Anda di halaman 1dari 11

Inflamasi pada Laryng

James Paul Dworkin-Valenti*, Eric Sugihara, Noah Stern, Ilka Naumann, Samba Bathula, and
Esmael Amjad
Department of Otolaryngology- Head & Neck Surgery, Detroit Medical Center, USA

*Corresponding author
J James P. Dworkin-Valenti, Department of Otolaryngology-Head & Neck Surgery, Detroit Medical Center, 5807 Cedar
Ridge Dr, Ann Arbor, MI 48103, USA, Email:
Submitted: 05 August 2015
Accepted: 24 August 2015
Published: 31 August 2015
Copyright
© 2015 Dworkin-Valenti et al.

Abstrak
Tujuan: Memberikan sinopsis berbagai jenis, penyebab, dan perawatan pada inflamasi laring.
Sumber Data: Informasi yang terkandung dalam makalah ini berasal dari literatur ilmiah dan
pengalaman klinis para penulis. Data yang terkumpul diperkuat oleh pengalaman klinis dan
penelitian para penulis.
Metode Peninjauan: Database Medline (PubMed) dan Cochrane Library dari referensi dan
abstrak yang kemudian dikonsultasikan untuk mendapat informasi ilmiah tentang jenis, sebab, dan
perawatan mengenai inflamasi laring.
Kesimpulan: Klasifikasi laringitis dapat dibagi menjadi akut dan kronis dengan berbagai
penyebab baik karena perilaku maupun kelainan organik. Variabel patogen dibahas, termasuk efek
pada laring yang berbahaya akibat penggunaan suara yang berlebihan, proses infeksi, penyakit
sistemik, gangguan refluks, berbagai pengobatan dan alergi. Algoritma pengobatan alternatif
untuk inflamasi laryng disajikan.

PENDAHULUAN
Ada banyak jenis dan penyebab inflamasi pada laring. Manajemen yang efektif sangat bergantung
pada etiologi, jalur klinis masalah, dan riwayat medis pasien yang menderita. Tujuan utama dari
artikel ini adalah untuk memberikan tinjauan menyeluruh terhadap kelainan laring akut dan kronis
dari kondisi. Faktor kausal yang paling umum akan dibahas secara rinci dan pengobatan alternatif
akan dilakukan secara sistematis.
METODE
Bahan untuk review ini didapat melalui database Medline (PubMed) dan Cochrane Library pada
kelainan vokal beningna dan maligna dan peradangan pada laring. Pengalaman klinis dan
penelitian para penulis juga digambarkan untuk menyeimbangkan dan mengatur basis data besar
yang diperoleh selama proses tinjauan ini. Setiap usaha dilakukan untuk menghasilkan ringkasan
komperhensif tentang implikasi diagnostik dan perawatan untuk kondisi patologis ini. Informasi
yang saling bertentangan atau kontroversial ditemukan, perbedaan seperti itu terselesaikan melalui
korespondensi pribadi dengan pakar lain mengenai hal ini yang merekomendasikan referensi
tambahan untuk dikonsultasikan untuk klarifikasi. Referensi yang termasuk dalam tinjauan ini
dipilih dari hampir 300 artikel jurnal ilmiah dan abstrak karena mereka memberikan informasi
yang paling menonjol secara luas mengenai inflamasi laring.

Anatomi
Secara historis, saluran pernapasan dipisahkan kedalam subdivisi atas dan bawah. Dimasa lalu,
peneliti klinis mendalilkan satu kesatuan model jalan nafas; yang terdiri dari satu sistem organ
yang saling terkait dengan kesamaan anatomis dan mekanisme patofisiologis yang umum dalam
merespon terhadap hiperaktifitas dan inflamasi [1-4]. Jalan nafas saling terhubung melalui epitel
bersilia dari nares, meluas melalui membrane matriks jaringan nasal, oral, faring, dan laring dan
berakhir pada bronkioli dan alveoli dari paru-paru. Patologi yang berasal dari salah satu jalan nafas
yang saling terhubung ini seringkali secara bersamaan mempengaruhi komponen lainnya.
Mekanisme inflamasi
Ada banyak pola proliferasi yang berbeda pada patologi satu jalan napas ini termasuk inflamasi
loco-regional, edema, hiperemia, dan infiltrasi seluler superficial. Tingkat keparahan biasanya
tergantung pada agen penyebab. Gangguan jalan nafas pada laryng bisa terjadi karena enam alasan
utama: infeksi, inflamasi, neoplasma, alergi, iritasi, dan trauma. Invasi laring oleh patogen virus,
bakteri, organisme jamur, parasit, tumor, trauma, antigen yang terhirup dan tertelan, atau polutan
lingkungan dapat menyebabkan inflamasi jaringan loco-regional yang signifikan. Mekanisme
biologis yang berkontribusi terhadap patogenesis reaksi ini bersifat multi-variatif dan interaktif.
