Anda di halaman 1dari 26

TUBERKULOSIS

Latar belakang
Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut
WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun
(WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian
penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB
berada di negara-negara berkembang Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia
jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada
kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (WHO). WHO mencanangkan keadaan
darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993 karena diperkirakan sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB.
Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit
jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan
bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I
dari golongan infeksi. Antara tahun 1979 ? 1982 telah dilakukan survey prevalensi di 15
propinsi dengan hasil 200-400 penderita tiap 100.000 penduduk.
Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita terdapat
disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintahd an
swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan. Sedangkan
kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun.
Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB
kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita
TB Paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse
Chemotherapy) -atau pengawasan langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari- baru
mencapai 36% dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994)
cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%.
Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup dimasa lalu
kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis)
secara meluas atau multi drug resistance (MDR).

Definisi :
Penyakit Tuberkulosis: adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Kuman Tuberkulosis :
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu taha terhadap asam pada
pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam
ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant,
tertidur lama selama beberapa tahun.

Cara Penularan :
Sumber penularana adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin,
penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet
yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam.
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan.
Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB
tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran
darah, sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian
tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),
maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara
dan lamanya menghirup udara tersebut.

Resiko Penularan :
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan berfariasi antara 1 ? 2 %. Pada daerah dengan ARTI
sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan
terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB,
hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan
tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara
100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun,
dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan
seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah; diantaranya
karena gizi buruk atau HIV/AIDS.

Riwayat terjadinya Tuberkulosis

Infeksi Primer :
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet
yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana.
Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di
Paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran linfe akan membawa kuma
TB ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu
antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4 ? 6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari
negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon
daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut
dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman
akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan
tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa
bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu
waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6
bulan.
Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB) :
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau
status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru
yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis :
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :

Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas.
Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
Bronkiectasis dan Fibrosis pada paru.
Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit.
Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif)
masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus
kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup
diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit
spesialistik.

Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati :


Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25 %
akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai ?kasus Kronik?
yang tetap menular (WHO 1996).

Pengaruh Infeksi HIV :


Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular
Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah
orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Gejala - gejala Tuberkulosis


Gejala Umum :
Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih.
Gejala Lain Yang Sering Dijumpai :
Dahak bercampur darah.
Batuk darah.
Sesak napas dan rasa nyeri dada.
Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari
sebulan.

Penemuan pederita Tuberkulosis (TB)


Penemuan Penderita Tuberkulosis Pada Orang Dewasa.
Penemuan penderita TB dilakukan secara Pasif, artinya penjaringan tersangka penderita
dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan.
Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh
petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan
tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan Passive Promotive Case
Finding
Selain itu, semua kontak penderita TB paru BTA positif dengan gejala sama, harus
diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka
penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat
mengakibatkan kematian.Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak
dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu ? pagi ? sewaktu (SPS).
Penemuan Penderita Tuberkulosis Pada Anak.
Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal yang sulit. Sebagian besar
diagnosis tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis dan uji
tuberkulin.

Diagnosis Tuberkulosis (TB)


Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa.
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya dua dari tiga SPS BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto
rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang.
Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita diidagnosis sebagai penderita TB
BTA positif.
Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan lain, misalnya biakan.
Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya
biakan.
Bila tiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya
kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 ? 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun
gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS :
Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung
diagnosis TB.
- Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen
positif.
- Bila hasil ropntgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.

UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk difoto rontgen
dada.

ALUR DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU PADA ORANG DEWASA


Di Indonesia, pada saat ini, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan
diagnosis TB pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi
dengan Mycobacterium Tuberculosis Karena tingginya prevalensi TB. Suatu uji
tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan
Mycobacterium Tuberculosis . Dilain pihak, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun
orang tersebut menderita tuberkulosis. Misalnya pada penderita HIV / AIDS, malnutrisi
berat, TB milier dan Morbili.

Refleksi Hari TBC Sedunia


Setiap tanggal 24 Maret diperingati sebagai hari Tuberkulosis (TBC) sedunia. Tahun ini
peringatan hari TBC sedunia bertemakan "Every Breath Counts, Stop TB Now!". Tema
ini menekankan pada kata "breath" yang tidak hanya berarti pernapasan, tetapi juga
merupakan pusat dari segala aktivitas manusia. Sehingga, rusaknya "breath" karena TBC
akan mengakibatkan rusaknya segala aktivitas manusia. Tema ini sekali lagi
mengingatkan kita akan bahaya TBC dan urgensi pemberantasannya. Dalam rangka
memperingati hari TBC ini juga dilakukan "2nd Stop TBC Partners", forum dan
kampanye Stop TBC untuk 2004-2005 yang diselenggarakan di New Delhi.

Pembunuh massal
Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa bakteri mycobacterium tuberculosis yang
menyebabkan TBC adalah bekteri pembunuh massal. WHO memperkirakan bakteri ini
membunuh sekitar 2 juta jiwa setiap tahunnya. Antara tahun 2002-2020 diperkirakan
sekitar 1 miliar manusia akan terinfeksi. Dengan kata lain pertambahan jumlah infeksi
lebih dari 56 juta tiap tahunnya. Biasanya 5-10 persen di antara infeksi berkembang
menjadi penyakit, dan 40 persen di antara yang berkembang menjadi penyakit berakhir
dengan kematian.
Jika dihitung, pertambahan jumlah pasien TBC akan bertambah sekitar 2,8-5,6 juta setiap
tahun, dan 1,1-2,2 juta jiwa meninggal setiap tahun karena TBC. Perkiraan WHO, yakni
2 juta jiwa meninggal tiap tahun, adalah berdasarkan perhitungan ini. Angka ini adalah
angka yang besar, karena 2-4 orang terinfeksi setiap detik, dan hampir 4 orang setiap
menit meninggal karena TBC ini. Kecepatan penyebaran TBC bisa meningkat lagi sesuai
dengan peningkatan penyebaran HIV/AIDS dan munculnya bakteri TBC yang resisten
terhadap obat.
Selain itu migrasi manusia juga mempercepat penyebaran TBC. Di Amerika Serikat,
hampir 40 persen dari penderita TBC adalah orang yang lahir di luar negeri. Mereka
imigrasi ke Amerika dan menjadi sumber penyebaran TBC. Begitu juga dengan
meningkatnya jumlah pengungsi akibat perang dengan lingkungan yang tidak sehat
sehingga memudahkan penyebaran TBC. Diperkirakan sebanyak 50 persen dari
pengungsi di dunia berpeluang terinfeksi TBC.
Di kawasan Asia Tenggara, data WHO (http:www.whosea.org) menunjukan bahwa TBC
membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40 persen dari kasus TBC di dunia
berada di kawasan Asia Tenggara. Dua di antara tiga negara dengan jumlah penderita
TBC terbesar di dunia, yaitu India dan Indonesia, berada di wilayah ini. Indonesia berada
di bawah India, dengan jumlah penderita terbanyak di dunia, diikuti Cina di peringkat
kedua.
Dibandingkan dengan penyakit menular lainnya, TBC juga menjadi pembunuh nomor
satu di kawasan ini, di mana jumlahnya 2-3 kali jumlah kematian yang disebabkan oleh
HIV/AIDS yang berada di peringkat kedua. Sementara itu, penyakit tropis seperti demam
berdarah dengue (DBD) tidak sampai sepersepuluhnya. Kita bisa membayangkan betapa
seriusnya masalah TBC ini.
Karena itu, perlu kita sadari kembali bahwa TBC adalah penyakit yang sangat perlu
mendapat perhatian untuk ditanggulangi. Karena bakteri mycobacterium tuberculosis
sangat mudah menular melalui udara pada saat pasien TBC batuk atau bersin, bahkan
pada saat meludah dan berbicara. Satu penderita bisa menyebarkan bakteri TBC ke 10-15
orang dalam satu tahun.
Berdasarkan data Rumah Sakit "Prof DR Sulianti Saroso" (http:www.infeksi.com), di
Indonesia tiap tahun terdapat 583 ribu kasus dan 140 ribu di antaranya meninggal dunia.
Jika dihitung, setiap hari 425 orang meninggal akibat TBC di Indonesia. Kalau 1 orang
pasien bisa menularkan ke 10 orang, pada tahun berikutnya jumlah yang tertular adalah
5,8 juta orang. Karena itu, jelaslah bahwa TBC adalah pembunuh massal yang harus
diberantas.

