Anda di halaman 1dari 6

BUDAYA ORGANISASI PELAYANAN PUBLIK

(Kasus Pelayanan di RSUD dr. Slamet Martodirdjo Pamekasan)

Rumah sakit adalah suatu organisasi yang unik dan kompleks karena ia
merupakan institusi yang padat karya, mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri serta fungsi
yang khusus dalam proses menghasilkan jasa medik dan mempunyai berbagai
kelompok profesi dalam pelayanan penderita. Di samping melaksanakan fungsi
pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit juga mempunyai fungsi pendidikan
dan penelitian (Boekitwetan 1997). Rumah sakit di Indonesia pada awalnya
dibangun oleh dua institusi. Pertama adalah pemerintah dengan maksud untuk
menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum terutama yang tidak
mampu. Kedua adalah institusi keagamaan yang membangun rumah sakit nirlaba
untuk melayani masyarakat miskin dalam rangka penyebaran agamanya. Hal yang
menarik akhir-akhir ini adalah adanya perubahan orientasi pemerintah tentang
manajemen rumah sakit dimana kini rumah sakit pemerintah digalakkan untuk mulai
berorientasi ekonomis. Untuk itu, lahirlah konsep Rumah Sakit Swadana dimana
investasi dan gaji pegawai ditanggung pemerintah namun biaya operasional rumah
sakit harus ditutupi dari kegiatan pelayanan kesehatannya (Rijadi 1994). Dengan
demikian, kini rumah sakit mulai memainkan peran ganda, yaitu tetap melakukan
pelayanan publik sekaligus memperoleh penghasilan (laba) atas operasionalisasi
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat.
Pelayanan kesehatan dituntut untuk lebih memfokuskan pada kebutuhan
pelanggan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan masyarakat akan pelayanan
yang lebih baik, dan perkembangan teknologi. Rumah sakit sebagai salah satu unit
pelaksana pelayanan kesehatan harus bisa memberikan rasa aman dan nyaman
kepada para pengguna jasa pelayanan karena pelayanan yang berkualitas sangat
diharapkan oleh para pengguna jasa pelayanan.
Kualitas pelayanan Rumah Sakit dapat diketahui dari penampilan
professional personil Rumah Sakit, efisiensi dan efektivitas pelayanan serta
kepuasan pasien Kepuasan pasien ditentukan oleh keseluruhan pelayanan yang
diberikan, indikator yang sering dapat digunakan sebagai objektif adalah jumlah
keluhan pasien atau keluarga, kritik dalam kolom surat pembaca, pengaduan mal
praktek, laporan dari staf medik dan perawatan. Dalam pengalaman sehari-hari,
ketidakpuasan pasien yang paling sering dikemukakan dalam kaitannya dengan
sikap dan perilaku petugas RS, antara lain: keterlambatan pelayanan dokter dan
perawat, dokter sulit ditemui, dokter yang kurang komunikatif dan informatif, lamanya
proses masuk, dan lain-lain (Sabarguna, 2004:2)
Mengingat adanya dinamika internal (perkembangan peran) dan tuntutan
eksternal yang semakin berkembang, rumah sakit dihadapkan pada upaya
penyesuaian diri untuk merespons dinamika eksternal dan integrasi potensi-potensi
internal dalam melaksanakan tugas yang semakin kompleks. Upaya ini harus
dilakukan jika organisasi ini hendak mempertahankan kinerjanya (pelayanan
kesehatan kepada masyarakat sekaligus memperoleh dana yang memadai bagi
kelangsungan hidup organisasi). Untuk itu, ia tidak dapat mengabaikan sumber daya
manusia yang dimiliki termasuk perhatian atas kepuasan kerjanya. Pengabaian
atasnya dapat berdampak pada kinerja organisasi juga dapat berdampak serius
pada kualitas pelayanan kesehatan. Dalam konteks tersebut, pemahaman atas
budaya pada tingkat organisasi ini merupakan sarana terbaik bagi penyesuaian diri
anggota-anggotanya, bagi orang luar yang terlibat (misalnya pasien dan
keluarganya) dan yang berkepentingan (seperti investor atau instansi pemerintah
terkait) maupun bagi pembentukan dan pengembangan budaya organisasi itu sendiri
dalam mengatasi berbagai masalah yang sedang dan akan dihadapi.
