BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Otonomi Daerah menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disebut
DPRD, sebagai institusi atau lembaga perwakilan rakyat yang paling berperan dalam
menentukan proses demokratisasi diberbagai Daerah. DPRD masih belum sepenuhnya
menjalankan fungsinya dengan baik, bahkan dalam praktek sering mengaburkan makna
demokratis itu sendiri. Hakekat dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya
keleluasaan pemerintah daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan
sendiri atas dasar prakarsa, kreatifitas, dan peran serta masyarakat dalam rangka
mengembangkan dan memajukan daerahnya. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan
dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah
secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah.
Disamping penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi
dan keanekaragaman daerah yang didukung oleh semangat otonomi, pelaksanaan yang
berkualitas serta sarana dan prasarana yang memadai.
Terdapat tiga aspek utama yang mendukung terciptanya kepemerintahan yang baik
(Good Governance), yaitu pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Ketiga hal tersebut
pada dasarnya berbeda baik konsepsi maupun aplikasinya. Pengawasan mengacu pada
tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh pihak luar eksekusif (yaitu masyarakat dan
DPR/DPRD) untuk turut mengawasi kinerja pemerintahan. Pengendalian (control) adalah
mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif (pemerintah) untuk menjamin dilaksanakannya
sistem dan kebijakan manajemen sehingga ujuan organisasi tercapai. Pemeriksaan (audit)
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki
kompeteni profesional untuk memeriksa apakah hasil inerja pemerintah telah sesuai dengan
standar kinerja yang ditetapkan.
Pada tataran teknis aplikatif juga berbeda. Pengawasan oleh DPR/DPRD dilakukan
pada tahap awal. Pengendalian dilakukan terutama pada tahap menengah (operasionalisasi
anggaran), yaitu level pengendalian manajemen (manajemen control) dan pengendalian tugas
(task control), sedangkan pemeriksaan dilaukan pada tahap akhir. Objek yang diperiksa
berupa kinerja anggaran (anggaran policy), dan laporan pertanggung jawaban keuangan yang
terdiri atas laporan dan nota perhitungan APBN/APBD, neraca dan laporan aliran kas.
Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan yang disebabkan oleh adanya
penyalahgunaan wewenang oleh eksekutif (abuse of power), maka pemberian wewenang
tersebut harus diikuti dengan pengawasan dan pengendalian yang kuat. Penguatan fungsi
pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPR/DPRD sebagai kekuatan
penyeimbang (balance of power) bagi eksekutif, dan partisipasi masyarakat secara langsung
maupun tidak langsung melalui LSM dan organisasi social kemasyarakatan sebagai bentuk
social control. Penggunaan fungsi pengendalian dilakukan melalui pembuatan sistem
pengendalian intern yang memadai dan pemerdayaan auditor internal pemerintah.
Pengawasan oleh DPR/DPRD dan masyarakat tersebut harus sudah dilakukan ejak
tahap perencanaan, tidak hanya pada tahap pelaksanaan dan pelaporan saja. Apabila
DPR/DPRD lemah dalam tahap perencanaan, maka sangat mungkin pada tahap pelaksanaan
aan mengalami penyimpangan. Akan tetapi harus dipahami bahwa pengawasan DPR/DPRD
terhadap eksekutif adalah pengawasan terhadap kebijakan (policy) yang digariskan, bukan
pemeriksaan. Fungsi pemeriksaan hendaknya diserahkan kepada lembaga pemeriksa yang
memiliki otoritas dan keahlian professional, misalnya BPK,BPKP, atau akuntan public yang
independen. Jika DPR/DPRD menghendaki, dewan dapan meminta BPK atau auditor
independen lainnya untuk pemeriksa terhadap kinerja keuangan eksekutif.
Pembahasan