Anda di halaman 1dari 6

SINGLE PARENT MENYIAPKAN KEMANDIRIAN ANAK

Pada sekitar awal tahun 2000, program infotainment di berbagai stasiun televisi swasta mulai banyak
didominasi berita perceraian para selebriti Indonesia. Berita-berita itu menampilkan makin banyaknya
perempuan yang punya keberanian menggugat cerai sang suami dengan berbagai alasan. Satu hal yang
masih dianggap tidak biasa pada dekade 80-an. Banyak perempuan yang terpaksa bertahan dalam
ketidakharmonisan keluarga karena takut menerima sanksi sosial masyarakat terhadap statusnya
sebagai janda. Selain secara agama tidak disukai, secara sosial perempuan janda cerai mendapat stigma
buruk. Bagi sementara laki-laki, janda dianggap sebagai perempuan yang mudah “diajak”, dan bagi
perempuan bersuami, janda sering dianggap sebagai ancaman bagi keutuhan keluarganya. Sebuah
pilihan yang sulit dan dilematis bagi perempuan, apalagi jika dia tidak memiliki kemandirian ekonomi.
Setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi keberanian para perempuan untuk menceraikan
suaminya. Pertama, kemandirian ekonomi membuatnya tak lagi tergantung pada suami. Bahkan akhir-
akhir ini nampak adanya gejala kekerasan ekonomi yang dilakukan suami, di mana suami tidak
memenuhi kewajibannya menafkahi istri. Kedua, masyarakat semakin permisif menerima kehadiran
perempuan janda cerai mengingat banyaknya kasus kekerasan suami terhadap istri dan perselingkuhan
dalam rumah tangga. Masyarakat mulai melihat alasan penyebab perceraian dari pada hanya
menempelkan stigma buruk pada janda cerai.
Tak bisa dipungkiri, perceraian akan berdampak buruk pada anak-anak. Keluarga yang tidak lengkap
menimbulkan rasa tidak aman pada diri sang anak. Ketiadaan salah satu figur orang tua mempengaruhi
kematangan pribadi anak. Selain itu akan tumbuh pula rasa minder dan takut dikucilkan masyarakat jika
sampai diketahui orangtuanya bercerai.
Istilah single parent adalah bahwa hanya ada satu orang tua yang mengasuh dan mendidik anak, baik ibu
maupun bapak. Saat ini sepertinya istilah ini bergeser menempatkan ibu sebagai single parent.
Barangkali karena kebanyakan anak-anak akan berada dalam pengasuhan ibu setelah putusan cerai
dijatuhkan. Sangat jarang pengadilan menetapkan hak asuh anak di tangan bapak. Hanya pada kasus-
kasus tertentu di mana seorang ibu dinilai tak layak mengasuh dan mendidik anak barulah hak
pengasuhan beralih ke tangan bapak.
Seorang ibu yang mempunyai posisi sebagai single parent mempunyai beban dan tanggung jawab yang
berat karena dia harus memegang dua peran sekaligus yaitu sebagai ibu yang harus mengasuh dan
mendidik anak juga menggantikan figur bapak yang harus mencari nafkah.