Terutama, protein plasma dan sitokin lokal yang bocor dari pembuluh darah yang melebar
mengakibatkan edema, eritema, dan gangguan fungsi normal. Lapisan pembuluh darah yang
melebar menyebabkan makrofag, neutrofil, dan limfosit menjadi teraktivasi dan akan menuju pada
tempat yang emngalami inflamasi; sebuah proses dikenal sebagai marginasi (pavementing), yang
ditandai dengan pengangkutan molekul adhesi ke tempat yang terlibat. Selain material intraselular
yang terakumulasi ini, mediator biokimia vasodilator lainnya diangkut dari ruang intravaskular ke
jaringan perivaskular dan akan memperparah respon inflamasi (diapedesis). Termasuk 1) sel mast
yang mengandung histamin, 2) serotonin, dan 3) metabolit prostaglandin yaitu asam arakhnidonik
dan metabolit leukotrien [5-6].
Pola limfatik laring
Secara embriologis, laring muncul dari cabang primer branchial (viseral) lengkungan III, IV dan
VI. Lapisan mesodermal berdiferensiasi menjadi pembuluh darah, kartilago, tulang, dan otot.
Pembuluh limfe juga berasal dari ;apisan primitif ini, dan mereka memiliki pola drainase yang
berbeda secara signifikan. Penting untuk memahami pola ini karena mereka mempengaruhi reaksi
inflamasi loco-regional. Untuk tujuan stadium klinis, laring dapat dibagi menjadi 3 daerah yang
berbeda: supraglottis (epiglotis, kartilago arytenoid, plica aryepiglottic, dan plica ventrikel), glotis
(plica vocal sejati , commissura anterior, dan commissura posterior), dan subglottis (5mm di bawah
batas bebas dari plica vokal sejati hingga batas inferior kartilago krikoid). Supraglottis kaya akan
akan jaringan limfatik, yang melewati membran tirrohyoid dan akan bermuara pada nodus jugular
subdigastrik, midjugular, dan infrajugular. Pembuluh ini juga berhubungan dengan dasar lidah,
dan jaringan padat ini membentuk jalur penyebaran yang umum untuk infeksi, edema, dan tumor
ganas. Seluruh glotis memiliki saluran limfatik yang jarang; plica vokalis sejati sebenarnya tidak
memiliki jaringan limfe. Akibatnya, penyakit yang menular atau ganas yang berasal dari plica
vokalis sejati seringkali tetap berada pada struktur ini tanpa penyebaran yang signifikan ke kelenjar
getah bening yang berdekatan lainnya. Jika dan bila rainase memang terjadi dari glotis maka akan
mengalir ke KGB jugularis interna dan paratracheal. Pembuluh getah bening dari subglottis
melewati membran krikotiroid dan didrainase ke KGB paralaryngeal, paratrakeal, dan limfonodi
servikal. Infeksi, traumat, dan keganasan yang melibatkan daerah laring ini sering menyebar ke
kelenjar getah bening. Namun, karena nodus semacam itu menempati ruang leher dalam mereka
respon inflamasi mungkin tetap tersembunyi pada pasien yang awalnya hadir dengan tanda dan
gejala klinis yang signifikan dengan keadaan patologi laring, seperti dysphonia dan atau
odynophagia.
Laringits
Istilah diagnostik ini sering digunakan untuk menggambarkan sebuah inflamasi mukosa dan
jaringan laring, termasuk yang menyusun epiglotis, kartilgo arytenoid, plica aryepiglottic, post-
cricoid, ventrikel plica vokalis, epitel skuamosa dari plica vokalis sejati, dan subglottis. Inflamasi
yang melibatkan struktur ini mungkin bersifat akut atau kronis; dengan berbagai bentuk eritema,
edema, nyeri tekan, dan disfungsi dapat bervariasi dalam derajat, tentu saja luasnya daerah yang
terkena dan metode pengobatan. Inflamasi bisa merusak silia dari epitel laring, dan dapat
mengganggu aliran secret dari trakea-bronkial.
PRESENTASI KLINIS
Stasis lendir sering menyebabkan batuk episodik dan menimbulkan upaya tenggorokan untuk
membersihkan secret, yang bisa menyebabkan edema plica vokalis, hiperemia, hiperkeratosis,
akantosis, dan seluler atypia Penderita laringits akut atau kronis sering hadir dengan keluhan utama
disfonia dan atau disfagia. Dysphonia dapat hadir sebagai kesulitan nafas, suara yang terbatas, dan
mengurangi proyeksi atau kenyaringan vokal. Disfagia bisa hadir sebagai sensasi globus (benda
asing) dan sensasi tersedak, nyeri selama menelan, regurgitasi, dan perasaan adanya makanan yang
tertinggal di tenggorokan atau daerah esofagus bagian atas.
