Anda di halaman 1dari 24

Profil Jamur Terhadap Morfologi Warna

Jaringan Cadaver Regio Extremitas inferior


di Laboratorium Aanatomi FK.UKI
BAB I

PENDAHULUAN

• 1. LATAR BELAKANG

Pelajaran Anatomi merupakan bagian penting dari sekolah kedokteran, dimana


mereka diperkenalkan dengan struktur organ-organ tubuh manusia yang tidak terlihat
dari luar karena ditutupi kulit dan jaringan lemak. Pada laboratorium anatomi terdapat
jenazah-jenazah yang dikenal dengan istilah cadaver yang telah diawetkan bertahun-
tahun, dengan menggunakan formalin. Cadaver merupakan media alat pembelajaran
struktur anatomi, otot, topografi tulang, topografi pembuluh darah dan saraf dari tubuh
manusia yang telah diawetkan. Proses pengawetan cadaver harus menggunakan
metode yang baik dan efektif sehingga menghasilkan cadaver yang memenuhi standar
yang baik seperti: organ dan jaringan yang bagus serta tahan dalam jangka waktu yang
cukup lama, pertumbuhan bakteri dan jamur yang minimal, tidak toksik pada manusia
khususnya pada pelaku dilaboratorium dan tidak ada perubahan warna pada organ
ataupun jaringan secara signifikan. Proses pengawetan cadaver di laboratorium
anatomi dikenal dengan istilah “Embalming ”.1

Embalming adalah proses pengawetan cadaver untuk mempertahankan


penampilan mayat dalam waktu yang singkat, tetap dalam kondisi yang baik untuk
jangka waktu lama. Teknik embalming modern adalah merupakan hasil dari akumulasi
berabad-abad penelitian, dan penemuan yang telah dilakukan di laboratorium anatomi.
Metode embalming yang diterapkan di Laboratorium Anatomi FK UKI menggunakan
metode arterial embalming. modern terdiri dari arterial embalming, cavity embalming,
hypodermic embalming, dan surface embalming. Bahan kimia yang dapat digunakan
dalam proses pengawetan antara lain: formaldehid, etil alkohol dan polietilen glikol
(kryofix), dan glutaraldehid. Penelitian Jitendra Gupta pada tahun 2013 mengatakan
proses embalming pada cadaver sering terkontaminasi mikroorganisme jamur. Jaringan
cadaverdapat terkontaminasi oleh udara yang dapat membawa dan jamur yang pada
akhirnya dapat menghancurkan tubuh dengan terpapar udara dan kelembaban yang
cukup untuk mendukung hadir pertumbuhan mikroorganisme jamur. Kontaminasi
jamur pada proses embalming di laboratorium anatomi berasal dari udara sekitar
ruangan maupun dari luar ruangan dan dapat juga diakibatkan kontak langsung pada
cadaver pada proses pengawetan.2

Proses kontaminasi jamur dan bakteri pada embalming cadaver di laboratorium


anantomi menyebabkan kualitas dari cadaver menjadi kurang bagus. Penelitian
Kiyoshi Ishii pada tahun 2006 telah menlaporkan bahwa jaringan cadaver dapat
terkontaminasi jamur dan bakteri pada jaringan kulit, jaringan otot dan organ bagian
dalam. Cadaver yang teridentifikasi jamur dan bakteri dapat menyebabkan perubahan
warna yang signifikan, proses pembusukan cepat yang dapat merusak jaringan pada
cadaver. Penelitian Dambasivarao Yaragalla dkk pada tahun 2017 mengatakan ada tiga
jenis jamur yang paling sering teridentifikasi pada proses embalming seperti :
Penicillium, trichophyton dan aspergillus. Pada penelitian Burton Tabaac dkk
menyimpulkan bahwa bakteri yang paling sering teridentifikasi pada proses
embalming cadaver dialaboratorium anatomi adalah : Staphylococcus aureus dan
Gardenerella vaginalis.3