Dampak Sosio Psikologis


Keadaan yang timbul dari fenomena single parent tersebut dapat berpengaruh secara timbal balik
terhadap hubungan ibu dengan anaknya maupun hubungan anak dengan ibu.
1. Dampak Sosio-Psikologis terhadap Figur Ibu
Ibu yang memikul dua peran mempunyai kasih sayang yang berlebihan kepada anaknya yang disertai
kekhawatiran yang juga berlebihan sehingga mendorongnya memberikan perlindungan yang berlebihan
(over protection). Ibu selalu ingin berbuat lebih banyak untuk anaknya. Apalagi kondisi yang menimpa
anak itu akhirnya menimbulkan rasa kasihan ibu. Muncul ketakutan-ketakutan lainnya, seperti takut
kalau anaknya menjadi minder terhadap teman-teman sebayanya dan yang lebih ekstrim adalah takut
kalau anaknya dikucilkan oleh masyarakat atau lingkungan di mana mereka tinggal. Walaupun ibu
menunjukkan sikap over protection terhadap anak , di luar dia nampak berwatak yang keras dan ulet.
Banyak yang mencari pelarian dengan kesibukan-kesibukan di luar rumah. Banyak pula yang tidak
menyukai laki-laki atau figur bapak di dalam keluarganya.
2. Dampak Sosio-Psikologis terhadap Hubungan Anak dengan Ibu
Dengan adanya perlindungan yang berlebihan dari ibu maka dampak yang dialami anak tersebut adalah
rasa ketergantungan yang besar, kurang percaya diri, takut sendirian. Rasa itu akan dialami si anak
tersebut sampai ia dewasa bahkan mungkin sampai seumur hidupnya. Di sisi lain akan muncul pula
kelompok anak yang berhasil menjadi anak yang percaya diri, tahan banting, tidak cengeng dan mandiri.
Hal itu akan sangat tergantung pada pola asuh yang diterapkan ibu. Apakah ibu akan
memperlakukannya sebagai makhluk lemah yang harus selalu dilindungi atau dikasihani ? Apakah ibu
memberinya kesempatan untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa anak-anak dari seorang single
parent mampu berprestasi dan berperilaku yang lebih baik dari anak-anak dari keluarga yang utuh.

Menyiapkan Kemandirian Anak


Kesulitan untuk menyiapkan kemandirian anak sebenarnya merupakan masalah yang umum dihadapi
sebuah keluarga. Orang tua yang secara ekonomi mapan bisa menggaji banyak pelayan untuk anak-
anaknya. Pada akhirnya anak-anak ini pun akan jauh dari kemandirian karena semuanya serba dilayani.
Orang tua yang mempunyai banyak waktu luang juga menunjukkan kecenderungan untuk melayani sang
anak dengan alasan kasihan melihat beban pelajaran dan kegiatan anak di sekolah yang sedemikian
berat untuk dipikul anak sendiri. Sementara seorang single parent dengan sikap over protection-nya juga
menjauhkan anak-anaknya dari kemandirian.
Anak yang mandiri adalah anak yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri karena merasa aman
dan dihargai. Untuk melihat apakah rasa aman telah tumbuh dalam diri anak-anak, kita bisa melakukan
introspeksi apakah fungsi-fungsi keluarga telah terpenuhi.
Delapan fungsi keluarga menurut PP Nomor 21 Tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan
keluarga adalah seperti berikut ini :
1. Fungsi Keagamaan
2. Fungsi Sosial Budaya
3. Fungsi Cinta Kasih
4. Fungsi Melindungi
5. Fungsi reproduksi
6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan
7. Fungsi Ekonomi
8. Fungsi Pembinaan Lingkungan
Pada keluarga dengan single parent , fungsi cinta kasih dan melindungi yang terlalu berlebihan perlu
ditinjau ulang dan dikurangi porsinya. Masyarakat tidak sekejam yang dikhawatirkan. Makin banyaknya
anak-anak dari keluarga single parent membuatnya tak lagi merasa terlalu berbeda dengan teman-
temannya. Banyak contoh kesuksesan yang berhasil diraih anak-anak dari keluarga single parent
mungkin bisa dijadikan motivasi yang mendorong mereka untuk bisa juga meraih prestasi serupa.
Anak mandiri dan percaya diri bukanlah suatu keniscayaan bagi seorang single parent. Semua berpulang
pada pola asuh dan kerelaan untuk memperlakukan anak secara wajar. Ketakutan dan kekhawatiran
akan pengucilan masyarakat dan pandangan miring terhadap anak single parent nampaknya tak perlu
terlalu dibesar-besarkan lagi.

