Anda di halaman 1dari 9

Review Buku Otonomi Daerah

IDENTITAS BUKU
Buku : OTONOMI DAERAH (Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur
Pemda dan Anggota DPRD)
Pengarang : Drs. Bambang Yudoyono, M. Si.
Penerbit : Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2001
Tahun terbit : 2001
Jumlah hal. : 171 hal

DAFTAR ISI
 Identitas Buku …………………………………………………………………. 1
 Kata Pengantar
………………………………………………………………………………………. 2
 Pendahuluan …………………………………………………………………… 4
 Isi Buku …………………………………………………………………………5
 Kesimpulan …………………………………………………………………….. 11
 Penutup …………………………………………………………………………12
PENDAHULUAN
Dalam rangka mewujudkan tatanan penyelenggaraan pemerintah sesuai dengan tuntutan
keadaan oleh masyarakat Indonesia, maka berbagai keadaan strategis akan ditetapkan.
Diantaranya yaitu pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No.22 tahun 1999 serta PP
No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom. Di samping itu telah ditetapkan pula mengenai Perimbangan Keuangan
antara pusat dan daerah yang seperti diatur dalam UU No.25 tahun 1999. Sebenarnya telah
lama dibicarakan bahwa tuntutan perlunya dilaksanakan demokrasi dan demokratisasi secara
nyata di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kewenangan daerah untuk
melaksanakan otonomi daerah untuk melakanakan otonomi daerah secara luas tetap saja
hanya merupakan bayang-bayang yang tak kunjung jadi kenyatakan. Sementara untuk
mewujudkan demokrasi dan demokratisasi secara terbuka selalu kandas oleh pemerintah
Orde Baru. Namun setelah digulingkannya presiden Soeharto pada awal reformasi, barulah
dapat ditetapkan sistem otonomi daerah yang ditetapkan pada UU No.22 tahun 1999.
Undang-undang ini meletakkan otonomi daerah secara luas pada daerah Kabupaten dan
daerah Kota berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Salah satu diantaranya
pemisahan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif daerah dalam bentuk dan susunan
pemerintah daerah. Sehingga perlu kita kaji lebih lanjut persoalan otonomi daerah yang
dibahas dalam buku OTONOMI DAERAH (Desentralisasi dan Pengembangan SDM
Aparatur Pemda dan Anggota DPRD).
ISI BUKU