Hal ini juga berlaku untuk RSUD dr. Slamet Martodirdjo Pamekasan,
perkembangan tuntutan masyarakat terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan
menjadi hal yang urgen yang harus terus ditingkatkan guna mecapai pelayanan
yang prima, namun hal – hal yang berkaitan dengan pelayanan sering menjadi
masalah yang tiada henti di RSUD dr. Slamet Martodirjo pamekasan. Baru – baru ini
masyarakat kabupaten pamekasan mengelus dada dengan adanya berita pasien
kritis yang tidak boleh dijenguk oleh keluarganya sampai meninggal dunia (Koran
Madura, 21 oktober 2013), hal ini satu dari sekian masalah yang terjadi terkait
pelayanan dan budaya kerja di RSUD pamekasan. pemahaman atas budaya pada
tingkat organisasi ini merupakan sarana terbaik bagi penyesuaian diri anggota-
anggotanya, bagi orang luar yang terlibat (misalnya pasien dan keluarganya) dan
yang berkepentingan (seperti investor atau instansi pemerintah terkait) maupun bagi
pembentukan dan pengembangan budaya organisasi itu sendiri dalam mengatasi
berbagai masalah yang sedang dan akan dihadapi. Namun sayangnya penelitian
atau kajian khusus tentang persoalan ini belum banyak diketahui, atau mungkin
perhatian terhadap hal ini belum memadai. Mengingat kondisi demikian, maka
tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan berbagai aspek dan karakteristik budaya
organisasi rumah sakit sebagai lembaga pelayanan publik. Perhatian atas budaya
organisasi menjadi semakin meningkat ketika baik perspektif kebijakan publik
maupun perspektif manajemen publik dalam administrasi negara masih menyisakan
sejumlah masalah dalam masa transisi di negara sedang berkembang (Minogue,
Polidano, Hulme : 1998, 3-4). Kunci dari sejumlah masalah yang tersisa tersebut
menunjuk pada nilai, kepercayaan, dan norma institusional dan dibarengi pula
dengan sikap-sikap individual. Hal ini mengarah pada substansi budaya organisasi
dan bagaimana mengubah budaya tersebut.
Menurut Keegan (1995) dalam buku manajemen pemasaran global,
budaya merupakan cara hidup yang dibentuk oleh sekelompok manusia termasuk
nilai yang disadari dan tidak disadari, dan dirurunkan dari generasi ke generasi.
Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidang antropologi sejak awal mula
dan memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku organisasi.
Bagaimanapun juga, baru-baru ini saja konsep budaya timbul ke permukaan sebagai
suatu dimensi utama dalam memahami perilaku organisasi (Hofstede 1986). Schein
(1984) mengungkapkan bahwa banyak karya akhir-akhir ini berpendapat tentang
peran kunci budaya organisasi untuk mencapai keunggulan organisasi. Mengingat
keberadaan budaya organisasi mulai diakui arti pentingnya, maka telaah terhadap
konsep ini perlu dilakukan terutama atas berbagai isi yang dikandungnya.
Dengan demikian ketatnya persaingan didalam atau diluar organisasi,
kehidupan kian egois, silaturahmi tidak terjaga, nilai dan prinsip hidup tidak dapat
tempat, karena selalu merasa dikejar oleh tuntutan perubahan yang
berkepanjangan. Umumnya proses perubahan tidak mudah terjadi kecuali jika
kegiatan memetakan Profil Budaya Organisasi tersedia fasilitasnya sebagai acuan
vital kepentingan manajemen puncak dalam menggerakkan dan mengendalikan
arah perubahan.