posted by YuniRetnowati @ 2:32 AM 6 comments

PERTIMBANGAN ETIS DALAM BERIKLAN


Periklanan tetap saja hadir di tengah-tengah kita dengan kekuatannya yang semakin dahsyat dan cara
bekerjanya menjadi sesuatu yang terus menerus mengandung misteri. Sulit dipercaya bahwa hampir
satu setengah tahun dari kehidupan kita , kita habiskan hanya untuk menonton iklan.
Marshall Mc. Luhan pernah mengatakan bahwa kemunculan industri periklanan telah membangkitkan
kekhawatiran masyarakat tentang adanya unsur ketidakjujuran atau pembohongan di bidang usaha ini.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa industri periklanan berusaha membuat masyarakat menjadi
masyarakat kolektif yang otomatis terprogram terhadap produk yang diiklankan. Pesan iklan
mengandung beberapa aspek seperti image gambar dan juga suara yang secara keseluruhan merupakan
konstruksi utuh yang mampu membujuk, mempengaruhi dan mengubah persepsi. Karena
kespesifikannya inilah maka industri periklanan tidak mampu melepaskan diri dari rasa kecurigaan
masyarakat terhadap kejujurannya. Ditambah lagi semangat kompetisi yang secara amat keras dipacu
telah menyebabkan terjadinya kreativitas yang melanggar etika, sengaja atau tidak.
Kritik terhadap dunia periklanan sampai saat ini masih berkisar pada kata-kata “bohong, manipulasi,
melanggar budaya,” dan sebagainya. Kita dapat memahami kritik-kritik tersebut tapi sulit menerima
iatilah “bohong atau menipu” karena periklanan seharusnya mengandung unsur informasi sekaligus
unsur persuasi. Jika dikaitkan dengan masalah etika, bentuk ekstrim dari segi moral yang terkandung
dalam unsur informasi adalah nilai-nilai “benar” (right ) dan “salah” (wrong). Sedangkan bagi unsur
persuasi adalah nilai-nilai “baik” (good) dan “buruk” (bad). Sejalan dengan ini, maka kita akan dengan
mudah mengatakan bahwa benar atau salahnya suatu iklan, banyak tergantung pada segi informasinya.
Begitu pula baik buruknya suatu iklan sebenarnya tergantung pada unsur persuasinya. Dapat dikatakan
bahwa iklan yang beretika adalah iklan yang benar informasinya dan baik persuasinya.
Menurut Katherine T. Frith, seorang doktor dari Universitas Massachusetts, “advertising creates
illusions”, Iklan tak seperti pemberitaan yang menampilkan fakta semata, iklan merepresentasikan fakta
dan fiksi. Seperti halnya menjual produk atau jasa, para pengiklan selalu menampilkan sisi terbaik
produknya kepada masyarakat.
Ada juga yang mengatakan bahwa advertising menyebarkan wabah gaya hidup “western” dan akan
menindas serta mengubah tata nilai dan kultur lokal. Lantas timbul pertanyaan di benak kita, bisakah
pekerja kreatif periklanan disebut jempolan jika pesan iklan yang diciptakannya tak mampu
berkomunikasi dengan kultur yang ada?
Pesatnya perkembangan teknologi informasi seperti penggunaan satelit, internet dan sebagainya
membuat dunia ini nyaris tanpa batas. Pertumbuhan yang sedemikian cepat itu membawa hikmah
positif sekaligus beban moril yang tidak kecil. Adalah sesuatu yang lumrah bila pertumbuhan yang cepat
diikuti dengan deregulasi memacu persaingan yang ketat pula. Akibat perputaran yang semakin cepat
pula maka etika-etika yang berlaku sering atau sengaja dilupakan berbagai pihak.
Ukuran keberhasilan memasang iklan adalah sejauh mana iklan itu meningkatkan permintaan. Dalam
kasus ini, segi pandang bergeser dari apa yang terbaik dalam jangka panjang bagi masyarakat menjadi
apa yang terbaik untuk jangka pendek bagi perusahaan. Etika baik untuk keamanan tapi pangsa pasar
yang lebih besar adalah apa yang dibutuhkan perusahaan yang sedang merosot.
Bagi PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) sendiri, pelanggaran tata krama bukan soal
kentara atau tidak tapi lebih pada soal kepekaan sosial dan kultural para anggotanya. Para pengurus
PPPI selalu menekankan bahwa kepekaan memahami masyarakat adalah bagian dari profesionalitas
insan periklanan Indonesia. Jadi nampak bahwa profesionalitas tidak hanya ditentukan dari kemampuan
teknis belaka.
Praktisi yang bekerja di biro iklan kerap menghadapi dilema dalam menjalankan pekerjaannya. Tidak
hanya dalam hal bagaimana menyiapkan pesan periklanan dan praktek kerja di bidang periklanan tapi
juga dalam mempertimbangkan kelayakan jenis produk atau layanan yang diiklankan. Tuntutan
pekerjaan memaksa mereka untuk mengabaikan pendapat dan sikap pribadi berkenaan dengan
pertimbangan etis dalam beriklan. Keinginan untuk mempertahankan klien yang pada akhirnya
membantu perusahaan memperoleh pemasukan dari dana periklanan membuat mereka terkadang
terpaksa mengesampingkan pertimbangan etis dalam beriklan.