“OTONOMI DAERAH”
(DESENTRALISASI DAN PENGEMBANGAN SDM APARATUR PEMDA DAN ANGGOTA
DPRD)
Seiring dengan ditetapkannya UUD 1945 , sistem pemerintahan daerah yang dibentuk dengan
UU No. 22 tahun 1999 menerapkan pelaksanaan otonomi daerah dengan ciri-ciri demokrasi
dan demokratisasi, mendekatkan pemerintah dengan rakyat, sisitem otonomi yang luas dan
nyata, tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat, serta penguatan posisi rakyat melalui
DPRD. Pelaksanaan otonomi daerah tidak akan pernah lepas dari adanya desentralisasi.
Secara teoritik, kemampuan pemerintah terbentuk melalui penerapan azas desentralisasi.
Yaitu adanya pelimpahan wewenang dari tingkat atas organisasi kepada tingkat bawahnya
secara hierarkis (Ryaas Rasyid, 1997). Melalui pelimpahan wewenang tersebut pemerintah
daerah dapat mengembangkan kreativitas secara mandiri dalam daerahnya masing-masing.
Sehingga manfaat yang di dapat melalui desentralisasi yaitu tugas pemerintahan dilaksanakan
secara efisien dan efektivitas, dapat melakukan berbagai inovasi, serta meningkatkan
motivasi moral, komitmen, dan produktivitas. Namun demikian, dengan adanya desentralisasi
pemerintah daerah tidak memiliki kebebasan penuh secara absolut untuk menjalankan fungsi
otonom tanpa mempertimbangakan kepentingan daerah lain maupun kepentingan nasional.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah tentunya terdapat beberapa negativisme yang dilakukan
oleh pemerintah aparatur seperti arogansi DPRD, berkembangnya proses KKN, konflik
DPRD dengan pemerintah daerah, konflik antar daerah, serta eksploitasi sumber daya alam
secara berlebihan yang berakhir dengan terjadinya disintegrasi bangsa, sehingga dibutuhkan
beberapa upaya dalam mengatasinya. Upaya-upaya tersebut yakni :
1. Kegiatan pemberdayaan dan pendidikan politik kepada rakyat perlu lebih
diintensifkan.
2. Pelaksanaan dekonsentrasi dan medebewind perlu diarahkan untuk mendukung
keberhasilan otonomi daerah.
3. Perlu ketegasan dalam operasionalisasi penegakan supremasi hukum.
4. Perlu disosialisasikan kepada seluruh daerah otonom agar tidak menigkatkan PAD,
tetapi lebih konsentrasi pada peningkatan kreativitas dalam memberikan pelayanan
dan pemberdayaan rakyat.
Dalam Pasal 14 ayat (1) secara tegas dinyatakan bahwa “Di Daerah dibentuk DPRD sebagai
Badan Legislatif Daerah”. Munculnya implikasi peran DPRD dalam hubungannya dengan
lembaga eksekutif di daerah yakni diharapkan demokrasi dan demokratisasi akan berlangsung
secara nyata dan sehat. Pengalaman latar belakang politik juga amat penting bagi seorang
anggota DPRD untuk menentukan kinerjanya sebagai wakil rakyat. Kemudian, demi
menciptakan kesejahteraan rakyat secara adil dan sehat dibutuhkan SDM aparatur Pemda dan
DPRD yang mampu menjalankan tugas secara baik melalui pelatihan-pelatihan dan diklat.
Pemerintah daerah yang menjalankan pemerintahan tentunya harus memberikan sebuah
pertanggung jawaban melalui laporan pertanggungjawaban yang harus diperiksa oleh DPRD.
Dua institusi yang ada dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah Pemerintah Daerah dan
DPRD. Dalam UU No.22 tahun 1999 cukup jelas bahwa pembagian kekuasaan Pemerintah
Daerah secara horizontal. Untuk urusan-urusan politik diserahkan kepada DPRD, sedangkan
urusan administrasi menjadi kewenangan Pemda. Selanjutnya, tugas pengawasan oleh DPRD
lebih menekankan pada segi hubungan antara penggunaan kekuasaan oleh eksekutif dengan
kondisi kehidupan rakyat di daerah. Satu sisi paling sensitif dalam hubungan antara eksekutif
dan legislatif adalah pemberhentian Kepala Daerah. Sesuai hak, tugas, dan kewenangan
DPRD, UU No.22 tahun 1999 (pasal 19,44,45,dan 46) memang memberi peluang dan hak
untuk memberhentikan Kepala Daerah sebelum masa jabatannya. Namun tampaknya ada
semacam indikasi yang menggambarkan ketidaksiapan sebagian besar anggota DPRD dalam
menggunakan hak-haknya secara profesional, aktif, etis, aspiratif, responsif, dan akuntabel.
Di dalam pelaksanaan otonomi daerah, perlu adanya kesiapan Aparatur Daerah beserta
Pelaku pelaksanaan otonomi daerah. Sehingga perlu adanya reorientasi cara pandang sikap
dan perilaku. Kesiapan aparatur Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah
merupakan hasil dari aktivitas di masa transisi yang mempunyai dimensi peran amat penting.
Kesiapan aparatur Pemerintah Daerah dapat diamati dari dua sisi, yaitu kesiapan konsep dan
kesiapan menjabarkan konsep ke dalam rincian langkah-langkah kebijakan praktika
penyelenggaraan pemerintah daerah. Secara teoritik, penyerahan wewenang yang besar pada
aparatur Pemerintah Daerahini memiliki kesempatan yang luas untuk mengambil inisiatif dan
mengembangkan kreativitasnya serta mencari solusi terbaik atas setiap masalah yang
dihadapi. Selain itu, terdapat dua orientasi cara pandang Pemerintah daerah dalam
melaksanakan otonomi daerah. Pertama, memperoleh uang yang besar sebagai faktor
terpenting yang harus didahulukan sekaligus dijadikan dasar pijak. Kedua, perlunya memiliki
dan mengoptimalkan kewenangan yang besar. Namun terdapat landasan falsafah “dengan
kewenangan uang dapat dicari atau dikenal dengan istilah money follows function”, sehingga
kewenangan yang diberikan lebih besar kepada daerah dalam bidang keuangan. Ini dipandang
lebih rasional dan demokratis dibanding dengan mengedepankan pembagian secara
proporsional dari pusat.
Dengan reorientasi cara pandang yang mengedepankan aspek kewenangan daerah sebagai
faktor terpenting, berbagai aspek substansif sebagai indikator kesiapan pelaksanaan otonomi
daerah yang menekankan pada Pemerintah Daerah antara lain :
 Tersedianya rincian kewenangan minimal yang wajib dilaksanakan oleh daerah
otonom beserta kegiatan-kegiatan yang menyertai.