Pada penelitian De Craemer pada tahun 1994; dan penelitian Bayramoglu pada
tahun 2002 sebelumnya telah menjelaskan bahwa pengaruh kontaminasi jamur pada
jaringan tubuh cadaver di laboratorium dapat menyebabkan efek negatif terhadap
mahasiswa, dosen dan laboran yang sering terpapar dalam waktu yang lama di
laboratorium anatomi. Efek negatif yang dapat terjadi seperti penularan penyakit
ringan dan penyakit kronis.4 Oleh karena itulah penelitian ini kami lakukan untuk
mengetahui apakah proses embalming cadaver di laboratorium Fakultas Kedoteran
Universitas Kristen Indonesia terkontaminasi mikroorganisme berupa jamur yang akan
dapat mempengaruhi morfologi warna dari preparat cadaver di laboratorium. Preparat
cadaver sekarang ini di laboratorium FK.UKI berjumlah 80 cadaver dimana kondisi
preparat kurang bagus keadaannya dimana banyak cadaver yang mengalami perubahan
warna kehitaman dan jaringannya banyak yang rusak.
A.1.1. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan pertumbuhan mikroorganisme jamur pada jaringan


cadaver terhadap perubahan morfologi warna dan kerusakan jaringan cadaver di
laboratorium FK.UKI ?

A.1.2. Hipotesis

Ada hubungan perubahan morfolog warna dan kerusakan pada jaringan preparat
cadaver terhadap banyaknya pertumbuhan mikroorganisme jamur yang diamati
dengan mikroskop.

A.2.1. Tujuan dan Manfaat Penalitian

A.2.1 Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penyebab kerusakan jaringan cadaver


khususnya terhadap perubahan morfologi warna dan kerusakan pada jaringan
cadaver di laboratorium FK.UKI.

A.2.2. Tujuan Khusus

• Untuk mengetahui apakah ada hubungan pertumbuhan jamur pada cadaver


terhadap perubahan morfologi warna jaringan cadaver di laboratorium FK.UKI

• Untuk mengetahui apakah ada hubungan pertumbuhan bakteri pada cadaver


terhadap perubahan kerusakan jaringan cadaver di laboratorium FK.UKI .
A.2.3. Manfaat bagi instutusi (fakultas)

Laporan penelitian ini diharapkan mampu menjadi tambahan rujukan ilmiah


dalam bidang pengetahuan embalming di Departemen Anatomi FK.UKI,
khususnya untuk mengetahui apakah penyebab rusaknya preparat cadaver di
laboratorium anatomi FK.UKI.
A.3.2. Manfaat bagi peneliti

Laporan hasil penelitian ini diharapkan menjadi jawaban tantangan untuk


melaksanakan penelitian terkait di indonesia mengenai alternatif lain dalam
pengawetan cadaver sehingga didapat preparat yang baek mutunya

A.4.2. Manfaat bagi Keilmuan

• Hasil laporan penelitian ini diharapkan mampu menjadi tambahan rujukan ilmiah
dalam menjawab kesenjangan/inkonsistensi dalam laporan hasil terdahulu

• Menambah pengetahuan di bidang anatomi tentang biomedik dan Mananjemen


Laboratorium Anatomi tentang teknik pengawetan yang lebih aman dan baik
hasilnya
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

• 1. B.1. EMBALMING

Embalming (pengawetan jenazah) adalah suatu proses dimana dilakukan


pemberian bermacam-macam bahan kimia tertentu pada interior dan eksterior
jaringan orang mati (menghambat dekomposisi jaringan) dan membuat serta
menjaganya tetap mirip dengan kondisi sewaktu hidup sesuai dengan waktu yang
diperlukan dengan kata lain, embalming adalah proses kimiawi yang melindungi
jasad atau tubuh secara sementara.9,10

Orang yang melakukan tindakan embalming disebut embalmer. Embalmer adalah


seorang individu yang memenuhi syarat untuk disinfeksi atau memelihara jenazah
dengan suntikan atau aplikasi eksternal antiseptik, desinfektan atau cairan
pengawet, mempersiapkan jenazah untuk transportasi dalam kasus dimana
kematian disebabkan oleh penyakit menular atau infeksi.11

B. 2.1. Bahan Kimia Embalming

B.2.1. Formaldehida

Senyawa kimia formaldehida (metanal), merupakan aldehida berbentuk


gas dengan rumus kimia H2CO. Formaldehida dihasilkan dari pembakaran
bahan yang mengandung karbon. Formaldehida dalam kadar kecil sekali juga
dihasilkan sebagai metabolit kebanyakan organisme, termasuk manusia.

