Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Trombosis merupakan penyebab kematian terbanyak di Amerika Serikat.
Lebih dari 2 juta orang meninggal setiap tahun akibat trombosis arteri atau vena
atau penyakit-penyakit yang ditimbulkannya. Di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, trombosis menimbulkan kematian 4 kali lebih banyak
dibandingkan dengan kematian akibat kanker sebesar 550.000 per tahun. Di
Indonesia, trombosis (penyakit jantung koroner dan stroke) merupakan penyebab
kematian nomor satu, lebih sering dari penyakit infeksi. Dalam jumlah yang sama
dijumpai penderita trombosis non-fatal seperti misalnya trombosis vena dalam
(deep vein trombosis), emboli paru non-fatal, trombosis serebrovaskuler, transient
cerebral ischemic attack, penyakit jantung koroner non-fatal, trombosis vaskuler
retina, dan lain-lain.
Ini menunjukkan bahwa trombosis memberikan dampak luar biasa pada
morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan medik. Data epidemiologik
menunjukkan bahwa kejadian trombosis baik arteri ataupun vena semakin
meningkat dengan meningkatnya usia.
Etiologi trombosis adalah kompleks dan bersifat multifaktorial. Meskipun ada
perbedaan antara trombosis vena dan trombosis arteri, pada beberapa hal terdapat
keadaan yang saling tumpang tindih.(3)

II. TUJUAN
Mengetahui dan menambah wawasan tentang trombosis akut arteri dan vena
serta mengetahui pemeriksaan apa saja yang dapat membantu menegakkan
diagnosis trombosis akut arteri dan vena.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Trombosis adalah keadaan dimana terjadi pembentukan massa bekuan darah
intravaskuler, yang berasal dari konstituen darah, pada orang yang masih hidup.
Trombosis merupakan kebalikan patologis hemostasis sebagai pembentukan suatu
bekuan darah (trombus) dalam pembuluh darah setelah mengalami cedera yang
relatif ringan. Seperti hemostasis, trombosis pun bergantung pada dinding
pembuluh darah, trombosit, dan kaskade koagulasi. Penyebab utama pada sumbatan
atau hambatan akut pembuluh darah adalah trombosis, emboli dan trauma.
Penyebab sumbatan atau hambatan arteri menahun pada tungkai yang paling sering
adalah arteriosklerosis.(23)
Akut adalah suatu gangguan atau penyakit yang timbulnya (onset) cepat, atau
berlangsung dalam waktu pendek (tidak lama), dalam kurun waktu jam, hari hingga
minggu. Pada kondisi tertentu, akut dapat diartikan penyakit yang berat dan
memerlukan penanganan secara cepat (emergency), atau penyakit yang bersifat life
saving, misalnya: akut abdomen, infark miokard akut, apendiksitis akut, dan lain-
lain.
Kronis. Artinya gangguan atau penyakit yang berlangsung lama (berbilang
bulan atau tahun) atau dikenal sebagai penyakit menahun. Misalnya: hipertensi,
diabetes melitus, kusta, psoriasis, dan lain-lain.
Kita mengenal istilah lain terkait akut dan kronis, yakni sub-akut dan
eksaserbasi akut. Yang dimaksud sub-akut adalah penyakit-penyakit yang
berlangsung agak lama (lebih lama dari akut tapi bukan termasuk kronis),
sedangkan eksaserbasi akut adalah penyakit kronis yang karena berbagai sebab,
menjadi akut.
Bila terjadi trombosis, baik pada vena atau arteri maka terjadilah keadaan
darurat ini. Hal ini bisa diatasi dengan tindakan medik atau konservatif maupun
bedah.(22)

2
Dalam pengertian yang luas thrombus dapat bersifat fisiologik disebut sebagai
hemostatic thrombus yang berguna untuk menutup kerusakan dinding pembuluh
darah setelah injury, dan dapat juga bersifat patologik yang disebut sebagai
pathologic thrombus karena justru dapat menyumbat lumen pembuluh darah. Pada
umumnya yang dimaksud dengan trombosis ialah pembentukan pathologic
thrombus dimana dalam hal ini trombosis dapat terjadi akibat ketidakseimbangan
faktor koagulasi dan faktor fibrinolitik.(14)
Trombosis dapat terjadi pada arteri, disebut sebagai trombosis arteri (arterial
trombosis), dapat juga terjadi pada vena disebut sebagai trombosis vena (venous
trombosis). Trombus arteri atau pembekuan darah di dalam pembuluh darah arteri
yang sering terbentuk pada sekitar orifisium cabang arteri dan bifurkasio arteri,
berbeda sifat dengan thrombus vena. Komponen trombus arteri sebagian besar
terdiri dari platelet (thrombosit) diselingi oleh anyaman fibrin, komponen
eritrositnya sangat rendah sehingga thrombus berwarna putih disebut sebagai white
thrombus. Penyebab utama arterial trombosis adalah kerusakan dinding vaskuler,
disfungsi endotel dan seringkali berkaitan dengan hiperlipidemia, hipergikemia
serta homosisteinemia. Sedangkan thrombus vena sebagian besar terdiri dari sel
darah merah disela-sela anyaman fibrin, komponen trombosit sangat sedikit,
thrombus berwarna merah disebut sebagai red thrombus. Umumnya venous
trombosis disebabkan stasis aliran darah. Namun, seringkali disebabkan oleh
kelainan atau defisiensi dari PC, PD, AT III, APC-R atau kegagalan aktivitas
fibrinolitik.(9)

II. FISIOLOGI
A. HEMOSTASIS
Hemostasis adalah suatu sistem dalam tubuh manusia yang terdiri dari
komponen seluler dan protein yang sangat terintegrasi. Fungsi utama hemostasis
adalah menjaga keenceran darah (blood fluidity) sehingga darah dapat mengalir
dalam sirkulasi dengan baik, serta membentuk thrombus sementara (temporary
thrombus) atau disebut juga hemostatic thrombus pada dinding pembuluh darah
yang mengalami kerusakan (vascular injury). Hemostasis terdiri dari enam

3
komponen utama, yaitu: platelet, endotel vaskuler, procoagulant plasma protein
factors, natural anticoagulant proteins, protein fibrinolitik dan protein
antifibrinolitik. Semua komponen ini harus tersedia dalam jumlah cukup,
dengan fungsi yang baik serta tempat yang tepat untuk dapat menjalankan faal
hemostasis dengan baik. Interaksi komponen ini dapat memacu terjadinya
trombosis disebut sebagai sifat prothrombotik dan dapat juga menghambat
proses trombosis yang berlebihan, disebut sebagai sifat antithrombotik. Faal
hemostasis dapat berjalan normal jika terdapat keseimbangan antara faktor
prothrombotik dan faktor antithrombotik.(5)

B. MEKANISME PEMBEKUAN DARAH


Dinding pembuluh darah mempunyai 3 lapisan, yaitu :
Tunica intima yang terdiri dari jaring ikat endotelium dan subendotelium,
tunica media dan tunica adventitia.
Hemostasis normal dapat dibagi menjadi dua tahap: yaitu hemostasis primer
(primary hemostasis) dan hemostasis sekunder (secondary hemostasis).
Pada hemostasis primer yang berperan adalah komponen vaskuler dan
komponen trombosit. Disini terbentuk sumbat trombosit (platelet plug) yang
berfungsi segera menutup kerusakan dinding pembuluh darah. Konstriksi
setelah trauma merupakan reaksi instrinsik dari pembuluh darah, terutama pada
arteriole kecil dan kapiler. Vasokonstriksi setelah trauma dapat
mengurangi/menurunkan aliran darah ke daerah luka. Sejumlah besar dari
serotonin (5-hydroxytriptamine) sebagai vasokonstriktor lokal dilepas dari
trombosit pada sumbat hemostasis primer. Thromboxane A2 (TX-A2) yang
disintesis dan dilepaskan oleh trombosit yang teraktifasi juga menginduksi
kontraksi otot polos pada konsentrasi yang amat kecil, serta efek yang dapat
membentuk (menyusun) suatu mekanisme hemostasis yang penting. Berbgai
vasokontriktor lain dapat terbentuk pada sumbat hemostatik, seperti
fibronepeptide B, epinephrine dan norepinephrine. Fibrinogen Degradation
Product (FDP) menghambat kontraksi otot polos, sedangkan Prostaglandin E-
2, histamin, dan prostacyclin bekerja sebagai vasodilator.

4
Sedangkan pada hemostasis sekunder yang berperan adalah protein
pembekuan darah, juga dibantu oleh trombosit. Disini terjadi deposisi fibrin
pada sumbat trombosit sehingga sumbat ini menjadi lebih kuat yang disebut
sebagai stable fibrin plug.(8)
Faktor-faktor koagulasi plasma yang berhubungan dengan trombosit.
Trombosit mengandung jumlah yang signifikan dari berbagai faktor
koagulasi yaitu fibrinogen, faktor V, von Willebrand faktor, faktor XI, faktor
XIII dan High Molekular Weight Kininogen (HMWK). Beberapa dari faktor-
faktor ini ( fibrinogen, faktor V, vWF dan HMWK) disintesis dalam
megakariosit, terdapat dalam a–granule dan disekresi apabila trombosit
teraktifasi. Fibrinogen trombosit secara biokimia berbeda dengan fibrinogen
plasma. Fibrinogen yang terikat dipermukaan (surface-bound fibrinogen)
penting untuk agregasi trombosit yang diinduksi oleh ADP dan mungkin terlibat
dalam fungsi trombosit yang lain. (15)
Apabila pembuluh darah rusak, struktur subendotelium termasuk basement
membrane, kolagen dan mikrofibril terbuka. Trombosit akan menempel ke
permukaan yang rusak untuk membentuk sumbat (platelet plug). Dalam
mekanisme pembentukan plug tersebut, trombosit bekerja dengan :
Adhesi trombosit
Adhesi trombosit adalah perlekatan trombosit ke permukaan non-trombosit.
Proses ini terjadi setelah trauma vaskuler, dimana trombosit menempel
(melekat) terutama pada serat kolagen di subendotelium. Adhesi trombosit
sangat bergantung pada vWF, suatu protein plasma yang dihasilkan dan
disekresi oleh sel-sel endotel dan terdapat pada matriks subendotelium, dan juga
disekresi oleh trombosit yang aktif. vWF dapat berikatan ke membran trombosit
dengan pertolongan 3 reseptor yang berbeda yaitu reseptor GP Ib dekat N-
terminal, reseptor GP IIb-IIIa pada Cterminal, dan binding site N-terminal ke
tiga.
Trombosit berikatan ke kolagen melalui vWF dan GP Ib-vWF mula- mula
melekat pada serat kolagen, kemudian dengan ikatan trombosit ke vWF melalui
GP Ib-IX membran trombosit. vWF disekresi oleh endotelium pembuluh darah,

