Anda di halaman 1dari 7

Memories, Remember You in 7 Days (Part 1)

Cerpen Karangan: Tata Kurnia

Kategori: Cerpen Cinta Romantis

Lolos moderasi pada: 31 January 2018

Day 1

Butiran gerimis baru saja mendarat di tanah ketika gadis itu keluar dari pintu bagian belakang bus.
Rainata. Atau Rain. Menelungkupkan kedua tangannya di atas kepala sambil melompat ke tepian
halte. Ia merapikan rambutnya yang sedikit basah kemudian dengan gerakan terburu-buru
mengeluarkan ponsel dari dalam tas.

Ia mengetikkan sesuatu kemudian mengirimnya. Hujan semakin deras. Hujan disertai angin. Rain
mulai merasa sedikit cemas, entah karena apa. Takut, entah untuk alasan apa. Padahal ia sangat
menyukai hujan. Ya.. Ia memang menjadi lebih penakut sekarang. Semenjak peristiwa buruk
menimpanya dua tahun lalu. Peristiwa yang membuat Rain kehilangan ingatannya. Membuatnya
hidup seperti orang bodoh yang tak tahu apa-apa. Tak kenal siapa-siapa. Satu-satunya hal yang
tersisa di kepalanya hanya petistiwa itu. Kecelakaan hebat yang nyaris merenggut nyawanya dua
tahun lalu.

Click Here

Rain melirik jam tangannya sekilas. Jam 2 lebih 15 menit. Tak apa. Sepuluh menit lagi Pak Sopir pasti
akan datang menjemputnya. Ia sudah mengirim pesan padanya tadi. Ia hanya perlu menunggu
sebentar saja. Tidak akan lama.

Angin yang berhembus cukup kencang membuat butiran air hujan mengenai tubuhnya. Rain mundur
satu langkah, merapat pada bangku panjang yang kebetulan sudah penuh oleh orang-orang yang
datang untuk naik bus, atau menunggu jemputan seperti dirinya. Atau mungkin hanya sekadar
berteduh. Rain menyapa seorang wanita di sebelahnya,

“Maaf, Mbaknya bisa geser sedikit?”

Wanita itu balas tersenyum, lalu dengan sigap menggeser duduknya ke sebelah kanan. Dia lantas
mempersilahkan Rain duduk setelahnya.

“Terimakasih,”
Hawa dingin semakin menggeliat, menembus permukaan kulit Rain yang sama sekali tak terbalut
jaket atau pakaian tebal lainnya. Berulang kali ia menghela napas sambil menggosok-gosokkan
telapak tangan. Berusaha menciptakan kehangatan untuk dirinya sendiri. Tapi kemudian ia terjengat
saat tangan seseorang terjulur ke hadapannya, mengangsurkan sebuah jaket yang tak ia kenal sama
sekali.

Wajah Rain terangkat naik, manik hitamnya bergulir ke sisi kiri. Melihat pria berkaos putih itu alisnya
sontak mengerut. Rain tidak mengenal orang itu. Rain tidak pernah berjumpa dengannya. Tapi..
tunggu dulu! Wajahnya seperti familiar.

Apa Rain yakin belum pernah melihatnya?

“Tidak, terimakasih!” Rain tersenyum halus. Ia pikir itu cukup untuk melakukan penolakan terhadap
tawaran orang yang tidak ia kenal. Rain berharap orang itu tidak akan tersinggung.

“Pakaianmu basah, kamu kedinginan. Kalau dibiarin terus kamu bisa kena flu,”

Rain kembali menoleh. Suara itu, Rain merasa pernah mendengarnya. Telinganya bisa mengenali
suara itu dengan baik. Seperti suara yang sudah sering Rain tangkap setiap hari. Suara yang pernah
terekam jelas di dalam benaknya lalu sekarang terputar kembali. Rain benar-benar merasa tidak
asing. Ia pernah mendengarnya. Di mana? Kapan?

“Nggak apa-apa. Cuma basah dikit, kok”

Bukannya Rain ingin menolak dan bukannya ia tidak membutuhkan apapun untuk menghangatkan
tubuhnya saat ini. Rain hanya berpikir, tidak ada salahnya berhati-hati terhadap orang asing.
Lagipula Rain tidak tahu apakah pria itu orang yang baik atau tidak. Apakah dia tulus membantunya
atau justru mempunyai maksud tersembunyi. Ah, bukannya Rain mau berburuk sangka, tapi.. apakah
terlalu gampang menerima bantuan orang lain pada pertemuan pertama adalah hal yang bisa
dibenarkan?

“Aku bukan pria berotak kotor. Aku tulus membantumu. Ambillah!”

Rain mulai goyah. Apa dia sungguh-sungguh? Apa dia tulus? Tapi jika diperhatikan, sepertinya dia
memang bukan orang jahat. Ketika dia tersenyum, Rain berpikir kalau senyumnya itu sangat manis.
Oh astaga, pikiran macam apa itu?!

“Kamu nggak memakainya? Disaat seperti ini, kurasa nggak ada orang yang nggak kedinginan”

“I’m a man. Man is stronger than Ladies.”

