori, lebih dari 40% pasien meninggal pada fase akut. Pasien

yang selamat sering bertahan dengan masalah memori yang berat bersama dengan

defisit lainnya. Sangat sulit untuk memprediksi secara akurat ketika pasien masih

berada pada SE. Sangat disarankan agar penentuan prognostik menunggu sampai SE

telah diselesaikan dan pasien sudah tidak menggunakan obat anestesi.

Ensefalopati Anoksik-Iskemik Setelah Henti Jantung

Terdapat penundaan antara waktu henti jantung dan kematian sel. Perubahan

berikut terjadi:

 Glikolisis anaerobik menyebabkan akumulasi hidrogen, fosfat dan laktat, yang

semuanya menyebabkan asidosis intraselular.

 Konsentrasi kalsium terionisasi intraselular meningkat akibat peningkatan

kalsium, serta pelepasan glutamat dan aktivasi saluran NMDA, yang juga

memungkinkan pemasukan sodium dan klorida, yang menyebabkan

hiperosmolaritas, diikuti oleh masuknya air dan kematian neuronal. Kalsium

mengaktifkan protease intraseluler yang menyebabkan kerusakan intraselular

pada berbagai organel.

 Restorasi sirkulasi menyebabkan pembentukan radikal bebas yang diturunkan

oksigen, yang dapat menyebabkan kerusakan tambahan.

 Selain itu, apoptosis karena aktivasi caspase-3 pada neuron dan oligodendroglia

di neokorteks serebral, hippocampi dan striatum, dapat menyebabkan kematian

sel, walaupun ini hanya ditunjukkan pada model perinatal anoxia-ischemia.


 Daerah otak yang berbeda dan populasi neuron tertentu tampak lebih rentan

terhadap cedera hipoksia-iskemik, terutama hippokampus, sel Purkinje dari

serebelum dan sel piramida neokorteks.

Morbiditas dan mortalitas neurologis pada pasien yang diresusitasi dari serangan

jantung membaik dengan penggunaan terapi hipotermia, mendinginkan pasien sampai

antara 32 oC dan 34oC selama 24 jam. Pedoman prognostik berdasarkan literatur yang

medahului penggunaan terapi hipotermia dirumuskan pada tahun 2006. Meskipun ini

memerlukan modifikasi untuk pasien yang diobati dengan terapi hipotermia, namun

tetap dapat diaplikasikan pada mereka yang tidak mengalami hipotermia.

Setelah pasien cukup stabil dan pembaur (syok sirkulasi, obat sedatif dan agen

paralisis) disingkirkan atau diperhitungkan, penentuan prognostik dilakukan.

Penentuan Prognostik Survivor Henti Jantung Yang Tidak Ditangani Dengan

Hipotermia

Setelah 24 jam, jika pasien tidak memiliki semua refleks batang otak, respons

motorik dan apnea, pengujian tambahan dapat digunakan untuk mengkonfirmasi

diagnosis kematian otak. Pada pasien yang tetap koma, namun memiliki aspek

neurologis yang kurang berat, tanda klinis dan tes elektrofisiologis dapat digunakan

untuk menetapkan prognosis yang buruk. Tanda klinis yang memprediksi luaran

neurologis yang buruk adalah status mioklonus epileptikus (sentakan otot sinkron

bilateral yang terutama aksial, yaitu wajah, platisma, batang tubuh, diafragma dan

anggota gerak proksimal) pada hari pertama (tingkat positif palsu, atau FPR 0%, CI 0-

8.8), tidak adanya refleks cahaya pupil atau refleks kornea pada hari ketiga (FPR 0%, CI

0-3), dan respons motorik terbaik ekstensi atau lebih buruk pada hari ketiga (0%, CI 0-
3). Somatosensory Evoked Potential (SSEP) selesai pada hari ke-3 yang menunjukkan

tidak adanya respon N20 bilateral (puncak negatif (N) pada 20 ms) juga memprediksi

luaran yang buruk (FPR 0,7%, CI 0-3-7). Enolase spesifik neuron lebih besar dari 33

ug/L pada hari ke-1 sampai 3 juga merupakan prognostikator negatif (FPR 0, CI 0-3).