Terapi TBC
Karena yang menjadi sumber penyebaran TBC adalah penderita TBC itu sendiri,
pengontrolan efektif TBC mengurangi pasien TBC tersebut. Ada dua cara yang tengah
dilakukan untuk mengurangi penderita TBC saat ini, yaitu terapi dan imunisasi. Untuk
terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TBC jangka pendek dengan
pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse Chemotherapy). Dalam strategi ini ada tiga tahapan penting, yaitu
mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung.
Deteksi atau diagnosa pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan
menjadi sumber penyebaran TBC berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu
bisa diduga mengidap TBC. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan
terinfeksi kuman TBC atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan
menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa
secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan.
Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TBC, dokter akan memberikan obat dengan
komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TBC yang
biasanya digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin, dan
ethambutol. Untuk menghindari munculnya bakteri TBC yang resisten, biasanya
diberikan obat yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini.
Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta
perkembangan pasien. Ini sangat penting karena ada kecendrungan pasien berhenti
minum obat karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TBC biasanya gejala TBC
bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benar-benar sembuh
dari TBC diharuskan untuk mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan. Efek negatif
yang muncul jika kita berhenti minum obat adalah munculnya kuman TBC yang resisten
terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar, pengendalian TBC akan
semakin sulit dilaksanakan.
DOTS adalah strategi yang paling efektif untuk menangani pasien TBC saat ini, dengan
tingkat kesembuhan bahkan sampai 95 persen. DOTS diperkenalkan sejak tahun 1991
dan sekitar 10 juta pasien telah menerima perlakuan DOTS ini. Di Indonesia sendiri
DOTS diperkenalkan pada tahun 1995 dengan tingkat kesembuhan 87 persen pada tahun
2000 (http:www.who.int). Angka ini melebihi target WHO, yaitu 85 persen, tapi sangat
disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di Indonesia masih rendah. Berdasarkan
data WHO, untuk tahun 2001, tingkat deteksi hanya 21 persen, jauh di bawah target
WHO, 70 persen. Karena itu, usaha untuk medeteksi kasus baru perlu lebih ditingkatkan
lagi.

Imunisasi
Pengontrolan TBC yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi ini akan memberikan
kekebalan aktif terhadap penyaki TBC. Vaksin TBC, yang dikenal dengan nama BCG
terbuat dari bakteri M tuberculosis strain Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Bakteri ini
menyebabkan TBC pada sapi, tapi tidak pada manusia. Vaksin ini dikembangkan pada
tahun 1950 dari bakteri M tuberculosis yang hidup (live vaccine), karenanya bisa
berkembang biak di dalam tubuh dan diharapkan bisa mengindus antibodi seumur hidup.
Selain itu, pemberian dua atau tiga kali tidak berpengaruh. Karena itu, vaksinasi BCG
hanya diperlukan sekali seumur hidup. Di Indonesia, diberikan sebelum berumur dua
bulan.
Imunisasi TBC ini tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TBC. Tingkat
efektivitas vaksin ini berkisar antara 70-80 persen. Karena itu, walaupun telah menerima
vaksin, kita masih harus waspada terhadap serangan TBC ini. Karena efektivitas vaksin
ini tidak sempurna, secara global ada dua pendapat tentang imunisasi TBC ini. Pendapat
pertama adalah tidak perlu imunisasi. Amerika Serikat adalah salah satu di antaranya.
Amerika Serikat tidak melakukan vaksinasi BCG, tetapi mereka menjaga ketat terhadap
orang atau kelompok yang berisiko tinggi serta melakukan diagnosa terhadap mereka.
Pasien yang terdeteksi akan langsung diobati. Sistem deteksi dan diagnosa yang rapi
inilah yang menjadi kunci pengontorlan TBC di AS.
Pendapat yang kedua adalah perlunya imunisasi. Karena tingkat efektivitasnya 70-80
persen, sebagian besar rakyat bisa dilindungi dari infeksi kuman TBC. Negara-negara
Eropa dan Jepang adalah negara yang menganggap perlunya imunisasi. Bahkan Jepang
telah memutuskan untuk melakukan vaksinasi BCG terhadap semua bayi yang lahir tanpa
melakukan tes Tuberculin, tes yang dilakukan untuk mendeteksi ada-tidaknya antibodi
yang dihasikan oleh infeksi kuman TBC. Jika hasil tes positif, dianggap telah terinfeksi
TBC dan tidak akan diberikan vaksin. Karena jarangnya kasus TBC di Jepang, dianggap
semua anak tidak terinfeksi kuman TBC, sehingga diputuskan bahwa tes Tuberculin tidak
perlu lagi dilaksanakan.
Bagaimana dengan Indonesia? Karena Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah
penduduk yang banyak, agaknya masih perlu melaksanakan vaksinasi BCG ini. Dengan
melaksanakan vaksinasi ini, jumlah kasus dugaan (suspected cases) jauh akan berkurang,
sehingga memudahkan kita untuk mendeteksi pasien TBC, untuk selanjutnya dilakukan
terapi DOTS untuk pasien yang terdeteksi. Kedua pendekatan, yaitu vaksinasi dan terapi
perlu dilakukan untuk memberantas TBC dari bumi Indonesia.
: Andi Utama (Peneliti Puslit Bioteknologi-LIPI dan Pemerhati Masalah Kesehatan)

PERANGI TBC :
10 HAL TENTANG TBC DAN PENANGGULANGANNYA.
10 FAKTA PENTING MENGENAI SITUASI TBC DI INDONESIA
Tiap tahun terdapat 583.000 kasus TBC di Indonesia
Secara nasional, TBC ?membunuh? kira-kira 140.000 orang setiap tahun
Setiap hari 425 orang meninggal akibat TBC di Indonesia.
Indonesia merupakan ?penyumbang? kasus TBC ke-3 di Dunia, setelah RRC dan India.
Tingkat resiko untuk terserang TBC di Indonesia berkisar antara 1,7 % - 4,4 % ( menurut
data 1972-1987 ).
Sekitar ¾ pasien TBC di Indonesia tergolong dalam usia produktif.
Tahun 1995, pemerintah Indonesia mulai mengadopsi starategi DOTS (Directly Observed
Tratment Short-Course) untuk menanggulangi TBC.
Tahun 1996, obat TBC di Puskesmas diberikan dalam bentuk Kombipak.
Tahun 1999 merupakan dimulainya era penting dalam penanggulangan TBC di Indonesia,
karena dibentuknya GERDUNAS-TBC (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan
TBC) yang merupakan wujut nyata kemitraan dengan berbagai sektor yang terkait dalam
penanggulangan TBC di Indoensia.
Penelitian ekonomi kesehatan di Indonesia menemukan bahwa jika pengobatan dapat
diterapkan secara dini, setiap US$ 1 yang untuk program penanggulangan TBC, maka
akan dapat menghemat US$ 55 dalam waktu 20 tahun.

10 FAKTA PENTING MENGENAI TBC


Tiap tahun selalu terdapat peningkatan jumlah penderita TBC yang tinggi dibandingkan
tahun sebelumnya.
TBC membunuh lebih banyak kaum muda dan wanita dibandingkan penyakit menular
lainnya.
Terdapat sekitar 2 sampai 3 juta orang meninggal akibat TBC setiap tahun. Sesungguhnya
setiap kematian akibat TBC itu bisa dihindari.
Setiap detik, ada 1 orang yang meninggal akibat tertular TBC.
Setiap 4 detik, ada yang sakit akibat tertular TBC.
Setiap tahun. 1 % dari seluruh populasi di seluruh dunia terjangkit oleh penyakit TBC.
Sepertiga dari jumlah penduduk di dunia ini sudah tertular oleh kuman TBC (walaupun)
belum terjangkit oleh penyakitnya.
Penderita TBC yang tidak berobat dapat menularkan pentakit kepada sekitar 10 ? 15
orang dalam jangka waktu 1 tahun.
Seperti halnya flu, kuman TBC menyebar di udara pada saat seseorang yang menderita
TBC batuk dan bersin, meludah atau berbicara.
Kuman TBC biasanya menyerang paru-paru.

