REVIEW JURNAL
OPTIMALISASI PELAYANAN PUBLIK:
PERSPEKTIF DAVID OSBORNE DAN TED GAEBLER
Oleh
AHMAD ZAENAL FANANI, SHI., M.Si (HAKIM PA MARTAPURA)
NAMA KELOMPOK :
JURUSAN PMP-KN
2014
Penulis : AHMAD ZAENAL FANANI, SHI., M.Si (HAKIM PA MARTAPURA).
Judul : Optimalisasi Pelayanan Publik , Perspektif David Osborne dan Ted Gaebler.
Jurnal : Hukum Peradilan
Gagasan Reinventing Government yang dicetuskan oleh David osborne dan Ted
Gaebler (1992) adalah gagasan mutakhir yang mengkritisi dan memperbaiki konsep-konsep
dan teori-teori klasik pada era 20-an untuk optimalisasi pelayanan publik. Gagasan tersebut
muncul sebagai respon atas buruknya pelayanan publik yang terjadi di pemerintahan Amerika
sehingga timbul krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Gagasan-gagasan tersebut
mencakup 10 prinsip untuk mewirausahakan birokrasi, yaitu sebagai berikut:
1. Pemerintahan Katalis : mengarahkan ketimbang mengayuh.
Artinya, Pemerintah seharusnya lebih berkonsentrasi pada pembuatan kebijakan-
kebijakan strategis (mengarahkan) daripada disibukkan oleh hal-hal yang bersifat teknis
pelayanan (mengayuh). Upaya mengarahkan membutuhkan orang yang mampu melihat
seluruh visi dan mampu menyeimbangkan berbagai tuntutan yang saling bersaing untuk
mendapatkan sumber daya. Sedangkan, upaya mengayuh membutuhkan orang yang
secara-sungguh-sungguh memfokuskan pada satu misi dan melakukannya dengan baik.
4. Pemerintahan yang Digerakkan oleh Misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh
peraturan.
Artinya, pemerintahan harus digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya sehingga
akan berjalan lebih efektif dan efisien. Karena dengan mendudukkan misi organisasi
sebagai tujuan, birokrat pemerintahan dapat mengembangkan sistem anggaran dan
peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk mencapai misi
organisasi tersebut.
5. Pemerintahan yang Berorientasi Hasil : membiayai hasil bukan masukan.
Artinya, bila lembaga-lembaga pemerintah dibiayai berdasarkan hasil, mereka
bersaing untuk berprestasi. Misalnya, sistem penggajian dan penghargaan didasarkan
atas kualitas hasil kerja bukan pada masa kerja, besar anggaran dan tingkat otoritas.
Kesimpulan :
Jurnal mengenai optimalisasi pelayanan publik diatas difokuskan oleh Penulis untuk
memperbaiki kualitas pelayanan publik yang ada di ruang lingkup peradilan. Dalam hal
tersebut, penulis memilih untuk menggunakan salah satu perspektif teori administrasi negara
yaitu teori David Osborne dan Ted Gaebler.
Secara latar belakang, penelitian tersebut dilakukan atas dasar adanya realitas patologi-
patologi birokrasi dalam ruang lingkup peradilan. Dalam hal ini, jurnal tersebut sudah jelas
dalam memaparkan realitas konkrit permasalahan yang ada di lapangan penyelenggaraan
pelayanan publik. Namun sayangnya, penulis tidak menyertakan realitas konkrit yang diamati
sendiri oleh penulis, melainkan hanya berangkat dari realitas permasalahan yang diungkap
oleh peneliti lain dalam Governance and Desentralization Survey, 2002. Menurut kami, hal
tersebut sebenarnya sudah tepat, namun kurang kuat secara data untuk memberikan
pengetahuan pada pembaca mengenai kondisi kekinian di birokrasi Indonesia. Meskipun
sebenarnya kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi birokrasi di Indonesia.
Secara tujuan, penelitian tersebut ditujukan untuk menjadi solusi alternatif dalam
melakukan optimalisasi pelayanan publik birokrasi dunia peradilan. Menurut kami, tujuan
tersebut sudah jelas dan sejalan dengan latar belakang permasalahan yang diungkapkan
sebelumnya oleh penulis.
Lalu secara isi, jurnal tersebut berusaha menemukan solusi alternatif untuk optimalisasi
pelayanan publik pada birokrasi peradilan. Untuk memecahkan permasalahan yang telah
diungkapkan sebelumnya, penulis memilih gagasan David Osborne dan Ted Gaebler tentang
10 prinsip untuk mewirausahakan birokrasi sebagai solusi alternatif yang tepat dalam
optimalisasi pelayanan publik di dunia peradilan. sebab penulis berkaca dari pengalaman
pemerintah Amerika yang berhasil menggunakan 10 prinsip tersebut untuk memberantas
patologi birokrasi dalam pelayanan publik Amerika. Menurut kami, alasan tersebut cukup
beralasan untuk memilih menggunakan gagasan David Osborne dan Ted Gaebler. Namun
jika dibandingkan kondisi antara Negara Amerika dengan Indonesia, maka solusi tersebut
bisa jadi kurang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Sebab Amerika tergolong sebagai
Negara Maju, sementara Indonesia adalah Negara Sedang Berkembang. Perbedaan tersebut
dapat berakibat pada kurang sesuainya konteks penerapan konsep 10 prinsip pada birokrasi di
Indonesia meskipun di akhir pembahasan penulis mengungkapkan bahwa penerapan konsep
tersebut harus tetap memperhatikan sosio-kultur yang ada di Indonesia.
Oleh karena itu, dalam hal ini kami memberikan saran agar penulis dapat menggunakan
beberapa perspektif ahli untuk dapat menyelesaikan persoalan patologi birokrasi di peradilan
Indonesia. Sebab jika hanya satu perspektif saja, maka dikhawatirkan hasilnya kurang
obyektif karena tidak ada pembandingnya. Selain itu, sebaiknya penulis menambahkan
konteks sosio-kultur di Indonesia dan menyesuaikan penggunaan 10 prinsip tersebut dengan
kondisi Indonesia sebagai Negara Sedang Berkembang. Dengan demikian, konsep tersebut
akan dapat relevan jika diterapkan di Indonesia.