Parameter praktis memungkinkan dokter mengidentifikasi pasien yang pasti memiliki

luaran neurologis yang buruk; namun, penting untuk dicatat bahwa banyak pasien tanpa

kriteria ini juga akan memiliki luaran yang buruk.

Penentuan Prognostik Setelah Hipotermia

 Pemeriksaan neurologis: refleks cahaya pupil, refleks kornea dan respons

motorik memiliki akurasi yang kurang untuk memprediksi luaran neurologis

yang buruk. Rossetti dan rekannya secara prospektif mempelajari kelompok

pasien pasca-henti jantung yang menjalani hipotermia terapeutik (TH) untuk

mengevaluasi parameter praktik American Academy of Neurology. Ketika

diperiksa 72 jam setelah henti jantung, mereka menemukan bahwa TH

mempengaruhi keakuratan beberapa variabel yang digunakan dalam algoritma

parameter praktik. Mereka menemukan tingkat false-positive rate (FPR) yang

lebih tinggi untuk memprediksi mortalitas karena tidak adanya reaktivitas pupil

(FPR 4%), adanya mioklonal aksial (FPR 3%) dan respons motorik terbaik

ekstensor atau lebih buruk (FPR 24%). Al Thenayan dan rekannya menemukan

bahwa respons motorik, khususnya ekstensi atau lebih buruk, tidak dapat

diandalkan secara prognostik pada hari ketiga setelah TH. Dalam tinjauan

masing-masing 14 pasien yang mengalami keterlambatan kembalinya respons

motorik, sampai hari ke 6 pasca henti jantung, dan dua di antaranya memiliki
luaran yang menguntungkan. Kami pernah menemukan pasien yang diobati

dengan TH yang tanpa respons motorik sampai hari ke 21 pasca serangan

jantung (data tidak dipublikasikan).

 Mioklonus aksial mungkin berasal dari korteks, memiliki korelasi EEG, atau

retikular, yang berarti berasal dari batang otak, dan memiliki korelasi EEG yang

bervariasi. Sampai saat ini, adanya mioklonus aksial telah secara seragam

dianggap fatal. Laporan kasus baru-baru ini mengenai luaran yang baik

meskipun terdapat mioklonus aksial menunjukkan bahwa TH dapat

memodifikasi luaran sejumlah kecil pasien tetapi signifikan yang

mengembangkan status mioklonus setelah resusitasi dari serangan jantung.

Penting untuk dicatat bahwa adanya mioklonus aksial masih menunjukkan

luaran neurologis yang buruk, namun sebaiknya tidak digunakan secara terpisah

untuk prognosis.

 Karakteristik serangan jantung, khususnya waktu anoksia (waktu untuk memulai

CPR) dan durasi serangan jantung total, sering diajukan dalam diskusi tentang

prognosis pasca serangan jantung. Goldberger dan rekannya masing-masing

meninjau kelompok 64339 pasien yang menderita serangan jantung di rumah

sakit, dan memiliki data luaran neurologis yang tersedia untuk 8724 pasien.

Mereka menemukan bahwa durasi resusitasi tidak mempengaruhi luaran

neurologis. Luaran yang memuaskan terjadi pada 81% waktu resusitasi kurang

dari 15 menit, 80% untuk jangka waktu antara 15 dan 30 menit dan 78% untuk

resusitasi yang berlangsung lebih dari 30 menit. The Brain Resuscitation

Clinical Trial 1 Study Group menemukan bahwa waktu anoksia lebih besar dari

5 menit dan waktu resusitasi total melebihi 20 menit secara independen


memprediksi angka kematian. Namun, penting untuk dicatat bahwa adanya

waktu anoksia yang berkepanjangan atau CPR melebihi 20 menit tidak

menghalangi luaran neurologis yang menguntungkan. Dari 245 pasien, 41

dengan waktu anoksia melebihi 5 menit memiliki kategori kinerja serebral 1 atau

2 pada penilaian luaran. Demikian pula, 48 dari 311 pasien dengan waktu

resusitasi melebihi 20 menit juga memiliki luaran yang menguntungkan.

 Demikian pula, usia bukanlah determinan luaran yang dapat diandalkan.