B.2.2. Etil Alkohol dan Polietilen Glikol (Kryofix)

Alternatif formaldehida dalam embalming dikenalkan oleh Boon dkk.


Kryofix dikembangkan di Belanda, merupakan gabungan antara etil alkohol
dan polietilen glikol tanpa aldehid. Efek kryofix pada fiksasi jaringan telah
dibandingkan dengan formaldehid di laboratorium patologi. Waktu fiksasi
kryofix lebih pendek dan lebih baik dibandingkan formaldehid. Hal ini
berhasil pada uji di laboratorium. Dengan demikian, penggunaan kryofix
pada jaringan yang besar diperlukan untuk menentukan keberhasilan kryofix
dalam proses embalming. Menurut definisi toksisitas OSHA, etil alkohol dan
polietilen glikol tidak termasuk bahan kimia berbahaya.12,13

B.2.2. Indikasi dan Kontraindikasi

B.2.2.1.Indikasi Embalming

• Adanya penundaan penguburan atau kremasi lebih dari 24 jam: Hal ini
penting karena di Indonesia yang beriklim tropis, dalam 24 jam mayat
sudah mulai membusuk, mengeluarkan bau, dan cairan pembusukan yang
dapat mencemari lingkungan sekitarnya.

• Jenazah perlu dibawa ke tempat lain: Untuk dapat mengangkut jenazah


dari suatu tempat ke tempat lain, harus dijamin bahwa jenazah tersebut
aman, artinya tidak berbau, tidak menularkan bibit penyakit ke sekitarnya
selama proses pengangkutan. Dalam hal ini perusahaan pengangkutan,
demi reputasinya dan untuk mencegah adanya gugatan di belakang hari,
harus mensyaratkan bahwa jenazah akan diangkut telah diawetkan secara
baik, yang dibuktikan oleh suatu sertifikat pengawetan.

B.2.2.2. Kontraindikasi Embaling

Embalming di Indonesia tidak dapat dilakukan pada kematian tidak


wajar sebelum dilakukan autopsi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya
kesulitan penyidikan karena adanya bukti-bukti tindak pidana yang hilang
atau berubah dan karenanya dapat dikenakan sanksi pidana penghilangan
benda bukti berdasarkan pasal 233 KUHP. Oleh karena itu setiap kematian
tidak wajar menjadi kontra indikasi embalming.14

B.2.3. Embalming Modern

Metode modern embalming didefinisikan sebagai desinfeksi dan


pelestarian tubuh yang sudah mati. Proses embalming modern dirancang
untuk menghambat dekomposisi jaringan untuk periode waktu yang
diperlukan sebagaimana yang diinginkan oleh keluarga agar jenazah
berada dalam kondisi yang baik. Embalming modern telah terbukti mampu
menjaga tubuh utuh selama beberapa dekade.

Embalming merupakan sebuah "fiksasi" kimia protein sel. Secara prinsip


formaldehida pada dasarnya bereaksi dengan Albumin. Formal dehid larut
dalam sel dan mengkonversinya menjadi untuk albuminoids atau gel, saat
yang sama, bakteri dihancurkan, sehingga menghentikan atau setidaknya
menunda dekomposisi pada jenazah. Setelah embalming selesai, jaringan
hanya dapat diserang oleh udara yang membawa bakteri dan jamur yang
pada akhirnya dapat menghancurkan tubuh dengan terpapar udara dan
kelembaban yang cukup untuk mendukung hadir pertumbuhan bakteri dan
jamur.

Embalming modern dilakukan dengan menggunakan cairan embalming


yang bersifat disinfektan dan pengawet. Cairan embalming disuntikkan ke
dalam sistem peredaran darah tubuh dengan pompa listrik, sementara darah
dikeluarkan dari tubuh dan dibuang. Sehingga posisi darah di tubuh diganti
dengan disinfektan dan cairan pengawet.

B.2.4. Tujuan Embalming


Ada tiga alasan mengapa dilakukannya modern embalming, yaitu:
• Desinfeksi.