 Desain organisasi perangkat daerah.
 Daftar kebutuhan pegawai.
 Daftar kebutuhan sarana dan prasarana (perlengkapan) yang dibutuhkan.
 Perkiraan kebutuhan biaya untuk melaksanakan kewenanga wajib minimal dalam satu
tahun anggaran.
Kemudian untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan otonomi daerah, hal yang harus
dilakukan adalah mempersiapkan kader-kader politik lokal. Dapat kita pahami bahwa seorang
kader politik pasti merupakan anggota partai, tetapi seorang anggota belum tentu sebagai
kader. Kader diperoleh melalui Kaderisasi yang mengandung makna suatu proses yang
membentuk dan mempersiapkan tenaga-tenaga potensial militan yang terlatih dan terdidik
untuk menyerahkan dan menggerakkan berbagai kekuatan atau sumber daya, serta mampu
memimpin serta menjalankan tugas-tugas pencapaian misi organisasi secara optimal
dimanapun berada (Sumitro Maskun, 1988) dengan penuh dedikasi, semangat dan tanggap
terhadap situasi yang ada (Sunardi, 22/2/1997). Selanjutnya terdapat beberapa aspek penting
dalam penyiapan kader politik lokal, diantaranya yaitu :
 Aspek ideologis
 Aspek idealistik
 Aspek intelektualistik
 Aspek organisatorik
 Aspek operasional
Kemudian, mengenai pola rekrutmen kader politik adalah seorang kader merupakan anggota
yang terseleksi berdasarkan pengujian, penilaian, dan pertimbangan tertentu dari hasil
pengamatan terhadap keaktifan, kesetiaan, keterampilan, kepandaian, moral dan mentalitas,
dedikasi, dan sebagainya. Keterlibatan setiap anggota dalam berbagai kegiatan diamati secara
cermat, evaluasi terus dan dinilai untuk dipertimbangkan dapat tidaknya direkrut sebagai
kader. Partai politik sebagai organisasi yang berkorelasi dengan kekuasaan negara, dituntut
kemampuannya untuk melakukan prosese seleksi seperti itu jika benar-benar menghendaki
tersedianya kader-kader militan.
Beberapa kriteria yang ditawarkan seleksi dalam proses rekrutmen kader, yaitu :
 Memiliki kadar ideologi yang kuat.
 Usia yang relatif lebih dapat terus dikembangkan.
 Sehat jasmani dan rohani.
 Mempunyai tingkat intelegensia yang baik dilihat dari IQ yang dimiliki.
 Memiliki integritas yang tinggi.
 Memiliki ijazah setidak-tidaknya tingkat SLTA.
Setelah mempersiapkan kader-kader politik seperti yang disampaikan di atas, kemudian
dalam pelaksanaan pemerintahan daerah melalui program otonomi daerah banyak terjadi
kesenjangan. Salah satunya adalah menumpuknya tenaga kerja bidang kesehatan yang
menginginkan sebagai PNS, disini pemerintah harus memiliki suatu alternatif guna untuk
menyediakan lahan atau lapangan pekerjaan bagi mereka. Pada UU No. 22 tahun 1999, telah
diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Peraturan Pemerintah ini menetapkan
batas kewenangan yang dapat dilakukan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
Pada ketetapan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 terdapat rincian kewenangan
Pemerintah yang masih tersisa, dan kewenangan daerah propinsi sebagai daerah otonom.
Pendekatan yang digunakan bukan sektoral atau departemental, melainkan pendekatan
bidang. Pada peraturan tersebut terdapat beberapa rincian, diantaranya :
 Kewenangan pemerintah di bidang kesehatan.
 Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom di bidang kesehatan.
 Kewenangan propinsi sebagai wilayah administrasi di bidang kesehatan.
 Kewenangan minimal di bidang kesehatan yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten
dan kota.
Ada beberapa institusi yang akan terlibat langsung dalam penanganan di bidang kesehatan di
daerah yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Pemerintah Daerah dan masyarakat.
Selanjutnya dalam menangani masalah PNS yang tidak tertampung yaitu dengan
pengurangan pegawai akibat perampingan organisasi. Kelompok pegawai yang memerlukan
pemikiran dan penanganan secara serius adalah mereka yang bekerja sebagai tenaga-tenaga
teknis administratif yang jumlahnya cukup besar. Tetapi atas dasar pertimbangan yang lebih
manusiawi, solusi terbaik yaitu dengan membuka lahan kerja yang memungkinkan mereka
tetap dapat bekerja.
Dalam proses pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat memenuhi keinginan
masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Sehingga dibutuhkan kualitas
kinerja yang kompeten untuk menjalankan roda pemerintahan. Bagi Pemerintah Daerah
sebagai organisasi yang mengemban fungsi utama pemerintahan yaitu pelayanan publik,
penilaian kinerja sebenarnya memiliki arti yang sangat penting terutama dalam upaya
melakukan perbaikan-perbaikan di tahun-tahun berikutnya. Penilaian kinerja bagi pemerintah
daerah berguna untuk menilai kuantitas, kualitas, dan efisiensi pelayanan, motivasi para
birokrat pelaksana, memonitor para kontraktor, melakukan penyesuaian budget, mendorong
pemerintah agar lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang dilayani, dan menuntun
perbaikan dalam memberikan pelayanan publik (Hatry,1989). Namun selama ini, penilaian
secara sistematik terhadap kinerja pemerintah daerah belum menjadi tradisi. Akibatnya,
seringkali muncul perdebatan yang tidak terselesaikan ketika terjadi hasil penilaian yang
berbeda antara pihak yang satu dengan lainnya. Kesulitan dalam menentukan penilaian
kinerja bukan saja rumusannya yang sering kabur atau tidak jelas, tetapi juga kareba sifat
organisasi yang multi dimensi. Sehingga dibutuhkan beberapa pendekatan dalam indikator
penilaian kinerja. Beberapa indikator pendekatan tersebut adalah :
 Visi, misi, dan tujuan organisasi sebagai dasar acuan.
 Pendekatan public managemen and policy.
 Pendekatan moral / etika.
 Pendekatan CED (Community Economic Development)
 Pendekatan kepuasan masyarakat.
 Pendekatan kemampuan organisasi.
KESIMPULAN

