3. Pemikiran Manusia.[9]
Sebagai salah satu sumber ilmu kalam, pemikiran manusia berasal dari pemikiran umat islam
sendiri dan pemikiran yang berasal dari luar umat islam. Di dalam al-Qur’an, banyak sekali
terdapat ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir dan menggunakan akalnya.
Dalam hal ini biasanya Al-Qur’an menggunakan redaksi tafakkur, tadabbur, tadzakkur,
tafaqqah, nazhar, fahima, aqala, ulul al-albab, ulul al-ilm, ulu al-abshar, dan ulu an-
nuha. Diantara ayat-ayat tersebut yaitu :
Artinya : “ Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan. Dia
diciptakan dari air yang memancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang
dada perempuan.” ( Q.S. At-Thariq Ayat 5-7 )
Ayat-ayat yang lain dapat ditemukan pada Surah Muhammad : 24, An-Nahl : 68-69, Al-Isra’
: 44, Al-An’am : 97-98, At-Taubah : 122, Shad : 29, Az-Zummar : 9, Adz-Dzariyat : 47-49,
Al-Ghatsiyah : 7-20, dan lain-lain.
Oleh karena itu, jika umat islam sangat termotivasi untuk memaksimalkan penggunaan
rasionya, hal itu bukan karena ada pengaruh dari pihak luar saja, melainkan karena adanya
perintah langsung dari ajaran agama mereka. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan sangat
jelasnya penggunaan rasio dan logika dalam pembahasan ilmu kalam.
Adapun sumber kalam berupa pemikiran dari luar Islam, Ahmad Amin menyebutkan
setidaknya ada tiga faktor penting.
Pertama, kebanyakan orang-orang yang memeluk Islam setelah kemenangannya, pada
awalnya mereka memeluk berbaga agama yaitu Yahudi, Nasrani, Manu, Zoroaster,
Brahmana, Sabiah, Atheisme, dan lain-lain.Mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam ajaran-
ajaran agama ini. Bahkan diantara mereka ada yang benar-benar memahami ajaran agama
aslinya. Setelah fikiran mereka tenang dan mereka benar-benar teguh memeluk agama Islam,
mulailah mereka memikirkan ajaran-ajaran agama mereka sebelumnya dan mengangkat
persoalan-persoalanya lalu memberinya corak baju keislaman.
Kedua, golongan Mu’tazilah memusatkan perhatianya untuk dakwah Islam dengan
membantah argumentasi-argumentasi orang-orang yang memusuhi Islam. Untuk itu, mereka
tidak akan bias menolak lawa-lawannya kecuali sesudah mereka mempelajari pendapat-
pendapat serta alas an-alasan lawan mereka. Maka terjadilah perdebatan-perdebatan yang
rasional antar agama saat itu.
Ketiga, sebagaimana pada faktor kedua dimana para mutakallimun sangat membutuhkan
filsafat Yununi untuk mengalahkan lawan-lawannya, maka mereka terpaksa mempelajari dan
mengambil manfaat dari ilmu logika, terutama dari sisi ketuhanannya. Misalnya An-Nadham,
seorang tokoh Mu’tazilah, ia mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak beberapa
pendapatnya, demikian juga Abu al-Hudzail al-‘Allaf
4. Insting .[10]
Secara Instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya Tuhan
telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad mengatakan
bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama dikalangan orang-orang primitif. Tylor
justru mengatakan bahwa animism-anggapan adanya kehidupan pada benda-benda mati-
merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan. Adapun Spencer mengatakan lain lagi. Ia
mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah yang paling
tua. Keduanya menganggap bahwa animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai
asal-usul kepercayaan dan ibadah tertua terhadap Tuhan Yang Maha Esa, lebih
dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap manusia yang suka mengalami mimpi.
Di dalam mimpi, seorang dapat bertemaan terhadap, bercakap-cakap, bercengkerama, dan
sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang yang telah mati sekalipun. Ketika
seorang yang mimpi itu bangun, dirinya tetap berada di tempat semula. Kondisi ini telah
membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah bermimpi untuk meyakini bahwa apa yang
telah dilakukannya dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang pada masanya roh itu akan
segera kembali. Dari pemujaan terhadap roh berkembang ke pemujaan terhadap matahari,
lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan terhadap benda-benda langit atau alam lainnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan adanya Tuhan, secara instingtif, telah
berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar kalau William
L. Reese mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan, yang dikenal dengan
istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul
dari sebuah mitos ( thelogia was originally viewed as concerned with myth ). Selanjutnya,
teologi itu berkembang menjadi “ theology natural “ ( teologi alam ) dan “revealed theology
“ ( teologi wahyu ).
