Latar belakang
Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut
WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun
(WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian
penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB
berada di negara-negara berkembang Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia
jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada
kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (WHO). WHO mencanangkan keadaan
darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993 karena diperkirakan sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB.
Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit
jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan
bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I
dari golongan infeksi. Antara tahun 1979 ? 1982 telah dilakukan survey prevalensi di 15
propinsi dengan hasil 200-400 penderita tiap 100.000 penduduk.
Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita terdapat
disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintahd an
swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan. Sedangkan
kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun.
Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB
kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita
TB Paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse
Chemotherapy) -atau pengawasan langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari- baru
mencapai 36% dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994)
cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%.
Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup dimasa lalu
kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis)
secara meluas atau multi drug resistance (MDR).
Definisi :
Penyakit Tuberkulosis: adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Kuman Tuberkulosis :
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu taha terhadap asam pada
pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam
ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant,
tertidur lama selama beberapa tahun.
Cara Penularan :
Sumber penularana adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin,
penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet
yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam.
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan.
Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB
tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran
darah, sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian
tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),
maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara
dan lamanya menghirup udara tersebut.
Resiko Penularan :
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan berfariasi antara 1 ? 2 %. Pada daerah dengan ARTI
sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan
terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB,
hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan
tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara
100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun,
dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan
seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah; diantaranya
karena gizi buruk atau HIV/AIDS.
Infeksi Primer :
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet
yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana.
Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di
Paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran linfe akan membawa kuma
TB ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu
antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4 ? 6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari
negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon
daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut
dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman
akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan
tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa
bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu
waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6
bulan.
Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB) :
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau
status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru
yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis :
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :
Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas.
Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
Bronkiectasis dan Fibrosis pada paru.
Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit.
Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif)
masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus
kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup
diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit
spesialistik.
UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk difoto rontgen
dada.
Pembunuh massal
Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa bakteri mycobacterium tuberculosis yang
menyebabkan TBC adalah bekteri pembunuh massal. WHO memperkirakan bakteri ini
membunuh sekitar 2 juta jiwa setiap tahunnya. Antara tahun 2002-2020 diperkirakan
sekitar 1 miliar manusia akan terinfeksi. Dengan kata lain pertambahan jumlah infeksi
lebih dari 56 juta tiap tahunnya. Biasanya 5-10 persen di antara infeksi berkembang
menjadi penyakit, dan 40 persen di antara yang berkembang menjadi penyakit berakhir
dengan kematian.
Jika dihitung, pertambahan jumlah pasien TBC akan bertambah sekitar 2,8-5,6 juta setiap
tahun, dan 1,1-2,2 juta jiwa meninggal setiap tahun karena TBC. Perkiraan WHO, yakni
2 juta jiwa meninggal tiap tahun, adalah berdasarkan perhitungan ini. Angka ini adalah
angka yang besar, karena 2-4 orang terinfeksi setiap detik, dan hampir 4 orang setiap
menit meninggal karena TBC ini. Kecepatan penyebaran TBC bisa meningkat lagi sesuai
dengan peningkatan penyebaran HIV/AIDS dan munculnya bakteri TBC yang resisten
terhadap obat.
Selain itu migrasi manusia juga mempercepat penyebaran TBC. Di Amerika Serikat,
hampir 40 persen dari penderita TBC adalah orang yang lahir di luar negeri. Mereka
imigrasi ke Amerika dan menjadi sumber penyebaran TBC. Begitu juga dengan
meningkatnya jumlah pengungsi akibat perang dengan lingkungan yang tidak sehat
sehingga memudahkan penyebaran TBC. Diperkirakan sebanyak 50 persen dari
pengungsi di dunia berpeluang terinfeksi TBC.
Di kawasan Asia Tenggara, data WHO (http:www.whosea.org) menunjukan bahwa TBC
membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40 persen dari kasus TBC di dunia
berada di kawasan Asia Tenggara. Dua di antara tiga negara dengan jumlah penderita
TBC terbesar di dunia, yaitu India dan Indonesia, berada di wilayah ini. Indonesia berada
di bawah India, dengan jumlah penderita terbanyak di dunia, diikuti Cina di peringkat
kedua.
Dibandingkan dengan penyakit menular lainnya, TBC juga menjadi pembunuh nomor
satu di kawasan ini, di mana jumlahnya 2-3 kali jumlah kematian yang disebabkan oleh
HIV/AIDS yang berada di peringkat kedua. Sementara itu, penyakit tropis seperti demam
berdarah dengue (DBD) tidak sampai sepersepuluhnya. Kita bisa membayangkan betapa
seriusnya masalah TBC ini.
Karena itu, perlu kita sadari kembali bahwa TBC adalah penyakit yang sangat perlu
mendapat perhatian untuk ditanggulangi. Karena bakteri mycobacterium tuberculosis
sangat mudah menular melalui udara pada saat pasien TBC batuk atau bersin, bahkan
pada saat meludah dan berbicara. Satu penderita bisa menyebarkan bakteri TBC ke 10-15
orang dalam satu tahun.
Berdasarkan data Rumah Sakit "Prof DR Sulianti Saroso" (http:www.infeksi.com), di
Indonesia tiap tahun terdapat 583 ribu kasus dan 140 ribu di antaranya meninggal dunia.
Jika dihitung, setiap hari 425 orang meninggal akibat TBC di Indonesia. Kalau 1 orang
pasien bisa menularkan ke 10 orang, pada tahun berikutnya jumlah yang tertular adalah
5,8 juta orang. Karena itu, jelaslah bahwa TBC adalah pembunuh massal yang harus
diberantas.
Terapi TBC
Karena yang menjadi sumber penyebaran TBC adalah penderita TBC itu sendiri,
pengontrolan efektif TBC mengurangi pasien TBC tersebut. Ada dua cara yang tengah
dilakukan untuk mengurangi penderita TBC saat ini, yaitu terapi dan imunisasi. Untuk
terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TBC jangka pendek dengan
pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse Chemotherapy). Dalam strategi ini ada tiga tahapan penting, yaitu
mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung.
Deteksi atau diagnosa pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan
menjadi sumber penyebaran TBC berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu
bisa diduga mengidap TBC. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan
terinfeksi kuman TBC atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan
menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa
secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan.
Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TBC, dokter akan memberikan obat dengan
komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TBC yang
biasanya digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin, dan
ethambutol. Untuk menghindari munculnya bakteri TBC yang resisten, biasanya
diberikan obat yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini.
Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta
perkembangan pasien. Ini sangat penting karena ada kecendrungan pasien berhenti
minum obat karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TBC biasanya gejala TBC
bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benar-benar sembuh
dari TBC diharuskan untuk mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan. Efek negatif
yang muncul jika kita berhenti minum obat adalah munculnya kuman TBC yang resisten
terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar, pengendalian TBC akan
semakin sulit dilaksanakan.
DOTS adalah strategi yang paling efektif untuk menangani pasien TBC saat ini, dengan
tingkat kesembuhan bahkan sampai 95 persen. DOTS diperkenalkan sejak tahun 1991
dan sekitar 10 juta pasien telah menerima perlakuan DOTS ini. Di Indonesia sendiri
DOTS diperkenalkan pada tahun 1995 dengan tingkat kesembuhan 87 persen pada tahun
2000 (http:www.who.int). Angka ini melebihi target WHO, yaitu 85 persen, tapi sangat
disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di Indonesia masih rendah. Berdasarkan
data WHO, untuk tahun 2001, tingkat deteksi hanya 21 persen, jauh di bawah target
WHO, 70 persen. Karena itu, usaha untuk medeteksi kasus baru perlu lebih ditingkatkan
lagi.
Imunisasi
Pengontrolan TBC yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi ini akan memberikan
kekebalan aktif terhadap penyaki TBC. Vaksin TBC, yang dikenal dengan nama BCG
terbuat dari bakteri M tuberculosis strain Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Bakteri ini
menyebabkan TBC pada sapi, tapi tidak pada manusia. Vaksin ini dikembangkan pada
tahun 1950 dari bakteri M tuberculosis yang hidup (live vaccine), karenanya bisa
berkembang biak di dalam tubuh dan diharapkan bisa mengindus antibodi seumur hidup.
Selain itu, pemberian dua atau tiga kali tidak berpengaruh. Karena itu, vaksinasi BCG
hanya diperlukan sekali seumur hidup. Di Indonesia, diberikan sebelum berumur dua
bulan.
Imunisasi TBC ini tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TBC. Tingkat
efektivitas vaksin ini berkisar antara 70-80 persen. Karena itu, walaupun telah menerima
vaksin, kita masih harus waspada terhadap serangan TBC ini. Karena efektivitas vaksin
ini tidak sempurna, secara global ada dua pendapat tentang imunisasi TBC ini. Pendapat
pertama adalah tidak perlu imunisasi. Amerika Serikat adalah salah satu di antaranya.
Amerika Serikat tidak melakukan vaksinasi BCG, tetapi mereka menjaga ketat terhadap
orang atau kelompok yang berisiko tinggi serta melakukan diagnosa terhadap mereka.
Pasien yang terdeteksi akan langsung diobati. Sistem deteksi dan diagnosa yang rapi
inilah yang menjadi kunci pengontorlan TBC di AS.
Pendapat yang kedua adalah perlunya imunisasi. Karena tingkat efektivitasnya 70-80
persen, sebagian besar rakyat bisa dilindungi dari infeksi kuman TBC. Negara-negara
Eropa dan Jepang adalah negara yang menganggap perlunya imunisasi. Bahkan Jepang
telah memutuskan untuk melakukan vaksinasi BCG terhadap semua bayi yang lahir tanpa
melakukan tes Tuberculin, tes yang dilakukan untuk mendeteksi ada-tidaknya antibodi
yang dihasikan oleh infeksi kuman TBC. Jika hasil tes positif, dianggap telah terinfeksi
TBC dan tidak akan diberikan vaksin. Karena jarangnya kasus TBC di Jepang, dianggap
semua anak tidak terinfeksi kuman TBC, sehingga diputuskan bahwa tes Tuberculin tidak
perlu lagi dilaksanakan.
Bagaimana dengan Indonesia? Karena Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah
penduduk yang banyak, agaknya masih perlu melaksanakan vaksinasi BCG ini. Dengan
melaksanakan vaksinasi ini, jumlah kasus dugaan (suspected cases) jauh akan berkurang,
sehingga memudahkan kita untuk mendeteksi pasien TBC, untuk selanjutnya dilakukan
terapi DOTS untuk pasien yang terdeteksi. Kedua pendekatan, yaitu vaksinasi dan terapi
perlu dilakukan untuk memberantas TBC dari bumi Indonesia.
: Andi Utama (Peneliti Puslit Bioteknologi-LIPI dan Pemerhati Masalah Kesehatan)
PERANGI TBC :
10 HAL TENTANG TBC DAN PENANGGULANGANNYA.
10 FAKTA PENTING MENGENAI SITUASI TBC DI INDONESIA
Tiap tahun terdapat 583.000 kasus TBC di Indonesia
Secara nasional, TBC ?membunuh? kira-kira 140.000 orang setiap tahun
Setiap hari 425 orang meninggal akibat TBC di Indonesia.
Indonesia merupakan ?penyumbang? kasus TBC ke-3 di Dunia, setelah RRC dan India.
Tingkat resiko untuk terserang TBC di Indonesia berkisar antara 1,7 % - 4,4 % ( menurut
data 1972-1987 ).
Sekitar ¾ pasien TBC di Indonesia tergolong dalam usia produktif.
Tahun 1995, pemerintah Indonesia mulai mengadopsi starategi DOTS (Directly Observed
Tratment Short-Course) untuk menanggulangi TBC.
Tahun 1996, obat TBC di Puskesmas diberikan dalam bentuk Kombipak.
Tahun 1999 merupakan dimulainya era penting dalam penanggulangan TBC di Indonesia,
karena dibentuknya GERDUNAS-TBC (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan
TBC) yang merupakan wujut nyata kemitraan dengan berbagai sektor yang terkait dalam
penanggulangan TBC di Indoensia.
Penelitian ekonomi kesehatan di Indonesia menemukan bahwa jika pengobatan dapat
diterapkan secara dini, setiap US$ 1 yang untuk program penanggulangan TBC, maka
akan dapat menghemat US$ 55 dalam waktu 20 tahun.
Bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling ?cost
effective?.
Bangladesh : Dengan strategi DOTS, angka kesembuhan mampu mencapai sekitar 80 %.
Maldives : Angka kesembuhan mencapai angka sekitar 85 % berkat strategi DOTS.
Nepal : Setelah menggunakan DOTS, angka kesembuhan mencapai 85 % - sebelumnya
hanya mencapai 50 %.
RRC : Tingkat kesembuhan mencapai 90 % dengan DOTS.