Fungsi dan Tujuan Iklan


Iklan adalah setiap bentuk penyajian dan promosi non individu mengenai gagasan, barang atau jasa
melalui media komunikasi massa yang dibayar oleh sponsor tertentu dan digunakan untuk menarik
perhatian khalayak. (Jefkin, 1998)
Iklan mempunyai beberapa fungsi, yaitu (1). Fungsi Pemasaran, (2). Fungsi Komunikasi, (3). Fungsi
Pendidikan (4). Fungsi Ekonomi, dan (5). Fungsi Sosial.
Iklan bertujuan untuk memberikan informasi sekaligus bersifat membujuk atau persuasif. Sifat persuasif
inilah yang membedakan iklan dengan bentuk komunikasi lainnya. Sering terjadi suatu bentuk persuasi
berkembang menjadi manipulasi. Masuknya persuasi yang membabi buta hingga cenderung menjadi
manipulasi pastilah sudah melebihi batas toleransi tentang etika bisnis yang amoral.
Menurut Huntley Baldwin (1985), basic style iklan meliputi segi (1). Rational , (2). Emotional, (3). Serious,
(4). Humorous, (5). Realistic, dan (6). Exaggerated. Dari keenam hal tersebut nantinya akan
mempengaruhi tata cara pembuatan naskah iklan. Sebuah iklan selain harus mampu meningkatkan
penjualan, harus cukup fashionable, dalam arti mampu mengikuti perkembangan jaman.