FAKTOR RISIKO
Sudah menjadi pengalaman klinis kami bahwa 15 populasi berikut umumnya rentan terhadap
laryngitis :
1) Individu yang menggunakan suara secara berlebihan, seperti berteriak, bernyanyi, dan yang
bisa berakibat pada inflamasi plica vokalis unilateral atau bilateral (yaitu, polipoid corditis atau
Reinke's edema), pembentukan polip hemoragik, atau nodul,
2) Individu dengan range vokal yang tinggi dan keras, mungkin terjadi karena kombinasi usia,
kepribadian, gaya hidup, dan persyaratan kerja,
3) Individu yang merokok atau yang sering terkena paparan asap rokok, yang sering menyebabkan
inflamasi jaringan laring ringan dengan infiltrasi difus, polipoid corditis, dan atau keganasan,
4) Individu yang sering mengalami refluks laringeal-pharyngeal (LPR), yang dapat menyebabkan
iritasi jaringan laring dan pembengkakan sekunder akibat asam yang bersifat erosive dan efek
pepsin yang dikaitkan dengan batuk dimalam hari,
5) Individu yang mengalami dehidrasi laring karena mereka secara rutin mengkonsumsi minuman
yang kaya kafein (diuretik) dalam jumlah berlebihan, yang sering menginduksi proses klirens
tenggorokan yang reaktif sehingga menyebabkan inflamasi laring difus;
6) Individu yang tidak minum sebanyak 6-8 gelas minuman yang tidak berkafein untuk
pemeliharaan sistemik hidrasi jaringan laring yang adekuat,
7) Individu yang secara teratur menggunakan obat antikolinergik, yang sering menyebabkan laring
menjadi kering, rapuh dan meningkatkan risiko peradangan laringeal difus,
8) Individu yang secara teratur menggunakan diuretic atau angiotensinconverting enzyme (ACE)
inhibitor, yang menyebabkan peradangan laring yang disebabkan oleh dehidrasi lokal atau
kebiasaan batuk kronis,
9) Individu dengan riwayat medis tertentu, seperti asthma atau penyakit paru obstruktif kronik
(COPD), yang dapat menyebabkan kandidiasis laring, mukosa laring menjadi irritable, dan
inflamasi sekunder pada plica vokalis terkait penggunaan kortikosteroid inhalasi dan seringnya
batuk,
10) Individu dengan infeksi laring yang menular, seperti i kandidiasis laryngeal dan organisme
jamur lainnya, herpes, atau virus papilloma plica vokalis, yang dapat menyebabkan peradangan
jaringan loco-regional yang signifikan,
11) Individu dengan kondisi medis sistemik yang berfluktuasi, seperti sindrom Sjogrens, lupus,
hipertiroidisme (Penyakit Graves), hipotiroidisme (myxedema), dan sarkoidosis, yang dapat
menyebabkan inflamasi, kering, dan atau rapuh dan reaksi inflamsi lokal,
12) Individu dengan alergi otolaringng sistemik, termasuk post-nasal drip, migrasi sekresi bronkial
dan batuk yang responsif, dapat menyebabkan reaksi inflamasi laring ringan,
13) Individu dengan komplikasi inflamsi laring karena trauma,
14) Individu dengan riwayat influenza karena haemophilus b (Hib), yang secara kausal dikaitkan
dengan epiglotitis pada anak-anak dan orang dewasa,
15) Individu dengan riwayat keganasan laring (dengan atau tanpa fibrosis jaringan loco-regional
akibat radiasi dan peradangan) [7-17].
Jika populasi rentan ini hadir dengan dua atau lebih dari faktor-faktor penyebab co-morbid makan
gangguan laring ini akan berkembang cepat. Hal ini berpotensi mnejadi variabel perancu yang
harus selalu disurvei dan dipertimbangkan saat menentukan perawatan untuk pasien tertentu.
Tentu, prognosis untuk perbaikan dan jenis perawatan yang dibutuhkan untuk pasien tertentu
tergantung pada tingkat keparahan dan etiologi yang mendasarinya.
Pemeriksaan Fisik
Alat diagnostik yang paling berguna dalam mengevaluasi inflamasi pada laring adalah endoskopi
serat optik yang kaku atau fleksibel. Endoskopi laring seringkali menunjukkan patologi loco-
regional, tergantung pada etiologi yang mendasarinya. Yang bisa diperiksa termasuk 1) eritema
membrane glotis dan supraglotis yang difus dan edema dan jalan napas yang menyebabkan
penyempitan jalan nafas, 2) robeknya jaringan mukosa, ektasis kapiler, pendarahan, hiperemia,
poliposis (edema Reinke), pembentukan polip, nodul, hiperkeratosis, dan atau leukoplakia yang
melibatkan plica vokalis sejati, 3) ulserasi, granuloma dan jaringan parut di sepanjang permukaan
medial prosesus vokalis arytenoids dan di dalam wilayah interarytenoid, dan 4) plica ventrikularis.
Incompetensi glotis selama fonasi biasanya merupakan konsekuensi dari kondisi peradangan ini,
tingkat keparahan yang biasanya menentukan perburukan suara dan gejala saat menelan.
Inflamasi laring akut
Pada bentuk akut laringitis, onset biasanya mendadak biasanya bersifat self-limiting kurang dari 3
minggu. Virus, infeksi bakteri, jamur, dan trauma langsung pada saluran nafas atas atau episode
penggunaan vokal berlebihan adalah penyebab paling umum. Dalam kondisi sistemik tertentu,
seperti sindrom croup virus atau candida albicans, mucnul keterlibatan akut jaringan saluran napas
atas dan bawah dan memperburuk gambaran klinis dan menyulitkan algoritma pengobatan. Reaksi
alergi anafilaksis dan lesi ganas juga bisa mengakibatkan Inflamasi laring akut. Inflamasi laring
akut jarang dapat mengancam nyawa.
