Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi adalah invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme yang


mampu menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Infeksi adalah penyakit
yang disebabkan oleh invasi patogen atau mikroorganisme yang berkembang
biak dan bertahan hidup dengan cara menyebar dari satu orang ke orang lain
sehingga menimbulkan sakit pada seseorang. Penyakit infeksi masih merupakan
penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian di dunia.Salah satu
jenis infeksi adalah infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial atau Healthcare Associated Infections (HAIs) adalah
infeksi yang didapat pasien dari rumah sakit pada saat pasien menjalani proses
asuhan keperawatan. Infeksi nosokomial pada umumnya terjadi pada pasien
yang dirawat di ruang seperti ruang perawatan anak, perawatan penyakit dalam,
perawatan intensif, dan perawatan isolasi (Darmadi, 2008). Prevalensi HAIs di
negara-negara berpendapatan rendah lebih tinggi dari negara-negara
berpendapatan tinggi. Beberapa penelitian pada tahun 1995-2010, prevalensi
HAIs di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah berkisar antara
5,7-19,1%, sementara prevalensi di negara-negara berpendapatan tinggi
berkisar antara 3,5-12%. Prevalensi HAIs di Indonesia yang merupakan bagian
dari negara-negara berpendapatan menengah mencapai 7,1%.

Selama 10-20 tahun belakangan ini telah banyak penelitian yang


dilakukan untuk mencari masalah utama meningkatnya angka kejadian infeksi
nosokomial dan di beberapa Negara, kondisinya justru sangat
memprihatinkan.Keadaan ini justru memperlama waktu perawatan dan
perubahan pengobatan dengan obat-obatan mahal akibat resistensi kuman, serta
penggunaan jasa di luar rumah sakit.Karena itu di negara-negara miskin dan

1
berkembang, pencegahan infeksi nosokomial lebih diutamakan untuk dapat
meningkatkan kualitas pelayanan pasien dirumah sakit.

Rumah sakit sebagai tempat pengobatan, juga merupakan sarana


pelayanan kesehatan yang dapat menjadi sumber infeksi dimana orang sakit
dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat.Infeksi nosokomial dapat
terjadi pada penderita, tenaga kesehatan dan juga setiap orang yang datang ke
rumah sakit.Infeksi yang ada di pusat pelayanan kesehatan ini dapat ditularkan
atau diperoleh melalui petugas kesehatan, orang sakit, pengunjung yang
berstatus karier atau karena kodisi rumah sakit

Kerugian yang ditimbulkan akibat infeksi ini adalah lamanya rawat inap
yang tentunya akan membutuhkan biaya yang lebih banyak dari perawatan
normal bila tidak terkena infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat menyebabkan
kematian bagi pasien. Dalam Kepmenkes no. 129 tahun 2008 ditetapkan suatu
standar minimal pelayanan rumah sakit, termasuk didalamnya pelaporan kasus
infeksi nosokomial untuk melihat sejauh mana rumah sakit melakukan
pengendalian terhadap infeksi ini. Data infeksi nosokomial dari surveilans
infeksi nosokomial di setiap rumah sakit dapat digunakan sebagai acuan
pencegahan infeksi guna meningkatkan pelayanan medis bagi pasien
(Kepmenkes, 2008).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Infeksi Nosokomial ?
2. Apa faktor-faktor Penyebab Infeksi Nosokomial ?
3. Bagaimana cara penularan Infeksi Nosokomial ?
4. Bagaimana pencegahan Infeksi Nosokomial ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Infeksi Nosokomial.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab Infeksi Nosokomial.
3. Untuk mengetahui cara penularan Infeksi Nosokomial.

2
4. Untuk mengetahui pencegahan Infeksi Nosokomial.

3
BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

A. Pengertian Infeksi Nosokomial / HAIs

Infeksi nosokomial atau disebut juga Healthcare Associated Infections


(HAIs) adalah infeksi yang terjadi pada pasien dan tenaga medis di rumah
sakit yang terjadi selama proses perawatan ataupun selama bekerja di
fasilitas pelayanan kesehatan (WHO, 2010). Infeksi nosokomial menurut
Brooker (2008) adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit yang terjadi
pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien tersebut tidak
menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit.

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien dari rumah sakit
pada saat pasien menjalani proses asuhan keperawatan. Infeksi nosokomial
pada umumnya terjadi pada pasien yang dirawat di ruang seperti ruang
perawatan anak, perawatan penyakit dalam, perawatan intensif, dan
perawatan isolasi (Darmadi, 2008).