 Respon bangkitan somatosensori: Tiainen dan rekannya mengevaluasi SSEP

pada pasien pasca serangan jantung yang dirandom ke penatalaksanaan TH atau

perawatan standar pada saat itu. Meskipun TH menghasilkan latensi tertunda

bentuk gelombang, 100% pasien dengan tidak adanya respons N20 bilateral,

terlepas dari apakah mereka menjalani TH, memiliki luaran neurologis yang

buruk. Leithner dan rekannya menemukan nilai prediksi yang sedikit lebih

rendah dalam setting TH. Mereka memiliki 36 pasien dengan tidak adanya

respons N20 setelah henti jantung; 35 memiliki luaran yang buruk dan 1 pasien

sadar kembali. Sementara SSEP saraf median masih dapat digunakan untuk

memprediksi luaran secara akurat, tingkat false-positive tidak nol, sekali lagi

menekankan bahwa pada era pasca-hipotermia, tidak ada tes yang digunakan

terpisah.

 EEG dapat digunakan untuk menentukan prognosis pada periode pasca-henti

jantung, namun kita harus menyadari sensitivitasnya terhadap beberapa

pembaur, termasuk sedasi, hipotermia dan kegagalan multiorgan. Parameter

praktik American Academy of Neurology menemukan bahwa supresi general

sampai kurang dari 20 μV, burst supression dengan epileptiform burst dan
kompleks periodik pada latar belakang flat semuanya terkait dengan luaran yang

buruk, namun memiliki akurasi yang tidak mencukupi. Pola EEG tambahan

yang sering dianggap ganas meliputi status epileptikus, koma alfa, koma theta,

koma spindle, gelombang trifasik dan burst suppression dengan nonepileptifom

burst. Baru-baru ini, reaktivitas EEG telah mendapat perhatian yang lebih.

Reaktivitas ini didefinisikan sebagai perubahan frekuensi atau amplitudo yang

terjadi sebagai respons terhadap rangsangan verbal atau nadi. Al Thenayan dan

rekannya meninjau ulang EEG secara retrospektif pada 29 pasien pasca henti

jantung dan menemukan bahwa 17 dari 18 pasien yang tidak memiliki

reaktivitas EEG tidak mendapatkan kembali kesadarannya. Dalam rangkaian

prospektif 34 pasien yang dilakukan oleh Rossetti dan rekannya, latar belakang

nonreaktif memiliki nilai prediksi positif 100%. Selain itu, semua survivor

memiliki reaktivitas EEG dan 74% pasien ini memiliki luaran neurologis yang

baik. Mereka juga menemukan bahwa nonreaktivitas memiliki FPR 7% untuk

memprediksi kematian setelah serangan jantung. Hingga 30% pasien pasca-

serangan jantung dapat mengalami status epileptikus. Meskipun sering dikaitkan

dengan luaran yang buruk, rangkaian yang sama ini menemukan bahwa aktivitas

epilepsi pada rekaman EEG pertama memperkirakan luaran buruk dengan FPR

sebesar 9%. Pengobatan antiepilepsi agresif harus diberikan pada pasien ini

sampai kriteria lain menunjukkan luaran yang buruk. Singkatnya, EEG dapat

membantu prognostikasi, baik untuk luaran yang menguntungkan dan tidak

menguntungkan, namun harus dipertimbangkan dalam konteks dengan indikator

prognostik lainnya karena nilai prediktif positif tidak cukup untuk digunakan

secara terpisah.
 Biomarker: beberapa biomarker telah menunjukkan potensi prognostikasi pasca

serangan jantung. Penggunaan biomarker sangat menarik karena tidak

memerlukan transportasi pasien ke radiologi, juga kadar yang tidak dipengaruhi

sedasi.

 Parameter praktik American Academy of Neurology merekomendasikan

menggunakan enolase spesifik neurolatine (NSE) serum dengan konsentrasi

cutoff 33 μg / L untuk secara akurat memprediksi luaran yang buruk. Hasil dari

penelitian di era pasca-hipotermia mempertanyakan keakuratan cutoff ini. Fugate

dan rekan menemukan bahwa setelah TH, menggunakan cutoff yang disarankan

ini memiliki FPR yang tidak dapat diterima sebesar 29% untuk luaran buruk.