Tuberulosis (TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh suatu
kuman basil tahan asam (BTA): Mikobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan
melalui percikan dahak penderita TBC pada orang sekitarnya. Gejala umum TB pada
orang dewasa adalah batuk terus-menerus selama tiga minggu, berdahak dan sering pula
disertai bercak darah pada dahak penderita. Gejala tambahan lainnya berupa demam,
nafsu makan menurun, berat badan merosot drastis.
Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyakit ini merupakan
penyebab kematian no 3 setelah penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernafasan pada
semua kelompok umur. Sehingga pada tahun 1995 di mulailah cara pengobatan sistem
baru yakni dengan sistem DOTS.
Upaya pengobatan TBC sebenarnya sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan namun
hasil pengobatan masih tidak maksimal. Maka sejak tahun 1995 dicoba suatu metode
baru pengobatan TBC dengan Strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse =
pengobatan jangka pendek dengan pengawasan) diperkenalkan di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam system pelayanan kesehatan masyarakat
Penemuan kasus TBC di Indonesia (CDR=Case Detection Rate ) pada tahun 2005 adalah
68%, telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70%
dan target 2007 menjadi 74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate
= SR) mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%.
Situasi TBC di Indonesia dan kemajuannya :
Jumlah kasus TBC yang ditemukan meningkat secara nyata dalam beberapa tahun
terakhir. Angka penemuan kasus BTA positif baru meningkat dari 38% di tahun 2003
menjadi 54% di tahun 2004 sebagai hasil ekspansi DOTS yang dipercepat dengan
dukungan donor internasional yang meningkat seperti (GF ATM, USAID (TBCTA),
CIDA, DFID dan lain-lain dan bantuan teknis dari para mitra Stop TBC khususnya WHO
dan KNCV.
Kemajuan nyata dicapai dalam menurunkan prevalensi TBC di Indonesia. Wilayah Jawa-
Bali telah menunjukkan penurunan angka prevalensi setengahnya, sedangkan untuk
wilayah-wilayah yang sulit terjangkau juga menunjukkan penurunan yang signifikan
meskipun kemajuannya lebih lambat.
Dampak epidemiologi menunjukkan trend penurunan insidens TBC di masyarakat yaitu
128/100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 107/100.000 penduduk pada tahun
2005. Namun demikian berdasarkan survey pravalensi Nasional TBC oleh Badan
Litbangkes tahun 2004, menunjukkan sebaran insidens TBC per 100.000 penduduk yang
variatif dalam 4 regional, yakni Yogya/Bali (64/100.000 penduduk), Jawa (107/100.000
penduduk), Sumatera (160/100.000 penduduk) dan KTI (210/100.000 penduduk)
Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Kawasan
Timur Indonesia dan pada Puskesmas Bamban pada akhir tahun 2008 tercatat ada 10
penderita BTA baru di antara 6.000 penduduk di wilayah Puskesmas Bamban. Sedangkan
kalau dilihat dari tingkat penularan ternyata masih tinggi yakni ditemukan angka
kesakitan TB pada anak sebanyak 10 kasus.
Ada beberapa factor yang utama yang menghambat upaya penanggulangan TB di Kalsel
khusus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
1. Lingkungan
Lingkungan perumahan di wilayah kerja Puskesmas masih banyak yang belum
memenuhi syarat rumah sehat
2. Sosial Ekonomi
Secara ekonomi penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis adalah
karena masih rendah tingkat pendapatan perkepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut kebersihan/sanitasi lingkungan rumah . Kemiskinan
dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan pendearita tidak mampu
membiayai angkutan ke Puskesmas. Kebutuhan pokok lebih utama dibandingkan
pemeliharaan kesehatan.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi tentang
penyakit TB Paru, yang meliputi etiologi penyakit, cara penularan, gejala klinis,
pengobatan dan efek samping pengobatan, kegagalan pengobatan atau resistensi obat dan
komplikasi penyakit selanjutnya. Sehingga penderita dengan tingkat pendidikan rendah
tidak mengetahui bahwa waktu pengobatan belum selesai atau penyakitnya belum
sembuh dan kurang mengerti akan penyakit yang dideritanya serta bahayanya bila tidak
diobati secara tuntas.
4. Perilaku
Perilaku berkaitan dengan tespon penderita terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan
penyakit, pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku sakit dab penyakit ini
sesuai dengan tingkat –tingkat pencegahan penyakit, yakni :
a. Perilaku sehuibungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan misalnya
makan makanan yang bergizi, olah raga, jaga kebersihan diri, istirahat cukup dan
sebagainya,
b. Perilaku pencegahan penyakit misalnya: imunisasi, menutup mulut bila batuk,
membuang ludah pada tempatnya, menjemur peralatan tidur, tidur terpisah dengan
penderita TBC Paru;
c. Perilaku berhubungan dengan pencarian pengobatan misalnya : upaya untuk
mengoabati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern maupun
tradisional;
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan, misalnya kepatuhan minum obat.
Kepatuhan berobat adalah salah satu faktor utama keberhasilan pengobatan TB Paru yang
terdiri atas kepatuhan untuk mengambil obat, meminum obat sesuai aturan dan
memeriksakan sputum pada akhir pase intensif dan akhir pengobatan setelah 6 bulan.
5. Pelayanan Kesehatan
Upaya pelayanan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS baru
dilaksanakan di tingkat Puskesmas sedangkan di Rumah Sakit dan Praktek dokter swasta
belum menggunakan DOTS. Keterbatasan tenaga dan sarana laboratorium sehingga
angka kesalahan baca hasil slide sputum masih diatas 5 %.
Upaya penyuluhan tentang penyakit TB Paru sangat penting di laksanakan pada saat
pendertita memulai pengobatan dengan OAT karena apabila penderita mengetahui
tentang efek samping obat OAT berupa mual, muntah diare, sakit kepala, gangguan
pendernaan, nyeri pada bekas suntikan, penderita tidak akan menghentikan
pengobatannya dan akan dating berkonsultasi ke dokter yang merawatnya.
6. Komitmen
Program penanggulangan TB Paru akan berhasil apabila pemerintah dan masyarakat
mempunyai perhatian yang sama dalam upaya penanggulangan TB Paru. Dan dukungan
stakeholder hingga saat ini masih kurang , demikian pula dukungan lintas program dan
limtas sektoral yang tergabung dalam Gerdunas TB masih belum optimal.. Tuberulosis
(TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh suatu kuman basil
tahan asam (BTA): Mikobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui percikan
dahak penderita TBC pada orang sekitarnya. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah
batuk terus-menerus selama tiga minggu, berdahak dan sering pula disertai bercak darah
pada dahak penderita. Gejala tambahan lainnya berupa demam, nafsu makan menurun,
berat badan merosot drastis.
Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyakit ini merupakan
penyebab kematian no 3 setelah penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernafasan pada
semua kelompok umur. Sehingga pada tahun 1995 di mulailah cara pengobatan sistem
baru yakni dengan sistem DOTS.
Upaya pengobatan TBC sebenarnya sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan namun
hasil pengobatan masih tidak maksimal. Maka sejak tahun 1995 dicoba suatu metode
baru pengobatan TBC dengan Strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse =
pengobatan jangka pendek dengan pengawasan) diperkenalkan di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam system pelayanan kesehatan masyarakat
Penemuan kasus TBC di Indonesia (CDR=Case Detection Rate ) pada tahun 2005 adalah
68%, telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70%
dan target 2007 menjadi 74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate
= SR) mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%.
Situasi TBC di Indonesia dan kemajuannya :
Jumlah kasus TBC yang ditemukan meningkat secara nyata dalam beberapa tahun
terakhir. Angka penemuan kasus BTA positif baru meningkat dari 38% di tahun 2003
menjadi 54% di tahun 2004 sebagai hasil ekspansi DOTS yang dipercepat dengan
dukungan donor internasional yang meningkat seperti (GF ATM, USAID (TBCTA),
CIDA, DFID dan lain-lain dan bantuan teknis dari para mitra Stop TBC khususnya WHO
dan KNCV.
Kemajuan nyata dicapai dalam menurunkan prevalensi TBC di Indonesia. Wilayah Jawa-
Bali telah menunjukkan penurunan angka prevalensi setengahnya, sedangkan untuk
wilayah-wilayah yang sulit terjangkau juga menunjukkan penurunan yang signifikan
meskipun kemajuannya lebih lambat.
Dampak epidemiologi menunjukkan trend penurunan insidens TBC di masyarakat yaitu
128/100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 107/100.000 penduduk pada tahun
2005. Namun demikian berdasarkan survey pravalensi Nasional TBC oleh Badan
Litbangkes tahun 2004, menunjukkan sebaran insidens TBC per 100.000 penduduk yang
variatif dalam 4 regional, yakni Yogya/Bali (64/100.000 penduduk), Jawa (107/100.000
penduduk), Sumatera (160/100.000 penduduk) dan KTI (210/100.000 penduduk)
Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Kawasan
Timur Indonesia dan pada Puskesmas Bamban pada akhir tahun 2008 tercatat ada 10
penderita BTA baru di antara 6.000 penduduk di wilayah Puskesmas Bamban. Sedangkan
kalau dilihat dari tingkat penularan ternyata masih tinggi yakni ditemukan angka
kesakitan TB pada anak sebanyak 10 kasus.
Ada beberapa factor yang utama yang menghambat upaya penanggulangan TB di Kalsel
khusus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
1. Lingkungan
Lingkungan perumahan di wilayah kerja Puskesmas masih banyak yang belum
memenuhi syarat rumah sehat
2. Sosial Ekonomi
Secara ekonomi penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis adalah
karena masih rendah tingkat pendapatan perkepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut kebersihan/sanitasi lingkungan rumah . Kemiskinan
dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan pendearita tidak mampu
membiayai angkutan ke Puskesmas. Kebutuhan pokok lebih utama dibandingkan
pemeliharaan kesehatan.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi tentang
penyakit TB Paru, yang meliputi etiologi penyakit, cara penularan, gejala klinis,
pengobatan dan efek samping pengobatan, kegagalan pengobatan atau resistensi obat dan
komplikasi penyakit selanjutnya. Sehingga penderita dengan tingkat pendidikan rendah
tidak mengetahui bahwa waktu pengobatan belum selesai atau penyakitnya belum
sembuh dan kurang mengerti akan penyakit yang dideritanya serta bahayanya bila tidak
diobati secara tuntas.
4. Perilaku
Perilaku berkaitan dengan tespon penderita terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan
penyakit, pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku sakit dab penyakit ini
sesuai dengan tingkat –tingkat pencegahan penyakit, yakni :
a. Perilaku sehuibungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan misalnya
makan makanan yang bergizi, olah raga, jaga kebersihan diri, istirahat cukup dan
sebagainya,
b. Perilaku pencegahan penyakit misalnya: imunisasi, menutup mulut bila batuk,
membuang ludah pada tempatnya, menjemur peralatan tidur, tidur terpisah dengan
penderita TBC Paru;
c. Perilaku berhubungan dengan pencarian pengobatan misalnya : upaya untuk
mengoabati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern maupun
tradisional;
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan, misalnya kepatuhan minum obat.
Kepatuhan berobat adalah salah satu faktor utama keberhasilan pengobatan TB Paru yang
terdiri atas kepatuhan untuk mengambil obat, meminum obat sesuai aturan dan
memeriksakan sputum pada akhir pase intensif dan akhir pengobatan setelah 6 bulan.
5. Pelayanan Kesehatan
Upaya pelayanan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS baru
dilaksanakan di tingkat Puskesmas sedangkan di Rumah Sakit dan Praktek dokter swasta
belum menggunakan DOTS. Keterbatasan tenaga dan sarana laboratorium sehingga
angka kesalahan baca hasil slide sputum masih diatas 5 %.
Upaya penyuluhan tentang penyakit TB Paru sangat penting di laksanakan pada saat
pendertita memulai pengobatan dengan OAT karena apabila penderita mengetahui
tentang efek samping obat OAT berupa mual, muntah diare, sakit kepala, gangguan
pendernaan, nyeri pada bekas suntikan, penderita tidak akan menghentikan
pengobatannya dan akan dating berkonsultasi ke dokter yang merawatnya.
6. Komitmen
Program penanggulangan TB Paru akan berhasil apabila pemerintah dan masyarakat
mempunyai perhatian yang sama dalam upaya penanggulangan TB Paru. Dan dukungan
stakeholder hingga saat ini masih kurang , demikian pula dukungan lintas program dan
limtas sektoral yang tergabung dalam Gerdunas TB masih belum optimal.. Tuberulosis
(TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh suatu kuman basil
tahan asam (BTA): Mikobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui percikan
dahak penderita TBC pada orang sekitarnya. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah
batuk terus-menerus selama tiga minggu, berdahak dan sering pula disertai bercak darah
pada dahak penderita. Gejala tambahan lainnya berupa demam, nafsu makan menurun,
berat badan merosot drastis.
Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyakit ini merupakan
penyebab kematian no 3 setelah penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernafasan pada
semua kelompok umur. Sehingga pada tahun 1995 di mulailah cara pengobatan sistem
baru yakni dengan sistem DOTS.
Upaya pengobatan TBC sebenarnya sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan namun
hasil pengobatan masih tidak maksimal. Maka sejak tahun 1995 dicoba suatu metode
baru pengobatan TBC dengan Strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse =
pengobatan jangka pendek dengan pengawasan) diperkenalkan di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam system pelayanan kesehatan masyarakat
Penemuan kasus TBC di Indonesia (CDR=Case Detection Rate ) pada tahun 2005 adalah
68%, telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70%
dan target 2007 menjadi 74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate
= SR) mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%.
Situasi TBC di Indonesia dan kemajuannya :
Jumlah kasus TBC yang ditemukan meningkat secara nyata dalam beberapa tahun
terakhir. Angka penemuan kasus BTA positif baru meningkat dari 38% di tahun 2003
menjadi 54% di tahun 2004 sebagai hasil ekspansi DOTS yang dipercepat dengan
dukungan donor internasional yang meningkat seperti (GF ATM, USAID (TBCTA),
CIDA, DFID dan lain-lain dan bantuan teknis dari para mitra Stop TBC khususnya WHO
dan KNCV.
Kemajuan nyata dicapai dalam menurunkan prevalensi TBC di Indonesia. Wilayah Jawa-
Bali telah menunjukkan penurunan angka prevalensi setengahnya, sedangkan untuk
wilayah-wilayah yang sulit terjangkau juga menunjukkan penurunan yang signifikan
meskipun kemajuannya lebih lambat.
Dampak epidemiologi menunjukkan trend penurunan insidens TBC di masyarakat yaitu
128/100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 107/100.000 penduduk pada tahun
2005. Namun demikian berdasarkan survey pravalensi Nasional TBC oleh Badan
Litbangkes tahun 2004, menunjukkan sebaran insidens TBC per 100.000 penduduk yang
variatif dalam 4 regional, yakni Yogya/Bali (64/100.000 penduduk), Jawa (107/100.000
penduduk), Sumatera (160/100.000 penduduk) dan KTI (210/100.000 penduduk)
Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Kawasan
Timur Indonesia dan pada Puskesmas Bamban pada akhir tahun 2008 tercatat ada 10
penderita BTA baru di antara 6.000 penduduk di wilayah Puskesmas Bamban. Sedangkan
kalau dilihat dari tingkat penularan ternyata masih tinggi yakni ditemukan angka
kesakitan TB pada anak sebanyak 10 kasus.
Ada beberapa factor yang utama yang menghambat upaya penanggulangan TB di Kalsel
khusus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
1. Lingkungan
Lingkungan perumahan di wilayah kerja Puskesmas masih banyak yang belum
memenuhi syarat rumah sehat
2. Sosial Ekonomi
Secara ekonomi penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis adalah
karena masih rendah tingkat pendapatan perkepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut kebersihan/sanitasi lingkungan rumah . Kemiskinan
dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan pendearita tidak mampu
membiayai angkutan ke Puskesmas. Kebutuhan pokok lebih utama dibandingkan
pemeliharaan kesehatan.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi tentang
penyakit TB Paru, yang meliputi etiologi penyakit, cara penularan, gejala klinis,
pengobatan dan efek samping pengobatan, kegagalan pengobatan atau resistensi obat dan
komplikasi penyakit selanjutnya. Sehingga penderita dengan tingkat pendidikan rendah
tidak mengetahui bahwa waktu pengobatan belum selesai atau penyakitnya belum
sembuh dan kurang mengerti akan penyakit yang dideritanya serta bahayanya bila tidak
diobati secara tuntas.
4. Perilaku
Perilaku berkaitan dengan tespon penderita terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan
penyakit, pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku sakit dab penyakit ini
sesuai dengan tingkat –tingkat pencegahan penyakit, yakni :
a. Perilaku sehuibungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan misalnya
makan makanan yang bergizi, olah raga, jaga kebersihan diri, istirahat cukup dan
sebagainya,
b. Perilaku pencegahan penyakit misalnya: imunisasi, menutup mulut bila batuk,
membuang ludah pada tempatnya, menjemur peralatan tidur, tidur terpisah dengan
penderita TBC Paru;
c. Perilaku berhubungan dengan pencarian pengobatan misalnya : upaya untuk
mengoabati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern maupun
tradisional;
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan, misalnya kepatuhan minum obat.
Kepatuhan berobat adalah salah satu faktor utama keberhasilan pengobatan TB Paru yang
terdiri atas kepatuhan untuk mengambil obat, meminum obat sesuai aturan dan
memeriksakan sputum pada akhir pase intensif dan akhir pengobatan setelah 6 bulan.
5. Pelayanan Kesehatan
Upaya pelayanan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS baru
dilaksanakan di tingkat Puskesmas sedangkan di Rumah Sakit dan Praktek dokter swasta
belum menggunakan DOTS. Keterbatasan tenaga dan sarana laboratorium sehingga
angka kesalahan baca hasil slide sputum masih diatas 5 %.
Upaya penyuluhan tentang penyakit TB Paru sangat penting di laksanakan pada saat
pendertita memulai pengobatan dengan OAT karena apabila penderita mengetahui
tentang efek samping obat OAT berupa mual, muntah diare, sakit kepala, gangguan
pendernaan, nyeri pada bekas suntikan, penderita tidak akan menghentikan
pengobatannya dan akan dating berkonsultasi ke dokter yang merawatnya.
6. Komitmen
Program penanggulangan TB Paru akan berhasil apabila pemerintah dan masyarakat
mempunyai perhatian yang sama dalam upaya penanggulangan TB Paru. Dan dukungan
stakeholder hingga saat ini masih kurang , demikian pula dukungan lintas program dan
limtas sektoral yang tergabung dalam Gerdunas TB masih belum optimal.. Tuberulosis
(TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh suatu kuman basil
tahan asam (BTA): Mikobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui percikan
dahak penderita TBC pada orang sekitarnya. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah
batuk terus-menerus selama tiga minggu, berdahak dan sering pula disertai bercak darah
pada dahak penderita. Gejala tambahan lainnya berupa demam, nafsu makan menurun,
berat badan merosot drastis.
Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyakit ini merupakan
penyebab kematian no 3 setelah penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernafasan pada
semua kelompok umur. Sehingga pada tahun 1995 di mulailah cara pengobatan sistem
baru yakni dengan sistem DOTS.