Pemetaan profil budaya organisasi dipengaruhi oleh nilai – nilai inti
organisasi yang dihargai nilai – nilai bersaing Untuk benar terhadap dimensi atau
jenis budaya apa yang dirasakan dominan dalam organisasi. ketika nilai
menyebabkan perilaku dan ketika perilaku tersebut mulai memecahkan masalah,
maka nilai itu ditransformasi menjadi asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu
sesungguhnya. Bila asumsi telah diterima begitu saja, maka kesadaran menjadi
tersisih. Dengan kata lain perbedaan antara asumsi dengan nilai terletak pada
apakah nilai-nilai tersebut masih diperdebatkan atau tidak. Bila nilai tersebut diterima
apa adanya (taken for granted) maka ia disebut sebagai asumsi, namun bila ia
masih bersifat terbuka dan dapat diperdebatkan maka istilah nilai lebih sesuai
(Schein 1991). Mengacu kepada tingkatan asumsi dasar untuk memahami budaya
organisasi, Schein memberikan beberapa asumsi dasar yang membentuk budaya
organisasi. Asums dasar ini dapat dipergunakan sebagai alat untuk menilai budaya
suatu organisasi. Beberapa dimensi asumsi dasar tersebut adalah :
1. Keterkaitan lingkungan organisasi. Aspek ini mengamati asumsi yang lebih
mendasar tentang hubungan manusia dengan alam dan lingkungan.
2. Hakikat realitas dan kebenaran. Aspek ini menyangkut pandangan
anggota-anggota organisasi tentang kaidah-kaidah linguistik dan
keperilakuan yang menetapkan mana yang riil dan mana yang tidak, mana
yang fakta, bagaimana kebenaran akhirnya ditentukan, dan apakah
kebenaran diungkapkan atau ditemukan.
3. Hakikat sifat manusia. Aspek ini menyangkut pandangan segenap anggota
organisasi tentang apa yang dimaksud dengan manusia dan apa atribut-
atribut yang dianggap intrinsik atau puncak.Terdapat dua dimensi dari
aspek ini.
4. Hakikat kegiatan manusia. Aspek ini menyangkut pandangan semua
anggota organisasi tentang hal-hal benar apa yang perlu dikerjakan oleh
manusia atas dasar asumsi mengenai realitas, lingkungan, dan sifat
manusia diatas, apakah ia harus aktif, pasif, pengembangan pribadi,
fatalistik, atau yang lainnya.
5. Hakikat hubungan antar manusia. Aspek ini menyangkut pandangan
manusia tentang apa yang dipandang sebagai cara yang benar bagi
manusia untuk saling berhubungan.
Budaya organisasi dapat berfungsi sebagai : Identitas, yang merupakan
cirri atau karakter organisasi, source (inspirasi), sumber gerak dan pola
perilaku,kemampuan meningkat nilai tambah,dan mekanisme adaptasi terhadap
perubahan. Dalam masalah yang terjadi di RSUD ini garda terdepan pemberi
pelayanan menjadi soroton yakni orang – orang yang bekerja di RSUD tersebut
yang hampir 75 % berstatus sebagai PNS dan sisanya Pegawai tidak tetap. Asumsi
mereka tentang pelayanan sepertinya tidak sesuai dengan status mereka sebagai
abdi Negara dan abdi masyarakat yang disebutkan dalam pasal 3 undang – undang
pokok kepegawaian. Mengacu pada asumsi yang dikemukakan oleh Schein bahwa
bisa dilihat asumsi Keterkaitan lingkungan organisasi, Hakikat realitas dan
kebenaran, Hakikat sifat manusia, Hakikat kegiatan manusia, dan hakikat hubungan
antar manusia tidak sepenuhnya dimiliki oleh setiap aparatur di RSUD ini. Sebuah
organisasi, diciptakan untuk mencapai suatu tujuan yang atau lebih yang telah
ditetapkan oleh sebelumnya. Pendekatan pencapaian tujuan perlu dikembangkan
untuk memberikan pehamanan bahwa keefektifan sebuah organisasi harus dinilai
sesuai dengan pencapaian tujuan ketimbang caranya. Budaya kerja yang tertanam
terlihat jelas bahwa hanya “pasien” yang membutuhkan “mereka”, pelayanan yang
diberikan oleh pihak RSUD terhadap “pasien jamkesmas” dan “pasien non
jamkesmas” sangat berbeda jauh, apakah hakikat sifat manusia (schein) dalam
organisasi ini sdh memudar,sehingga perbedaan “perlakuan” terhadap “si pasien”
sangat terlihat Mereka lupa bahwa, sumber dana dan sumber daya baik sarana dan
prasarana yang dimiliki oleh RSUD juga berasal dari rakyat.