Sebelum dirawat, pasien tidak memiliki gejala tersebut dan tidak dalam
masa inkubasi. Infeksi nosokomial bukan merupakan dampak dari infeksi
penyakit yang telah dideritanya. Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan
penunggu pasien merupakan kelompok yang paling berisiko terjadinya
infeksi nosokomial, karena infeksi ini dapat menular dari pasien ke petugas
kesehatan, dari pasien ke pengunjung atau keluarga ataupun dari petugas ke
pasien (Husain, 2010).

B. Faktor – faktor Penyebab Infeksi Nosokomial/HAIs

Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan infeksi


nosokomial terdiri dari dua bagian yaitu faktor endogen dan faktor eksogen.
Faktor endogen meliputi umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, daya tahan

4
tubuh dan kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan faktor eksogen meliputi lama
penderita dirawat, kelompok yang merawat, alat medis serta lingkungan.

Menurut WHO (2010) faktor yang berhubungan dengan infeksi


nosokomial adalah tindakan invasif dan pemasangan infus, ruangan terlalu
penuh dan kurang staf, penyalahgunaan antibiotik, prosedur strilisasi yang
tidak tepat dan ketidaktaatan terhadap peraturan pengendalian infeksi
khususnya mencuci tangan.

Sedangkan menurut Darmadi (2008), faktor-faktor yang berperan


dalam terjadinya infeksi nosokomial adalah:

1. Faktor-faktor luar (extrinsic factor) yang berpengaruh dalam proses


terjadinya infeksi nosokomial seperti petugas pelayanan medis (dokter,
perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya), peralatan, dan dan
material medis (jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa,
dan lain-lain), lingkungan seperti lingkungan internal seperti ruangan
/bangsal perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah, sedangkan
lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit dan tempat
pembuangan sampah/pengelolahan limbah, makanan/minuman (hidangan
yang disajikan setiap saat kepada penderita, penderita lain (keberadaan
penderita lain dalam satu kamar/ruangan/bangsal perawatan dapat
merupakan sumber penularan), pengunjung/keluarga (keberadaan
tamu/keluarga dapat merupakan sumber penularan).
2. Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors) seperti
umur jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya
penyakit lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya.
3. Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay),
menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita
dalam satu ruangan.

5
4. Faktor mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat
kemampuan merusak jaringan, lamanya paparan (length of exposure)
antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita.

C. Cara Penularan dan Siklus Infeksi Nosokomial


Mikroorganinisme dapat hidup di manapun dalam lingkungan kita. Pada
manusia dapat ditemukan pada kulit, saluran pernafasan bagian atas, usus, dan
organ genital. Disamping itu mikroorganisme juga dapat hidup pada hewan,
tumbuhan, tanah, air, dan udara. Beberapa mikroorganisme lebih patogen dari
yang lain, atau lebih mungkin menyebabkan penyakit. Ketika daya tahan
manusia menurun, misalnya pada pasien dengan HIV/AIDS (Depkes, 2007).
Semua manusia rentan terhadap infeksi bakteri dan sebagian besar jenis
virus. Jumlah (dosis) mikroorganisme yang diperlukan untuk menyebabkan
infeksi pada pejamu/host yang rentan bervariasi sesuai dengan lokasi. Risiko
infeksi cukup rendah ketika mikroorganisme kontak dengan kulit yang utuh
dan setiap hari manusia menyentuh benda di mana terdapat sejumlah
mikroorganisme di permukaannya. Risiko infeksi akan meningkat bila area
kontak adalah membran mukosa atau kulit yang tidak utuh. Risiko infeksi
menjadi sangat meningkat ketika mikroorganisme berkontak dengan area
tubuh yang biasanya tidak steril, sehingga masuknya sejumlah kecil
mikroorganisme saja dapat menyebabkan sakit (Depkes, 2007).
Agar bakteri, virus dan penyebab infeksi lain dapat bertahan hidup dan
menyebar, sejumlah faktor atau kondisi tertentu harus tersedia. Faktor- faktor
penting dalam penularan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit
dari orang ke orang dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.

6
a. Reservoir Agen
Reservoir adalah tempat mikroorganisme patogen mampu bertahan
hidup tetapi dapat atau tidak dapat berkembang biak. Pseudomonas bertahan
hidup dan berkembang biak dalam reservoir nebuliser yang digunakan dalam
perawatan pasien dengan gangguan pernafasan. Resevoir yang paling umum
adalah tubuh manusia. Berbagai mikroorganisme hidup pada kulit dan rongga
tubuh, cairan, dan keluaran. Adanya mikroorganisme tidak selalu
menyebabkan seseorang menjadi sakit. Carrier (penular) adalah manusia atau
binatang yang tidak menunjukan gejala penyakit tetapi ada mikroorganisme
patogen dalam tubuh mereka yang dapat ditularkan ke orang lain. Misalnya,
seseorang dapat menjadi carrier virus hepatitis B tanpa ada tanda dan gejala
infeksi. Binatang, makanan, air, insekta, dan benda mati dapat juga menjadi
reservoir bagi mikroorganisme infeksius. Untuk berkembang biak dengan