Upaya pengobatan TBC sebenarnya sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan namun
hasil pengobatan masih tidak maksimal. Maka sejak tahun 1995 dicoba suatu metode
baru pengobatan TBC dengan Strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse =
pengobatan jangka pendek dengan pengawasan) diperkenalkan di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam system pelayanan kesehatan masyarakat
Penemuan kasus TBC di Indonesia (CDR=Case Detection Rate ) pada tahun 2005 adalah
68%, telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70%
dan target 2007 menjadi 74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate
= SR) mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%.
Situasi TBC di Indonesia dan kemajuannya :
Jumlah kasus TBC yang ditemukan meningkat secara nyata dalam beberapa tahun
terakhir. Angka penemuan kasus BTA positif baru meningkat dari 38% di tahun 2003
menjadi 54% di tahun 2004 sebagai hasil ekspansi DOTS yang dipercepat dengan
dukungan donor internasional yang meningkat seperti (GF ATM, USAID (TBCTA),
CIDA, DFID dan lain-lain dan bantuan teknis dari para mitra Stop TBC khususnya WHO
dan KNCV.
Kemajuan nyata dicapai dalam menurunkan prevalensi TBC di Indonesia. Wilayah Jawa-
Bali telah menunjukkan penurunan angka prevalensi setengahnya, sedangkan untuk
wilayah-wilayah yang sulit terjangkau juga menunjukkan penurunan yang signifikan
meskipun kemajuannya lebih lambat.
Dampak epidemiologi menunjukkan trend penurunan insidens TBC di masyarakat yaitu
128/100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 107/100.000 penduduk pada tahun
2005. Namun demikian berdasarkan survey pravalensi Nasional TBC oleh Badan
Litbangkes tahun 2004, menunjukkan sebaran insidens TBC per 100.000 penduduk yang
variatif dalam 4 regional, yakni Yogya/Bali (64/100.000 penduduk), Jawa (107/100.000
penduduk), Sumatera (160/100.000 penduduk) dan KTI (210/100.000 penduduk)
Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Kawasan
Timur Indonesia dan pada Puskesmas Bamban pada akhir tahun 2008 tercatat ada 10
penderita BTA baru di antara 6.000 penduduk di wilayah Puskesmas Bamban. Sedangkan
kalau dilihat dari tingkat penularan ternyata masih tinggi yakni ditemukan angka
kesakitan TB pada anak sebanyak 10 kasus.
Ada beberapa factor yang utama yang menghambat upaya penanggulangan TB di Kalsel
khusus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
1. Lingkungan
Lingkungan perumahan di wilayah kerja Puskesmas masih banyak yang belum
memenuhi syarat rumah sehat
2. Sosial Ekonomi
Secara ekonomi penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis adalah
karena masih rendah tingkat pendapatan perkepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut kebersihan/sanitasi lingkungan rumah . Kemiskinan
dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan pendearita tidak mampu
membiayai angkutan ke Puskesmas. Kebutuhan pokok lebih utama dibandingkan
pemeliharaan kesehatan.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi tentang
penyakit TB Paru, yang meliputi etiologi penyakit, cara penularan, gejala klinis,
pengobatan dan efek samping pengobatan, kegagalan pengobatan atau resistensi obat dan
komplikasi penyakit selanjutnya. Sehingga penderita dengan tingkat pendidikan rendah
tidak mengetahui bahwa waktu pengobatan belum selesai atau penyakitnya belum
sembuh dan kurang mengerti akan penyakit yang dideritanya serta bahayanya bila tidak
diobati secara tuntas.
4. Perilaku
Perilaku berkaitan dengan tespon penderita terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan
penyakit, pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku sakit dab penyakit ini
sesuai dengan tingkat –tingkat pencegahan penyakit, yakni :
a. Perilaku sehuibungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan misalnya
makan makanan yang bergizi, olah raga, jaga kebersihan diri, istirahat cukup dan
sebagainya,
b. Perilaku pencegahan penyakit misalnya: imunisasi, menutup mulut bila batuk,
membuang ludah pada tempatnya, menjemur peralatan tidur, tidur terpisah dengan
penderita TBC Paru;
c. Perilaku berhubungan dengan pencarian pengobatan misalnya : upaya untuk
mengoabati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern maupun
tradisional;
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan, misalnya kepatuhan minum obat.
Kepatuhan berobat adalah salah satu faktor utama keberhasilan pengobatan TB Paru yang
terdiri atas kepatuhan untuk mengambil obat, meminum obat sesuai aturan dan
memeriksakan sputum pada akhir pase intensif dan akhir pengobatan setelah 6 bulan.
5. Pelayanan Kesehatan
Upaya pelayanan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS baru
dilaksanakan di tingkat Puskesmas sedangkan di Rumah Sakit dan Praktek dokter swasta
belum menggunakan DOTS. Keterbatasan tenaga dan sarana laboratorium sehingga
angka kesalahan baca hasil slide sputum masih diatas 5 %.
Upaya penyuluhan tentang penyakit TB Paru sangat penting di laksanakan pada saat
pendertita memulai pengobatan dengan OAT karena apabila penderita mengetahui
tentang efek samping obat OAT berupa mual, muntah diare, sakit kepala, gangguan
pendernaan, nyeri pada bekas suntikan, penderita tidak akan menghentikan
pengobatannya dan akan dating berkonsultasi ke dokter yang merawatnya.
6. Komitmen
Program penanggulangan TB Paru akan berhasil apabila pemerintah dan masyarakat
mempunyai perhatian yang sama dalam upaya penanggulangan TB Paru. Dan dukungan
stakeholder hingga saat ini masih kurang , demikian pula dukungan lintas program dan
limtas sektoral yang tergabung dalam Gerdunas TB masih belum optimal.. Tuberulosis
(TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh suatu kuman basil
tahan asam (BTA): Mikobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui percikan
dahak penderita TBC pada orang sekitarnya. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah
batuk terus-menerus selama tiga minggu, berdahak dan sering pula disertai bercak darah
pada dahak penderita. Gejala tambahan lainnya berupa demam, nafsu makan menurun,
berat badan merosot drastis.
Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyakit ini merupakan
penyebab kematian no 3 setelah penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernafasan pada
semua kelompok umur. Sehingga pada tahun 1995 di mulailah cara pengobatan sistem
baru yakni dengan sistem DOTS.