Mendengar itu Rain mengulum bibirnya. Kemudian dengan sedikit canggung menerima uluran jaket
dari tangan kokoh pria itu. Mungkin dia memang tulus. Selain itu Rain juga tak ingin munafik, ia
butuh pakaian hangat untuk saat ini. Lagipula jikalau memang benar dia orang jahat, tidak mungkin
dia berani bebuat nekat di tempat seramai ini.

“Terimakasih,” katanya singkat. Lalu sepasang matanya kembali ke jalanan. Melongok ke sebelah
kanan. Melirik jam tangan, lalu melihat ke jalan lagi. Pria itu memperhatikan Rain. Setiap
pergerakannya. Setiap decakan bibirnya. Dan setiap kecemasan yang tergurat di wajahnya.

“Dia akan segera datang,”

Rain berpaling ke arahnya. Kali ini dahinya yang mengernyit.

“Siapa?”

“Seseorang akan datang menjemputmu, kan? Jangan khawatir, sebentar lagi dia akan tiba.”

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

Orang itu terkekeh pelan. Reaksi orang itu bahkan membuat kadar kebingungan Rain berhasil
menyentuh titik maksimum.

“Aku sering ada di sini saat kamu turun dari bus dan aku juga duduk nggak jauh darimu. Aku bahkan
masih ada di sini saat mobil jemputanmu datang dan kamu pergi bersamanya,”

Jawabannya itu diam-diam membuat Rain mendesah lega. Hampir saja ia berpikiran macam-macam.

“Aku nggak pernah melihatmu”

“Karena kamu terlalu sibuk dengan dirimu sendiri,”


Rain terdiam. Entah sudah berapa kali Rain mendengar kalimat seperti itu. Semua orang bilang kalau
dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Teman-temannya di kampus juga berkata demikian. Bahkan
pria yang bukan temannya pun turut mengatakan hal yang sama. Sejujurnya Rain mulai jengah.
Kadang-kadang ia sangat ingin tahu bagaimana dirinya yang dulu. Bagaimana dirinya sebelum
kecelakaan itu. Apa ia dulu juga orang yang selalu sibuk dengan diri sendiri?

“Kenapa kamu selalu diantar jemput di sini? Kenapa nggak bawa mobil sendiri atau diantar langsung
ke kampusmu?”

Pertanyaan yang terlontar dari mulut orang itu membuat Rain melengos ke samping. Ia merapatkan
jaket orang itu yang kini menempel di tubuhnya.

“Memangnya kenapa? Apa ada masalah?”

“Oh, enggak! Aku cuma bertanya,”

Sejujurnya Rain masih belum mengerti, kenapa orang itu bicara seolah mereka adalah teman. Dan
kenapa setiap orang itu membuka mulut, getar suaranya seolah ingin mengingatkan Rain pada
sesuatu. Atau seseorang. Apa? Siapa?

“Hm.. kurasa jemputanmu datang lebih lama dari biasanya,”

Mendengar ucapan orang itu, Rain lantas melirik jamnya. Lagi. Dan ternyata memang benar. Pak
Sopir sudah terlambat lima menit.

“Mungkin karena hujannya masih deras,” balasnya, mencoba tenang.

“Ah, kalau begitu kali ini aku yang harus pergi lebih dulu. Busnya sudah datang. Duluan, ya!”

Orang itu beranjak dari duduknya, menyampirkan tas gendong hitam di pundak kirinya kemudian
menghambur ke arah mini bus yang baru tiba bersama dengan sebagian orang yang sejak tadi
memenuhi bangku halte. Rain masih sempat melihat orang itu menoleh keluar dan tersenyum
padanya sebelum akhirnya menghilang di antara bangku-bangku di dalam bus.

Entah alasan apa yang membuat hati Rain mencelos saat itu. Apa Rain berharap orang itu
menemaninya lebih lama lagi? Kenapa Rain berharap demikian? Ah.. mungkin karena ia belum
sempat memperkenalkan diri dan bertanya siapa namanya. Tapi untuk apa? Untuk apa ia
memperkenalkan dirinya pada orang itu? Dan kenapa? Kenapa Rain merasa perlu tahu nama orang
itu?

Sebuah sedan putih berhenti tepat di hadapan Rain beberapa menit kemudian. Ia buru-buru
tersadar dan merapikan tasnya karena jemputannya sudah datang. Tapi saat ia nyaris beranjak, ia
baru sadar kalau tubuhnya masih terbalut jaket. Ia terjengat.

Jaket orang itu!

Day 2

Brukkk!

Rain tersentak saat tiba-tiba seseorang mendorong punggungnya begitu ia turun dari bus. Tumpukan
buku-buku yang tadinya ia peluk erat-erat jatuh berserakan di atas aspal.

“Maaf, maaf..”