Etika Periklanan
Kata-kata etika sering disebut “etis” saja. Karena itu etis merupakan pencerminan dari pandangan
masyarakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk serta membedakan sikap atau perilaku yang
dapat diterima dengan yang ditolak guna mencapai kebaikan dalam hidup bersama.
Etis menyangkut nilai sosial budaya yang telah disepakati masyarakat tersebut sebagai norma yang
dipakai bersama. Karena nilai yang disepakati bersama tidak selalu sama pada semua masyarakat maka
norma etis berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
Etika pada dasarnya merupakan dialektika antara kebebasan dan tanggung jawab, antara tujuan yang
hendak dicapai dan cara untuk mencapai tujuan itu. Ia berkaitan dengan penilaian tentang perilaku
benar atau tidak benar, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas, yang berguna atau
tidak berguna, dan yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Kita berhadapan dengan masalah etika kapan saja kita melakukan tindakan yang mempengaruhi orang
lain. Kegiatan periklanan adalah juga kegiatan mempengaruhi orang agar mau membeli produk atau jasa
yang diiklankan. Dengan demikian juga akan menghadapi masalah etika.
Kode Etik Periklanan yang termuat dalam Tata Cara dan Tata Krama Periklanan Indonesia (TTCKPI) , sejak
diikrarkan oleh komponen periklanan pada tahun 1981 sudah disempurnakan pada tahun 1996.
Penyempurnaan ini dilakukan karena maraknya pertumbuhan belanja iklan sejalan dengan munculnya
sejumlah TV swasta. Persaingan iklan yang kian sengit ternyata telah ikut mendorong karya cipta iklan ke
kawasan abu-abu (grey area). Sementara itu dengan semakin besarnya ekspose iklan ke hadapan
masyarakat membuatnya menjadi rentan terhadap kritik publik.
Sebenarnya substansi isi kode etik itu sudah sangat baik dna memuat hal-hal yang sifatnya konsisten
dengan International Code of Advertising Practice of the International Chamber of Commerce, yaitu
kitab suci self regulation dalam periklanan.
TCTKPI dalam Bab II A mengatakan bahwa iklan harus jujur, bertanggungjawab serta tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang berlaku. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau
merendahkan martabat, agama, tata susila, adat dan budaya, suku dan golongan. Iklan juga harus dijiwai
oleh asas persaingan yang sehat.
Pemikiran untuk kembali menyempurnakan TCTKPI menjadi semakin penting karena dinamika dalam
masyarakat. Selama ini cukup banyak keluhan muncul dari masyarakat menyangkut iklan yang
ditayangkan di TV, media cetak dan radio. Kode etik dipertanyakan apakah sudah cukup memberikan
perlindungan bagi masyarakat. Beberapa iklan dicomplain karena dianggap melanggar perasaan sosial,
eksploitasi seksual, janji tentang kualitas, eksploitasi anak-anak dalam iklan makanan dan sebagainya.
Sementara cukup banyak aspek yang belum cukup diatur dalam TCTKPI. Bahkan ada yang belum
tersentuh sama sekali, seperti iklan produk tembakau, investasi dan media internet.
Terdapat empat wilayah pelanggaran yang insidennya amat menonjol selama lima tahun terakhir, yaitu :
(1). Kesetaraan jender, (2). Perlindungan terhadap anak-anak, (3). Peniruan karya cipta, dan (4).
Penghindaran etika, yang digunakan untuk memenangkan persaingan yang semakin keras. Kasus
terakhir ini banyak terjadi pada produk-produk kesehatan, minuman beralkohol dan tembakau. Dengan
dalil kreativitas para praktisi periklanan mencoba menyiasati aturan yang ada.

Iklan Kreatif Tetap Etis


Konsumen kita sudah dewasa dan matang dalam menilai iklan. Penggambaran tema-tema kurang etis,
seperti eksploitasi tubuh perempuan dan pelabelan negatif terhadap perempuan nampaknya bisa
diakhiri dengan mengasah kreatifitas. Banyak iklan-iklan pemenang Adfest, Cannes, New York Festival
dan lain-lain sangat menghibur konsumen. Pendekatannya sering memakai gaya film pendek, kadang
seperti video clip. Pembuat iklan dari Thailand juga berani bereksperimen secara total sehingga
menghasilkan iklan –iklan humor yang tidak dangkal.
Banyak keluhan dari pekerja kreatif tentang klien yang tidak mengerti konsep kreatif. Mereka takut
konsumen tidak mengerti isi pesan dari iklan-iklan yang dibuat dengan cerdas. Akhirnya yang kita
saksikan adalah iklan yang cenderung menggurui penonton, iklan yang nyinyir, iklan yang berteriak
seperti pedagang kaki lima , iklan yang membuat banyak orang muak.
Untuk membuat iklan yang bagus memang tidak mudah karena sebuah iklan adalah hasil kerja kolektif
yang melibatkan banyak orang. Dari praktisi, produsen, fotografer, color separator, printing company,
production house, model, dan lain sebagainya. Untuk menghasilkan iklan yang kreatif juga dituntut
kerjasama dari berbagai pihak. Praktisi periklanan dituntut punya kreatifitas dalam melahirkan tema-
tema yang segar, menghibur sekaligus menjual tanpa mengesampingkan seperangkat kode etik yang
telah disepakati bersama oleh insan periklanan Indonesia. Walaupun tidak mudah, tanggung jawab
moral untuk membuat iklan bagus yang tidak melanggar etika janganlah sampai surut.

Anda mungkin juga menyukai