10 FAKTA PENTING MENGENAI TBC & PERPINDAHAN PENDUDUK


Sekitar 50 % dari jumlah pengungsi di seluruh dunia kemungkinan telah tertular TBC,
Setiap tahunnya, lebih dari 17.000 orang pengungsi menderita sakit akibat TBC.
Populasi pengungsi menghadapi peningkatan masalah akibat TBC; jumlah pengungsi dan
pelarian di seluruh dunia telah berlipat 9 kali selama 20 tahun terakhir.
Penderita TBC yang tidak dirawat dapat menyebarkan penyakitnya secara cepat, terutama
di lingkungan penampungan dan kamp pengungsi, Amatlah sulit memberikan perawatan
TBC bagi penduduk yang berpindah-pindah.
WHO merekomendasikan bahwa TBC harus menjadi prioritas utama, sesegera mungkin
setelah fase darurat bagi para pengungsi itu berlalu.
Turisme, perjalanan antar-negara dan migrasi menunjang terjadinya penyebaran kuman
TBC.
Di banyak negara industri maju, paling tidak setengah dari jumlah kasus TBC, ditemukan
pada orang-orang yang lahir di negara lain.
Di Amerika Serikat, 1/3 dari jumlah kasus TBC, ditemukan pada orang yang tempat
kelahirannya bukan di AS
Jumlah kasus TBC di AS diantara orang-orang yanglahirnya bukan di AS, senantiasa
meningkat setiap tahun.
Kaum gelandangan di negara maju merupakan golongan yang resiko tertular TBC-nya
semakin meningkat.
Pada tahun 1995, dilaporkan bahwa hampir 30 % dari populasi gelandangan di San
Francisco (AS) dan sekitar 25 % dari populasi gelandangan di London (Inggris) telah
tertular oleh kuman TBC ? jauh lebih tinggi daripada rata-rata nasional di kedua negara
tersebut.

10 FAKTA PENTING MENGENAI TBC & PEREMPUAN


TBC merupakan penyakit menular paling ganas yang menyerang dan membunuh kaum
perempuan.
Lebih dari 900 juta wanita di seluruh dunia tertular oleh kuman TBC. 1 juta diantaranya
akan meninggal dan 2,5 juta akan segera menderita penyakit tersebut pada tahun ini,
Perempuan yang menderita TBC ini berusia antara 15 ? 44 tahun.
TBC merupakan penyakit pembunuh yang paling mematikan bagi perempuan muda usia.
TBC memiliki andil sekitar 9 % dari kematian berusia 15-44 tahun, dibandingkan
penyebab kematian lainnya (akibat perang:4%,HIV:3%,dan penyakit jantung:3 % ).
Perempuan dalam usia reproduksi lebih rentan terhadap TBC dan lebih mungkin
terjangkit oleh penyakit TBC dibandingkan pria dari kelompok usia yang sama.
Wanita pada kelompok usia reproduksi juga beresiko lebih tinggi terhadap penuaran HIV.
Di sebagian negara Afrika, jumlah perempuan yang terjangkit TBC lebih besar
dibandingkan jumlah penderita pria.
TBC menyebabkan jumlah kematian lebih besar bagi wanita dibandingkan kematian
akibat melahirkan.
Di beberapa bagian dunia, stigma atau rasa malu akibat TBC menyebabkan terjadinya
isolasi, pengucilan dan perceraian bagi kaum wanita.
Di beberapa bagian dunia, pergerakan kaum perempuan sedang mengusahakan adanya
upaya lebih baik penanggulangan penyakit TBC.

APAKAH DOTS ITU ?


DOTS atau kependekan dari Directly Observed Treatment, Short-course adalah strategi
penyembuhan TBC jangka pendek dengan pengawasan secara langsung.
Dengan menggunakan startegi DOTS, maka proses penyembuhan TBC dapat secara
cepat.
DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TBC agar menelan
obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh.
Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95 %. Startegi
DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TBC.

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu :


o Adanya komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh menanggulangi
TBC.
o Diagnosis penyakit TBC melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis
o Pengobatan TBC dengan paduan obat anti-TBC jangka pendek, diawasi secara
langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat).
o Tersedianya paduan obat anti-TBC jangka pendek secara konsisten.
o Pencatatan dan pelaporan mengenai penderita TBC sesuai standar.

Bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling ?cost
effective?.
Bangladesh : Dengan strategi DOTS, angka kesembuhan mampu mencapai sekitar 80 %.
Maldives : Angka kesembuhan mencapai angka sekitar 85 % berkat strategi DOTS.
Nepal : Setelah menggunakan DOTS, angka kesembuhan mencapai 85 % - sebelumnya
hanya mencapai 50 %.
RRC : Tingkat kesembuhan mencapai 90 % dengan DOTS.