Saat seseorang meninggal, beberapa patogen akan ikut mati, namun


sebagian besar masih dapat bertahan hidup karena memiliki
kemampuan untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama dalam
jaringan mati. Orang yang datang dan kontak langsung dengan tubuh
jenazah yang tidak embalming dapat terinfeksi serta ada
kemungkinan menjadi lalat atau agen lain mentransfer patogen untuk
manusia dan menginfeksi mereka.

• Pelestarian
Pelestarian, yaitu upaya pencegahan pembusukan dan dekomposisi
jenazah, sehingga jenazah di dikuburkan, dikremasikan tanpa bau
atau hal-hal yang tidak menyenangkan lainnya.

• Restorasi

Restorasi, yaitu upaya untuk mengembalikan keadaan tubuh jenazah


kembali seperti masih hidup.15

B .3. JAMUR
Fungi adalah organism heterotrof yang memerlukan senyawa organik untuk
nutrisinya. Bila mereka hidup dari benda organic mati yang terlarut, mereka disebut
safrofit. Safrofit menghancurkan sisa-sisa tumbuhan dan hewan kompleks,
menguraikannya menjadi zat-zat kimia yang lebih sederhana, yang kemudian
dikembalikan ke dalam tanah, dan selanjutnya meningkatkan kesuburannya. Jadi
mereka dapat sangat menguntungan kita bilamana membusukkan kayu, tekstil,
makanan dan bahan-bahan lain. Jamur merupakan kelompok organisme eukariotik
yang membentuk dunia jamur atau regnum fungi. Jamur pada umumnya
multiseluler (bersel banyak). Ciri-ciri jamur berbeda dengan organisme lainnya
dalam hal cara makan, struktur tubuh, pertumbuhan, dan reproduksinya.16

B. 3.1 Morfologi Fungi


Struktur tubuh jamur tergantung pada jenisnya. Ada jamur yang satu sel,
misalnya khamir, ada pula jamur yang multiseluler membentuk tubuh buah besar
yang ukurannya mencapai satu meter, contohnya jamur kayu. Tubuh jamur
tersusun dari komponen dasar yang disebut hifa. Hifa membentuk jaringan yang
disebut miselium. Miselium menyusun jalinan-jalinan semu menjadi tubuh buah.
Pada umumnya sel kamir lebih besar daripada kebanyakan bakteri, tetapi khamir
yang paling kecil tidak sebesar bakteri yang terbesar.
Khamir sangat beragam ukuranya, berkisar antara 1 sampai 5 µm lebar dan
panjangnya dari 5 sampai 30 µm tau lebih. Biasanya berbentuk telur, tetapi
beberapa ada yang memanjang atau berbentuk bola. Setiap spesies mempunyai
bentuk yang khas.Tubuh atau talus, pada dasarnya memiliki dua bagian :
miselium dan spora (sel resisten, istirahat atau dorman). Miselium merupakan
kumpulan beberapa filament yang dianmakan hifa. Setiap hifa lebarnya 5 sampai
10µm, dibandingkan dengan sel bakteri yang biasanya berdiameter 1 µm.
Hifa adalah struktur menyerupai benang yang tersusun dari dinding berbentuk
pipa. Dinding ini menyelubungi membran plasma dan sitoplasma hifa.
Sitoplasmanya mengandung organel eukariotik. Kebanyakan hifa dibatasi oleh
dinding melintang atau septa. Septa mempunyai pori besar yang cukup untuk
dilewati ribosom, mitokondria, dan kadangkala inti sel yang mengalir dari sel ke
sel. Akan tetapi, adapula hifa yang tidak bersepta atau hifa senositik. Struktur
hifa senositik dihasilkan oleh pembelahan inti sel berkali-kali yang tidak diikuti
dengan pembelahan sitoplasma. Hifa pada jamur yang bersifat parasit biasanya
mengalami modifikasi menjadi haustoria yang merupakan organ penyerap
makanan dari substrat; haustoria dapat menembus jaringan substrat.17,18

B.3.1.1 Ada tiga macam morfologi hifa, yaitu :


• Aseptat atau senosit. Hifa seperti ini tidak mempunyai dindingsekat atau
septum.
• Septet dengan sel-sel uninukleat. Sekat membagi hifa menjadi ruang-
ruang atau sel-sel berisi nucleus tunggal. Pada setiap septum terdapat pori
ditengah-tengah yang memungkinkan perpindahan nucleus atau
sitoplasma dari satu ruang ke ruang lain. Sungguhpun setiap ruang suatu
hifa yang bersekat tidak terbatasi oleh suatu membrane sebagaimana
halnya pada sel yang khas.