Inflamasi laring kronis
Kondisi ini memiliki onset yang lebih rendah daripada inflamasi akut. Tanda dan gejalanya bisa
muncul dan berkurang dalam jangka waktu yang lama, umumnya beberapa minggu atau bulan. 15
faktor etiopathogenic yang paling umum dikaitkan dengan inflamasi diffuse dan kronik endo-
laryngeal telah dijelaskan diatas. Perlu dicatat bahwa jika etiologi yang sama ini muncul
bersamaan pada pasien dengan dugaan laringitis akut, diferensial diagnosis subtipe sebenarnya
dari kondisi ini mungkin kurang penting. Saat terjadi penggunaan suara yang berlebihan,
permukaan plica vokalis mengalami tumbukan getaran berulang dan kuat, menyebabkan terjadinya
gesekan intens, agitasi termal, kehancuran sel [18]. Keadan peristen ini yang disebabkan ini faktor
eksogen atau endogen sering mengarah pada nekrosis jaringan lokal, fibrosis, dan jaringan parut,
sebagai efek dari limfosit, eosinofilia, makrofag, fibroblas, dan kolagen yang menumpuk di
jaringan. Telah disarankan bahwa inflamasi laring kronis mungkin terjadi pada kira-kira sepertiga
dari populasi umum, dan lebih dari 50% dari individu dengan gejala kondisi ini memiliki berbagai
tanda inflamasi laring ditemukan selama laringoskopi [19,20]. Harus diakui bahwa dalam beberapa
kasus kronis (misalnya, setelah terapi radiasi) pasien sering terbiasa dengan penyempitan glotis,
supraglotis, atau subglotis, tanpa perlu intervensi lebih lanjut. Namun, adaptasi fungsional ini tidak
seringkali tidak mungkin terjadi pada kasus-kasus akut, dimana penanganan jalan nafas darurat
mungkin diperlukan.
KONTRIBUSI ALLERGI
Selama 50 tahun terakhir, peneliti klinis terus berlanjut mengenai perdebatan mereka tentang
apakah allergen yang dihirup atau tertelan atau polutan dapat berkontribusi atau menjelaskan
keluhan utama dari gangguan intermiten dan gangguan menelan yang diamati pada beberapa orang
dengan alergi. Keluhan seperti itu biasanya ada dalam laporan paparan berulang baru-baru ini
untuk antigen [9-13]. Pada orang-orang ini, respons alergi laring biasanya terkait dengan pelepasan
fase akhir protein oleh sel eosinofilik daripada degranulasi sel mast akut didalam jalan napas.
Kurangnya bukti ilmiah pendukung untuk menunjukkan hubungan kausal laringitis alergi sering
terjadi pada saat dilakukan klasifikasi diagnostik oleh banyak ahli otolaringologi, ahli alergi dan
dokter perawatan primer.
Respon Imun
Mekanisme imunologi yang bertanggung jawab untuk inflamasi sino-nasal pada pasien alergi telah
dijelaskan secara luas [1,4,13,15, 21]. Namun, proses seluler yang dapat menyebabkan laringitis
pada individu yang sama setelah paparan antigen spesifik tidak dipahami dengan baik, karena
penyelidikan pada manusia masih relatif jarang mengenai topik ini dan penelitian yang ada terbatas
dengan model hewan. Fase akut, reaksi alergi yang dimediasi IgE, anafilaksis atau angioedema
didalam laring jarang ditemukan, tapi bila memang terjadi mekanisme aksi terutama disebabkan
oleh sel mast, yang ditemukan melimpah dijaringan subglottic supraglotis. Reaksi inflamasi
bersifat cepat, kuat, dan berat. Antigen yang paling umumditemukan sebagai penyebaba termasuk
makanan, seperti kacang tanah atau kerang, kelas obat tertentu (misalnya, ACE-Inhibitor,
penisilin), gigitan serangga, dan venom. Jika terjadi epiglotitis onset cepat, edema supraglotis
generalisata, dan atau penyempitan subglotis terjadi, pasien biasanya menderita dyspnea, stridor,
disfagia, dan adanya sensasi globus. Ini berpotensi mengancam nyawa yang terjadi sebagai
konsekuensi dari edema biomolekuler primer dan sekunder jaringan areolar dari vestibulum
laryng. Pembengkakan lidah, dasar mulut, velum, dan mukosa hidung umumnya muncul secara
berdampingan, yang bisa memperburuk semua tanda dan gejala.