Daubin dan rekannya mengukur serum NSE pada 24 dan 72 jam pasca henti

jantung dan menemukan bahwa kadar serum 97 μg/L diperlukan untuk mencapai

nilai prediksi positif 100%. Sebuah meta-analisis, yang mencakup penelitian

dengan dan tanpa TH, menemukan bahwa cutoff yang dilaporkan untuk

mencapai prediksi yang dapat diandalkan bervariasi dari yang rendah sebagai

5μg/L sampai setinggi 91 μg/L. Pada saat ini penelitian lebih lanjut diperlukan

untuk menentukan tingkat cutoff pasca-hipotermia untuk NSE.

 S100B adalah protein pengikatan kalsium yang disekresikan oleh sel glial dan

Schwann. Ini juga bisa bekerja sebagai sitokin yang menyebabkan apoptosis

neuron. Protein ini memiliki paruh biologis 2 jam. Hasil dari meta-analisis

menunjukkan tingkat cutoff untuk S100B untuk memprediksi luaran neurologis

yang buruk juga bervariasi, mulai dari 0,7-5,2 μg/L. Biomarker lain yang

memerlukan penelitian lebih lanjut sebelum dapat bermanfaat secara klinis

untuk prognostikasi meliputi kreatin kinase BB isoenzim, protein asam fibriler


glial dan brain-derived neurotrophic factor. Kurangnya ketersediaan biomarker

di banyak pusat kesehatan dan bukti yang bertentangan mengenai pengukuran

cutoff serum yang memprediksi luaran buruk dengan spesifisitas 100% saat ini

membatasi penggunaan biomarker dalam prognostikasi pasca henti jantung,

setidaknya untuk saat ini.

Meningkatkan Akurasi Prognostik Pada Era Hipotermia

Mengidentifikasi pasien yang memiliki luaran neurologis yang buruk menjadi

semakin sulit.

 Memastikan adanya setidaknya dua prognostikator negatif dapat memperbaiki

akurasi prognostik. Selain itu, memungkinkan penggunaan beberapa tanda

prognostik, seperti EEG dan MRI, yang memiliki kemampuan prediktif yang

bagus namun tidak sempurna.

 Rossetti dan rekannya menemukan bahwa sedikitnya ada dua dari: setidaknya

tidak adanya satu set refleks batang otak, mioklonus, EEG yang tidak reaktif dan

tidak adanya respons N20 bilateral pada SSEP memiliki nilai prediksi positif

100% untuk luaran neurologis yang buruk.

Identifikasi ini berguna untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang mungkin

mengindikasikan luaran yang baik, biasanya didefinisikan sebagai kemampuan untuk

mematuhi perintah, yang mengindikasikan kembalinya kesadaran. Ini termasuk

lokalisasi pada pemeriksaan motorik, minimal tidak ada restriksi difusi pada MRI dan

reaktivitas EEG. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi efek

hipotermia terhadap tanda prognostik saat ini dan juga untuk membantu membedakan
pasien yang akan mengalami pemulihan neurologis yang hampir sempurna dari mereka

yang memiliki disabilitas moderat.

Beberapa Pernyataan Umum Mengenai Penentuan Prognostik Dan Diskusi

Tingkat Perawatan

 Prognosis tergantung pada penetapan diagnosis dengan pasti.

 Kondisi otak yang berpotensi reversibel, mis. sepsis atau gagal hati, sebaiknya

tidak digunakan untuk menentukan keseluruhan prognosis hanya berdasarkan

aspek neurologis.

 Fitur pemeriksaan, neuro-imaging (terutama MRI) dan uji neurofisiologis dapat

digunakan untuk membantu menentukan tingkat keparahan dan permanensi

kerusakan otak.

 Prognostikasi harus mengikuti panduan yang ada bila memungkinkan.

 Bila prognosisnya tidak pasti, waktu yang lebih banyak harus disediakan dan

evaluasi berulang harus dilakukan.