• Septet dengan sel-sel multinukleat. Septum membagi hifa menjadi sel-sel


dengan lebih dari satu nucleus dalam setiap ruang.Miselium dapat
vegetative (somatic) atau reprodutif. Beberapa hifa dari miselium somatic
menembus ke dalam medium untuk mendapatkan zat makanan. Miselium
reproduksi bertanggungjawab untuk pembentukan spora dan biasanya
tumbuh meluar ke udara dari mideum.19
B.3.1.2. Cara Hidup Fungi
Semua jenis jamur bersifat heterotrof. Namun, berbeda dengan
organisme lainnya, jamur tidak memangsa dan mencernakan makanan.
Untuk memperoleh makanan, jamur menyerap zat organik dari lingkungan
melalui hifa dan miseliumnya, kemudian menyimpannya dalam bentuk
glikogen. Oleh karena jamur merupakan konsumen maka jamur bergantung
pada substrat yang menyediakan karbohidrat, protein, vitamin, dan senyawa
kimia lainnya. Semua zat itu diperoleh dari lingkungannya. Sebagai
makhluk heterotrof, jamur dapat bersifat parasit obligat, parasit fakultatif,
atau saprofit.

B.3.1.3. Parasit Obligat

Parasit obligat merupakan sifat jamur yang hanya dapat hidup pada
inangnya sedangkan di luar inangnya tidak dapat hidup. Misalnya,
Pneumonia carinii (khamir yang menginfeksi paru-paru penderita AIDS).
B.3.1.4. Parasit fakultatif
Parasit fakultatif adalah jamur yang bersifat parasit jika mendapatkan
inang yang, tetapi bersifat saprofit jika tidak mendapatkan inang yang
cocok.

B.3.1.5. Saprofit
Saprofit merupakan jamur pelapuk dan pengubah susunan zat organik
yang mati. Jamur saprofit menyerap makanannya dari organisme yang
telah mati seperti kayu tumbang dan buah jatuh. Sebagian besar jamur
saprofit mengeluar-kan enzim hidrolase pada substrat makanan untuk
mendekomposisi molekul kompleks menjadi molekul sederhana
sehinggamudah diserap oleh hifa. Selain itu, hifa dapat juga langsung
menyerap bahanbahan organik dalam bentuk sederhana yang oleh
inangnya.
Jamur merupakan tumbuhan yang tidak mempunyai klorofil
sehingga bersifat heterotrof, tipe sel: sel eukarotik. Jamur ada yang
uniseluler dan multiseluler. Tubuhnya terdiri dari benang-benang yang
disebut hifa, hifa dapat membentuk anyaman bercabang-cabang yang
disebut miselium. Reproduksi jamur, ada yang dengan cara vegetatif ada
pula dengan cara generatif.20
Fungi dibagi atas 6 divisio yaitu :

1. Myxomycotina (Jamur lendir)


Myxomycotina merupakan jamur yang paling sederhana. Mempunyai 2
fase hidup, yaitu:
• fase vegetatif (fase lendir) yang dapat bergerak seperti
amuba, disebut plasmodium
• fase tubuh buah
Reproduksi : secara vegetatif dengan spora, yaitu sporakembara yang
disebut myxoflagelata. Contoh spesies : Physarum polycephalum.