Respon alergi laring
Tanda dan gejala hiperaktivitas bronkial dan laryngeal setelah paparan antigen berbahaya biasanya
timbul secara bertahap pada individu dengan alergi, dan mereka cenderung bersifat ringan [9-
13,15]. Saat plica vokalis mengalami inflamasi dan terjadi disfonia setelah paparan antigen,
penjelasan mengenai endapan histamin dari sel mast masih harus dicari. Tak jarang, pasien
menunjukkan perilaku respon membersihkan tenggorokan kuat karena akumulasi lendir lengket
yang dirasakan didasar lidah pada vestibulum laring. Reaksi ini bisa secara mekanis menimbulkan
trauma pada plica vokalis. Jika mereka bertahan dan menjadi peristiwa kronis, bisa menyebabkan
inkompetensi glottis dan respon patologis laring [21-24]. Iritasi pada membran laring bisa berasal
dari dalam laring, atau terjadi dari daerah lain seperti drainase post-nasal, migrasi ke atas dari
trakea-bronkial, atau refluks supero-posterior dari saluran gastroesofagus. Peradangan laring juga
mungkin akibat dehidrasi jaringan terkait, yang bisa menyebabkan mukosa lipatan vaskular kering
dan rapuh, gatal. Reaksi ini biasanya menyebabkan klirens tenggorokan yng reaktif dan batuk,
yang memicu lingkaran setan terjadinya kejadian patofisiologis berbahaya. Penting untuk dicatat
bahwa klirens laring episodik, batuk, ketengangan otot dan edema plica vokalis intermiten juga
sering terjadi pada gejala refluks laryngeal-pharyngeal. Karena iritabilitas eosinofilik telah
dikaitkan secara etiologis dengan hiperaktifitas gastroeosofagal, peneliti klinis telah mendalilkan
mekanisme patogenetik umum untuk penyakit refluks dan alergi. [7, 25, 26] Refluks gastro-
esofagus,infeksi saluran pernapasan bagian atas dan rhinitis alergi semuanya telah ditunjukkan
dapat merangsang munculnya batuk, dyspnea, dan klirens tenggorokan. Respon paru ini dimediasi
oleh reflex parasimpatheticcholinergic yang berlebihan. Karena prevalensi koeksistensi penyakit
tersebut relatif tinggi di antara pasien yang dirawat oleh internis, ahli alergi, dan ahli
otolaringologi, sangat sulit dibedakan kondisi ini satu sama lain untuk diagnosa yang akurat dan
rekomendasi perawatan yang akurat.
Mediator kimiawi reaksi alergi
Pada tingkat sel, sel mast dan eosinofil bekerja secara sinergis untuk memediasi respons inflamasi
[4, 27-28]. Pada populasi sebelumnya sebagian besar terdiri dari butiran sitoplasma yang
mengandung histamin, heparin, dan modulator kekebalan lainnya. Sel leukosit besar ini terletak di
seluruh wilayah sinonasal traktus mukosa. Diaktifkan oleh antigen inhalasi, antigen yang tertelan,
atau topical sel mast yang bertindak sebagai mediator primer dari fase akut alergi. Kemudian
terjadi respon berikut, sel eosinofilik biasanya direkrut ke jaringan yang meradang, yang
mengakibatkan munculnya fase lambat berupa pembengkakan dan kerusakan mukosa yang
berkepanjangan. Sebagaimana dimaksud sebelumnya, sel mast dan eosinofil sangat banyak
ditemukan pada epiglotis dan subglottis, sedangkan epitel skuamosa dan kumpulan neurovaskular
plica vokalis tidak mengandung sel tersebut, mediator peradangan, atau derivate peptida reaktif.
Meskipun ketidakhadiran semacam itu kemungkinan bersifat evolusioner dan adaptasi yang
mendukung kehidupan, fakta ini mengenai ekstrapolasi ilmiah dari hubungan timbal balik
langsung antara faringitis dan alergi sangat terbatas [27,28]. Artinya, kurangnya pengetahuan
mengenai mediator kimia yang dikenal dari inflamasi laring membantu menjelaskan mengapa
studi yang disengaja untuk menginduksi pembengkakan glottis pada subyek dengan alergi,
menggunakan berbagai allergen sebagian besar tidak berhasil [29-32].
Tanda-tanda Laringitis Alergi
Terlepas dari keterbatasan epidemiologi di atas, beberapa dekade yang lalu beberapa peneliti klinis
telah menyelidiki sejauh mana alergen spesifik dan polutan lingkungan dapat menyebabkan tanda
dan gejala umum laringitis pada manusia, tikus, tikus, kelinci percobaan, dan monyet [9-15, 29-
38]. Beberapa penelitian ini menggunakan tungau debu dan provokasi makanan pada individu
alergi dan non-alergi. Yang lainnya menggunakan polutan yang dihirup, seperti jelaga besi. Secara
umum, temuan penelitian ini telah berulang kali dilakukan menunjukkan respon tertunda dan
segera dari saluran pernafasan atas dan bawah pada subyek eksperimen versus control nonreaktif.
Kemungkinan kausalitas, keterkaitan sinergis antara apa yang disebut eosinophilic bronchitis,
tracheitis, laringitis, dan paparan kronis terhadap antigen spesifik, polutan, atau keduanya telah
diusulkan untuk menjelaskan hasil tersebut [36-38]. Selain itu, penulis menyarankan agar beberapa
kriteria dan hasil pemeriksaan harus ada untuk mendukung kemungkinan diagnosis alergi
laryngeal termasuk: 1) riwayat tes alergi positif, 2) klirens tenggorokan kronis atau batuk kering,
3) gatal pada laring, 4) edema plica vokalis sementara, 5) lender yang tebal, lengket dari endo-
laringeal, 6) sensasi globus, 7) mukosa arytenoid yang pucat, berkilau, dan edematous, 8) uji fungsi
paru, sinar X dada, dan gambaran sinus yang tidak biasa, 9) tidak menderita refluks laryngo-
pharyngeal atau gejala refluks gastro-esofagus atau riwayat pengobatan, dan 10) disfoni akut atau
tertunda, odynophagia, atau keduanya, sekunder untuk paparan berulang terhadap antigen yang
dihirup, tertelan, atau topikal.