5
dan vWF plasma dan vWF yang ada subendotelium dapat memperantarai adhesi
trombosit. Yang menarik bahwa, trombosit sirkulasi normal tidak berinteraksi
dengan vWF yang ada dalam plasma walaupun ternyata trombosit mempunyai
GP Ib-IX pada permukaannya.
Setelah adhesi, trombosit mengalami perubahan bentuk dari bentuk disk
menjadi bentuk yang lebih sferis dengan membentuk pseudopodia. Pada waktu
yang sama terjadi proses sekresi dimana beberapa substansi yang aktif secara
biologis yang disimpan dalam granul trombosit secara aktif dikeluarkan dari sel-
sel yang melekat ( reaksi pelepasan).
Zat-zat yang dilepaskan termasuk ADP, serotonin, b-TG, PF4, PDGF, TX-
A2, dan vWF. Substansi-substansi yang dilepaskan mempercepat pembentukan
plug trombosit dan berperan dalam proses perbaikan jaringan.
Agregasi trombosit
ADP yang dilepaskan oleh trombosit merangsang perlekatan trombosit
dengan trombosit lain. Fenomena ini disebut agregasi trombosit, yang akan
meningkatkan ukuran plug pada tempat yang luka. Agregasi trombosit diikuti
dengan pelepasan isi granul yang merangsang trombosit lain untuk beragregasi.
Disamping ADP berbagai agent termasuk epinefrin, kolagen, trombin, kompleks
imun dan faktor yang mengaktifasi trombosit ( platelet-activating factor) dapat
menyebabkan agregasi dan sekresi trombosit.
Prostaglandin, berperan penting dalam memperantarai reaksi pelepasan dan
agregasi. Kolagen dan epinefrin mencetuskan aktifasi dari satu atau lebih
fosfolipase yang ada dalam membran trombosit. Fosfolipase ini kemudian
menghidrolisa fosfolipid membran, melepaskan asam arakhidonat. Asam
arakhidonat dimetabolisme oleh enzim siklooksigenase untuk membentuk
prostaglandin endoperoksida yang tidak stabil, dan ini kemudian dirubah
menjadi tromboksan A2. Tromboksan A2 adalah suatu substansi yang sangat
poten yang menginduksi agregasi dan sekresi trombosit.
Fibrinogen diperlukan untuk agregasi trombosit. Fibrinogen berikatan
dengan reseptor-reseptor spesifik pada permukaan trombosit yaitu glikoprotein
IIb/IIIa (GPIIb/IIIa), dan menghubungkan trombosit dengan trombosit lainnya.

6
Pasien-pasien dengan kelainan kongenital dimana tidak terdapat fibrinogen
(afibrinogenemia) atau GPIIb/IIIa (Glanzmann’s Thrombasthemia), masa
perdarahannya memanjang oleh karena kegagalan agregasi trombosit.
Trombospondin, suatu unsur pokok dari a-granul trombosit juga terlibat
dalam agregasi trombosit.(1)
Faktor-faktor pembekuan darah
Faktor-faktor pembekuan darah adalah glikoprotein, yang kebanyakan
diproduksi dihepar dan disekresi ke sirkulasi darah. Beberapa faktor-faktor
pembekuan darah disintesis di hati, faktor II, VII, IX dan X, begitu juga faktor
XI, XII, XIII, dan faktor V. Sebagian besar faktor-faktor pembekuan darah ada
dalam plasma, pada keadaan normal ada dalam bentuk inaktif dan nantinya akan
dirubah menjadi bentuk enzim yang aktif atau bentuk kofaktor selama
koagulasi.
Faktor-faktor pembekuan darah diklasifikasikan ke dalam beberapa group
berdasarkan fungsinya. Faktor XII, faktor XI, prekallikrein, faktor X, faktor IX,
faktor VII (glikoprotein rantai tunggal), dan protrombin merupakan zimogen
dari serine protease akan dirubah menjadi enzim yang aktif selama pembekuan
darah. Sedangkan faktor V, faktor VIII, highmolecular-weight kininogen
(HMWK), dan tissue factor yang terdapat di ekstravaskuler dan harus kontak
dengan darah untuk berfungsi, bukan merupakan proenzim tetapi berfungsi
sebagai kofaktor. Faktor V, faktor VIII, dan HMWK harus diaktifasi agar
berfungsi sebagai kofaktor.
Faktor X, faktor IX, faktor VII, dan protrombin disebut faktor-faktor yang
tergantung vitamin K (vitamin K-dependent factor), karena untuk
pembentukannya yang sempurna memerlukan vitamin K. Protein-protein ini
mengandung residu asam amino yang unik, g-carboxyglutamic acid (Gla).
Vitamin K terdapat dalam sayur-sayuran yang berwarna hijau dan juga disintesis
oleh bakteria di dalam usus.
Obat-obatan antikoagulan oral (Coumarin, Warfarin), tidak bekerja di dalam
sirkulasi tetapi di hati, dimana obat-obatan tersebut menghambat sintesis dari
faktor-faktor pembekuan yang tergantung vitamin K.(15)

7
Mekanisme pembekuan darah
Pada pembuluh darah yang rusak, kaskade koagulasi secara cepat diaktifasi
untuk menghasilkan trombin dan akhirnya untuk membentuk solid fibrin dari
soluble fibrinogen, memperkuat plak trombosit primer. Koagulasi dimulai
dengan dua mekanisme yang berbeda, yaitu proses aktifasi kontak dan kerja dari
tissue factor. Aktifasi kontak mengawali suatu rangkaian dari reaksi-reaksi yang
melibatkan faktor XII, faktor XI, faktor IX, faktor VIII, prekalikrein, High
Molecular Weight Kininogen (HMWK), dan platelet factor 3 (PF-3). Reaksi-
reaksi ini berperan untuk pembentukan suatu enzim yang mengaktifasi faktor X,
dimana reaksi-reaksi tersebut dinamakan jalur instrinsik ( intrinsic pathway).
Sedangkan koagulasi yang dimulai dengan tissue factor, dimana suatu
interaksi antara tissue faktor ini dengan faktor VII, akan menghasilkan suatu
enzim yang juga mengaktifasi faktor X. Ini dinamakan jalur ekstrinsik (
extrinsic pathway). Langkah selanjutnya dalam proses koagulasi melibatkan
faktor X dan V, PF-3, protrombin, dan fibrinogen. Reaksi-reaksi ini dinamakan
jalur bersama ( common pathway). Jalur ekstrinsik dimulai dengan pemaparan
darah ke jaringan yang luka. Disebut ekstrinsik karena tromboplastin jaringan (
tissue factor) berasal dari luar darah. Pemeriksaan Protrombin Time (PT)
digunakan untuk skrining jalur ini. (8)

8
Jalur intrinsik dicetuskan oleh kontak faktor XII dengan permukaan asing.
Partial thromboplastin time (PTT) dan activated PTT (aPTT) adalah monitor
yang baik untuk jalur ini. Kedua jalur akhirnya sama -sama mengaktifasi faktor
X, dan disebut jalur bersama.
Konsep dari dua jalur yang terpisah praktis untuk memahami koagulasi
darah in vitro. Hasil dari pemeriksaan PT dan PTT atau aPTT biasanya
menolong lokasi suatu kelainan dalam skema koagulasi untuk diagnosis
kelainan-kelainan koagulasi.
Jalur Intrinsik
Jalur intrinsik, memerlukan faktor VIII, faktor IX, faktor X, faktor XI, dan
faktor XII. Juga memerlukan prekalikrein dan HMWK, begitu juga ion kalsium
dan fosfolipid yang disekresi dari trombosit. Mula- mula jalur intrinsik terjadi
apabila prekalikrein, HMWK, faktor XI dan faktor XII terpapar ke permukaan
pembuluh darah yang merupakan stimulus primer untuk fase kontak. Kumpulan
komponen-komponen fase kontak merubah prekallikrein menjadi kallikrein,

9
yang selanjutnya mengaktifasi faktor XII menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa
kemudian dapat menghidrolisa prekallikrein lagi menjadi kallikrein, membentuk
kaskade yang saling mengaktifasi. Faktor XIIa juga mengaktifasi faktor XI
menjadi faktor XIa dan menyebabkan pelepasan bradikinin, suatu vasodilator
yang poten dari HMWK. Dengan adanya Ca2+, faktor XIa mengaktifasi faktor
IX menjadi faktor IXa, dan faktor IXa mengaktifasi faktor X menjadi faktor Xa.
Jalur ekstrinsik
Jalur ekstrinsik dimulai jika terjadi kerusakan vaskuler sehingga faktor
jaringan / tissue factor (faktor III) mengalami pemaparan terhadap komponen
darah dalam sirkulasi. Tissue factor adalah suatu kofaktor dalam aktifasi faktor
X yang dikatalisa faktor VIIa. Faktor VIIa, Aktifasi faktor VII terjadi melalui
kerja trombin atau faktor Xa.
Faktor jaringan dengan bantuan kalsium menyebabkan aktivasi faktor VII
menjadi FVIIa (suatu residu gla yang mengandung serine protease). Kompleks
FVIIa bersama dengan tissue factor dan kalsium (disebut sebagai extrinsic
tenase complex) memecah faktor X menjadi faktor Xa, identik dengan faktor
IXa dari jalur instrinsik.Selain itu, kompleks FVIIa mengaktifkan faktor IX
menjadi FIXa. Jalur ekstrinsik berlangsung pendek karena dihambat oleh tissue
factor pathway inhibitor (TFPI). Jadi jalur ekstrinsik hanya memulai proses
koagulasi, begitu terbentuk sedikit thrombin, maka thrombin akan mengaktifkan
faktor IX menjadi FIXa lebih lanjut, sehingga proses koagulasi dilanjutkan oleh
jalur intrinsik. (2)
Tissue factor banyak terdapat dalam jaringan termasuk adventitia pembuluh
darah, epidermis, mukosa usus dan respiratory, korteks serebral, miokardium
dan glomerulus ginjal. Aktifasi tissue factor juga dijumpai pada subendotelium.
Sel-sel endotelium dan monosit juga dapat menghasilkan dan mengekspresikan
aktifitas tissue factor atas stimulasi dengan interleukin-1 atau endotoksin,
dimana menunjukan bahwa cytokine dapat mengatur ekspresi tissue factor dan
deposisi fibrin pada tempat inflamasi.
Kemampuan faktor Xa untuk mengaktifasi faktor VII menciptakan suatu
hubungan antara jalur instrinsik dan ekstrinsik. Selain itu hubungan dua jalur itu