Jadi metodologi yang digunakan oleh Ilmu Kalam dikenal dengan dalil naqli (dalil yang
menggunakan nash-nash agama, yaitu Al-Qur’an dan Hadis Nabi) Serta dali aqli (dalil yang
menggunakan argumentasi rasional). Dalam menggunakan dua metode tersebut timbul dua
corak pemikiran kalam,yakni pemikiran kalam rasional dan pemikiran kalam tradisional.[11]
Pemikiran kalam rasional mempunyai ciri-ciri: memberi makna harfi kepada nash manusia
terkait dalam berkehendak dan berbuat, sunnatullah berubah-ubah, kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya, dan memberi daya yang kecil kepada akal.
Didalam pemikiran kalam dikenal dengan istilah ushul (dasar) dan furu' (cabang). Pengertian
ushul dalam pemikiran kalam adalah ajaran-ajaran dasar agama yang di kalangan
mutakalimin tidak diperselisihkan lagi. Ajaran dasar itu adalah: Allah Maha Esa, Muhammad
adalah Rosul, hari akhirat itu pasti, surga dan neraka itu ada.
Sementara itu pengertian furu' (cabang) dalam pengertian Islam adalah hasil interpretasi dari
ajaran dasar yang diantara para mutakalimin diperselisihkan pemahamannya. Dengan kata
lain masalah furu' adalah masalah-masalah yang ada di seputar akidah Islam yang bukan
ajaran dasar. Ajaran yang bukan dasar itu anatara lain : Allah mempunyai sifat diluar zat atau
tidak, diutusnya rasul wajib atau bukan, Al-Qur'an bersifat qodim atau baharu. Surga dan
neraka itu bersifat jasmani atau rohani, dan melihat Allah di akhirat apakah dengan
penglihatan jasmani atau rohani.[12]
C. Ruang Lingkup Ilmu Kalam
Ruang lingkup Ilmu Kalam adalah ajaran –ajaran dasar Islam. Ajaran dasar itu disebut
dengan akidah dalam Islam. Ajaran akidah itu meliputi wujud Allah, kerasulan Muhammad,
kewahyuan Al-Qur’an masalah siapa mukmin dan siapa kafir, tentang surga dan neraka,
kekuasaaan Allah, dan kebebasan manusia.[13] Yang akan diperkuat dengan-dengan dalil-
dalil rasional agar terhindar dari aqidah-aqidah yang menyimpang.
Harun lebih lanjut mengatakan bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari
Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij sebagaimana yang telah disebutkan,
memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim yakni Ali, Mu’awiyah,
Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah
ayat 44.
Persoalan ini telah menimbulkan tiga alioran teologi dalam Islam yaitu:[14]
1. Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti
telah keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan
bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk
mengampuni atau menghukumnya.
3. Aliran Mu’tazilah , yang tidak menerima pendapat kedua diatas.
D. Fungsi Ilmu Kalam dalam Bidang Ilmu dan Amalan Islam
Berdasarkan pada pengertian dan kedudukan ilmu tauhid yang mendasari semua keilmuan
dan amalan dalam islam , maka ilmu kalam berfungsi dalam dua bidang yang salin terjalin
antara yang satu bidang dengan yang lainnya yaitu :
1. Dalam Bidang I’tiqoyah
a. ilmu kalam berfungsi memberikan dasar dan landasan mental (basic mentalty) yang
kuat bagi keimanan seorang muslim terhadap keesaan tuhan sebagai satu-satu nya
sesembahan dalam ibadah (tauhid uluhiyah)
memberikan penerangan yang bersifat dakwah terhadap orang-orang non muslim untuk
diajak beriman secara tauhid yang tidak bercampur dengan kemusrikan dengan penjelasan
yang baik dan bijaksana , baik dalam artian menolak terhadap semua ajaran ketuhanan yang
salah diinterpretasikan maupun bersifat operatif terhadap pemahaman yang bersifat merusak
kemurnian tauhid .