Alternatif Pengobatan
Gambar 1 berfungsi untuk meringkas pengobatan spesifik untuk laryngitis akut dan kronis.
Mengetahui riwayat secara menyeluruh selalu merupakan langkah awal yang penting dalam proses
diagnostik. Tidak jarang, penyakit laring berat tertutupi oleh gejala yang terbatas. Sebaliknya,
tidak jarang kita menemukan penyakit minimal dengan adanya gejala berat. Varians ini yang
umum diamati dalam memperkuat pentingnya pemeriksaan fisik langsung laring untuk
menentukan pengelolaan terbaik, terlepas dari etiologi yang mendasari. Bila diindikasikan,
pemeriksaan selektif tambahan mungkin diperlukan melalui pencitraan, berbagai pemeriksaan
laboratorium, pengujian fungsi paru, dan atau biopsi.
Pengobatan Inflamasi laring akut
Kondisi ini paling sering disebabkan oleh infeksi virus atau penggunaan suara yang berlebihan.
Tanda dan gejala hampir selalu terbatas selama seminggu sampai sepuluh hari, membuktikan
bahwa tindakan perawatan diri dilakukan untuk mencegah presistensi atau kekambuhan. Secara
umum, hygene yang ketat dan istirahat suara, hidrasi yang adekuat (6-8 gelas atau air setiap hari),
terapi inhalasi uap dan pemberian antitusif adalah perawatan paliatif yang cukup untuk
memastikan pemulihan penuh dalam kasus seperti itu [39]. Jika infeksi bakteri, trauma laryng atau
reaksi anafilaksis adalah penyebab utama laringitis akut, perawatan yang sama mungkin lebih
efektif jika digabungkan dengan rejimen farmakologis termasuk salah satunya atau lebih dari
golongan obat berikut: 1) antibiotik, 2) oral atau anti-jamur sistemik, 3) anti-inflamasi non steroid
(NSAIDS), 4) injeksi steroid secara lokal atau sistemik 5) epinefrin, dan 6) antihistamin [40]. Jika
bakteri diduga sebagai penyebab infeksi, paling sering organismenya adalah staphylococcus
aureus, hemophilus influenzae atau pneumococcus. Dalam kasus epiglotitis dan gangguan saluran
napas berat penggunaan obat sedasi dan kortikosteroid inhalasi seharusnya dihindari, karena zat
farmakologis ini dapat memperburuk iritasi dan pembengkakan laring. Pemicu lain dari
peradangan juga harus dihindari, termasuk obat ACE-Inhibitor, NSAID, dan polutan lingkungan
seperti asap rokok dan debu. Dalam kebanyakan kasus, manajemen konservatif cukup setelah
kultur darah sudah didapat. Perawatan dapat mencakup oksigen pelembab tambahan, terapi
antibiotik, dan pengobatan kortikosteroid oral. Ada sedikit bukti empiris untuk mendukung
penggunaan rutin rasemic epinefrin dan beta-agonis dalam populasi klinis ini [41]. Untuk pasien
yang terus menderita gangguan jalan nafas, aspirasi abses epiglotis mungkin lebih bermanfaat
daripada perawatan konservatif tersebut di atas. Kurang dari 20% kasus dengan epiglotitis atau
angioedema glottis terjadi karena intubasi orotrakheat serat optik, krikotirotomi, atau trakeotomi
sehingga mungkin diperlukan untuk menstabilkan jalan nafas. Pasien dengan bentuk langka
angioedema laringeal herediter mungkin mendapat manfaat dari terapi farmakologis termasuk
bradinkininreceptor antagonis icatibant, baik untuk profilaksis atau follow-up setelah serangan
akut. Adopsi dan pemberian vaksin Hib telah secara dramatis mengurangi kejadian epiglotitis pada
anak-anak dan orang dewasa di sebagian besar negara industri. Saat ini, kejadian ini agak jarang
terjadi hanya pada 1 kasus per 100.000 pada masing-masing tahun di Amerika Serikat.
Untuk kebanyakan infeksi laring karena bakteri, intervensi antibiotik pada awal dapat
menggunakan obat berbasis penisilin yang tepat. Jika infeksi MRSA dicurigai karena riwayat
pribadi pasien atau sebagai konsekuensi dari infeksi persisten / rekuren, Bactrim (trimetoprim /
sulfamethoxazole) seharusnya dianggap sebagai rejimen farmakologis lini pertama. Infeksi jamur
yang menginduksi kandidiasis laryngeal harus diobati dengan Diflucan selektif sistemik yang
tepat. Menambahkan regimen untuk berkumur atau ditelan berupa nistatin untuk faringitis co-
exisitng mungkin menjadi terapeutik juga. Obat IV umumnya digunakan untuk infeksi jamur
invasif akut atau pasien immunocompromise yang tidak merespon secara tepat terhadap obat oral.