Dokter di ICU cenderung melebih-lebihkan luaran yang buruk dan meremehkan

luaran yang baik, terutama pada hari pertama di ICU. Selanjutnya, beberapa keluarga

mengungkapkan keraguan tentang ketepatan dan ketulusan dokter yang memberikan

pendapat prognostik dan saran manajemen. Namun, apa yang "ahli" katakan kepada

keluarga dan rekan dokter dan pemberi perawatan lainnya memiliki pengaruh yang

sangat besar. Terdapat kebutuhan untuk akurasi, kejujuran, keterbukaan, pertimbangan /

pengakuan dan kesabaran dalam diskusi yang melibatkan kemungkinan sisa hidup.
DAFTAR PUSTAKA

1. Teasdale G, Jennett B. Assessment of coma and impaired consciousness: a

practical scale. Lancet 1974; 7872 : 81–4.

2. Wijdicks EF, Bamlet WR, Maramattom BV et al. Validation of a new coma scale:

the FOUR score. Ann Neurol 2005; 58 : 585–93.

3. Morrow SA, Young GB. Selective abolition of the vestibular-ocular reflex by

sedative drugs. Neurocrit Care 2007; 6 : 45–8.

4. Tong DM, Zhou YT. Predictors of the subarachnoid hemorrhage of a negative CT

scan. Stroke 2010; 41 : e556–7.

5. Schellinger PD, Bryan RN, Caplan LR et al. Evidence-based guideline: the role of

diffusion and perfusion MRI for the diagnosis of acute ischemic stroke: report of

the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American

Academy of Neurology. Neurology 2010; 75 : 177–85.

6. Vespa PM, Nuwer MR, Nenov V et al. Increased incidence and impact of

nonconvulsive seizures after traumatic brain injury as detected with continuous

EEG monitoring. J Neurosurg 1999; 91 : 750–60.

7. Claassen J, Mayer SA, Kowalski RG, et al. Detection of electrographic seizures

with continuous EEG monitoring in critically ill patients. Neurology 2004; 62 :

1743–8.

8. Wasterlain CG, Hiu H, Naylor DE et al. Molecular basis of self-sustaining

seizures and pharmacoresistance during status epilepticus: the receptor trafficking

hypothesis revisited. Epilepsia 2009; 50 (Suppl 12) : 16–18.


9. Kapur J, Macdonald RL. Rapid seizureinduced reduction of benzodiazepine and

Zn2+ sensitivity of hippocampal dentate granule cell GABA-A receptors. J

Neurosci 1997; 17 : 7532–40.

10. Hunter GRW, Young GB. Status epilepticus: a review, with emphasis on

refractory cases. Can J Neurol Sci 2012; 39 : 157–69.

11. Alldredge BK, Gelb AM, Isaacs SM et al. A comparison of lorazepam, diazepam,

and placebo for the treatment of out-of-hospital status epilepticus. N Engl J Med

2001; 345 : 631–7.

12. Treiman DM, Meyers PD, Walton NY et al. A comparison of four treatments for

generalized convulsive status epilepticus. N Eng J Med 1998; 339 : 792–8.

13. Silbergleit R, Durkalski V, Lowenstein D, et al. Intramuscular vs. intravenous

therapy in prehospital status epilepticus. N Eng J Med 2012; 366 : 591–600.

14. Shorvon S, Ferlisi M. The treatment of super-refractory status epilepticus: a

critical review of available therapies and a clinical treatment protocol. Brain 2011;

134 : 2802–18.

15. Busl KM, Greer DM. Hypoxic-ischemic brain injury: pathophysiology,

neuropathology and mechanisms. NeuroRehabilitation 2010; 26 : 5–13.

16. Greer DM. Mechanisms of injury in hypoxic-ischemic injury: implications to

therapy. Semin Neurol 2006; 26 : 373–9.

17. Hee Han B, D’Costa A, Black SA et al. BDNF blocks caspase-3 activation in

neonatal hypoxia-ischemia. Neurology of Disease 2000; 7 : 38–53.

18. Barnard SA, Gray TW, Buist MD et al. Treatment of comatose survivors of out of

hospital cardiac arrest with induced hypothermia. N Eng J Med 2002; 346 : 557–

63.
19. Hypothermia after Cardiac Arrest Study Group. Mild hypothermia to improve the

neurologic outcome after cardiac arrest. N Eng J Med; 346; 557–63.