Upaya pengobatan TBC sebenarnya sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan namun
hasil pengobatan masih tidak maksimal. Maka sejak tahun 1995 dicoba suatu metode
baru pengobatan TBC dengan Strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse =
pengobatan jangka pendek dengan pengawasan) diperkenalkan di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam system pelayanan kesehatan masyarakat
Penemuan kasus TBC di Indonesia (CDR=Case Detection Rate ) pada tahun 2005 adalah
68%, telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70%
dan target 2007 menjadi 74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate
= SR) mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%.
Situasi TBC di Indonesia dan kemajuannya :
Jumlah kasus TBC yang ditemukan meningkat secara nyata dalam beberapa tahun
terakhir. Angka penemuan kasus BTA positif baru meningkat dari 38% di tahun 2003
menjadi 54% di tahun 2004 sebagai hasil ekspansi DOTS yang dipercepat dengan
dukungan donor internasional yang meningkat seperti (GF ATM, USAID (TBCTA),
CIDA, DFID dan lain-lain dan bantuan teknis dari para mitra Stop TBC khususnya WHO
dan KNCV.
Kemajuan nyata dicapai dalam menurunkan prevalensi TBC di Indonesia. Wilayah Jawa-
Bali telah menunjukkan penurunan angka prevalensi setengahnya, sedangkan untuk
wilayah-wilayah yang sulit terjangkau juga menunjukkan penurunan yang signifikan
meskipun kemajuannya lebih lambat.
Dampak epidemiologi menunjukkan trend penurunan insidens TBC di masyarakat yaitu
128/100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 107/100.000 penduduk pada tahun
2005. Namun demikian berdasarkan survey pravalensi Nasional TBC oleh Badan
Litbangkes tahun 2004, menunjukkan sebaran insidens TBC per 100.000 penduduk yang
variatif dalam 4 regional, yakni Yogya/Bali (64/100.000 penduduk), Jawa (107/100.000
penduduk), Sumatera (160/100.000 penduduk) dan KTI (210/100.000 penduduk)
Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Kawasan
Timur Indonesia dan pada Puskesmas Bamban pada akhir tahun 2008 tercatat ada 10
penderita BTA baru di antara 6.000 penduduk di wilayah Puskesmas Bamban. Sedangkan
kalau dilihat dari tingkat penularan ternyata masih tinggi yakni ditemukan angka
kesakitan TB pada anak sebanyak 10 kasus.
Ada beberapa factor yang utama yang menghambat upaya penanggulangan TB di Kalsel
khusus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
1. Lingkungan
Lingkungan perumahan di wilayah kerja Puskesmas masih banyak yang belum
memenuhi syarat rumah sehat
2. Sosial Ekonomi
Secara ekonomi penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis adalah
karena masih rendah tingkat pendapatan perkepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut kebersihan/sanitasi lingkungan rumah . Kemiskinan
dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan pendearita tidak mampu
membiayai angkutan ke Puskesmas. Kebutuhan pokok lebih utama dibandingkan
pemeliharaan kesehatan.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi tentang
penyakit TB Paru, yang meliputi etiologi penyakit, cara penularan, gejala klinis,
pengobatan dan efek samping pengobatan, kegagalan pengobatan atau resistensi obat dan
komplikasi penyakit selanjutnya. Sehingga penderita dengan tingkat pendidikan rendah
tidak mengetahui bahwa waktu pengobatan belum selesai atau penyakitnya belum
sembuh dan kurang mengerti akan penyakit yang dideritanya serta bahayanya bila tidak
diobati secara tuntas.
4. Perilaku
Perilaku berkaitan dengan tespon penderita terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan
penyakit, pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku sakit dab penyakit ini
sesuai dengan tingkat –tingkat pencegahan penyakit, yakni :
a. Perilaku sehuibungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan misalnya
makan makanan yang bergizi, olah raga, jaga kebersihan diri, istirahat cukup dan
sebagainya,
b. Perilaku pencegahan penyakit misalnya: imunisasi, menutup mulut bila batuk,
membuang ludah pada tempatnya, menjemur peralatan tidur, tidur terpisah dengan
penderita TBC Paru;
c. Perilaku berhubungan dengan pencarian pengobatan misalnya : upaya untuk
mengoabati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern maupun
tradisional;
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan, misalnya kepatuhan minum obat.
Kepatuhan berobat adalah salah satu faktor utama keberhasilan pengobatan TB Paru yang
terdiri atas kepatuhan untuk mengambil obat, meminum obat sesuai aturan dan
memeriksakan sputum pada akhir pase intensif dan akhir pengobatan setelah 6 bulan.
5. Pelayanan Kesehatan
Upaya pelayanan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS baru
dilaksanakan di tingkat Puskesmas sedangkan di Rumah Sakit dan Praktek dokter swasta
belum menggunakan DOTS. Keterbatasan tenaga dan sarana laboratorium sehingga
angka kesalahan baca hasil slide sputum masih diatas 5 %.
Upaya penyuluhan tentang penyakit TB Paru sangat penting di laksanakan pada saat
pendertita memulai pengobatan dengan OAT karena apabila penderita mengetahui
tentang efek samping obat OAT berupa mual, muntah diare, sakit kepala, gangguan
pendernaan, nyeri pada bekas suntikan, penderita tidak akan menghentikan
pengobatannya dan akan dating berkonsultasi ke dokter yang merawatnya.
6. Komitmen
Program penanggulangan TB Paru akan berhasil apabila pemerintah dan masyarakat
mempunyai perhatian yang sama dalam upaya penanggulangan TB Paru. Dan dukungan
stakeholder hingga saat ini masih kurang , demikian pula dukungan lintas program dan
limtas sektoral yang tergabung dalam Gerdunas TB masih belum optimal.. Tuberulosis
(TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh suatu kuman basil
tahan asam (BTA): Mikobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui percikan
dahak penderita TBC pada orang sekitarnya. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah
batuk terus-menerus selama tiga minggu, berdahak dan sering pula disertai bercak darah
pada dahak penderita. Gejala tambahan lainnya berupa demam, nafsu makan menurun,
berat badan merosot drastis.
Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyakit ini merupakan
penyebab kematian no 3 setelah penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernafasan pada
semua kelompok umur. Sehingga pada tahun 1995 di mulailah cara pengobatan sistem
baru yakni dengan sistem DOTS.
Upaya pengobatan TBC sebenarnya sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan namun
hasil pengobatan masih tidak maksimal. Maka sejak tahun 1995 dicoba suatu metode
baru pengobatan TBC dengan Strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse =
pengobatan jangka pendek dengan pengawasan) diperkenalkan di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam system pelayanan kesehatan masyarakat
Penemuan kasus TBC di Indonesia (CDR=Case Detection Rate ) pada tahun 2005 adalah
68%, telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70%
dan target 2007 menjadi 74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate
= SR) mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%.