Pada beberapa kasus trauma laring, intervensi bedah diperlukan untuk menstabilkan jalan napas,
memperbaiki fraktur, atau melepaskan lesi obstruktif, seperti granuloma intubasi. Semua lesi
mencurigakan diidentifikasi selama endoskopi fisik harus menjalani biopsi untuk menyingkirkan
keganasan dan kebutuhan untuk pemeriksaan lebih lanjut (CT) atau perawatan (misalnya, operasi,
terapi radiasi, kemoterapi). Gambar 1 berisi daftar tambahan strategi pengobatan untuk jenis
laryngitis akut tipe spesifik.
Pengobatan laringitis akut tergantung pada keparahan gejala. Manajemen lini pertama diperlukan
untuk menghilangkan semua pemicu yang dicurigai berbahaya, ditambah dengan membatasi
perilaku yang dilarang. Dengan tanda dan gejala yang signifikan dari komplikasi jalan nafas,
epinefrin (epifen) harus segera diberikan untuk penyelamatan, diikuti dengan observasi yang ketat.
Jika diindikasikan, antagonis Beta inhalasi harus diberikan untuk tanda-tanda mengi. Steroid
intravena (Decadron), steroid oral (prednisone), terapi antihistamin (diphenhydramine), dan H2-
Blocker juga efektif sebagai resep tambahan untuk mencegah perkembangan tanda dan gejala dan
untuk mencegah reaksi fase akhir.
Pengobatan inflamasi laring kronis
Perawatan untuk kondisi ini terutama harus diperhatikan penyebab yang mendasari, seperti
penyaahgunaan suara, merokok, dehidrasi, refluks, asma, alergi, penyakit sistemik, dan obat bius
yang mengiritasi. Dalam banyak kasus, modifikasi perilaku dan istirahat vokal cukup untuk
memperbaiki kondisinya. Instruksikan pasien untuk menghindari kondisi dan perilaku berikut : 1)
terkena asap rokok baik aktif atau pasif, 2) alergen spesifik seperti debu, serbuk sari atau polutan
lingkungan, 3) minuman berkafein, 4) obat dekongestan sistemik, 5) inhaler yang mengandung
bahan steroid, 6) pembersihan tenggorokan, dan 7) berbisik. Konsumsi air harian yang memadai,
seperti disebutkan di atas, seringkali membantu, seperti halnya penggunaan permen dan humidifier
untuk pelembab tenggorokan topikal; manfaat dari inhalasi uap juga patut dicoba dengan pasien
yang tidak membaik secara signifikan dengan teknik manajemen lain. Nilai terapi saline isotonic
mungkin bermanfaat bagi pasien dengan laringitis yang menetap setelah pemberian pengobatan
alternative. Dalam keadaan unik tertentu, dimana perbaikan suara sangat dibutuhkan, dalam waktu
singkat pemeberian kortikosteroid sistemik (misalnya, paket dosis Medrol), atau suntikan steroid
yang terisolasi langsung ke lamina propria plica vokalis dapat diberikan untuk segera
menghilangkan peradangan terkait dan disfonia. Methylprednisolone (40mg/mL)
direkomendasikan untuk prosedur injeksi, menggunakan jarum suntik 1 mL, cannula melengkung,
dan jarum suntik sekali pakai. Kisaran dosis yang dianjurkan dari .1mL sampai 1,0 mL per injeksi
intrasional. Untuk lesi jinak pada tepi bebas lipatan plica vokalis dan pembengkakan, dosis yang
lebih kecil umumnya menjadi pilihan terbaik; volume yang lebih besar harus disediakan untuk scar
laring dan granuloma [42]. Intervensi bedah agresif bisa sering ditunda atau dihindari karena
steroid. Jauh berbeda pada kelainan laring kronis atau akut, seperti edema persisten, polipoid
corditis, dan fusiform atau hemorrhagic polyps, mungkin efektif bila awalnya diobati melalui
strategi modifikasi perilaku, diikuti oleh terapi farmakologis tersebut jika perlu. Perlu dicatat
bahwa durasi manfaat dari injeksi steroid ke plica vokalis bisa sangat bervariasi dari pasien ke
pasien. Secara umum, efek positifnya mungkin berlangsung selama dua bulan atau lebih pada
beberapa individu, khususnya mereka yang berhenti terlibat dalam perilaku atau aktivitas terkait
kausal dengan kondisinya. Untuk gejala rekuren, pengobatan berulang bisa dicoba, tapi tidak lebih
cepat dari 3 bulan setelah injeksi awal. Hanya 3 kali injeksi yang diberikan kepada pasien yang
sama dalam jangka waktu satu tahun karena ditakutkan dapat menimbulkan pembengkokan dan
atrofi. Selain itu, injeksi steroid laringeal intrustal mungkin lebih disukai pada pasien dengan faktor
risiko penggunaan steroid oral, seperti pada pasien dengan riwayat glaukoma, penyakit tukak
lambung, atau immunocompromised (misalnya, diabetes, HIV, pasca kemoradiasi untuk
keganasan, gagal ginjal).