Tuberulosis (TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh suatu
kuman basil tahan asam (BTA): Mikobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan
melalui percikan dahak penderita TBC pada orang sekitarnya. Gejala umum TB pada
orang dewasa adalah batuk terus-menerus selama tiga minggu, berdahak dan sering pula
disertai bercak darah pada dahak penderita. Gejala tambahan lainnya berupa demam,
nafsu makan menurun, berat badan merosot drastis.
Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyakit ini merupakan
penyebab kematian no 3 setelah penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernafasan pada
semua kelompok umur. Sehingga pada tahun 1995 di mulailah cara pengobatan sistem
baru yakni dengan sistem DOTS.
Upaya pengobatan TBC sebenarnya sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan namun
hasil pengobatan masih tidak maksimal. Maka sejak tahun 1995 dicoba suatu metode
baru pengobatan TBC dengan Strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse =
pengobatan jangka pendek dengan pengawasan) diperkenalkan di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam system pelayanan kesehatan masyarakat
Penemuan kasus TBC di Indonesia (CDR=Case Detection Rate ) pada tahun 2005 adalah
68%, telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70%
dan target 2007 menjadi 74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate
= SR) mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%.
Situasi TBC di Indonesia dan kemajuannya :
Jumlah kasus TBC yang ditemukan meningkat secara nyata dalam beberapa tahun
terakhir. Angka penemuan kasus BTA positif baru meningkat dari 38% di tahun 2003
menjadi 54% di tahun 2004 sebagai hasil ekspansi DOTS yang dipercepat dengan
dukungan donor internasional yang meningkat seperti (GF ATM, USAID (TBCTA),
CIDA, DFID dan lain-lain dan bantuan teknis dari para mitra Stop TBC khususnya WHO
dan KNCV.
Kemajuan nyata dicapai dalam menurunkan prevalensi TBC di Indonesia. Wilayah Jawa-
Bali telah menunjukkan penurunan angka prevalensi setengahnya, sedangkan untuk
wilayah-wilayah yang sulit terjangkau juga menunjukkan penurunan yang signifikan
meskipun kemajuannya lebih lambat.
Dampak epidemiologi menunjukkan trend penurunan insidens TBC di masyarakat yaitu
128/100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 107/100.000 penduduk pada tahun
2005. Namun demikian berdasarkan survey pravalensi Nasional TBC oleh Badan
Litbangkes tahun 2004, menunjukkan sebaran insidens TBC per 100.000 penduduk yang
variatif dalam 4 regional, yakni Yogya/Bali (64/100.000 penduduk), Jawa (107/100.000
penduduk), Sumatera (160/100.000 penduduk) dan KTI (210/100.000 penduduk)
Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Kawasan
Timur Indonesia dan pada Puskesmas Bamban pada akhir tahun 2008 tercatat ada 10
penderita BTA baru di antara 6.000 penduduk di wilayah Puskesmas Bamban. Sedangkan
kalau dilihat dari tingkat penularan ternyata masih tinggi yakni ditemukan angka
kesakitan TB pada anak sebanyak 10 kasus.
Ada beberapa factor yang utama yang menghambat upaya penanggulangan TB di Kalsel
khusus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
1. Lingkungan
Lingkungan perumahan di wilayah kerja Puskesmas masih banyak yang belum
memenuhi syarat rumah sehat
2. Sosial Ekonomi
Secara ekonomi penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis adalah
karena masih rendah tingkat pendapatan perkepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut kebersihan/sanitasi lingkungan rumah . Kemiskinan
dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan pendearita tidak mampu
membiayai angkutan ke Puskesmas. Kebutuhan pokok lebih utama dibandingkan
pemeliharaan kesehatan.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi tentang
penyakit TB Paru, yang meliputi etiologi penyakit, cara penularan, gejala klinis,
pengobatan dan efek samping pengobatan, kegagalan pengobatan atau resistensi obat dan
komplikasi penyakit selanjutnya. Sehingga penderita dengan tingkat pendidikan rendah
tidak mengetahui bahwa waktu pengobatan belum selesai atau penyakitnya belum
sembuh dan kurang mengerti akan penyakit yang dideritanya serta bahayanya bila tidak
diobati secara tuntas.
4. Perilaku
Perilaku berkaitan dengan tespon penderita terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan
penyakit, pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku sakit dab penyakit ini
sesuai dengan tingkat –tingkat pencegahan penyakit, yakni :
a. Perilaku sehuibungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan misalnya
makan makanan yang bergizi, olah raga, jaga kebersihan diri, istirahat cukup dan
sebagainya,
b. Perilaku pencegahan penyakit misalnya: imunisasi, menutup mulut bila batuk,
membuang ludah pada tempatnya, menjemur peralatan tidur, tidur terpisah dengan
penderita TBC Paru;
c. Perilaku berhubungan dengan pencarian pengobatan misalnya : upaya untuk
mengoabati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern maupun
tradisional;
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan, misalnya kepatuhan minum obat.
Kepatuhan berobat adalah salah satu faktor utama keberhasilan pengobatan TB Paru yang
terdiri atas kepatuhan untuk mengambil obat, meminum obat sesuai aturan dan
memeriksakan sputum pada akhir pase intensif dan akhir pengobatan setelah 6 bulan.
5. Pelayanan Kesehatan
Upaya pelayanan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS baru
dilaksanakan di tingkat Puskesmas sedangkan di Rumah Sakit dan Praktek dokter swasta
belum menggunakan DOTS. Keterbatasan tenaga dan sarana laboratorium sehingga
angka kesalahan baca hasil slide sputum masih diatas 5 %.
Upaya penyuluhan tentang penyakit TB Paru sangat penting di laksanakan pada saat
pendertita memulai pengobatan dengan OAT karena apabila penderita mengetahui
tentang efek samping obat OAT berupa mual, muntah diare, sakit kepala, gangguan
pendernaan, nyeri pada bekas suntikan, penderita tidak akan menghentikan
pengobatannya dan akan dating berkonsultasi ke dokter yang merawatnya.
6. Komitmen
Program penanggulangan TB Paru akan berhasil apabila pemerintah dan masyarakat
mempunyai perhatian yang sama dalam upaya penanggulangan TB Paru. Dan dukungan
stakeholder hingga saat ini masih kurang , demikian pula dukungan lintas program dan
limtas sektoral yang tergabung dalam Gerdunas TB masih belum optimal.. Tuberulosis
(TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh suatu kuman basil
tahan asam (BTA): Mikobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui percikan
dahak penderita TBC pada orang sekitarnya. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah
batuk terus-menerus selama tiga minggu, berdahak dan sering pula disertai bercak darah
pada dahak penderita. Gejala tambahan lainnya berupa demam, nafsu makan menurun,
berat badan merosot drastis.
Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyakit ini merupakan
penyebab kematian no 3 setelah penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernafasan pada
semua kelompok umur. Sehingga pada tahun 1995 di mulailah cara pengobatan sistem
baru yakni dengan sistem DOTS.
Upaya pengobatan TBC sebenarnya sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan namun
hasil pengobatan masih tidak maksimal. Maka sejak tahun 1995 dicoba suatu metode
baru pengobatan TBC dengan Strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse =
pengobatan jangka pendek dengan pengawasan) diperkenalkan di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam system pelayanan kesehatan masyarakat
Penemuan kasus TBC di Indonesia (CDR=Case Detection Rate ) pada tahun 2005 adalah
68%, telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70%
dan target 2007 menjadi 74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate
= SR) mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%.
Situasi TBC di Indonesia dan kemajuannya :
Jumlah kasus TBC yang ditemukan meningkat secara nyata dalam beberapa tahun
terakhir. Angka penemuan kasus BTA positif baru meningkat dari 38% di tahun 2003
menjadi 54% di tahun 2004 sebagai hasil ekspansi DOTS yang dipercepat dengan
dukungan donor internasional yang meningkat seperti (GF ATM, USAID (TBCTA),
CIDA, DFID dan lain-lain dan bantuan teknis dari para mitra Stop TBC khususnya WHO
dan KNCV.
Kemajuan nyata dicapai dalam menurunkan prevalensi TBC di Indonesia. Wilayah Jawa-
Bali telah menunjukkan penurunan angka prevalensi setengahnya, sedangkan untuk
wilayah-wilayah yang sulit terjangkau juga menunjukkan penurunan yang signifikan
meskipun kemajuannya lebih lambat.
Dampak epidemiologi menunjukkan trend penurunan insidens TBC di masyarakat yaitu
128/100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 107/100.000 penduduk pada tahun
2005. Namun demikian berdasarkan survey pravalensi Nasional TBC oleh Badan
Litbangkes tahun 2004, menunjukkan sebaran insidens TBC per 100.000 penduduk yang
variatif dalam 4 regional, yakni Yogya/Bali (64/100.000 penduduk), Jawa (107/100.000
penduduk), Sumatera (160/100.000 penduduk) dan KTI (210/100.000 penduduk)
Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Kawasan
Timur Indonesia dan pada Puskesmas Bamban pada akhir tahun 2008 tercatat ada 10
penderita BTA baru di antara 6.000 penduduk di wilayah Puskesmas Bamban. Sedangkan
kalau dilihat dari tingkat penularan ternyata masih tinggi yakni ditemukan angka
kesakitan TB pada anak sebanyak 10 kasus.
Ada beberapa factor yang utama yang menghambat upaya penanggulangan TB di Kalsel
khusus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
1. Lingkungan