2. Oomycotina
Tubuhnya terdiri atas hifa tidak bersekat, bercabang-cabang dan
mengandung banyak inti reproduksi
• Vegetatif : yang hidup di air dengan zoospora yang hidup di
darat dengan sporangium dan konidia.
• Generatif : bersatunya gamet jantan dan betina membentuk
oospora yang selanjutnya tumbuh menjadi individu baru.13
Contoh spesies:
• Saprolegnia sp. : hidup saprofit pada bangkai ikan, serangga
darat maupun serangga air
• Phytophora infestans: penyebab penyakit busuk pada
kentang.
• Ascomycotina
Organism ini dapat hidup sebagai saprofit pada selaput-
selaput lender pada kebanyakan orang tanpa menyebabkan
penyakit. Namun demikian, apabila inangnya lemah karena
suatu penyakit akan menyababkan infeksi.
Contoh spesies:
• Sacharomyces cerevisae:sehari-hari dikenal sebagai
ragi. berguna untuk membuat bir, roti maupun
alkohol. Mampu mengubah glukosa menjadi
alkohol dan CO2 dengan proses fermentasi.
• Neurospora sitophila:jamur oncom.
• Peniciliium noJaJum dan Penicillium chrysogenum
penghasil antibiotika penisilin.
• Penicillium camemberti dan Penicillium roqueforti
berguna untuk mengharumkan keju.
• Aspergillus oryzae untuk membuat sake dan kecap
• Aspergillus wentii untuk membuat kecap
• Aspergillus flavus menghasilkan racun aflatoksin
hidup pada biji-bijian, flatoksin salah satu penyebab
kanker hati.
• Claviceps purpurea hidup sebagai parasit padabakal
buah Gramineae
3. Basidiomycotina
Basidiomycotina dicirikan oleh adanya basidispora yang
terbentuk di luar pada ujung atau sisi basidium. Basidiomycotina
yang banyak dikenal meliputi jamur, jamur papan pada pepohonan,
dan jamur karat serta jamur gosong. Basidiokraf yang mengandung
basidia bersama basidiosporanya. Ciri khasnya alat repoduksi
generatifnya berupa basidium sebagaibadan penghasil spora.
Kebanyalcan anggota spesies berukuran makroskopik.
Contoh spesies:
• Volvariella volvacea :jamur merang, dapat dimakan dan
sudah dibudidayakan
• Auricularia polytricha : jamur kuping, dapat dimakan dan
sudah dibudidayakan
• Exobasidium vexans : parasit pada pohon teh penyebab
penyakit cacar daun teh atau blister blight.
• Amanita muscaria dan Amanita phalloides: jamur beracun,
habitat di daerah subtropics
• Ustilago maydis :jamur api, parasit pada jagung.
• Puccinia graminis :jamur karat, parasit pada gandum

4. Deutromycotina
Kelas ini meliputi jamur yang tingkat reproduksinya seksualnya
belum ditemukan. Sebagian besar jamur yang patogenik pada
manusia adalah deuteromycotina. Nama lainnya Fungi Imperfecti
(jamur tidak sempurna) dinamakan demikian karena pada jamur ini
belum diketahui dengan pasti cara pembiakan secara generatif.21
BAB III

III. 4.1. Rencana Riset

4.1.1. Desain Penelitian :


Penelitian ini merupakan penelitian true experimental yang
menggunakan bagian otot extremitas inferior cadaver yaitu otot
gastrocnemius dan otot quadrices femoris

4.1.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian akan dilakukan di Jakarta, Departemen Anatomi
kedokteran universitas Kristen Indonesia, Departemen
Parasitologi dan Mikrobiologi Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia. Penelitian akan dilakukan pada
bulan september 2017 – bulan Desember 2017; setelah proposal
thesis disetujui oleh Dewan Penguji dan Komite Etik

• Subjek penelitian :
Menggunakan cadaver bagaian regio extremitas inferior otot
gastrocenemius dan Quadratus femoris
n = (t-1)(r-1) > 15
t = jumlah perlakuan 2
• Kerokan pada otot gastrocnemius
• Kerokan pada otot quadricef femoris

n = (2-1)(r-1) > 15 , r = 16
n = 32 sampel

4.1.3. Kriteria inklusi:


• Cadaver lengkap otot extremitas inferior
• Anatomi cadaver normal

• Kriteria eksklusi:
• Cadaver tidak busuk dan rusak sebelum penelitian
• Tidak ada perubahan warna dan kontaminasi jamur atu bakteri
dari luar
• Variabel Penelitian
• Variabel independen dalam penelitian ini adalah
pemeriksaan jamur.
• Variabel dependen dalam penelitian ini adalah profil jamur