Padahal di hampir semua kasus laringitis kronis tidak ada peran khusu terapi antibiotik, pada
individu tertentu dengan infeksi bakteri berulang atau persisten atau infeksi jamur, menggunakan
agen antibiotik (+/- obat anti jamur sistemik) mungkin sesuai dan bermanfaat, seperti yang
dijelaskan sebelumnya untuk acute laryngitis. Penting untuk dicatat bahwa untuk jangka panjang,
obat ini mungkin diperlukan untuk membersihkan infeksi dan mencegah terjadinya penyakit. Pada
pasien dengan inflamasi laring kronik yang riwayatnya mencakup penggunaan rutin kortikosteroid
inhalasi untuk asma atau COPD, mencoba menghentikan, mengatur ulang dosis, atau substitusi
daengan inhaler nonsteriod mungkin menginduksi reaksi laring positif. [8,16]. Terapi antihistamin
nasal steroid dan nasal lokal mungkin terbukti bermanfaat bagi individu dengan inflamasi laring
kronis yang diduga terkait dengan alergi musiman atau persitent disertai dengan psot nasal drip
dan batuk kronis yang reaktif. Pada pasien alergi yang sulit diobati, imunoterapi mungkin
diperlukan untuk mengurangi kemungkinan efek samping dan perburukan laring yang berbahaya
ini. Obat anti-refluks dan pembatasan diet yang tepat dapat memiliki nilai aditif yang serupa untuk
pasien dengan tanda dan gejala LPR yang diketahui. Tidak jarang, pasien dengan laringitis kronis
memerlukan penanganan multi-disiplin pada pengobatan yang akan mencakup modifikasi
perilaku, istirahat vokal, pemberian pelembab topikal dan sistemik, perubahan saat ini, dan resep
farmasi tambahan, yang didepositkan pada algoritma Gambar 1. Terkadang, biopsi dan atau eksisi
bedah jaringan laringeal kronis mungkin diperlukan untuk diagnosis definitif. Ketika
edematousnodules, polip hemorrhagic, atau edema Reinke tidak dipecahkan dengan tindakan
konservatif, termasuk terapi suara, penggunaan diseksi mikrosurgical atau metode evakuasi
mungkin diperlukan untuk hasil pengobatan yang berhasil, diikuti oleh terapi perilaku perilaku
lainnya untuk meninjau dan memperkuat teknik.
Akhirnya, bagi pasien yang menderita batuk kronis dan memiliki inflamsi laryng maka bijaksana
untuk menyingkirkan kemungkinan, pengaruh kausal yang terkenal obat ACE-Inhibitor. Dalam
banyak kasus seperti itu, terapi pencegahan dengan kelas alternatif yang sama obat hipertensi yang
efektif utuntuk batuk idiopatik. Jika batuk pada awalnya tidak berkurang secara signifikan dengan
obat anti-tussive standar, termasuk sirup obat batuk dan atau kapsul Tessalon atau perles, sebuah
regimen farmakologis alternative bisa membantu. Untuk perilaku batuk yang sulit diatasi, kita
sering meresepkan tramadol dengan hasil sangat bagus. Karena obat ini sudah diketahui
menyebabkan koneksi adiktif pada beberapa individu, dosis awal yang diberikan terbatas dan
tentunya dianjurkan dengan harapan rejimen di atas memecahkan siklus batuk dan menghindari
induksi sekuele inflamasi laring. Seperti semua obat yang mungkin diresepkan untuk pasien
tertentu, selalu bijaksana untuk melakukan survey untuk interaksi obat berbahaya, efek samping
umum dan dipikirkan kontraindikasi berdasarkan riwayat medis sebelum merekomendasikan agen
tertentu untuk alasan apapun.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI UNTUK PRAKTEK KLINIS
Laringitis adalah kondisi umum yang bisa diklasifikasikan kedalam bentuk akut dan kronis,
tergantung pada durasi gejala. Etiologi dapat dikaitkan dengan infeksi, alergi, atau zat iritatif.
Seperti halnya masalah medis, menentukan etiologi laringitis yang mendasari adalah yang
terpenting untuk perawatan yang akurat. Sejarah rinci diikuti oleh pemeriksaan biasanya
memastikan diagnosis dan hasil. Jika keluhan pasien agak ringan, mungkin perawatan formal tidak
perlu, karena biasanya dapat sembuh sendiri. Namun, dengan karakteristik inflamasi yang
berkembang cepat, apapun penyebab, tanda dan gejala jalan napas klinis yang signifikan, disfagia,
dan dysphonia mungkin ada bersaamaan dan membutuhkan pemeriksaan dan perawatan
otorhinolaryngologis yang lebih komprehensif . Karena laringitis memiliki spectrum yang luas,
alternatif intervensi mungkin bisa dimulai dari metode dan pembatasan perilaku yang dilarang
hingga bedah medik konservatif atau agresif. Detil deskripsi teknik tersebut disajikan dalam
algoritma perlakuan untuk setiap subtype laringitis.

Anda mungkin juga menyukai