10
ada melalui kemampuan dari tissue factor dan faktor VIIa untuk mengaktifasi
faktor IX menjadi IXa.
Activated factor Xa adalah tempat dimana kaskade koagulasi jalur intrinsik
dan ekstrinsik bertemu. Faktor Xa berikatan dengan faktor Va (diaktifasi oleh
trombin),yang mana dengan kalsium dan fosfolipid disebut kompleks
“prothrombinase“, yang secara cepat merubah protrombin menjadi trombin.
Tidak seperti sistem lama, dimana berdasarkan jalur intrinsik dan ekstrinsik,
konsep baru pembekuan darah berfokus pada tissue factor. TF berikatan dengan
zymogen faktor VII (FVII) dan merubahnya menjadi bentuk aktif, FVIIa dengan
afinitas yang lebih tinggi dari pada F-VII. TF/FVIIa memulai pembekuan
dengan dua jalur :
1. TF/FVIIa mengaktifasi FIX menjadi FIXa yang bersama -sama dengan
kofaktor FVIIIa, merubah FX menjadi FXa pada adanya Ca2+ dan
fosfolipid.
2. TF/FVIIa dapat langsung mengaktifasi FX menjadi Fxa FXa dan kofaktor
FVa mengkatalisa perubahan dari protrombin (FII) menjadi thrombin (FIIa).
F-IIa kemudian merubah fibrinogen menjadi fibrin. Faktor kontak (FXII,
HMWK, dan prekallikrein) yang merupakan bagian dari jalur instrinsik dari
sistem lama, sekarang dinyatakan tidak berperan dalam pembekuan darah
tetapi malahan faktor-faktor tersebut jelas sebagai antitrombotik dan
mempunyai aktifitas fibrinolitik. Selain itu, trombin dan FXII dapat
mengaktifasi FVII tanpa adanya kofaktor, sedangkan faktor Xa dan faktor
IXa memerlukan adanya fosfolipid dan kalsium.
Mula-mula kompleks TF-VIIa diperbesar oleh aktifasi freedback faktor VII
oleh faktor Xa dan faktor IXa, akan tetapi kompleks itu secara cepat dihambat
oleh Tissue FactorPathway Inhibitor (TFPI). Pada waktu itu trombin yang
dihasilkan mengaktifasi faktor XI, begitu juga faktor V, faktor VIII, dan karena
itu menambah pembentukan tenase dan akhirnya menghasilkan lebih banyak
trombin. Fungsi utama trombin (FIIa) adalah untuk memecah fibrinogen
menjadi fibrin dan mengaktifasi faktor XIII yang menghasilkan cross-linked
bekuan yang stabil.(5)

11
C. PENGATURAN PEMBEKUAN DARAH
Mekanisme antikoagulan alamiah mengatur dan melokalisir pembentukan
plak hemostasis atau trombus ke tempat pembuluh darah yang rusak. Inhibitor
faktor koagulasi utama atau antikoagulan alamiah yang berlangsung terhadap
pembentukan atau kerja trombin, termasuk sistim antitro mbin dan protein C.
Antitrombin menginaktifasi trombin dari serine protease yang lain ( F-VIIa,
F-XIIa, FXIa, F-IXa) dengan berikatan secara irreversibel melalui residu arginin
ke tempat serine aktif dari protease (serine protease inhibitor atau serpin).
Dalam keadaan tidak ada heparin, tingkat inaktifasinya relatif lambat, tetapi
apabila heparin atau heparin sulfat dinding pembuluh darah berikatan ke residu
lysine pada molekul AT, akan menghasilkan inaktifasi trombin seketika itu juga.
Oleh karena itu AT disebut heparin cofactor 1. Heparin cofactor II, dapat juga
diaktifasi oleh heparin ( walaupun dibutuhkan jumlah yang lebih besar),
glycosaminoglycan, dermatan sulphate untuk inaktifasi trombin. Trombin dapat
juga berikatan ke endotelium atau permukaan trombosit melalui reseptor
trombomodulin dan disingkirkan dari sirkulasi.
Serpin-serpin lain seperti a-1 antitrypsin dan a-2 macroglobulin berperan
membantu inaktifasi trombin. Protein Z (PZ), suatu protein yang tergantung
protein yang disebut PZ-dependent protease inhibitor (PZI).
Jalur protein C (PC) merupakan mekanisme utama untuk membatasi respons
koagulasi terhadap trauma. Jalur ini dimulai apabila trombin berikatan dengan
thrombomodulin (TM). Kompleks trombin-TM adalah suatu aktifator poten dari
PC dan mempunyai sedikit kemampuan untuk aktifasi trombosit atau bekuan
fibrinogen. Activated PC (APC) diperbesar oleh endothelial cell PC receptor
(EPCR) yang meningkatkan afinitas kompleks trombin-TM untuk PC. APC
meninaktifasi secara proteolitik faktor Va dan faktor VIIIa dengan bantuan
kofaktor protein S (PS). Kompleks trombin-TM secara cepat di inaktifasi oleh
PC inhibitor (PCI) dan AT.
Defisiensi herediter dari protein C, protein S, dan resistensi terhadap
activated protein C, kesemuanya berhubungan dengan hypercogulable state, dan

12
aktifasi koagulasi telah terbukti pada pasien-pasien dengan defesiensi dari
masing-masing protein antikoagulan ini.(2)

D. FIBRINOLISIS
Sistim fibrinolisis penting untuk menyingkirkan deposit fibrin yang
berlebihan. Sistim fibrinolisis juga merupakan suatu sistim multikomponen
yang terdiri dari proenzim, aktifator plasminogen dan inhibitor-inhibitor.
Plasminogen, adalah suatu glikoprotein rantai tunggal dengan amino
terminal glutamic acid glutamic acid yang mudah dipecah oleh proteolisis
menjadi bentuk modifikasi dengan suatu terminal lysine, valine atau methionin.
Pada tempat jaringan yang rusak ( tissue injury), fibrinolisis dimulai dengan
perubahan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin mempunyai banyak fungsi
seperti degradasi dari fibrin, inaktifasi faktor V dan faktor VIII dan aktifasi dari
metaloproteinase yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka dan
perbaikan jaringan ( tissue-remodeling).
Aktifator-aktifator plasminogen memecah peptide dari plasminogen dan
membentuk plasmin rantai dua. Aktifasi menjadi plasmin dapat terjadi melalui
tiga jalur yaitu:
1. Jalur intrinsik, melibatan aktifasi dari proaktifator sirkulasi melalui faktor
XIIa.
2. Jalur ekstrinsik, dimana aktifator-aktifator dilepaskan ke aliran darah dari
jaringan yang rusak, sel-sel atau dinding pembuluh darah ( semua aktifator
juga protease).
3. Jalur eksogen, dimana plasminogen diaktifasi dengan adanya obat
trombolitik, seperti streptokinase.
Dalam keadaan fisiologik, aktifasi plasminogen terutama oleh tissue
plasminogen activator yang disintesis dan dilepas dari sel-sel endotelium
pembuluh darah dalam respons terhadap trombin dan pada kerusakan sel.
Setelah distimulasi t-PA release oleh exercise, statis, atau desmopressin
(DDAVP), masa paruhnya dalam sirkulasi sangat pendek ( sekitar 5 menit),
berhubungan dengan inhibisi oleh PAI-1 dan clearance dihati.

13
Aktifator lain, urokinase-type plasminogen avtivator (u-PA), diproduksi
diginjal dan ditemukan terutama dalam urine. Akan tetapi sejumlah
kecilprourokinase plasma atau single-chain u-PA ( scuPA) dapat dirobah
menjadi bentuk aktif melalui sistim kontak oleh kallikrein.
Proses fibrinolitik diatur pada tiap-tiap tahap enzimatik oleh inhibitor-
inhibitor protease spesifik. Aktifitas plasminogen diatur oleh inhibitor-inhibitor
plasmin seperti a-2 antiplasmin, a2- makroglobulin, dan juga oleh plasminogen
activator inhibitor 1 (PAI-1), yang merupakan inhibitor fisiologi dari tPA dan
uPA. Plasmin mempunyai fibrinogen dan fibrin sebagai substrat utamanya yang
terpenting untuk produksi fragmen-fragmen spesifik yang secara kolektif
disebut fibrinogen-fibrin degradation product (FDP). Plasmin jug memecah
faktor V dan faktor VIII. Ledakan fibrinolisis dihambat oleh inhibitor poten a-2
antiplasmin dan oleh a-2 makroglobulin. Plasmin bebas dalam plasma segera di
inaktifkan oleh a-2 antiplasmin, sedangkan plasmin yang terikat fibrin dalam
plug hemostasis local terlindungi dari a-2 antiplasmin dan dapat memecah fibrin
menjadi FDP. Inhibito dari aktifator plasminogen juga memegang peranan
penting dalam mengatur fibrinolisis dan membatasinya pada bagian luka.(4)

III. FAKTOR RISIKO TROMBOSIS


Faktor resiko timbulnya trombosis adalah sebagai berikut :
1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.
Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di
netralisir sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.
2. Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis adalah operasi dalam
bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah. Pada
operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena,
sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar
10%-14%.
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada
tindakan operatif, adalah sebagai berikut :

14
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma
pada waktu di operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif, operatif
dan post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah
operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung
di daerah tersebut.
3. Kehamilan dan persalinan
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik,
statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan
IX. Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang
menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga
terjadi peningkatkan koagulasi darah.
4. Infark miokard dan payah jantung
Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan
jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan
darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat total.
Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai
akibat statis aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan dan proses
immobilisasi pada pengobatan payah jantung.
5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.
Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang
mempermudah timbulnya trombosis vena.
6. Obat-obatan konstraseptis oral
Hormon estrogen yang ada dalam pil kontraseptis menimbulkan dilatasi
vena, menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan
meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah
terjadinya trombosis vena.
7. Obesitas dan varices