III.4.2. Defenisi Operasional


• Jamur adalah suatu mikroorganisme yang dapat tumbuh dan berkembang
pada jaringan cadaver dilaboratorium anatomi yang dapat diperiksa dengan
pemeriksaan agar SDA
• Pemeriksaan agar SDA adalah suatu teknik pemeriksaan mikroskopi
dengan menggunakan agar Sabouraud Dekstrosa yang dilakukan untuk
mengamati pertumbuhan jamur di jaringan cadaver dan pemeriksaan yang
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x dan perbesaran 40x
dengan pemeriksaan terhadap spora dan hifa pada preparat yang telah
dibuat.
• Cadaver adalah jenazah yang telah dilakukan proses pengawetan dengan
teknik embalming dan tujuannya untuk digunakan dalam proses belajar
dianatomi. Cadaver ini yang akan dilakukan kerokan pada jaringannya
untuk dilakukan pemeriksaan agar SDA.
• Embalming adalah suatu pengawetan jaringan cadaver di laboratorium
anatomi yang ditujukan untuk membantu proses pembelajaran pelajaran
anatomi jaringan otot, pembuluh darah, saraf, dan jaringan tulang.
III.4.3. Metode dan Bahan penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan sampel kerokan jaringan dari
jaringan kulit otot gastrocnemius dan otot quardricef femoris cadaver di
laboratorium anatomi FK.UKI

III.4.3.1. Metode pengambilan sampel


III.4.3.1.1. Alat dan Bahan
• Kerokan kulit regio cruris
• gunting,
• pinset,
• scapel,
• tabung dan gelas beker
• kaca objek
• Formalin 70%
• pepton

III.4.3.1.2. Metode kerja


Identifikasi bagian regio extremitas inferior dari jaringan
cadaver. Tandai dan bersihkan dengan alkhol 70% bagian otot
Quadricef Femoris dan otot Gastrocnemius yang akan diambil dan
dipilih untuk dilakukan pengambilan sampel pada penelitian.
Lakukan pengambilan sampel dengan melakukan kerokan pada
jaringan kulit regio extremitas inferior pada bagian kulit otot
quadricef femoris dan otot gastrocnemius dengan menggunakan
scapel secara bertahap sehingga didapatkan sampel objek yang
akan diteliti. Letakan kedalam tabung yang telah berisi pepton dan
bungkus untuk menghidarikan kontaminasi dari luar. Tabung yang
berisi sampel dan pepton selanjutnya dilakukan pemeriksaan spora
dan hifa pada jaringan tersebut dengan metode agar SDA.
III.4.4. Analisis Pertumbuhan Jamur metode Agar SDA
III.4.4.1. Alat dan Bahan
• Scapel
• Gelas obyek dan penutup
• Lampu Busen
• Cawan Petri Steril
• SDA
• Ose Tusuk
• Sampel
• Inkubator

III.4.4.2. Metode Kerja


• Membuat media PDA / SDA

• Timbang PDA 4,68 gram dengan timbangan analitik


PDA = x 120 = 4,68 gram

• Masukkan dalam beaker glass dan tambahkan 120 ml


aquadest

• Panaskan di kompor listrik sambil diaduk sesekali


sampai warnanya menjadi kuning
• Tuang dalam erlenmeyer lalu tutup dengan kapas dan
aluminiumfoil,ikat dengan tali rami

• Sterilkan pada autoclave

• Letakkan pad waterbath ukur suhunya sampai 55o C

• Ambil 1 ml sampel dalam tabung yang telah berisi sampel kerokan


kulit dengan pepton kemudian masukkan ke dalam petriish steril

• Tuang dengan media PDA suhu 55°C ± 15 ml secara steril

• Biakan dan eramkan pada incubator suhu 37°C selama 5-7 hari

• Amati secara makroskopis dan secara mikroskopis jamur yang


tumbuh

• Untuk secara micros ambil sedikit dengan scapel bagian media


yang ditumbuhi jamur

• Letakkan diatas object glass lalu ditetesi satu tetes larutan PZ

• Kemudian cacah dengan scapel hingga terlihat kecil-kecil

• Fiksasi sebanyak 3x diatas bunsen

• Lalu tutup dengan cover glass

• Periksa pada mikroskop perbesaran 10x-40x

• Amati dan catat hasilnyaPengamatan preparat awetan (preparat


kering) perbesaran 10x lensa objektif penambahan minyak emersi
perbesaran 40x lensa objektif .22

Hasil pengamatan :

Hasil positif = Ditemukan adanya bentuk hifa dan spora


pada preparat.
Hasil negatif = Tidak ditemukan adanya bentuk hifa dan
spora pada preparat.