2. Dalam Bidang Ijtihad
Dalam bidang ini ilmu kalam berfungsi :
a. Menjelaskan dan membahas obyek ilmu tauhid secara ilmiah , dengan berdasarkan dalil
naqli yang shahih dan dikuatkan dengan dalil aqli yang tidak bertentangan / menyimpang dari
ajaran islam itu sendiri
b. Melengkapi dasar dasar / landasan ilmiah bagi keimanan orang-orang islam yang
sekaligus berarti mempersenjatai mereka dengan dalil dalil ilmiyah . dengan demikian agar
orang orang islam memiliki kekebalan dan kemampuan terhadap unsur unsur yang akan
menggoyahkan keimanan mereka dalam bidang i’tiqad
c. Karena itu dengan modal tersebut diharapkan dapat jadi pandangan atau sebagai falsafah
hidup bagi kaum muslimin dalam menjalani kehidupannya yang dalam hal ini sebagai ” way
of life ”
Pada masa Nabi Muhammad SAW, umat Islam bersatu, mereka satu akidah, satu syariah dan
satu akhlaqul karimah, kalau mereka ada perselisihan pendapat dapat diatasi dengan wahyu
dan tidak ada perselisihan diantara mereka.
Perkembangan Aqidah Pada masa Rasulullah SAW aqidah bukan merupakan disiplin ilmu
tersendiri karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham
kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau. Makanya kita dapatkan keterangan para
sahabat yg artinya berbunyi “Kita diberikan keimanan sebelum Al-Qur’an”.
Pada fase makkah beliau berhadapan dengan dua tantangan internal berupa pembinaan aqidah
Islam terhadap para sahabatnya yang telah mengikuti seruan beliau, dan tantangan eksternal
berupa perlawanan kelompok Musyrik Quraisy dan setelah di Madina, bertambah dengan
tantangan dari ahli kitab, yang terdiri dari dua kelompok penganut agama Nasrani dan Yahudi
.
Terhadap para sahabat yang telah mengikuti beliau, Nabi menanamkan satu corak ajaran
aqidah sebagaimana yang diajarkan melalui wahyu, yaitu mempercayai ke-Tuhanan Allah
yang maha Esa, ke-Rasulan Muhammad saw, besarta ajaran yang dibawanya yang beliau
terima lewat wahyu, para malaikat yang memiliki tugas-tugas tertentu, serta kehidupan akhir
berupa surge dan neraka beserta prosedurnya dan keyakinan akan adanya qadha dan qadar.
Disamping itu juga, para sahabat diingatkan oleh Rasulullah SAW agar tidak terjadi
perbedaan dan perdebatan, doktrin aqidah ini agar para sahabat dan pengikut Nabi SAW itu
mentaati secara penuh terhadap semua ajaran yang dibawanya. Doktrin ini termaktub pada
QS.al-Anfal : 46
Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan,
yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Disamping itu, Allah juga memberikan contoh tentang umat-umat sebelumnya, yang bercerai
berai karena perdebatan diantara mereka sendiri. Hal ini salah satunya diterangkan dalam
surat Al Maidah ayat 14 yang artinya :
“Dan diantara orang-orang yang mengatakan “sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani”,
ada yang telah kami ambil perjanjian mereka melupakan sebagian dari peringatannya itu,
sehingga kami timbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka sampai hari kiamat”.
Sejalan dengan dua dalil diatas, terlihat aqidah yang berkembang pada masa Nabi merupakan
pelaksanaan norma-norma monopolitik, yaitu hanya satu bentuk ajaran tanpa perbedaan dan
persanggahan dari para sahabat. Keadaan seperti ini tercipta karena rasa cinta dan
kepercayaan penuh sahabat kepada Nabi juga karena doktrin dari kedua ayat diatas.
Walaupun demikian keadaannya, kepada para sahabat Nabi mengajarkan agar berpegang
teguh pada ajaran dan bersikap netral kepada ahli kitab, tidak menyalahkan dan tidak
membenarkan. Ajaran Nabi ini tergambar dalam hadits berikut ini :
الينا انزل وما باهلل امنا وقولوا هم والتكذبو الكتاب اهل الثصدقوا
Artinya
“Jangan kamu membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakannya. Dan katakanlah,
kami telah beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah diturunkan kepada kami (Nabi)
Sikap lunak Rasulullah kepada ahli kitab ini, karena sistem kepercayaan yang mereka anut
berasal dari Allah dan kitab suci yang dijadikan pedomanpun berasal dari Allah. Sementara
kepada kaum Qurraisy Rasulullah mengajarkan kepada para sahabat untuk bersikap tegas dan
keras, karena sistem kepercayaan mereka benar-benar salah dan harus diperbaiki. Sikap tegas
ini, diperkuat dengan larangan Allah kepada umat Islam untuk tidak menjalin hubungan
perkawinan dengan orang-orang musyrik, sedangkan dengan ahli kitab, Allah
memperbolehkan dengan syarat wanita ahli kitab yang mereka ambil terjaga kesuciannya.