15
Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan
aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.
8. Proses keganasan
Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan “tissue thrombo
plastin-like activity” dan “factor X activiting” yang mengakibatkan aktifitas
koagulasi meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya
aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini memudahkan
terjadinya trombosis. Tindakan operasi terhadap penderita tumor ganas
menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan penderita biasa.(23)
Faktor risiko trombosis dapat dibagi menjadi 3 golongan besar yaitu
a. Situational risk factors.
Situational risk factors menunjukkan keadaan klinis yang jelas (well
defined) dan transien yang disertai peningkatan risiko trombosis selama keadaan
tersebut atau sesaat setelah keadaan tersebut. Contohnya adalah: operasi,
imobilisasi berkepanjangan, pemakaian kontraseptif oral (oral contraceptive =
OCP), terapi ganti hormon (hormone replacement therapy = HRT), kehamilan,
kemoterapi kanker, dan heparin-induced thrombocytopenia.
b. Inherited risk factors (inherited thrombophilia).
Inherited risk factors menunjukkan adanya mutasi genetik atau
polimorfisme yang menyebabkan defisiensi antikoagulan alamiah (protein C,
protein S atau AT), akumulasi faktor prokoagulan (prothrombin G20210A, atau
ensim methyltetrahydrofoalte reductase), atau faktor koagulan yang resisten
terhadap inaktivasi antikoagulan alamiah (faktor V Leiden). Semua keadaan ini
menyebabkan terganggunya mekanisme regulasi koagulasi normal yang
menghasilkan lebih banyak thrombin yang mengakibatkan peningkatan risiko
trombosis.
c. Acquired risk factors (acquired thrombophilia).
Acquired risk factors timbul sebagai akibat kelainan medik atau kelainan
hematologik nonfamilial yang mengganggu hemostasis normal atau reologi
darah. Contohnya adalah kanker, inflammatory bowel disease, sindroma
nefrotik, vaskulitis, sindroma antiposfolipid, kelainan mieloproliferatif,

16
paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, dan sindroma hiperviscositas. Berbeda
dengan situational risk factor yang bersifat transien, acquired risk factors
disebabkan oleh penyakit atau proses yang bersifat ireversibel dan menetap.(23)

IV. PATOGENESIS
Trombosis dapat mengakibatkan efek lokal dan efek jauh. Efek lokal
tergantung dari lokasi dan derajat sumbatan yang terjadi pada pembuluh darah,
sedangkan efek jauh berupa gejal-gejala akibat fenomena tromboemboli. Trombosis
pada vena besar akan memberikan gejala edema pada ekstremitas yang
bersangkutan. Terlepasnya trombus akan menjadi emboli dan mengakibatkan
obstruksi dalam sistem arteri, seperti yang terjadi pada emboli paru, otak dan lain-
lain.
Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan dalam
patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu
a. Kelainan dinding pembuluh darah (vascular injury).
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena,
melalui :
1. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
2. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat
kerusakan jaringan dan proses peradangan.
Permukaan pembuluh darah yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel
endotel. Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel
menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan,
aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya
trombin.
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan
terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan
dan trombosit akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen,
membran basalis dan mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan
adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain
yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat.

17
Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan
darah. Endothel tidak perlu dikikis atau dilukai secara fisik untuk menimbulkan
trombosis. Setiap terjadi gangguan dalam keseimbangan efek protrombosis dan
antitrombosis yang dinamis dapat mempengaruhi peristiwa pembekuan lokal.
Oleh karena itu disfungsi endothel yang bermakna dapat terjadi karena tekanan
hemodinamis pada hipertensi, aliran turbulen pada katup yang terdapat jaringan
parut, atau endotoksin bakteri. Tanpa memperhatikan penyebab, hilangnya
endothel secara fisik mengakibatkan pajanan kolagen subendothel (dan
aktivator trombosit lain), perlekatan trombosit, pelepasan faktor jaringan, dan
deplesi PGI2 dan PA lokal. Endothel yang mengalami disfungsi dapat
menghasilkan faktor prokoagulasi dalam jumlah yang lebih besar (misalnya
molekul adhesi untuk mengikat trombosit, faktor jaringan, PAI, dll) dan faktor
antikoagulan dalam jumlah yang lebih kecil (trombomodulin, PGI2, t-PA).
b. Gangguan aliran darah (gangguan rheology).
Turbulensi turut berperan pada trombosis arteri dan trombosis cardiac
dengan menyebabkan cedera atau disfungsi endothel, serta membentuk aliran
kebalikan dan kantong stasis lokal. Stasis merupakan faktor utama dalam
pembentukan trombus vena. Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan
dapat terjadi statis terutama pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi
dalam waktu yang cukup lama. Statis vena merupakan predis posisi untuk
terjadinya trombosis lokal karena dapat menimbulkan gangguan mekanisme
pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan
terbentuknya trombin.
Aliran darah normal adalah laminar sedemikian rupa sehingga unsur
trombosit mengalir pada bagian sentral dari lumen pembuluh darah, yang
terpisah dari endothel oleh suatu zona jernih plasma yang bergerak lebih lambat.
Oleh karena itu, stasis atau turbulensi akan mengganggu aliran laminar dan
melekatkan trombosit pada endothel, mencegah pengenceran faktor pembekuan
yang teraktivasi oleh darah segar yang terus mengalir, menunda aliran masuk
inhibiitor faktor pembekuan dan memungkinkan pembentukan thrombus dan

18
meningkatkan aktivasi sel endothel, mempengaruhi pembentukan trombosis
lokal, perlekatan leukosit, serta efek endothel lain.
c. Kelainan konstituen darah (hypercoagulable state).
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan
darah dan sistem fibrinolisis. Kecenderungan terjadinya trombosis, apabila
aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun.
Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas
pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi Anti
trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.
Hiperkoagulabilitas pada umumnya kurang berperan pada keadaan
trombosis tetapi merupakan komponen paling penting. Hiperkoagulabilitas
kurang bisa ditentukan secara tegas seperti pada setiap perubahan pada jalur
pembekuan yang memudahkan terjadinya trombosis. Gangguan ini dapat dibagi
menjadi gangguan primer (genetik) dan sekunder (didapat). Pada
Hiperkoagulabilitas primer, diantaranya akibat mutasi faktor V, mutasi
protrombin, defisensi antitrombin III, dan defisiensi protein C atau S.
Sedangkan pada hiperkoagulabilitas sekunder dibagi menjadi:
(a) Risiko tinggi trombosis akibat tirah baring atau imobilisasi lama, infark
miokard, kerusakan jaringan (pembedahan, fraktur, luka bakar), kanker,
katup jantung prostese, disseminated intravascular coagulation, dan
antikoagulan lupus.
(b) Resiko rendah trombosis akibat fibrilasi atrium, kardiomiopati, sindrom
nefrotik, keadaan hiperesterogen, penggunaan kontrasepsi oral, anemia sel
sabit dan merokok.(13)

19
Pada trombosis arteri ketiga faktor tersebut memegang peranan penting, tetapi
pada trombosis vena, trombosis dapat terjadi pada dinding pembuluh darah yang
masih intak, berarti yang berperanan penting adalah faktor aliran darah (stasis) dan
keadaan hiperkoagulabel.
Trombosis arteri sering terbentuk di sekitar orifisim cabang arteri dan
bifurkasio arteri. Di tempat ini terdapat turbulensi aliran darah sehingga terjadi
perubahan ateromatosa dan kerusakan endotel. Pembuluh darah yang terganggu
atau tidak utuh merupakan faktor risiko trombosis. Pada trombosis arteri, proses
dimulai dari endotel yang mengalami kerusakan dimana terjadi aktivasi trombosit
yang menyebabkan adhesi dan agregasi trombosit pada dinding pembuluh darah.
Terjadilah thrombus dengan komponen utamanya adalah trombosit yang diikat oleh
serat-serat fibrin dan beberapa sel darah merah, maka thrombus ini berwarna agak
keputihan, disebut sebagai white thrombus.(9)
Sedangkan pada trombosis vena komponen utamanya adalah fibrin dengan
banyak sel darah merah sehingga thrombus ini disebut sebagai red thrombus.

20
Perbedaan jenis thrombus ini ditentukan oleh perbedaan kecepatan aliran darah
(shear rate) pada arteri dan vena. Pada arteri dijumpai high shear rate sedangkan
pada vena low shear rate. Thrombus putih daya kohesinya lebih kuat sehingga tidak
mudah terlepas, sedangkan thrombus merah lebih friable sehingga lebih mudah
lepas sebagai emboli.
Trombosis vena pada umumnya timbul pada vena dalam (deep veins) tungkai
bawah, kadang-kadang juga pada lengan, atau pada vena superfisial ekstremitas.
Trombosis vena superfisial merupakan kelainan yang relatif ringan, kecuali terjadi
perluasan ke vena profunda. Pada deep vein trombosis (DVT) thrombus sangat
mudah lepas sehingga menimbulkan emboli, terutama emboli paru atau pulmonary
emboli (PE). Oleh karena itu trombosis vena dan emboli dimasukkan sebagai
venous thromboembolism. atau VTE. VTE merupakan kelainan yang cukup sering
dijumpai. (22)

V. MANIFESTASI KLINIS
A. Trombosis vena
Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain
vena tungkai superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal
seperti vena poplitea, vena femoralis dan vena viliaca. Sedangkan vena-vena di
bagian tubuh yang lain relatif jarang di kenai.
Trombosis vena superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan
gejala klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis vena
tungkai superfisialis ini menyebar ke vena dalam dan dapat menimbulkan
emboli paru yang tidak jarang menimbulkan kematian.
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang
timbul tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi atau tempat terjadinya
trombosis. Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah asimtomatis, akan
tetapi dapat menjadi serius apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke
lebih proksimal.
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila
menimbulkan :

21
a. bendungan aliran vena.
b. peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
c. emboli pada sirkulasi pulmoner.(22)
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis.
Trombosis vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan
bisa menjalar ke bagian medial dan anterior paha.
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau
kaku dan intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan
berkurang kalau penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai
ditinggikan. Nyeri dapat terasa di sepanjang vena (midline posterior).
2. Pembengkakan
Pembengkakan disebabkan karena adanya edema. Timbulnya edema
disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan
jaringan perivaskuler.
Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi
bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila
disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah
trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau
penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan
posisi kaki agak ditinggikan.
3. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri.
Pada trombosis vena perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20%
kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang
berwarna ungu. Perubahan warna kaki menjadi pucat dan pada perabaan
lunak dan dingin, merupakan tanda-tanda adanya sumbatan vena yang besar
disertai adanya spasme arteri, keadaan ini di sebut flegmasia alba dolens.