Lingkungan perumahan di wilayah kerja Puskesmas masih banyak yang belum
memenuhi syarat rumah sehat
2. Sosial Ekonomi
Secara ekonomi penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis adalah
karena masih rendah tingkat pendapatan perkepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut kebersihan/sanitasi lingkungan rumah . Kemiskinan
dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan pendearita tidak mampu
membiayai angkutan ke Puskesmas. Kebutuhan pokok lebih utama dibandingkan
pemeliharaan kesehatan.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi tentang
penyakit TB Paru, yang meliputi etiologi penyakit, cara penularan, gejala klinis,
pengobatan dan efek samping pengobatan, kegagalan pengobatan atau resistensi obat dan
komplikasi penyakit selanjutnya. Sehingga penderita dengan tingkat pendidikan rendah
tidak mengetahui bahwa waktu pengobatan belum selesai atau penyakitnya belum
sembuh dan kurang mengerti akan penyakit yang dideritanya serta bahayanya bila tidak
diobati secara tuntas.
4. Perilaku
Perilaku berkaitan dengan tespon penderita terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan
penyakit, pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku sakit dab penyakit ini
sesuai dengan tingkat –tingkat pencegahan penyakit, yakni :
a. Perilaku sehuibungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan misalnya
makan makanan yang bergizi, olah raga, jaga kebersihan diri, istirahat cukup dan
sebagainya,
b. Perilaku pencegahan penyakit misalnya: imunisasi, menutup mulut bila batuk,
membuang ludah pada tempatnya, menjemur peralatan tidur, tidur terpisah dengan
penderita TBC Paru;
c. Perilaku berhubungan dengan pencarian pengobatan misalnya : upaya untuk
mengoabati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern maupun
tradisional;
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan, misalnya kepatuhan minum obat.
Kepatuhan berobat adalah salah satu faktor utama keberhasilan pengobatan TB Paru yang
terdiri atas kepatuhan untuk mengambil obat, meminum obat sesuai aturan dan
memeriksakan sputum pada akhir pase intensif dan akhir pengobatan setelah 6 bulan.
5. Pelayanan Kesehatan
Upaya pelayanan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS baru
dilaksanakan di tingkat Puskesmas sedangkan di Rumah Sakit dan Praktek dokter swasta
belum menggunakan DOTS. Keterbatasan tenaga dan sarana laboratorium sehingga
angka kesalahan baca hasil slide sputum masih diatas 5 %.
Upaya penyuluhan tentang penyakit TB Paru sangat penting di laksanakan pada saat
pendertita memulai pengobatan dengan OAT karena apabila penderita mengetahui
tentang efek samping obat OAT berupa mual, muntah diare, sakit kepala, gangguan
pendernaan, nyeri pada bekas suntikan, penderita tidak akan menghentikan
pengobatannya dan akan dating berkonsultasi ke dokter yang merawatnya.
6. Komitmen
Program penanggulangan TB Paru akan berhasil apabila pemerintah dan masyarakat
mempunyai perhatian yang sama dalam upaya penanggulangan TB Paru. Dan dukungan
stakeholder hingga saat ini masih kurang , demikian pula dukungan lintas program dan
limtas sektoral yang tergabung dalam Gerdunas TB masih belum optimal.. Tuberulosis
(TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh suatu kuman basil
tahan asam (BTA): Mikobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui percikan
dahak penderita TBC pada orang sekitarnya. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah
batuk terus-menerus selama tiga minggu, berdahak dan sering pula disertai bercak darah
pada dahak penderita. Gejala tambahan lainnya berupa demam, nafsu makan menurun,
berat badan merosot drastis.
Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyakit ini merupakan
penyebab kematian no 3 setelah penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernafasan pada
semua kelompok umur. Sehingga pada tahun 1995 di mulailah cara pengobatan sistem
baru yakni dengan sistem DOTS.
Upaya pengobatan TBC sebenarnya sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan namun
hasil pengobatan masih tidak maksimal. Maka sejak tahun 1995 dicoba suatu metode
baru pengobatan TBC dengan Strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse =
pengobatan jangka pendek dengan pengawasan) diperkenalkan di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam system pelayanan kesehatan masyarakat
Penemuan kasus TBC di Indonesia (CDR=Case Detection Rate ) pada tahun 2005 adalah
68%, telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70%
dan target 2007 menjadi 74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate
= SR) mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%.
Situasi TBC di Indonesia dan kemajuannya :
Jumlah kasus TBC yang ditemukan meningkat secara nyata dalam beberapa tahun
terakhir. Angka penemuan kasus BTA positif baru meningkat dari 38% di tahun 2003
menjadi 54% di tahun 2004 sebagai hasil ekspansi DOTS yang dipercepat dengan
dukungan donor internasional yang meningkat seperti (GF ATM, USAID (TBCTA),
CIDA, DFID dan lain-lain dan bantuan teknis dari para mitra Stop TBC khususnya WHO
dan KNCV.
Kemajuan nyata dicapai dalam menurunkan prevalensi TBC di Indonesia. Wilayah Jawa-
Bali telah menunjukkan penurunan angka prevalensi setengahnya, sedangkan untuk
wilayah-wilayah yang sulit terjangkau juga menunjukkan penurunan yang signifikan
meskipun kemajuannya lebih lambat.
Dampak epidemiologi menunjukkan trend penurunan insidens TBC di masyarakat yaitu
128/100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 107/100.000 penduduk pada tahun
2005. Namun demikian berdasarkan survey pravalensi Nasional TBC oleh Badan
Litbangkes tahun 2004, menunjukkan sebaran insidens TBC per 100.000 penduduk yang
variatif dalam 4 regional, yakni Yogya/Bali (64/100.000 penduduk), Jawa (107/100.000
penduduk), Sumatera (160/100.000 penduduk) dan KTI (210/100.000 penduduk)
Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Kawasan
Timur Indonesia dan pada Puskesmas Bamban pada akhir tahun 2008 tercatat ada 10
penderita BTA baru di antara 6.000 penduduk di wilayah Puskesmas Bamban. Sedangkan
kalau dilihat dari tingkat penularan ternyata masih tinggi yakni ditemukan angka
kesakitan TB pada anak sebanyak 10 kasus.
Ada beberapa factor yang utama yang menghambat upaya penanggulangan TB di Kalsel
khusus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
1. Lingkungan
Lingkungan perumahan di wilayah kerja Puskesmas masih banyak yang belum
memenuhi syarat rumah sehat
2. Sosial Ekonomi
Secara ekonomi penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis adalah
karena masih rendah tingkat pendapatan perkepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut kebersihan/sanitasi lingkungan rumah . Kemiskinan
dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan pendearita tidak mampu
membiayai angkutan ke Puskesmas. Kebutuhan pokok lebih utama dibandingkan
pemeliharaan kesehatan.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi tentang
penyakit TB Paru, yang meliputi etiologi penyakit, cara penularan, gejala klinis,
pengobatan dan efek samping pengobatan, kegagalan pengobatan atau resistensi obat dan
komplikasi penyakit selanjutnya. Sehingga penderita dengan tingkat pendidikan rendah
tidak mengetahui bahwa waktu pengobatan belum selesai atau penyakitnya belum
sembuh dan kurang mengerti akan penyakit yang dideritanya serta bahayanya bila tidak
diobati secara tuntas.
4. Perilaku
Perilaku berkaitan dengan tespon penderita terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan
penyakit, pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku sakit dab penyakit ini
sesuai dengan tingkat –tingkat pencegahan penyakit, yakni :
a. Perilaku sehuibungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan misalnya
makan makanan yang bergizi, olah raga, jaga kebersihan diri, istirahat cukup dan
sebagainya,
b. Perilaku pencegahan penyakit misalnya: imunisasi, menutup mulut bila batuk,
membuang ludah pada tempatnya, menjemur peralatan tidur, tidur terpisah dengan
penderita TBC Paru;
c. Perilaku berhubungan dengan pencarian pengobatan misalnya : upaya untuk
mengoabati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern maupun
tradisional;
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan, misalnya kepatuhan minum obat.
Kepatuhan berobat adalah salah satu faktor utama keberhasilan pengobatan TB Paru yang
terdiri atas kepatuhan untuk mengambil obat, meminum obat sesuai aturan dan
memeriksakan sputum pada akhir pase intensif dan akhir pengobatan setelah 6 bulan.
5. Pelayanan Kesehatan
Upaya pelayanan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS baru
dilaksanakan di tingkat Puskesmas sedangkan di Rumah Sakit dan Praktek dokter swasta
belum menggunakan DOTS. Keterbatasan tenaga dan sarana laboratorium sehingga
angka kesalahan baca hasil slide sputum masih diatas 5 %.
Upaya penyuluhan tentang penyakit TB Paru sangat penting di laksanakan pada saat
pendertita memulai pengobatan dengan OAT karena apabila penderita mengetahui
tentang efek samping obat OAT berupa mual, muntah diare, sakit kepala, gangguan
pendernaan, nyeri pada bekas suntikan, penderita tidak akan menghentikan
pengobatannya dan akan dating berkonsultasi ke dokter yang merawatnya.
6. Komitmen
Program penanggulangan TB Paru akan berhasil apabila pemerintah dan masyarakat
mempunyai perhatian yang sama dalam upaya penanggulangan TB Paru. Dan dukungan
stakeholder hingga saat ini masih kurang , demikian pula dukungan lintas program dan
limtas sektoral yang tergabung dalam Gerdunas TB masih belum optimal.. Tuberulosis
(TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh suatu kuman basil
tahan asam (BTA): Mikobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui percikan
dahak penderita TBC pada orang sekitarnya. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah
batuk terus-menerus selama tiga minggu, berdahak dan sering pula disertai bercak darah
pada dahak penderita. Gejala tambahan lainnya berupa demam, nafsu makan menurun,
berat badan merosot drastis.
Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyakit ini merupakan
penyebab kematian no 3 setelah penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernafasan pada
semua kelompok umur. Sehingga pada tahun 1995 di mulailah cara pengobatan sistem
baru yakni dengan sistem DOTS.
Upaya pengobatan TBC sebenarnya sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan namun
hasil pengobatan masih tidak maksimal. Maka sejak tahun 1995 dicoba suatu metode
baru pengobatan TBC dengan Strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse =
pengobatan jangka pendek dengan pengawasan) diperkenalkan di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam system pelayanan kesehatan masyarakat
Penemuan kasus TBC di Indonesia (CDR=Case Detection Rate ) pada tahun 2005 adalah
68%, telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70%
dan target 2007 menjadi 74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate
= SR) mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%.
Situasi TBC di Indonesia dan kemajuannya :
Jumlah kasus TBC yang ditemukan meningkat secara nyata dalam beberapa tahun
terakhir. Angka penemuan kasus BTA positif baru meningkat dari 38% di tahun 2003
menjadi 54% di tahun 2004 sebagai hasil ekspansi DOTS yang dipercepat dengan
dukungan donor internasional yang meningkat seperti (GF ATM, USAID (TBCTA),
CIDA, DFID dan lain-lain dan bantuan teknis dari para mitra Stop TBC khususnya WHO
dan KNCV.
Kemajuan nyata dicapai dalam menurunkan prevalensi TBC di Indonesia. Wilayah Jawa-
Bali telah menunjukkan penurunan angka prevalensi setengahnya, sedangkan untuk
wilayah-wilayah yang sulit terjangkau juga menunjukkan penurunan yang signifikan
meskipun kemajuannya lebih lambat.
Dampak epidemiologi menunjukkan trend penurunan insidens TBC di masyarakat yaitu
128/100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 107/100.000 penduduk pada tahun
2005. Namun demikian berdasarkan survey pravalensi Nasional TBC oleh Badan
Litbangkes tahun 2004, menunjukkan sebaran insidens TBC per 100.000 penduduk yang
variatif dalam 4 regional, yakni Yogya/Bali (64/100.000 penduduk), Jawa (107/100.000
penduduk), Sumatera (160/100.000 penduduk) dan KTI (210/100.000 penduduk)
Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Kawasan
Timur Indonesia dan pada Puskesmas Bamban pada akhir tahun 2008 tercatat ada 10
penderita BTA baru di antara 6.000 penduduk di wilayah Puskesmas Bamban. Sedangkan
kalau dilihat dari tingkat penularan ternyata masih tinggi yakni ditemukan angka
kesakitan TB pada anak sebanyak 10 kasus.
Ada beberapa factor yang utama yang menghambat upaya penanggulangan TB di Kalsel
khusus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
1. Lingkungan
Lingkungan perumahan di wilayah kerja Puskesmas masih banyak yang belum
memenuhi syarat rumah sehat
2. Sosial Ekonomi
Secara ekonomi penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis adalah
karena masih rendah tingkat pendapatan perkepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut kebersihan/sanitasi lingkungan rumah . Kemiskinan
dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan pendearita tidak mampu
membiayai angkutan ke Puskesmas. Kebutuhan pokok lebih utama dibandingkan
pemeliharaan kesehatan.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi tentang
penyakit TB Paru, yang meliputi etiologi penyakit, cara penularan, gejala klinis,
pengobatan dan efek samping pengobatan, kegagalan pengobatan atau resistensi obat dan
komplikasi penyakit selanjutnya. Sehingga penderita dengan tingkat pendidikan rendah
tidak mengetahui bahwa waktu pengobatan belum selesai atau penyakitnya belum
sembuh dan kurang mengerti akan penyakit yang dideritanya serta bahayanya bila tidak
diobati secara tuntas.
4. Perilaku
Perilaku berkaitan dengan tespon penderita terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan
penyakit, pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku sakit dab penyakit ini
sesuai dengan tingkat –tingkat pencegahan penyakit, yakni :
a. Perilaku sehuibungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan misalnya
makan makanan yang bergizi, olah raga, jaga kebersihan diri, istirahat cukup dan
sebagainya,
b. Perilaku pencegahan penyakit misalnya: imunisasi, menutup mulut bila batuk,
membuang ludah pada tempatnya, menjemur peralatan tidur, tidur terpisah dengan
penderita TBC Paru;
c. Perilaku berhubungan dengan pencarian pengobatan misalnya : upaya untuk
mengoabati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern maupun
tradisional;
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan, misalnya kepatuhan minum obat.
Kepatuhan berobat adalah salah satu faktor utama keberhasilan pengobatan TB Paru yang
terdiri atas kepatuhan untuk mengambil obat, meminum obat sesuai aturan dan
memeriksakan sputum pada akhir pase intensif dan akhir pengobatan setelah 6 bulan.
5. Pelayanan Kesehatan
Upaya pelayanan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS baru
dilaksanakan di tingkat Puskesmas sedangkan di Rumah Sakit dan Praktek dokter swasta
belum menggunakan DOTS. Keterbatasan tenaga dan sarana laboratorium sehingga
angka kesalahan baca hasil slide sputum masih diatas 5 %.
Upaya penyuluhan tentang penyakit TB Paru sangat penting di laksanakan pada saat
pendertita memulai pengobatan dengan OAT karena apabila penderita mengetahui
tentang efek samping obat OAT berupa mual, muntah diare, sakit kepala, gangguan
pendernaan, nyeri pada bekas suntikan, penderita tidak akan menghentikan
pengobatannya dan akan dating berkonsultasi ke dokter yang merawatnya.
6. Komitmen
Program penanggulangan TB Paru akan berhasil apabila pemerintah dan masyarakat
mempunyai perhatian yang sama dalam upaya penanggulangan TB Paru. Dan dukungan
stakeholder hingga saat ini masih kurang , demikian pula dukungan lintas program dan
limtas sektoral yang tergabung dalam Gerdunas TB masih belum optimal.. Tuberulosis
(TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh suatu kuman basil
tahan asam (BTA): Mikobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui percikan
dahak penderita TBC pada orang sekitarnya. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah
batuk terus-menerus selama tiga minggu, berdahak dan sering pula disertai bercak darah
pada dahak penderita. Gejala tambahan lainnya berupa demam, nafsu makan menurun,
berat badan merosot drastis.
Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyakit ini merupakan
penyebab kematian no 3 setelah penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernafasan pada
semua kelompok umur. Sehingga pada tahun 1995 di mulailah cara pengobatan sistem
baru yakni dengan sistem DOTS.
Upaya pengobatan TBC sebenarnya sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan namun
hasil pengobatan masih tidak maksimal. Maka sejak tahun 1995 dicoba suatu metode
baru pengobatan TBC dengan Strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse =
pengobatan jangka pendek dengan pengawasan) diperkenalkan di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam system pelayanan kesehatan masyarakat
Penemuan kasus TBC di Indonesia (CDR=Case Detection Rate ) pada tahun 2005 adalah
68%, telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70%
dan target 2007 menjadi 74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate
= SR) mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%.
Situasi TBC di Indonesia dan kemajuannya :
Jumlah kasus TBC yang ditemukan meningkat secara nyata dalam beberapa tahun
terakhir. Angka penemuan kasus BTA positif baru meningkat dari 38% di tahun 2003
menjadi 54% di tahun 2004 sebagai hasil ekspansi DOTS yang dipercepat dengan
dukungan donor internasional yang meningkat seperti (GF ATM, USAID (TBCTA),
CIDA, DFID dan lain-lain dan bantuan teknis dari para mitra Stop TBC khususnya WHO
dan KNCV.
Kemajuan nyata dicapai dalam menurunkan prevalensi TBC di Indonesia. Wilayah Jawa-
Bali telah menunjukkan penurunan angka prevalensi setengahnya, sedangkan untuk
wilayah-wilayah yang sulit terjangkau juga menunjukkan penurunan yang signifikan
meskipun kemajuannya lebih lambat.
Dampak epidemiologi menunjukkan trend penurunan insidens TBC di masyarakat yaitu
128/100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 107/100.000 penduduk pada tahun
2005. Namun demikian berdasarkan survey pravalensi Nasional TBC oleh Badan
Litbangkes tahun 2004, menunjukkan sebaran insidens TBC per 100.000 penduduk yang
variatif dalam 4 regional, yakni Yogya/Bali (64/100.000 penduduk), Jawa (107/100.000
penduduk), Sumatera (160/100.000 penduduk) dan KTI (210/100.000 penduduk)
Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Kawasan
Timur Indonesia dan pada Puskesmas Bamban pada akhir tahun 2008 tercatat ada 10
penderita BTA baru di antara 6.000 penduduk di wilayah Puskesmas Bamban. Sedangkan
kalau dilihat dari tingkat penularan ternyata masih tinggi yakni ditemukan angka
kesakitan TB pada anak sebanyak 10 kasus.
Ada beberapa factor yang utama yang menghambat upaya penanggulangan TB di Kalsel
khusus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
1. Lingkungan