Rain mendongak, melihat seorang lelaki yang turun dengan tergesa-gesa. Rain hanya mengulas
senyum pada si pelaku dan membiarkannya berlalu tanpa pertanggung jawaban apa-apa. Ia kesal.
Tapi itu bukan masalah besar. Toh, ia bisa memungutinya lagi. Mungkin orang itu memang sedang
buru-buru. Rain hanya sedang berusaha memahami hal-hal yang sebelumnya tak pernah ia pahami.

Ia membungkuk, memungut bukunya satu per satu kemudian bangkit. Baru saja ia hendak
melangkah, buku-buku yang terlalu banyak untuk ia bawa sendirian itu kembali runtuh dan jatuh ke
aspal. Rain mendengus sebal. Gara-gara tugas kuliah yang harus ia kumpulkan besuk pagi ia jadi
harus meminjam banyak buku di perpustakaan. Dan itu sangat merepotkan.

Rain berjongkok lagi, memungut dan merapikannya lagi. Tapi kali ini sepasang tangan lain
membantunya. Rain mendongak cepat. Wajah itu, Rain mengenalinya. Pria yang mengajaknya
mengobrol kemarin. Dia orang yang meminjaminya jaket.

“Kenapa kamu nggak pinjam troli untuk bawa buku-buku sebanyak ini?” Katanya.
“Kamu lagi,” balas Rain. Pria itu tersenyum singkat. Senyum yang masih sama seperti kemarin.
Senyum yang Rain pikir sangat menarik dan sangat familiar. Bahkan suaranya berhasil menyita
perhatian Rain.

“Sudah kubilang, kan? aku selalu di sini saat kamu turun dari bus,” dia membawakan buku-buku Rain
dan meletakkannya di bangku halte.

“Terimakasih. Ah ya, aku ingin mengembalikan jaketmu. Maaf karena aku lupa mengembalikannya
kemarin”

Rain mengangsurkan jaket hitam yang kemarin dipinjamkan pria itu padanya. Sedikit canggung, Rain
lantas mengambil posisi duduk di sebelahnya.

Ini hari kedua Rain bicara pada pria itu. Sebelumnya ia tak pernah melihatnya sekalipun dia bilang
dia ada di sini setiap Rain datang. Rain juga tak sedikitpun berpikir kalau perasaan aneh yang ia
rasakan kemarin itu rupanya masih ada. Getaran tak lazim yang membuat suhu tubuhnya meningkat.
Satu hal yang tidak sepantasnya ia rasakan terhadap seseorang yang baru dikenalnya kemarin siang.

“Ah, kupikir kamu menyukai jaketku dan berniat menyimpannya, tapi ternyata kamu
mengembalikannya..”

“Apa katamu?”

“Oh, nggak! Bukan apa-apa, lupain aja!” Pria itu kembali mengulas senyum.

“Kamu suka baca novel?”

“Eh?” Rain terhenyak. Lalu menatap tumpukan buku disebelahnya. Memang ada dua novel tebal
yang baru dibelinya beberapa hari lalu terselip di antara buku-buku tebal yang lain.

“Hm.. ya. Aku suka baca.”

“Wow! Cewek yang suka baca itu biasanya tipe cewek romantis,”

“Kata siapa?”

“Kataku. Karena mereka terlalu sering membaca dialog romantis dalam novel, mereka jadi lebih
pandai mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.”

“Itu teorimu saja. Aku nggak seperti itu,”


Untuk pertama kali Rain melihat garis tawa di wajahnya. Sudut sudut bibirnya tertarik ke atas.
Tawanya terdengar halus dan menenangkan. Angin di sekitarnya berdesir pelan, mengiringi
lengkungan senyumnya yang membuat hati Rain kembali bergetar.

“Seseorang pernah bilang padaku. Katanya buku itu seperti musik. Tidak hidup, tetapi bernyawa.”

Rain sempat tertegun sejenak. Ia membisu sementara otaknya berusaha mengingat sesuatu. Kalimat
itu… di mana Rain pernah mendengarnya?

“Buku itu ibarat musik. Tidak hidup, tetapi bernyawa.”

Entah kenapa. Tapi Rain merasa kalau moment seperti ini pernah terjadi dalam hidupnya. Kalimat itu
pernah terlontar dan kini seseorang memutarnya kembali. Ia merasa kalau hari itu ia ada di sana dan
mengatakan kalimat yang sama. Di hari itu. Ketika mendung hitam berarak di angkasa. Kapan?
Dengan siapa? Rain tidak tahu.

“Mobilmu sudah datang!”

Rain masih belum beranjak saat pria itu menunjuk ke arah jalan dengan gerakan dagunya. Ia baru
tersadar saat tangan pria itu bergerak naik turun di depan wajahnya. Rain lantas membenahi buku-
bukunya dan menghambur ke dalam mobil tanpa lebih dahulu mengucapkan salam perpisahan pada
pria itu.

Begitu ia sudah duduk di jok belakang mobil, barulah ia teringat sesuatu.

Ia lupa menanyakan namanya lagi.

Cerpen Karangan: Tata Kurnia

Cerpen Memories, Remember You in 7 Days (Part 1) merupakan cerita pendek karangan Tata Kurnia,
kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru
buatannya.

Anda mungkin juga menyukai