22
4. Perabaan hangat
5. Hofman’s sign: dorsofleksi pada tungkai memperberat nyeri.
Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan
membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi
edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada
daerah vena yang di kenai.
Sekitar 50% penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali.
Jika trombosis menyebabkan peradangan hebat dan penyumbatan aliran darah,
otot betis akan membengkak dan bisa timbul rasa nyeri, nyeri tumpul jika
disentuh dan teraba hangat. Pergelangan kaki, kaki atau paha juga bisa
membengkak, tergantung kepada vena mana yang terkena.
Beberapa trombus mengalami penyembuhan dan berubah menjadi jaringan
parut, yang bisa merusak katup dalam vena. Sebagai akibatnya terjadi
pengumpulan cairan (edema) yang menyebabkan pembengkakan pada
pergelangan kaki. Jika penyumbatannya tinggi, edema bisa menjalar ke tungkai
dan bahkan sampai ke paha.
Pagi sampai sore hari edema akan memburuk karena efek dari gaya gravitasi
ketika duduk atau berdiri. Sepanjang malam edema akan menghilang karena
jika kaki berada dalam posisi mendatar, maka pengosongan vena akan
berlangsung dengan baik. Gejala lanjut dari trombosis adalah pewarnaan coklat
pada kulit, biasanya diatas pergelangan kaki. Hal ini disebabkan oleh keluarnya
sel darah merah dari vena yang teregang ke dalam kulit. Kulit yang berubah
warnanya ini sangat peka, cedera ringanpun (misalnya garukan atau benturan),
bisa merobek kulit dan menyebabkan timbulnya luka terbuka (ulkus).(17)

B. Trombosis arteri
Gejala klinik dari mereka yang mengalami trombosis sangat beraneka ragam
tergantung lokasi apakah pada arteri atau vena dan juga tergantung dari organ
apa yang diperdarahinya (lokasi). Misalnya saja jika mengenai otak, bisa
mengakibatkan stroke non hemoragik. Manifestasi klinis berupa kelemahan
tiba-tiba saat istirahat. Jika mengenai jantung akan mengakibatkan infark

23
miokard. Dan juga gejala-gejala yang lain seperti mata tiba-tiba buta atau
penglihatan berkurang, telinga tiba-tiba tuli atau pendengaran berkurang, terjadi
akut abdomen, kaki tiba-tiba kesakitan dan pucat, hingga abortus. Trombus pada
vena kaki bisa terjadi secara perlahan seperti kaki bengkak secara bertahap,
merah dan menjadi sakit.
Gejala klinik yang ditimbulkan pada trombosis arteri sangat bervariasi dari
yang ringan sampai yang berat. Apakah yang terkena arteri yang besar, utama
atau cabang-cabangnya. Apakah kolateral cukup banyak, karena prognosisnya
tergantung pada arteri mana yang terlibat dan yang penting adalah kecepatan
dan ketepatan dokter bertindak.
Gejala yang dapat muncul antara lain :
1. Gejala awal biasanya adalah nyeri pada daerah yang bersangkutan, bisa
nyeri hebat apabila daerah yang terkena cukup luas. Pada pasien muda
biasanya kejadiannya lebih akut, rasa nyeri lebih hebat, tetapi justru
prognosisnya lebih baik karena keadaan pembuluh darah relatif lebih baik.
Pada pasien yang lebih tua, dimana sudah terjadi kelainan kronis arteri, bila
timbul trombosis akut biasanya tidak begitu jelas gejalanya dan nyerinya
tidak begitu hebat, pada pasien seperti ini justru prognosisnya lebih buruk.
2. Mati rasa
3. Kelemahan otot
4. Rasa seperti ditusuk-tusuk.
Bila gejalanya lengkap, maka di temukan “6 P”, yaitu :
1. Pain
2. Pale
3. Paresthesia
4. Paralysis
5. Pulsessness
6. Poikilothermia
Sebagai pegangan utama, bila ada pasien dengan keluhan nyeri hebat pada
daerah ekstremitas dan nadi tidak dapat diraba, maka diagnosis trombosis akut
arteri ini harus ditegakkan dan ditindak lanjuti.

24
Gejala klinis klasik dari sumbatan arteri yaitu antara lain nyeri (pain),
paralisis (paralysis), paraesthesia, pucat (pallor/pale), tidak ada pulsasi
(pulselessness), dan dingin (perishingly cold leg atau Poikilothermia). Tetapi
gejala ini tidak selalu ditemukan karena tergantung pada berat dan lama nya
iskemik pada pasien tersebut. Nyeri terasa hebat dan seringkali resisten terhadap
analgetika. Adanya nyeri tekan dengan penampakan sindrom kompartemen
menunjukkan tanda-tanda nekrosis otot dan keadaan kritikal (kadangkala
irreversibel). Defisit neurologis motor sensorik seperti paralisis otot dan
paraestesia justru mengindikasikan iskemia otot dan nervus yang masih
berpotensi untuk tindakan penyelamatan invasif (urgent). Pada awalnya tungkai
tampak pucat (vena yang kosong), tetapi setelah 6-12 jam akan terjadi
vasodilatasi yang disebabkan oleh hipoksia dari otot polos vaskular. Kapiler
akan terisi kembali oleh darah terdeoksigenasi yang stagnan, yang
memunculkan penampakan mottled (yang masih hilang bila ditekan). Bila
tindakan pemulihan aliran darah arteri tidak dikerjakan kapiler akan ruptur dan
akan menampakkan kulit yang kebiruan yang menunjukkan iskemia
irreversibel. Tanda-tanda diatas sangat khas untuk kejadian sumbatan arteri akut
tanpa disertai kolateral.
Bila oklusi akut terjadi pada keadaan yang sebelumnya telah mengalami
sumbatan kronik, maka tanda yang dihasilkan biasanya lebih ringan oleh karena
telah terbentuk kolateral. Adanya gejala klaudikasio intermiten pada tungkai
yang sama dapat menunjukkan pasien telah mengalami oklusi kronik
sebelumnya. Keadaan akut yang menyertai proses kronik umumnya beretiologi
trombosis.(9)

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis dari trombosis akut dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis akan ditemukan nyeri local
mendadak, bengkak, perubahan warna dan fungsi berkurang pada anggota tubuh
yang terkena. Pemeriksaan fisik ditemukan edema, eritema, perubahan suhu lokal
tempat yang terkena, Homan’s sign (+). Pemeriksaan fisik ditujukan untuk

25
menemukan adanya tanda dan gejala trombosis. Peranan pemeriksaan laboratorium
pada penatalaksanaan trombosis yaitu untuk membantu diagnosis, pemantauan
terapi dan mencari faktor resiko. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk membantu diagnosis trombosis antara lain:
1. Ultrasonografi.
Pemeriksaan ini menggunakan gelombang suara untuk membentuk gambaran
aliran darah melalui pembuluh darah arteri dan pembuluh darah balik pada
bagian yang terkena.
2. Waveform assesment
Pemeriksaan dengan menggunakan continuous-wave Doppler merupakan
pemeriksaan yang penting terutama bila dipasangkan dengan pemeriksaan
tekanan darah segmental oleh karena dapat memperkirakan dengan tepat area
(segmen) yang mengalami gangguan.
3. Duplex Imaging
Pemeriksaan color-flow duplex ultrasound memungkinkan visualisasi dan
pemeriksaan hemodinamik dari arteri menggunakan pencitraan grey scale,
colour-flow Doppler, dan pulse Doppler velocity profiles. Pencitraan grey-scale
akan menggambarkan anatomi arteri dan adanya plaque ekhogenik. Color-flow
Doppler akan menampilkan aliran darah yang berwarna dan Doppler velocity
profiles akan menghitung kecepatan aliran dalam bagian penampang arteri yang
diperiksa.
6. Tes D-Dimer.
Pemeriksaan ini mengukur kadar D-Dimer dalam darah yang biasanya
dikeluarkan ketika bekuan darah memecah.
7. Venografi.
Pemeriksaan ini merupakan suatu standar baku (gold standard) pada trombosis
vena dalam. Pada pemeriksaan ini suatu pemindai akan diinjeksikan ke dalam
pembuluh darah balik, kemudian daerah tersebut akan dirőntgen dengan sinar
X. Jika pada hasil foto terdapat area pada pembuluh darah balik yang tidak
terwarnai dengan pemindai maka diagnosis trombosis vena dalam dapat
ditegakkan.