Karakteristik asumsi budaya tersebut seharusnya terinternalisasi
dengan baik sehingga dapat disebut RSUD mempunyai budaya organisasi yang
kuat karena tidak lagi terjadi pertentangan budaya dalam organisasi. Budaya yang
ada telah diterima sebagai sesuatu yang benar dalam merespons segala persoalan
adaptasi ekternal dan integrasi internal. Internalisasi nilai-nilai secara mendalam
oleh segenap elemen dalam suatu organisasi yang dibarengi secara konsisten
dengan perilaku setiap anggota organisasi dan kebijakan organisasi akan
meningkatkan kepuasan kerja karyawan yang ada. Hal ini dapat dengan jelas
dimengerti karena perilaku dan kebijakan tersebut telah sesuai dengan dan dapat
diterima oleh asumsi-asumsi yang melekat dalam benak setiap karyawan.
Kesesuaian asumsi dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam aktivitas organisasi
akan menekan atau mengurangi tingkat kesenjangan antara apa yang diharapkan
dengan kenyataan yang langsung dirasakan oleh karyawan. Semakin kecil
kesenjangan tersebut maka semakin tinggi kepuasan kerja yang ada. Semakin
besar kesenjangan tersebut maka semakin rendah kepuasan dan bahkan mungkin
timbul ketidakpuasan.
Nilai-nilai yang sebaiknya ditanamkan kepada pegawai dalam
memberikan pelayanan kepada pasien, adalah mereka menganggap pasien adalah
orang terpenting dalam pekerjaan mereka. Pasien adalah raja yang mana semua
pegawai bergantung padanya bukan pasien yang bergantung pada karyawan.
Pasien bukanlah pengganggu pekerjaan pegawai,namun merekalah tujuan Pegawai
bekerja.
Dalam masalah yang terjadi di RSUD ini, merupakan kurangnya
internalisasi nilai budaya kerja yang tergambar dalam asumsi – asumsi antara lain
Keterkaitan lingkungan organisasi, Hakikat realitas dan kebenaran, Hakikat sifat
manusia, Hakikat kegiatan manusia, Hakikat hubungan antar manusia. Pendekatan
pencapaian tujuan perlu dikembangkan untuk memberikan pehamanan bahwa
keefektifan sebuah organisasi harus dinilai sesuai dengan pencapaian tujuan
ketimbang caranya. Budaya kerja yang tertanam terlihat jelas bahwa hanya “pasien”
yang membutuhkan “mereka”, pelayanan yang diberikan oleh pihak RSUD terhadap
“pasien jamkesmas” dan “pasien non jamkesmas” sangat berbeda jauh, apakah
hakikat sifat manusia (schein) dalam organisasi ini sdh memudar,sehingga
perbedaan “perlakuan” terhadap “si pasien” sangat terlihat Mereka lupa bahwa,
sumber dana dan sumber daya baik sarana dan prasarana yang dimiliki oleh RSUD
juga berasal dari rakyat.
Kombinasi karakteristik dari asumsi dasar memunculkan budaya
organisasi yang Dapa bersifat integral. Kombinasi ini bisa dikategorikan sebagai
budaya adaptif sehingga mampu mendukung organisasi memenangkan adaptasi
eksternal. Pada saat yang sama konfigurasi atas asumsi dasar juga menunjukkan
tipologi budaya organisasi yang kuat. Dengan demikian memudahkan organisasi
mencapai integrasi internal jika terdapat kesesuaian antara karakteristik budaya
dengan praktek manajemen.

Anda mungkin juga menyukai