Lingkungan perumahan di wilayah kerja Puskesmas masih banyak yang belum
memenuhi syarat rumah sehat
2. Sosial Ekonomi
Secara ekonomi penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis adalah
karena masih rendah tingkat pendapatan perkepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut kebersihan/sanitasi lingkungan rumah . Kemiskinan
dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan pendearita tidak mampu
membiayai angkutan ke Puskesmas. Kebutuhan pokok lebih utama dibandingkan
pemeliharaan kesehatan.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi tentang
penyakit TB Paru, yang meliputi etiologi penyakit, cara penularan, gejala klinis,
pengobatan dan efek samping pengobatan, kegagalan pengobatan atau resistensi obat dan
komplikasi penyakit selanjutnya. Sehingga penderita dengan tingkat pendidikan rendah
tidak mengetahui bahwa waktu pengobatan belum selesai atau penyakitnya belum
sembuh dan kurang mengerti akan penyakit yang dideritanya serta bahayanya bila tidak
diobati secara tuntas.
4. Perilaku
Perilaku berkaitan dengan tespon penderita terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan
penyakit, pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku sakit dab penyakit ini
sesuai dengan tingkat –tingkat pencegahan penyakit, yakni :
a. Perilaku sehuibungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan misalnya
makan makanan yang bergizi, olah raga, jaga kebersihan diri, istirahat cukup dan
sebagainya,
b. Perilaku pencegahan penyakit misalnya: imunisasi, menutup mulut bila batuk,
membuang ludah pada tempatnya, menjemur peralatan tidur, tidur terpisah dengan
penderita TBC Paru;
c. Perilaku berhubungan dengan pencarian pengobatan misalnya : upaya untuk
mengoabati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern maupun
tradisional;
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan, misalnya kepatuhan minum obat.
Kepatuhan berobat adalah salah satu faktor utama keberhasilan pengobatan TB Paru yang
terdiri atas kepatuhan untuk mengambil obat, meminum obat sesuai aturan dan
memeriksakan sputum pada akhir pase intensif dan akhir pengobatan setelah 6 bulan.
5. Pelayanan Kesehatan
Upaya pelayanan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS baru
dilaksanakan di tingkat Puskesmas sedangkan di Rumah Sakit dan Praktek dokter swasta
belum menggunakan DOTS. Keterbatasan tenaga dan sarana laboratorium sehingga
angka kesalahan baca hasil slide sputum masih diatas 5 %.
Upaya penyuluhan tentang penyakit TB Paru sangat penting di laksanakan pada saat
pendertita memulai pengobatan dengan OAT karena apabila penderita mengetahui
tentang efek samping obat OAT berupa mual, muntah diare, sakit kepala, gangguan
pendernaan, nyeri pada bekas suntikan, penderita tidak akan menghentikan
pengobatannya dan akan dating berkonsultasi ke dokter yang merawatnya.
6. Komitmen
Program penanggulangan TB Paru akan berhasil apabila pemerintah dan masyarakat
mempunyai perhatian yang sama dalam upaya penanggulangan TB Paru. Dan dukungan
stakeholder hingga saat ini masih kurang , demikian pula dukungan lintas program dan
limtas sektoral yang tergabung dalam Gerdunas TB masih belum optimal.. Tuberulosis
(TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh suatu kuman basil
tahan asam (BTA): Mikobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui percikan
dahak penderita TBC pada orang sekitarnya. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah
batuk terus-menerus selama tiga minggu, berdahak dan sering pula disertai bercak darah
pada dahak penderita. Gejala tambahan lainnya berupa demam, nafsu makan menurun,
berat badan merosot drastis.
Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyakit ini merupakan
penyebab kematian no 3 setelah penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernafasan pada
semua kelompok umur. Sehingga pada tahun 1995 di mulailah cara pengobatan sistem
baru yakni dengan sistem DOTS.
Upaya pengobatan TBC sebenarnya sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan namun
hasil pengobatan masih tidak maksimal. Maka sejak tahun 1995 dicoba suatu metode
baru pengobatan TBC dengan Strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse =
pengobatan jangka pendek dengan pengawasan) diperkenalkan di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam system pelayanan kesehatan masyarakat
Penemuan kasus TBC di Indonesia (CDR=Case Detection Rate ) pada tahun 2005 adalah
68%, telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70%
dan target 2007 menjadi 74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate
= SR) mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%.
Situasi TBC di Indonesia dan kemajuannya :
Jumlah kasus TBC yang ditemukan meningkat secara nyata dalam beberapa tahun
terakhir. Angka penemuan kasus BTA positif baru meningkat dari 38% di tahun 2003
menjadi 54% di tahun 2004 sebagai hasil ekspansi DOTS yang dipercepat dengan
dukungan donor internasional yang meningkat seperti (GF ATM, USAID (TBCTA),
CIDA, DFID dan lain-lain dan bantuan teknis dari para mitra Stop TBC khususnya WHO
dan KNCV.
Kemajuan nyata dicapai dalam menurunkan prevalensi TBC di Indonesia. Wilayah Jawa-
Bali telah menunjukkan penurunan angka prevalensi setengahnya, sedangkan untuk
wilayah-wilayah yang sulit terjangkau juga menunjukkan penurunan yang signifikan
meskipun kemajuannya lebih lambat.
Dampak epidemiologi menunjukkan trend penurunan insidens TBC di masyarakat yaitu
128/100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 107/100.000 penduduk pada tahun
2005. Namun demikian berdasarkan survey pravalensi Nasional TBC oleh Badan
Litbangkes tahun 2004, menunjukkan sebaran insidens TBC per 100.000 penduduk yang
variatif dalam 4 regional, yakni Yogya/Bali (64/100.000 penduduk), Jawa (107/100.000
penduduk), Sumatera (160/100.000 penduduk) dan KTI (210/100.000 penduduk)
Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Kawasan
Timur Indonesia dan pada Puskesmas Bamban pada akhir tahun 2008 tercatat ada 10
penderita BTA baru di antara 6.000 penduduk di wilayah Puskesmas Bamban. Sedangkan
kalau dilihat dari tingkat penularan ternyata masih tinggi yakni ditemukan angka
kesakitan TB pada anak sebanyak 10 kasus.
Ada beberapa factor yang utama yang menghambat upaya penanggulangan TB di Kalsel
khusus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
1. Lingkungan
Lingkungan perumahan di wilayah kerja Puskesmas masih banyak yang belum
memenuhi syarat rumah sehat
2. Sosial Ekonomi
Secara ekonomi penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis adalah
karena masih rendah tingkat pendapatan perkepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut kebersihan/sanitasi lingkungan rumah . Kemiskinan
dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan pendearita tidak mampu
membiayai angkutan ke Puskesmas. Kebutuhan pokok lebih utama dibandingkan
pemeliharaan kesehatan.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi tentang
penyakit TB Paru, yang meliputi etiologi penyakit, cara penularan, gejala klinis,
pengobatan dan efek samping pengobatan, kegagalan pengobatan atau resistensi obat dan
komplikasi penyakit selanjutnya. Sehingga penderita dengan tingkat pendidikan rendah
tidak mengetahui bahwa waktu pengobatan belum selesai atau penyakitnya belum
sembuh dan kurang mengerti akan penyakit yang dideritanya serta bahayanya bila tidak
diobati secara tuntas.
4. Perilaku
Perilaku berkaitan dengan tespon penderita terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan
penyakit, pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku sakit dab penyakit ini
sesuai dengan tingkat –tingkat pencegahan penyakit, yakni :
a. Perilaku sehuibungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan misalnya
makan makanan yang bergizi, olah raga, jaga kebersihan diri, istirahat cukup dan
sebagainya,
b. Perilaku pencegahan penyakit misalnya: imunisasi, menutup mulut bila batuk,
membuang ludah pada tempatnya, menjemur peralatan tidur, tidur terpisah dengan
penderita TBC Paru;
c. Perilaku berhubungan dengan pencarian pengobatan misalnya : upaya untuk
mengoabati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern maupun
tradisional;
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan, misalnya kepatuhan minum obat.
Kepatuhan berobat adalah salah satu faktor utama keberhasilan pengobatan TB Paru yang
terdiri atas kepatuhan untuk mengambil obat, meminum obat sesuai aturan dan
memeriksakan sputum pada akhir pase intensif dan akhir pengobatan setelah 6 bulan.
5. Pelayanan Kesehatan
Upaya pelayanan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS baru
dilaksanakan di tingkat Puskesmas sedangkan di Rumah Sakit dan Praktek dokter swasta
belum menggunakan DOTS. Keterbatasan tenaga dan sarana laboratorium sehingga
angka kesalahan baca hasil slide sputum masih diatas 5 %.
Upaya penyuluhan tentang penyakit TB Paru sangat penting di laksanakan pada saat
pendertita memulai pengobatan dengan OAT karena apabila penderita mengetahui
tentang efek samping obat OAT berupa mual, muntah diare, sakit kepala, gangguan
pendernaan, nyeri pada bekas suntikan, penderita tidak akan menghentikan
pengobatannya dan akan dating berkonsultasi ke dokter yang merawatnya.
6. Komitmen
Program penanggulangan TB Paru akan berhasil apabila pemerintah dan masyarakat
mempunyai perhatian yang sama dalam upaya penanggulangan TB Paru. Dan dukungan
stakeholder hingga saat ini masih kurang , demikian pula dukungan lintas program dan
limtas sektoral yang tergabung dalam Gerdunas TB masih belum optimal..