III.5. KERANGKA TEORI


III.6. ALUR PENELITIAN
DAFTAR PUSTAKA

• Rivers RL. Embalming Artifacts. J Forensic Sci, 1978;23:531-5.


• Malhotra R, Kathrotia R, Goel A, Singh Y. Embalming Fluid - a Poisonous Preservation
Potion : Effects on Pulmonary Functions of Students. Int J Anat Res [Internet].
2017;5(2):3809–12.
• Ishii K, Hitosugi M, Kido M, Yaguchi T, Nishimura K, Hosoya T, et al. Analysis of fungi
detected in human cadavers. Leg Med. 2006;8(3):188–90.
• Tabaac B, Goldberg G, Alvarez L, Amin M, Shupe-Ricksecker K, Gomez F. Bacteria
detected on surfaces of formalin fixed anatomy cadavers. Ital J Anat Embryol.
2013;118(1):1–5.
• Azuma K, Uchiyama I, Ikeda K. The risk management for indoor air pollution caused by
formaldehyde in housing. Elmualim AA, ed. Facilities. 2006;24(11/12):420-429.
• Vimercati L, Carrus a, Martino T, et al. Formaldehyde exposure and irritative effects on
medical examiners, pathologic anatomy post-graduate students and technicians. Iran J
Public Health. 2010;39(4):26-34.
• May P. Potential Health Hazards for Students Exposed to Formaldehyde in the Gross
Anatomy Laboratory. 2011;74(6):36-41
• Executive S, Substances H. Formaldehyde in air. Read. 1994:3-6.
• Embalming Process. Cited On 2012. Available from: http:// www.amsocembalmers.org
• Australian Funeral Direction Association. So You Want To Be Embalmers. Cited On 2012.
• Bedino HJ. Embalming Chemistry: Glutaraldehyde versus Formaldehyde. Champion:
Expanding Encyclopedia Of Mortuary Practices, 2003;649:2614-32.
• Mayer RG. Embalming: History, Theory, and Practice.New York: McGraw-Hill. 2012.
• Bradbury SA, Hoshino k An improved embalming procedure for long lasting preservation
of the cadaver for anatomical studies Acta Anat ( Basel) 1978;101:97-103.
• Atmadja SD. Tatacara dan Pelayanan Pemeriksaan Serta Pengawetan Jenazah Pada
Kematian Wajar. Cited On 2012.
• Bajracharya S, Magar A. Embalming: An art of preserving human body. Kathmandu
University Medical Journal, 2006;4(16):554-7.
• Castrillo, L.A., Roberts D. W., and Vandenberg. J. D. 2005. The Fungal Past, Presen, and
Future: Germination, Ramification and Reproduction. Journal of Invertebrate Phatology 89:
46-56.
• Dinata, A.J. 2012. Pathogenic Fungi and Bacteria. Common wealth Agricultural Bureaux.
England. 233pp.
• Pelczar., Michael J. dan E. C. S. Chan, 2008. Dasar-dasar Mikroorganisme. Universitas
Indonesia Press. Jakarta
• Prasetyoputri, A dan Atmosukarto, I, 2006. Mikroba endofit. Bio Trends: Pusat penelitian
Bioteknologi – LIPI. Cibinong. 1: 13-15.
• Suryanto, D., Siti K.N. and Erman M. 2012. Antimicrobial Activity of Some Bacterial
Isolates natural Recreational Park of North Sumatera, Indonesia. Bulletin of Envi Phar and
Life Sci.1: 1-7.
• Kawuri, R., Y. Ramona dan I. B. G. Darmayasa. 2007. Penuntun Praktikum Mikrobiologi
Farmasi. Jurusan Biologi F. MIPA UNUD
• Singleton dan Sainsbury, 2006. Dictionary of Microbiology and Molecular Biology
3rdEdition. John Wiley and Sons Inc. Sussex, England.

Anda mungkin juga menyukai