26
8. Flestimografi impendans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada
tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoraalis dan iliaca
dibandingkan vena di betis.
7. Arteriogram
Arteriogram adalah suatu tes pencitraan dengan menggunakan x-ray dan
pewarna khusus untuk melihat bagian dalam arteri. Hal ini dapat digunakan
untuk melihat arteri di jantung, otak, ginjal, dan bagian lain dari tubuh. Prosedur
ini sering disebut angiografi.
Pemeriksaan angiografi merupakan pemeriksaan "gold standar" dalam
kelainan arteri perifer. Pada tahun 1990-an, diperkenalkan pengembangan dari
angiografi konvensional yaitu teknik digital subtraction angiography yang dapat
"mengaburkan" gambaran tulang sehingga citra arteri dan percabangannya
menjadi lebih jelas dan tajam.
Pemeriksaan angiografi adalah pemeriksaan invasif dan memerlukan izin
pasien. Saat ini di Indonesia pemeriksaan invasif ini dapat dikerjakan oleh
radiologis, kardiologis, atau bedah vaskular. Pemeriksaan angiografi
memberikan resiko kepada pasien dengan gagal ginjal oleh karena
menggunakan zat kontras.(24)
Cara melakukan pengujian
Pengujian dilakukan di tempat pelayanan medis yang dirancang untuk
melakukan tes ini. Prosedur yang dilakukan tergantung pada bagian tubuh mana
yang akan diuji. Pasien akan diberi obat penenang untuk membantu pasien agar
tidak tegang. Secara umum, bahan pewarna yang disebut kontras disuntikkan ke
arteri atau vena, tergantung pada bagian tubuh yang diperiksa. Injeksi ke
pembuluh nadi lebih membutuhkan persiapan dan perawatan, dan yang paling
sering dilakukan yaitu melalui pangkal paha. X-ray digunakan untuk melihat
bagaimana kontras melalui aliran darah.
Persiapan Pengujian
Cara menyiapkan tergantung pada bagian tubuh yang akan diuji. Dokter
akan meminta untuk berhenti minum obat-obatan tertentu yang dapat

27
mempengaruhi tes. Dalam banyak kasus mungkin tidak diperbolehkan makan
atau minum apa pun selama beberapa jam sebelum dilakukan tes.
Setiap orang mungkin akan merasakan beberapa ketidaknyamanan dari
metode tersebut. Tergantung pada jenis arteriogram yang dilakukan, Pasien
mungkin akan timbul berbagai gejala ketika penyedia layanan kesehatan
menyuntikkan bahan kontras. Misalnya rasa tidak nyaman pada wajah atau
bagian lain dari tubuh. Jika pasien memilih untuk melakukan injeksi di daerah
pangkal paha, biasanya pasien akan diminta untuk berbaring telentang selama
beberapa jam setelah ujian untuk menghindari pendarahan. Hal ini dapat
menyebabkan beberapa ketidaknyamanan.
Indikasi dilaksanakan pengujian
Arteriogram dilakukan untuk melihat bagaimana darah bergerak melalui
arteri, dan untuk memeriksa arteri yang rusak atau tersumbat. Terkadang
pengobatan dapat dilakukan pada saat yang sama pada saat dilakukan
arteriogram.
Resiko
Resiko tergantung pada jenis arteriogram yang dilakukan. Pasien harus
bertanya kepada dokter tentang resiko sebelum setuju untuk melakukan tes.
Secara umum, resikonya yaitu:
a. Reaksi alergi terhadap pewarna yang digunakan
b. Pendarahan, infeksi, dan nyeri di tempat suntikan
c. Darah menggumpal
d. Kerusakan pembuluh darah
e. Kerusakan ginjal dari pewarna yang digunakan (resiko lebih tinggi pada
penderita diabetes)
8. Computed Tomography Angiography
Dalam pemeriksaan ini gambar yang didapat dihasilkan melalui
pemeriksaan CT-scan. Penggunaan CT-scan konvensional untuk pencitraan
angiografi tidak memuaskan oleh karena dibutuhkan banyak potongan gambar
yang membutuhkan waktu lama sehingga pencitraan yang dihasilkan berkualitas
buruk. Penemuan helical (or spiral) CT-scan menghasilkan citra 3 dimensi dari

28
pembuluh darah dan dapat memeriksa keseluruhan panjang pembuluh dalam
waktu yang singkat. Citra yang dihasilkan serupa dengan angiografi biasa hanya
dalam 3 dimensi, dan sebenarnya tidak bermakna klinis yang lebih baik. Helical
CT-scan khususnya berguna dalam pencitraan kelainan pembuluh darah yang
memiliki struktur kompleks seperti dalam kasus-kasus aneurisma aorta. Helical
CT-scan memiliki kerugian yang sama dengan pemeriksaan angiografi biasa
yaitu; berbahaya digunakan pada pasien dengan gagal ginjal. Zat kontras pada
CTA diberikan melalui intravena.
9. Magnetic Resonance Angiography
Citra angiography diperoleh melalui pemeriksaan MRI. Sama dengan
CTA, zat kontras diberikan secara intravena. MRA atau CTA dapat
diindikasikan apabila pasien tidak dapat mentolerir tusukan intra-arterial, misal
karena kelainan bilateral atau kelainan perdarahan. CTA dan MRA dapat
menggantikan arteriografi dengan kontras pada banyak kasus. MRA
dikontraindikasikan pada pasien dengan alat pacu jantung atau katup prostesis
metal.

VII. PENATALAKSANAAN
A. Non Farmakologis
Mengurangi Morbiditas pada serangan akut.
1. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah
vena
2. Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular
3. Latihan lingkup gerak sendi (range of motion) seperti gerakan fleksi-
ekstensi, menggengam, dan lain-lain. Tindakan ini akan meningkatkan
aliran darah di vena-vena yang masih terbuka (patent)
4. Pemakaian kaus kaki elastis (elastic stocking), alat ini dapat meningkatkan
aliran darah vena.
Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 – 48 jam
serangan trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba
dolens di anjurkan tindakan embolektomi.

29
Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus atau
emboli, biasanya tidak di anjurkan.

B. Farmakologis
Obat-obat antithrombotik dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar:
1. Obat antiplatelet
Mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis TxA2, menghambat
reseptor ADP, menghambat Gp IIb/IIIa dan untuk pemantauan belum ada
standarisasi.
a. Aspirin
b. Phosphodiesterase inihibitor: dipyridamole
c. Derivat thienopyridines
a) Ticlopidin
b) Clopidogrel
d. Glycoprotein IIb/IIIa receptor antagonist
2. Obat antikoagulan
A. Parenteral
a.) Heparin
1) Unfractionated heparin
2) Low molecular weight heparin
Heparin
Merupakan mukopolisakharid yang mempunyai mekanisme kerja
meningkatkan fungsi AT III. Cara pemberiannya melalui iv dan sc.
Pemantauan terapi heparin yaitu sekali dalam 24 jam 4 - 6 jam
setelah suntikan dan dipantau dengan APTT, TT, ACT, WBCT, kadar
plasma heparin (titrasi protamin dan anti- Xa).
APTT paling sering dipakai. Rentang deteksinya sebesar 0.1 - 1
iu/ml. Rentang terapi APTT yaitu 1.5 - 2.5 x mean normal range,
sesuai dengan 0.2 - 0.4 iu/ml (protamin titration) atau 0.3 - 0.7 iu/ml
(anti Xa). Keterbatasan APTT untuk pemantauan heparin yaitu
sensitivitas reagens bervariasi, tidak ada korelasi linear antara dosis

30
heparin dengan APTT. APTT memanjang terjadi pada defisiensi
faktor koagulasi, Lupus anticoagulant, inhibitor F VIII dan
peningkatan fibrinogen and F VIII. Sedangkan APTT memendek
terjadi pada APTT yang tak dapat dipakai karena heparin diberikan
bersama warfarin atau heparin diberikan bersama obat trombolitik.
Thrombin time (TT) normalnya 10 - 15 “. Jika diperiksa pada
terapi heparin yaitu sebesar 25 - 100 “. TT memanjang pada
hypofibrinogenemia, dysfibrinogenemia dan FDP.
Whole Blood Clotting Time jarang digunakan karena kurang
reproducible, kurang sensitif, time consuming dan bed side.
Activated clotting time (ACT) digunakan dalam skrining untuk
jalur intrinsik dan jalur bersama. Normalnya 75 - 120 “. Jika
diperiksa pada terapi heparin yaitu sebesar 140 - 185 “. Jika
digunakan untuk pemantauan heparin dosis tinggi yaitu sebesar 1 - 5
iu/ml.
b) Pentasaccharides
1) Fondafarinux
2) Idraparinux
c) Heparinoids
d) Direct thrombin inhibitor
1) Lepirudin
2) Argatroban
B. Oral anticoagulant
a) Vitamin-K dependent coagulation proteins inhibitor
b) Ximelagatran
Antikoagulan oral
Dapat menghambat vitamin K, penurunan Prothrombin, VII, IX,
X, protein C, protein S, PIVKA (protein induced by vit. K absence
/antagonist). Dalam memberikan terapy dipantau dengan PT atau
Thrombotest. Keterbatasan PT untuk antikoagulan oral yaitu antara
lain sensitivitas reagens bervariasi dan sistem pelaporan bervariasi.

31
3. Obat thrombolitik atau fibrinolitik.
Dapat meningkatkan aktivitas fibrinolitik. Lytic state yaitu kadar fibrinogen.
FDP yaitu sebesar Thrombin time ( 2-3 x normal) dan 3 – 4 jam setelah
terapi.
a) Streptokinase
b) Urokinase-type plasminogen activator
c) Tissue-tyep plasminogen activator
Defibrinogenating agents
Contohnya yaitu racun ular (Ancrod, Batroxobin). Mekanisme kerjanya
yaitu leavage FPA fibrin atipik dan hypofibrinogenemia. Digunakan dalam
pemantauan kadar fibrinogen (70-100 mg/dl).(6)

Cara Pemberian Obat Antitrombotik:


1. Pemberian Heparin standar
Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips
konsitnus 1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips selanjutnya tergantung
hasil APTT. 6 jam kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis
dengan target 1,5 – 2,5 kontrol.
a. Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.
b. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.
c. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.
Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6
jam, hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam
pertama hanya 38% yang mencapai nilai target dan sesudah hari ke 1 baru
84%.
Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan dengan
pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau
pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan.
Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana
penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.(10)

32
2. Pemberian Low Milecular Weight Heparin (LMWH)
Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan
pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan
heparin. Saat ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin
(Lovenox) dan (Nandroparin Fraxiparin). Pada pemberian heparin standar
maupun LMWH bisa terjadi efek samping yang cukup serius yaitu Heparin
Induced Thormbocytopenia (HIT).(18)
3. Pemberian Oral Anti koagulan oral
Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin. Cara pemberian Warfarin di
mulai dengan dosis 6 – 8 mg (single dose) pada malam hari. Dosis dapat
dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil INR (International
Normolized Ratio). Target INR adalah 2,0 – 3,0.
Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan
apabila trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang
reversible. Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan
pemberian anti koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi
apabila ditemukan abnormal inherited mileculer.
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :
a. Hipertensi : sistolik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
b. Perdarahan yang baru di otak.
c. Alkoholisme.
d. Lesi perdarahan traktus digestif.(11)
4. Pemberian trombolitik
Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan
heparin, akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya
pemberian heparin tunggal.
Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad
ini, terutama sesudah dipasarkannya streptoknase, urokinase dan tissue
plasminogen activator (TPA).
TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminogen dan
fibrin, sehingga efek samping perdarahan relatif kurang. Brenner

33
menganjurkn pemberian TPA dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra
vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra vena
kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil
yang cukup memuaskan.(11)
Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah
perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan serebral. Untuk
mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang
ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu protombin, jangan
melebihi 2,5 kali nilai kontrol.
Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya
sudah pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-
obatan yang diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius.
Berbeda dengan trombosis arteri, trombosis vena dalam adalah suatu
keadaan yang jarang menimbulkan kematian. Oleh karena itu tujuan pengobatan
adalah:
1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.
2. Mengurangi morbiditas pada serangan akut.
3. Mengurangi keluhan post flebitis
4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses trombo emboli.