Buku yang berjudul “OTONOMI DAERAH (Desentralisasi dan Pengembangan SDM


Aparatur Pemda dan Anggota DPRD” ini cukup bagus dalam mengkaji persoalan
Desentralisasi dalam Sistem Otonomi Daerah oleh Pemerintah Daerah dan Kota. Manfaat
yang diperoleh dalam ringkasan materi ini adalah kita dapat mengetahui bagaimana otonomi
daerah dilaksanakan serta kinerja para aparatur Pemda dan para anggota DPRD. Hal
terpenting yang dapat kita lakukan yaitu mendukung adanya sistem pemerintah yang
diselenggarakan dalam program desentralisasi pada otonomi daerah karena tanpa adanya
dukungan dari masyarakat sendiri sulit adanya keberhasilan sistem tersebut. Otonomi daerah
yang tercantum dalam UU No.22 tahun 1999 ini merupakan paradigma baru untuk
mewujudkan pemerintahan yang mandiri serta kreatif dan inovatif dalam melaksanakan tugas
sebagai lembaga swadaya masyarakat yang menjamin kesejahteraan masyarakat di setiap
daerah. Namun terlepas dari itu semua, masih tetap ada beberapa kekurangan serta kelemahan
yang diulas dalam buku ini yakni dalam UU yang dipakai kita tidak dapat secara terus
menerus terpacu pada UU tersebut, ini dikarenakan UU tersebut masih dapat diperbaharui
dan disempurnakan kembali melalui amandemen pemerintah. Serta pembahasan yang yang
disajikan masih kurang lengkap kajian pembahasannya. Sehingga perlu adanya perbandingan
dari sumber lain dalam pembahasan otonomi daerah secara normatif.
PENUTUP

Pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerah yang tercantum dalam UU No.22 tahun
1999 cukup kuat, sehingga implementasi yang ditimbulkan sangat luas yang mencakup
berbagai aspek penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan sistem
tersebut tidak lepas dari konfigurasi politik yang diwarnai berbagai kepentingan dari regim
yang berkuasa. Pelaksanaan otonomi daerah berparadigma baru dengan tingkat desentralisasi
yang tinggi. Optimalisasi peran DPRD sangat diperlukan, sehingga perlu adanya peningkatan
kualitas anggota DPRD dengan melakukan pengawasan secara efektif terhadap Kepala
Daerah dalam pelaksanaan APBD tau kebijakan publik. Selain pengawasan juga diperlukan
sistem rekrutmen serta pembinaan yang dapat melahirkan kader-kader bangsa terbaik. Kepala
Daerah yang melaksanaan pemerintahan wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada
DPRD disetiap akhir tahun anggaran yang nantinya akan dirapatkan bersama.

Anda mungkin juga menyukai