Situasi TBC di Indonesia dan kemajuannya :
Jumlah kasus TBC yang ditemukan meningkat secara nyata dalam beberapa tahun
terakhir. Angka penemuan kasus BTA positif baru meningkat dari 38% di tahun 2003
menjadi 54% di tahun 2004 sebagai hasil ekspansi DOTS yang dipercepat dengan
dukungan donor internasional yang meningkat seperti (GF ATM, USAID (TBCTA),
CIDA, DFID dan lain-lain dan bantuan teknis dari para mitra Stop TBC khususnya WHO
dan KNCV.
Kemajuan nyata dicapai dalam menurunkan prevalensi TBC di Indonesia. Wilayah Jawa-
Bali telah menunjukkan penurunan angka prevalensi setengahnya, sedangkan untuk
wilayah-wilayah yang sulit terjangkau juga menunjukkan penurunan yang signifikan
meskipun kemajuannya lebih lambat.
Dampak epidemiologi menunjukkan trend penurunan insidens TBC di masyarakat yaitu
128/100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 107/100.000 penduduk pada tahun
2005. Namun demikian berdasarkan survey pravalensi Nasional TBC oleh Badan
Litbangkes tahun 2004, menunjukkan sebaran insidens TBC per 100.000 penduduk yang
variatif dalam 4 regional, yakni Yogya/Bali (64/100.000 penduduk), Jawa (107/100.000
penduduk), Sumatera (160/100.000 penduduk) dan KTI (210/100.000 penduduk)
Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Kawasan
Timur Indonesia dan pada Puskesmas Bamban pada akhir tahun 2008 tercatat ada 10
penderita BTA baru di antara 6.000 penduduk di wilayah Puskesmas Bamban. Sedangkan
kalau dilihat dari tingkat penularan ternyata masih tinggi yakni ditemukan angka
kesakitan TB pada anak sebanyak 10 kasus.
Ada beberapa factor yang utama yang menghambat upaya penanggulangan TB di Kalsel
khusus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
1. Lingkungan
Lingkungan perumahan di wilayah kerja Puskesmas masih banyak yang belum
memenuhi syarat rumah sehat
2. Sosial Ekonomi
Secara ekonomi penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis adalah
karena masih rendah tingkat pendapatan perkepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut kebersihan/sanitasi lingkungan rumah . Kemiskinan
dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan pendearita tidak mampu
membiayai angkutan ke Puskesmas. Kebutuhan pokok lebih utama dibandingkan
pemeliharaan kesehatan.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi tentang
penyakit TB Paru, yang meliputi etiologi penyakit, cara penularan, gejala klinis,
pengobatan dan efek samping pengobatan, kegagalan pengobatan atau resistensi obat dan
komplikasi penyakit selanjutnya. Sehingga penderita dengan tingkat pendidikan rendah
tidak mengetahui bahwa waktu pengobatan belum selesai atau penyakitnya belum
sembuh dan kurang mengerti akan penyakit yang dideritanya serta bahayanya bila tidak
diobati secara tuntas.
4. Perilaku
Perilaku berkaitan dengan tespon penderita terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan
penyakit, pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku sakit dab penyakit ini
sesuai dengan tingkat –tingkat pencegahan penyakit, yakni :
a. Perilaku sehuibungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan misalnya
makan makanan yang bergizi, olah raga, jaga kebersihan diri, istirahat cukup dan
sebagainya,
b. Perilaku pencegahan penyakit misalnya: imunisasi, menutup mulut bila batuk,
membuang ludah pada tempatnya, menjemur peralatan tidur, tidur terpisah dengan
penderita TBC Paru;
c. Perilaku berhubungan dengan pencarian pengobatan misalnya : upaya untuk
mengoabati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern maupun
tradisional;
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan, misalnya kepatuhan minum obat.
Kepatuhan berobat adalah salah satu faktor utama keberhasilan pengobatan TB Paru yang
terdiri atas kepatuhan untuk mengambil obat, meminum obat sesuai aturan dan
memeriksakan sputum pada akhir pase intensif dan akhir pengobatan setelah 6 bulan.
5. Pelayanan Kesehatan
Upaya pelayanan pengobatan penderita TB Paru dengan strategi DOTS baru
dilaksanakan di tingkat Puskesmas sedangkan di Rumah Sakit dan Praktek dokter swasta
belum menggunakan DOTS. Keterbatasan tenaga dan sarana laboratorium sehingga
angka kesalahan baca hasil slide sputum masih diatas 5 %.
Upaya penyuluhan tentang penyakit TB Paru sangat penting di laksanakan pada saat
pendertita memulai pengobatan dengan OAT karena apabila penderita mengetahui
tentang efek samping obat OAT berupa mual, muntah diare, sakit kepala, gangguan
pendernaan, nyeri pada bekas suntikan, penderita tidak akan menghentikan
pengobatannya dan akan dating berkonsultasi ke dokter yang merawatnya.
6. Komitmen
Program penanggulangan TB Paru akan berhasil apabila pemerintah dan masyarakat
mempunyai perhatian yang sama dalam upaya penanggulangan TB Paru. Dan dukungan
stakeholder hingga saat ini masih kurang , demikian pula dukungan lintas program dan
limtas sektoral yang tergabung dalam Gerdunas TB masih belum optimal..
Pengertian
Etiologi
Patofisiologi
Sumber penularan TB Paru adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk/bersin,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet
yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan kemudian menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian
tubuh lain (Dep.Kes, 2003).
Komplikasi Menurut Dep.Kes (2003) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB
Paru stadium lanjut: 1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang
dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. 3) Bronkiectasis dan fribosis pada Paru. 4)
Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru. 5) Penyebaran
infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. 6)
Insufisiensi Kardio Pulmoner
Penatalaksanaan
Hampir semua OAT memberikan efek samping gatal dan kemerahan, ikhterus tanpa
penyebab lain, bingung dan muntah-muntah (Dep.Kes, 2003), serta bersifat hepatotoksik
atau meracuni hati (Soeparman, 1990) Menurut Suriadi (2001) penatalaksanaan
terapeutik TB Paru meliputi nutrisi adekuat, kemoterapi, pembedahan dan pencegahan.
Menurut Soeparman (1990), indikasi terapi bedah saat ini adalah penderita sputum BTA
tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulangi dan penderita batuk darah masif atau
berulang.