C. Operatif
Tombektomi
Tindakan pembedahan (thrombektomi) diperlukan mutlak bila bekuan darah
sedemikian amat besar sehingga menghambat total aliran darah. Trombektomi
adalah suatu tindakan bedah untuk mengeluarkan thrombus dari arteri atau vena
yang tersumbat.
Indikasi operasi bila pengobatan secara konservatif tidak efektif dalam
memperbaiki sirkulasi dalam waktu 6 – 12 jam sesudah terjadi sumbatan.
Teknik Operasi
Persiapan penderita dan lapangan operasi
1. Embolektomi / trombektomi arteri.

34
2. Pada femoral arteriomi, kateter fogarthy dimasukkan 20 cm kearah aorta
abdominalis, 45 cm ke bawah ke popliteal bifurkasio dan 65-70 cm ke
ankle.
3. Berguna untuk mengetahui lokasi lesi yang oklusi.
4. Balon dikembangkan setelah melampaui trombus kemudian dikembangkan
dan diekstradisi.
Setelah dilakukan trombektomi maka tindakan lain yang terus dilakukan
terutama heparinisasi. Tindakan ini berhasil sangat baik bila kejadiannya benar-
benar akut dan pasien yang relatif muda.

Tehnik trombektomi dengan kateter fogarty


By-Pass
Pada penderita yang terlihat kelainan obstruksi atau stenosis yang cukup luas
kadang-kadang operasi by-pass segera bisa dikerjakan. By-pass dapat dilakukan
dengan vena atau by-pass dengan bahan sintetis. Yang paling banyak dilakukan
adalah trombo endarterektomi dengan pintasan yang memanfaatkan vena
autogen.(24)

Penyakit Jantung Koroner


Pada penderita berisiko tinggi, obat-obatan kerap kurang memadai, sehingga
hanya ada dua cara untuk mengatasi sumbatan ini, yakni angioplasti koroner
dan bedah pintas koroner. Tindakan hanya dilakukan bila sumbatan melebihi 50
persen diameter lumen pembuluh darah koroner lewat pemeriksaan angiografi.
Adapun mereka yang berisiko tinggi perlu tindakan revaskularisasi
(memperdarahi kembali). Revaskularisasi dapat ditempuh dengan dua cara,

35
yaitu dengan teknik angioplasti (Percutaneous Transluminal Coronary
Angioplasty/PTCA ) atau bedah pintas koroner (bypass).
Memilih antara bypass atau angioplasti dalam mengatasi PJK tergantung
dari beberapa hal, di antaranya lokasi dan karakter penyempitan koroner, jumlah
pembuluh yang terlibat, fungsi jantung, adanya penyakit penyerta, usia, dan
juga biaya.
Prosedur angioplasti atau Angioplasti Koroner merupakan prosedur non-
bedah dengan tindakan invasif minimal. Angioplasti hanya perlu sayatan kecil
di kulit pangkal paha atau pergelangan lengan dengan bius lokal. Selanjutnya
diselipkan kateter ke arteri yang menuju muara pembuluh koroner.
Melalui kateter itu dimasukan kawat kecil lentur menyeberangi lokasi
penyempitan dengan petunjuk sinar X. Kemudian lewat kawat itu diselipkan
balon yang sesuai ukuran hingga sampai di lokasi penyempitan. Balon
kemudian dikembangkan dengan tekanan tertentu hingga penyempitan terbuka.
Tindakan ini akan merontokkan plak dalam pembuluh darah dan memperbaiki
aliran darah ke otot jantung. Lalu balon dikempiskan dan ditarik keluar.Prosedur
ini bisa menghilangkan beberapa gejala penyumbatan arteri, seperti nyeri dada
atau sesak napas.
Sebagian besar angioplasti dilanjutkan dengan pemasangan cincin
penyangga (stent merupakan semacam kerangka metal yang berfungsi sebagai
penyangga supaya pembuluh darah tetap terbuka). Stent yang umumnya terbuat
dari baja antikarat ini bertujuan menekan penyempitan ulang (restenosis) yang
merupakan ”achille’s heel” angioplasti. Tanpa stent, angka restenosis dapat
mencapai 40 persen. Risiko restenosis penderita diabetes lebih tinggi lagi.
Kini dikenal stent yang berlapis obat (drug eluting stent/ DES). Obat pelapis
yang kerap digunakan adalah sirolimus dan paclitaxel. Obat-obat ini bermanfaat
menghambat peradangan dengan cara menekan proliferasi limfosit dan sel-sel
otot polos sehingga restenosis dapat ditekan hingga kurang dari 5 persen dan
pada penderita DM risiko stenosis menurun hingga 10 persen. Walaupun jauh
lebih mahal daripada stent biasa, DES (di atas Rp 20 juta ) telah terpasang pada
4,5 juta orang di seluruh dunia.

36
Untuk kebanyakan pasien, PTCA secara nyata meningkatkan aliran darah
melalui arteri yang sebelumnya menyempit. Nyeri dada akan mereda dan Anda
dapat melakukan olah raga. Keuntungan dari prosedur ini:
1. Tidak memerlukan sayatan besar
2. Tidak memerlukan bius total
3. Jarang terjadi komplikasi (<1% risiko serangan jantung/stroke/kematian)
4. Bisa meredakan gejala, seperti nyeri dada
5. Pemulian lebih cepat dibanding bypass
Kini sumbatan koroner yang mengeras pun dapat ditembus dengan alat bor
yang disebut rotablator. Visualisasi lesi aterosklerosis pun menjadi semakin jelas
dengan bantuan alat pencitraan koroner yang disebut IVUS (intravascular
ultrasound imaging).
Namun harus diakui bahwa revaskularisasi dengan angioplasti pada
sejumlah kasus kerap tidak sesempurna bedah bypass. Angioplasti yang
dipaksakan pada lesi koroner yang berat dan melibatkan banyak pembuluh
koroner berisiko tinggi terjadi penyempitan ulang dan bahkan penyumbatan.(25)
Pada keadaan demikian, operasi Coronary Artery Bypass Grafting sebagai
pilihan pertama akan lebih menguntungkan. Operasi jantung juga dianggap
lebih aman dilakukan pada penderita dengan penyempitan yang terletak di
posisi pembuluh koroner utama kiri (left main coronary artery).
Dokter spesialis bedah jantung melakukan pemasangan pembuluh darah
pintas (bypass) pada pembuluh darah koroner yang menyempit atau tersumbat
dengan menggunakan pembiusan total.
Coronary Artery Bypass Grafting, atau Operasi CABG, adalah teknik yang
menggunakan pembuluh darah dari bagian tubuh yang lain untuk memintas
(melakukan bypass) arteri yang menghalangi pemasokan darah ke jantung. Vena
kaki atau arteri mamari (payudara) internal bisa digunakan untuk operasi
bypass. Operasi ini membantu memulihkan aliran darah yang normal ke otot
jantung yang tersumbat.
Pada operasi bypass, pembuluh cangkok baru, yaitu arteri atau vena sehat
yang diambil dari kaki, lengan, atau dada pasien, kemudian diambil lewat

37
pembedahan dan dijahitkan ke sekeliling bagian yang tersumbat. Pembuluh
cangkok ini memasok darah beroksigen ke bagian jantung yang
membutuhkannya, sehingga "mem-bypass" arteri yang tersumbat dan
memulihkan aliran darah ke otot jantung.
Sayangnya pembuluh darah baru yang ditanam (graft) tidak selalu terjamin
bebas masalah. Bisa jadi dalam perjalanan waktu, graft menyempit/menyumbat,
sehingga memerlukan angioplasti atau operasi ulangan.
Pasien yang mendapatkan manfaat dari operasi CABG adalah mereka yang
menderita penyumbatan arteri, khususnya yang menyangkut ketiga arteri
koroner yang menyebabkan kerusakan otot jantung.
Sasaran operasi bypass adalah mengurangi gejala penyakit arteri koroner
(termasuk angina), sehingga pasien bisa menjalani kehidupan yang normal dan
mengurangi risiko serangan jantung atau masalah jantung lain.
Kini juga dikenal off pump bypass surgery, yaitu tindakan bedah jantung
tanpa menggunakan bantuan mesin jantung paru. Penanaman graft dilakukan
pada jantung yang masih berdenyut (beating heart). (26)

38
39
VIII. KOMPLIKASI
1. Emboli Paru
Pada deep vein trombosis (DVT) thrombus sangat mudah lepas sehingga
menimbulkan emboli, terutama emboli paru atau pulmonary emboli (PE).
Emboli Paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh
suatu embolus, yang terjadi secara tiba-tiba. Suatu emboli bisa merupakan
gumpalan darah (trombus), tetapi bisa juga berupa lemak, cairan ketuban,
sumsum tulang, pecahan tumor atau gelembung udara, yang akan mengikuti
aliran darah sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah.
Penyebab yang paling sering adalah bekuan darah dari vena tungkai, yang
disebut trombosis vena dalam. Gumpalan darah cenderung terbentuk jika darah
mengalir lambat atau tidak mengalir sama sekali, yang dapat terjadi di vena kaki
jika seseorang berada dalam satu posisi tertentu dalam waktu yang cukup lama.
Jika orang tersebut bergerak kembali, gumpalan tersebut dapat hancur, tetapi
ada juga gumpalan darah yang menyebabkan penyakit berat bahkan kematian.(7)
2. Gangguan vaskularisasi daerah distal trombosis
Adanya trombosis dapat menimbulkan kedaruratan karena trombosis dapat
menghambat saluran arteri dan vena. Apabila mengenai pembuluh darah
terutama arteri yang tidak memiliki kolateral, dapat menimbulkan kurangnya
suplai darah di distal daerah trombosis. Jika hal ini terjadi maka fungsi darah
sebagai pengangkut oksigen dan nutrisi tidak dapat tersampaikan pada daerah
distal trombosis. Jika hal ini berlangsung lama dapat menimbulkan hipoksia
jaringan, iskemi bahkan dapat berujung pada nekrosis jaringan.
3. Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah inkompeten katub vena sebagai
akibat proses trombosis sehingga terjadi peningkatan tekanan vena sebagai
konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Biasanya
terjadi pada trombosis di daerah proksimal yang eksistensif seperti vena-vena di
daerah poplitea, femoral dan illiaca. Keluhan biasanya panas, edema dan nyeri
terjadinya trombosis. Sindroma ini akan berkurang derajad keganasannya kalau
terjadi lisis atau pengangkatan trombosis.