20. Wijdicks EFM, Hijdra A, Young GB et al. Practice parameter: prediction of

outcome in comatose survivors after cardiopulmonary resuscitation (an evidence-

based review): report of the Quality Standards Subcommittee of the American

Academy of Neurology. Neurology 2006; 67 : 203–10.

21. Rossetti AO, Oddo M, Logroscino G et al. Prognostication after cardiac arrest and

hypothermia: a prospective study. Ann Neurol 2010; 67 : 301–7.

22. Al Thenayan EA, Savard M, Sharpe M, et al. Predictors of poor neurologic

outcome after induced mild hypothermia following cardiac arrest. Neurology

2008; 71 : 1535–37.

23. Chen CJ, Coyne PJ, Lyckhom LJ, et al. A case of inaccurate prognostication after

the ARCTIC protocol. J Pain Symptom Manage 2012; 43 : 1120–5.

24. Lucas JM, Cocchi MN, Salciccioli J, et al. Neurologic recovery after hypothermia

in patients with post-cardiac arrest myoclonus. Resuscitation 2012; 83 : 265–9.

25. Rossetti AO, Oddo M, Liaudet L et al. Predictors of awakening from postanoxic

status epilepticus after therapeutic hypothermia. Neurology 2009; 72 : 744–9.

26. Goldberger ZD, Chan PS, Berg RA, et al. Duration of resuscitation efforts and

survival after in-hospital cardiac arrest: an observational study. Lancet 2012; 380 :

1473–81.

27. Brain Resuscitation Clinical Trial 1 Study Group. A randomized clinical study of

cardiopulmonary-cerebral resuscitation: design, methods and patient

characteristics. Am J Emerg Med 1986; 4 : 72–86.


28. Rogove HJ, Safar P, Sutton-Tyrrell K, Abramson NS. Old age does not negate

good cerebral outcome after cardiopulmonary resuscitation: analyses from the

brain resuscitation clinical trials. The Brain Resuscitation Clinical Trial I and II

Study Groups. Crit Care Med 1995; 23 : 18–25.

29. Tiainen M, Kovala TT, Takkunen OS, Roine RO. Somatosensory and brainstem

auditory evoked potentials in cardiac arrest patients treated with hypothermia. Crit

Care Med 2005; 33 : 1736–40.

30. Leithner C, loner CJ, Hasper D et al. Does hypothermia influence the predictive

value of bilateral absent N20 after cardiac arrest. Neurology 2010; 74 : 965–9.

31. Al Thenayan EA, Savard M, Sharpe M, et al. Electroencephalogram for prognosis

after cardiac arrest. J Crit Care 2010; 25 : 300–4.

32. Rossetti AO, Urbano LA, Delodder F et al. Prognostic value of continuous EEG

monitoring during therapeutic hypothermia after cardiac arrest. Crit Care 2010;

14(5) : R173.

33. Fugate JE, Wijdicks ER, Mandrekar J et al. Predictors of neurologic outcome

after cardiac arrest. Ann Neurol 2010; 68 : 907–14.

34. Daubin C, Quentin C, Allouch S, et al. Serum neuron-specific enolase as predictor

of outcome in comatose cardiac-arrest survivors: a prospective cohort study. BMC

Cardiovasc Disord 2011; 11 : 48–61.

35. Shinokzaki K, Oda S, Sadahiro T et al. S-100B and neuron-specific enolase as

predictors of neurological outcome in patients after cardiac arrest and return of

spontaneous circulation: a systematic review. Crit Care 2009; 13(4) : R121.

36. Zingler VC, Krumm B, Bertsch T et al. Early prediction of neurological outcome

after cardiopulmonary resuscitation: a multi-modal approach combining


neurchemical and electrophysiological investigations may provide higher

prognostic certainty in patients after cardiac arrest. Eur Neurol 2003; 49 : 79–84.

37. Rocker G, Cook D, Sjokvist P, et al. Clinical predictions of intensive care unit

mortality. Crit Care Med 2004; 32 : 1149–54.

Diterjemahkan dari:

Young, GB. Comatous Patient Neurological Aspects in Handbook of ICU Therapy

Third Edition. Cambridge University Press. 2015.

Anda mungkin juga menyukai