Pengertian

TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB


(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lain (Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan yang disebut pula Basil Tahan Asam
(BTA). TB Paru adalah penyakit infeksi pada Paru yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam (Suriadi, 2001). TB Paru adalah infeksi penyakit
menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang
ditularkan melalui udara (Asih, 2004).

Etiologi

Menurut Suriadi (2001) penyebab dari TB Paru adalah : 1) Mycobacterium tuberculosis.


2) Mycobacterium bovis

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis :


a) Herediter: resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan secara
genetik. b) Jenis kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian dan
kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan. c) Usia : pada masa bayi
kemungkinan terinfeksi sangat tinggi. d) Pada masa puber dan remaja dimana masa
pertumbuhan yang cepat, kemungkinan infeksi cukup tingggi karena diit yang tidak
adekuat. e) Keadaan stress: situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang nutrisi,
stress emosional, kelelahan yang kronik) f) Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang
menekan reaksi inflamasi dan memudahkan untuk penyebarluasan infeksi. g) Anak yang
mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi lebih mudah. h) Nutrisi ; status
nutrisi kurang i) Infeksi berulang : HIV, Measles, pertusis. j) Tidak mematuhi aturan
pengobatan.

Patofisiologi

Sumber penularan TB Paru adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk/bersin,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet
yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan kemudian menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian
tubuh lain (Dep.Kes, 2003).

Riwayat terjadinya TB paru dibedakan menjadi 2 (Dep.Kes, 2003) : 1) Infeksi


Primer, Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB
Paru. Droplet yang terhirup ukurannya sangat kecil, sehingga dapat melewati mukosilier
bronkus, dan terus berjalan hingga sampai di alveolus, menurut dan menetap disana.
Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil berkembang biak dengan cara membelah
diri di paru, yang mengakibatkan peradangan pada paru, dan ini disebut komplek primer.
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6
minggu. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk
dan besarnya respon daya tahan (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan
tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB Paru. Meskipun demikian,
ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur),
kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman,
akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB Paru.
Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit,
diperkirakan sekitar 6 bulan. 2) Infeksi pasca primer (Post Primary TB), TB Paru pasca
primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer,
misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi buruk.
Ciri khas dari TB Paru pasca primer adalah kerusakan Paru yang luas dengan terjadinya
kavitas atau efusi pleura. Tanpa pengobatan setelah 5 tahun, 50 % dari penderita TB Paru
akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25 %
sebagai kasus kronik yang tetap menular.

Manifestasi Klinik Menurut Dep.Kes( 2003),

manifestasi klinik TB Paru dibagi :


1. Gejala Umum: Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Pada
TB Paru anak terdapat pembesaran kelenjar limfe superfisialis. 2. Gejala lain yang sering
dijumpai: a) Dahak bercampur darah. b) Batuk darah c) Sesak nafas dan rasa nyeri dada
d) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari
sebulan. Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit Paru selain TB Paru.
Oleh karena itu setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala
tersebut diatas, harus dianggap sebagi seorang “suspek TB Paru” atau tersangka penderita
TB Paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

Penemuan Penderita TB Paru

Menurut Dep.Kes (2003), penemuan penderita TB Paru dibedakan menjadi 2: 1. Pada


orang dewasa: Penemuan TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka
penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan
kesehatan. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif
bila sedikitnya dua dari tiga spesimen BTA hasilnya positif. 2. Pada anak-anak:
Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TB dari bahan yang diambil
dari penderita, misalnya dahak, bilasan lambung, dan biopsi. Sebagian besar diagnosis
TB anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin.
Seorang anak harus dicurigai menderita TB Paru kalau mempunyai sejarah kontak
erat/serumah dengan penderita TB Paru BTA positif, terdapat reaksi kemerahan cepat
setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari) dan terdapat gejala umum TB paru yaitu batuk
lebih dari 2 minggu.

Klasifikasi TB Paru Menurut Dep.Kes (2003), klasifikasi TB Paru dibedakan atas : 1)


Berdasarkan organ yang terinvasi: a) TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan
dahak, TB Paru dibagi dalam Tuberkulosis Paru BTA positif dan BTA negatif. b) TB
ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan alat kelamin. TB ekstra paru dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya yaitu : TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar
limfe, pleura, tulang(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal; dan TB ekstra
paru berat seperti meningitis, pericarditis, peritonitis, TB tulang belakang, TB saluran
kencing dan alat kelamin. 2) Berdasarkan tipe penderita: Tipe penderita ditentukan
berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita : a) Kasus
baru : penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari satu bulan. b) Kambuh (relaps) adalah penderita
TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh,
kemudian kembali berobat dengan hasil pemeriksaan BTA positif. c) Pindahan (transfer
in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain kemudian
pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah. d) Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian
datang kembali berobat.

Komplikasi Menurut Dep.Kes (2003) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB
Paru stadium lanjut: 1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang
dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. 3) Bronkiectasis dan fribosis pada Paru. 4)
Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru. 5) Penyebaran
infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. 6)
Insufisiensi Kardio Pulmoner

Penatalaksanaan

Menurut Dep.Kes (2003) tujuan pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan


penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat
penularan. Salah satu komponen dalam DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung dan untuk menjamin keteraturan pengobatan
diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pemberian paduan OAT didasarkan
pada klasifikasi TB Paru. Prinsip pengobatan TB Paru adalah obat TB diberikan dalam
bentuk kombinasi dari beberapa jenis (Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin,
Etambutol) dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman
(termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan tahap lanjutan
ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Pada tahap intensif
(awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah
terjadinya kekebalan terhadap semua OAT. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
pada akhir pengobatan intensif. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadi kekambuhan. Pada anak,
terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita TB Paru BTA
positif, perlu dilakukan pemeriksaan. Bila anak mempunyai gejala seperti TB Paru maka
dilakukan pemeriksaan seperti alur TB Paru anak dan bila tidak ada gejala, sebagai
pencegahan diberikan Izoniasid 5 mg per kg berat badan perhari selama enam bulan.
Pada keadaan khusus (adanya penyakit penyerta, kehamilan, menyusui) pemberian
pengobatan dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi khusus tersebut (Dep.Kes, 2003)
misalnya : 1) Wanita hamil: Pinsip pengobatan pada wanita hamil tidak berbeda dengan
orang dewasa. Semua jenis OAT aman untuk wanita hamil kecuali Streptomycin, karena
bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta yang akan
mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada
bayi yang dilahirkan. 2) Ibu menyusui: Pada prinsipnya pengobatan TB Paru tidak
berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi sesuai dengan berat
badannya. 3) Wanita pengguna kontrasepsi: Rifampisin berinteraksi dengan
kontrasepsi hormonal sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.
Penderita TB Paru seyogyanya menggunakan kontrasepsi non hormonal. 4) Penderita
TB Paru dengan kelainan hati kronik: Sebelum pengobatan TB, penderita dianjurkan
untuk pemeriksaan faal hati. Apabila SGOT dan SGPT meningkat 3 kali, OAT harus
dihentikan. Apabila peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan diteruskan dengan
pengawasan ketat. Penderita kelainan hati, Pirazinamid tidak boleh diberikan. 5)
Penderita TB Paru dengan Hepatitis Akut: Pemberian OAT ditunda sampai Hepatitis
Akut mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB Paru sangat
diperlukan, dapat diberikan Streptomycin dan Ethambutol maksimal 3 bulan sampai
hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampicin dan Isoniasid selama 6
bulan. 6) Penderita TB Paru dengan gangguan ginjal: Dosis yang paling aman adalah
2 RHZ/6HR. apabila sangat diperlukan, Etambutol dan Streptomicin tetap dapat
diberikan dengan pengawasan fungsi ginjal. 7) Penderita TB paru dengan Diabetes
Mellitus: Dalam keadaan ini, diabetesnya harus dikontrol. Penggunaan Rifampicin akan
mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes sehingga dosisnya perlu ditingkatkan.
Penggunaan Etambutol pada penderita Diabetes harus diperhatikan karena mempunyai
komplikasi terhadap mata.

Penggunaan OAT mempunyai beberapa efek samping diantaranya a. Rifampicin :


tidak nafsu makan, mual, sakit perut, warna kemerahan pada air seni, purpura dan syok
(Dep.Kes, 2003), sindrom flu, hepatotoksik (Soeparman, 1990) b. Pirasinamid : nyeri
sendi, hiperurisemia, (Soeparman, 1990) c. INH : kesemutan sampai dengan rasa terbakar
di kaki (Dep.Kes, 2003), neuropati perifer, hepatotoksik (Soeparman, 1990). d.
Streptomisin : tuli, gangguan keseimbangan (Dep.Kes, 2003), nefrotoksik dan gangguan
Nervus VIII (Soeparman, 1990) e. Ethambutol : gangguan penglihatan, nefrotoksik,
skinrash/dermatitis (Soeparman, 1990). f. Etionamid : hepatotoksik, gangguan
pencernaan (Soeparman, 1990)

Hampir semua OAT memberikan efek samping gatal dan kemerahan, ikhterus tanpa
penyebab lain, bingung dan muntah-muntah (Dep.Kes, 2003), serta bersifat hepatotoksik
atau meracuni hati (Soeparman, 1990) Menurut Suriadi (2001) penatalaksanaan
terapeutik TB Paru meliputi nutrisi adekuat, kemoterapi, pembedahan dan pencegahan.
Menurut Soeparman (1990), indikasi terapi bedah saat ini adalah penderita sputum BTA
tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulangi dan penderita batuk darah masif atau
berulang.

Anda mungkin juga menyukai