40
Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada
daerah betis yang timbul / bertambah waktu penderitanya berkuat (venous
claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul
pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah.

IX. PROGNOSIS
Prognosis trombosis arteri dan vena ditentukan oleh lokasi dan ketepatan
penanganan. Umumnya makin cepat penanganan, maka semakin baik
prognosisnya. Begitu juga sebaliknya. Sedangkan berdasarkan lokasi, semakin
penting organ yang mengalami trombosis, semakin buruk prognosis kualitas
hidupannya atau dapat menimbulkan kecacatan jika tidak ditangani dengan cepat
dan tepat. Trombektomi terutama berhasil sangat baik bila kejadiannya benar-
benar akut dan pada penderita yang relatif muda.(7)
X. PENCEGAHAN
Pencegahan trombosis arteri adalah bagian penting dari kepedulian terhadap
kesehatan. Ada dua bagian utama yaitu pencegahan primer, yang berarti mencegah
penyakit agar tidak berkembang, dan pencegahan sekunder, yang berarti
pencegahan penyakit yang berulang. Ada dua cara utama mencegah arteri trombosis
yaitu perubahan gaya hidup dan pengobatan. Seseorang yang telah menderita
serangan jantung atau stroke akan diberikan saran tentang cara melakukan
perubahan gaya hidup. Mereka mungkin juga diberikan obat-obatan, untuk
mengurangi resiko lebih lanjut serangan jantung atau stroke.
Perubahan gaya hidup dapat berdampak besar dalam mengurangi resiko dari
atherosclerosis dan trombosis arteri, seperti:
a. Mempunyai kehidupan aktif secara fisik
b. Makan makanan yang sehat dan seimbang
c. Menghindari kegemukan atau obesitas
d. Menghindari periode panjang imobilitas selama sakit atau ketika bepergian
e. Berhenti merokok.
Mendorong orang untuk berhenti merokok dari awal adalah prioritas utama.
Risiko memiliki serangan jantung menurun tajam setelah berhenti merokok. Jika

41
seseorang berhenti merokok setelah serangan jantung, risiko sakit dalam lima tahun
ke depan akan berkurang sekitar setengahnya. Diet tinggi lemak jenuh, rendah buah
dan sayuran dan garam tinggi dihubungkan dengan peningkatan risiko penyakit
aterosklerosis. Kerangka Layanan Nasional penyakit jantung koroner
merekomendasikan bahwa untuk mengurangi risiko ini, orang dewasa harus
menerapkan pola makan seimbang yang meliputi:
a. Mengurangi lemak, terutama lemak jenuh
b. Mengkonsumsi lima porsi buah dan sayuran sehari
c. Mengurangi garam
d. Mengkonsumsi dua porsi ikan (satu ikan berminyak) setiap minggu
Bukti juga menunjukkan bahwa kelebihan berat badan atau obesitas
meningkatkan risiko penyakit aterosklerosis, serta terkait dengan faktor risiko lain
seperti kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, dan peningkatan glukosa darah.
Semua faktor risiko dapat dicegah oleh penurunan berat badan. Untuk mengurangi
risiko penyakit aterosklerosis, Nasional Layanan Framework pada penyakit jantung
koroner juga merekomendasikan bahwa orang dewasa harus melakukan 30 menit
olah ringan (seperti berjalan kaki, bersepeda atau berat pekerjaan rumah tangga)
setidaknya lima hari dalam seminggu. Pria yang memiliki konsumsi alkohol tinggi
(28 botol alkohol setiap minggu) memiliki peningkatan resiko tekanan darah tinggi.
Hal ini meningkatkan risiko mengalami stroke. Namun, penelitian menunjukkan
bahwa minum 1-4 unit alkohol setiap hari bagi pria, atau 1-2 unit dalam waktu lima
atau enam hari seminggu bagi wanita, akan dapat menghasilkan beberapa
perlindungan. Manfaat-manfaat ini berkaitan dengan alkohol secara umum.
Meskipun manfaat dari minuman spesifik seperti anggur merah saat ini sedang
diperdebatkan.
Mereka dengan trombosis arteri juga harus mencari saran medis sebelum
melakukan operasi, atau ketika mereka mungkin kurang bergerak dalam waktu yang
lama, karena ini meningkatkan risiko trombosis vena. Perempuan juga harus
mencari saran medis sebelum mengambil kontrasepsi oral atau terapi pengganti
hormon, dan ketika hamil atau merencanakan untuk hamil.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Aillaud MF, Pignol F, Alessi MC, Harle JR, Escande M, Mongin M, Juhan-Vague I.
Increase in plasma concentration of plasminogen activator inhibitor,fibrinogen, von
Willebrand factor, factor VIII:C and in erythrocyte sedimentation rate with age.
Thromb Haemost 1986;55:330-2.

2. Bauer KA, Rosenberg RD. Control of coagulant reaction. In : Beutler E, Lictman


MA, Coller BS, Kipps TJ, Eds. Williams Hematology.5th ed. New York : McGraw-
Hill, 1995 : 1139 – 251

3. Bick RL. Introduction to thrombosis: proficienct and cost-effective approach to


thrombosis. Haematol/Oncol Clin N Amer 2003;17:1-8.

4. Bithell TC. Blood coagulation. In : Lee GR, Bithell TC, Foerster J, Athens JW,
Lukens JN, Editor. Wintrobe’s Clinical Hematology. Volume 1, 9th ed. Philadelphia :
Lea & Febiger, 1993 : 566 – 615.

5. Bithell TC. The physiology of primary hemostasis. In : Lee GR, Bithell TC, Foester J,
Athens JW, Lukens JN, Editors. Wintrobe’s Clinical Hematology. Volume 1, 9th ed.
Philadelphia : Lea & Febiger, 1993 : 540 – 65.

6. Bithell TC. Thrombosis and antithrombotic theraphy. In : Lee GR, Bithell TC,
Foerster J, Athens JW, Lukens JN, Editor. Winstrobe’s Clinical Hematology : 1,9th
ed. Philadelphia : Lea & Febiger, 1993 : 1515 – 51.

7. Breddin HK et al. Effects of a LMH on Thrombus Regression and Recurrent


Thrombo-embolism in Patient DVT. N. Engl J of Med 344:626-631, 2001.

8. Caverley DC, Maness LJ. Platelet function in hemostasis and thrombosis. In: Greer
JP, Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, editors. Winstrobe’s
Clinical Hematology. 11th ed. Philadelphia: Lippincott-Williams & Wilkins;
2001.p.651-76.

9. Dahlan M. Trombosis Arterial Tungkai Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI;2007.

10. Deitcher SR, Rodgers GM. Thrombosis and antithrombotic therapy. In: Greer JP,
Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, editors. Winstrobe’s
Clinical Hematology. 11th ed. Philadelphia: Lippincott-Williams & Wilkins;
2004.p.1713-60.

11. Ehsan A, Plumbley JA. Introduction to thrombosis and anticoagulant therapy. In:
Harmening DM, editor. Clinical hematology and fundamentals of hemostasis. 4th ed.
Philadelphia: FA Davis Company; 2002.p.534-62.

43
12. Gerhardt A, Scharf RE, Beckman MW, Struve S, Bender HG, Pillny M et al.
Prothrombin and factor V mutations in woman with a history of thrombosis during
pregnancy and the puerperium. N Eng J Med 2000;342:374-80.Goodnight SH,
Hathaway WE. Disorders of hemostasis and thrombosis. 2nd ed. New York:
MacGraw Hill Companies; 2001.

13. Greaves M, Preston FE. Pathogenesis of thrombosis: antithrombotic therapy. In


Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD, editros. Postgraduate haematology. 4th
ed. Oxford: Butterworth Heinemann; 1999.p.653-74.

14. Hale LP, Owen J. Thrombotic and hemorrhagic disorders. In: Hazzard WR, Blass JP,
Ettinger, Halter JB, Ouslander JG (editors). Principles of Geriatric Medicine and
Gerontology. 4th ed. New York: Mc Graw Hill; 1999.p.933-47.

15. Hillman RS, Ault KA. Hematology in clinical practice. 3rd ed. New York: Mc Graw
Hill; 2002.

16. Kerr T.M et al : Upper Extremity Venous Thrombosis Diagnosed by Duppex


Scanning, The Am J of Surgery 160:120-206, 1990.
17. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R et al. Trombosis Vena. Dalam : Kapita Selekta
Kedokteran Jilid I. edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2001.

18. Pradoni et al : Comparison os Subcuteneus LMW Heparin with intravenous Standard


Heparin in Oroximal DVT. Lancet 339:441-445, 1992.

19. Prandoni et al : DVT and the incidence of Subsequent Symptomatic cancer N. Eng J
Med. 327:1128-1133, 1992.

20. Rani AA, Soegondo, Nazir AU et al. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006.

21. Rayu S et al : Saphenectomy in the Presende of Chornic Venous Obstruction. Surgery


123:637-644, 1999.
22. Srandness D.E. et al : Long-term Sequelae Acute Venous Thrombosis. JAMA
250:1289-1292, 1983.

23. Supandiman I. Trombosis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 3.
Jakarta : Balai Penerbit FK UI;2001.
24. Thomas J.H et al : Pathogenesis Diagnosed, and Treatment of Thrombosis. The Am J
of Surgery 160:547-551, 1990.
25. Versaci F, Gaspardone A, Tomai F et al. A comparison of coronary-artery stenting
with angioplasty for isolated stenosis of the proximal left anterior descending
coronary artery. N Engl J Med 1997; 336: 817–22.
26. Coronary angioplasty and coronary bypass surgery. British Heart Foundation, 2004
Heart Information Series Number 10. www.bhf.org.uk

44

Anda mungkin juga menyukai