7
cepat, organisme memerlukan lingkungan yang sesuai, termasuk makanan,
oksigen, air, suhu yang tepat, pH, dan cahaya (Perry & Potter, 2005).
b. Portal keluar (Port of exit)
Setelah mikrooganisme menemukan tempat untuk tumbuh dan
berkembang biak, mereka harus menemukan jalan ke luar jika mereka masuk
ke pejamu lain dan menyebabkan penyakit. Pintu keluar masuk
mikroorganisme dapat berupa saluran pencernaan, pernafasan, kulit, kelamin,
dan plasenta (Perry & Potter, 2005).
c. Cara penularan (Mode of transmision)
Cara penularan bisa langsungy maupun tidak langsung. Secara
langsung misalnya; darah/cairan tubuh, dan hubungan kelamin, dan secara
tidak langsung melalui manusia, binatang, benda-benda mati, dan udara (Perry
& Potter, 2005).
d. Portal masuk (Port of entry)
Sebelum infeksi, mikroorganisme harus memasuki tubuh. Kulit adalah
bagian rentang terhadap infeksi dan adanya luka pada kulit merupakan tempat
masuk mikroorganisme. Mikroorganisme dapat masuk melalui rute yang sama
untuk keluarnya mikroorganisme (Perry & Potter, 2005).
e. Kepekaan dari host (host susceptibility)
Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen
infeksius. Kerentanan tergantung pada derajat ketahanan individu terhadap
mikroorganisme patogen. Semakin virulen suatu mikroorganisme semakin
besar kemungkinan kerentanan seseorang. Resistensi seseorang terhadap agen
infeksius ditingkatkan dengan vaksin (Perry & Potter, 2005).

Mekanisme transmisi patogen ke pejamu yang rentan melalui tiga cara


(WHO, 2010) yaitu:

1. Transmisi dari flora normal ke pasien (endogenous infection)


Bakteri dapat hidup dan berkembang biak pada kondisi flora normal yang
dapat menyebabkan infeksi. Infeksi ini dapat terjadi bila sebagian dari

8
flora normal pasien berubah dan terjadi pertumbuhan yang berlebihan,
misalnya: infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter.
2. Transmisi dari flora pasien atau tenaga kesehatan (exogenous cross-
infection)
Infeksi didapat dari mikroorganisme eksternal terhadap individu, yang
bukan merupakan flora normal seperti melalui kontak langsung antara
pasien (tangan, tetesan air liur, atau cairan tubuh yang lain), melalui udara
(tetesan atau kontaminasi dari debu yang berasal dari pasien lain), melalui
petugas kesehatan yang telah terkontaminasi dari pasien lain (tangan,
pakaian, hidung dan tenggorokkan), melalui media perantara meliputi
peralatan, tangan tenaga kesehatan, pengunjung atau dari sumber
lingkungan yang lain (air dan makanan).
3. Transmisi dari flora lingkungan layanan kesehatan (endemic or epidemic
exogenous environmental infection)
Beberapa jenis organisme yang dapat bertahan hidup di lingkungan rumah
sakit yaitu: dalam air, tempat yang lembab, dan kadang-kadang di produk
yang steril atau desinfektan (pseudomonas, acinetobacter,
mycobacterium); dalam barang-barang seperti linen, perlengkapan dan
persediaan yang digunakan dalam perawatan atau perlengkapan rumah
tangga; dalam makanan; dalam inti debu halus dan tetesan yang dihasilkan
pada saat berbicara atau batuk.
D. Pencegahan Infeksi Nosokomial
1. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan di
dunia, termasuk Indonesia. Ditinjau dari asal atau didapatnya infeksi dapat
berasal dari komunitas (Community acquired infection) atau berasal dari
lingkungan rumah sakit (Hospital acquired infection) yang sebelumnya
dikenal dengan istilah infeksi nosokomial. Tindakan medis yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang bertujuan untuk perawatan atau penyembuhan
pasien, apabila dilakukan tidak sesuai prosedur maka berpotensi untuk

9
menularkan penyakit infeksi, baik bagi pasien yang lain atau bahkan pada
petugas kesehatan itu sendiri. Karena tidak dapat ditentukan secara pasti asal
infeksi, maka sekarang istilah infeksi nosokomial (Hospital acquired
infection) diganti dengan istilah baru yaitu “Healthcare-associated
infections” (HAIs) dengan pengertian yang lebih luas tidak hanya di rumah
sakit tetapi juga di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, serta tidak terbatas
infeksi pada pasien saja, tetapi juga infeksi pada petugas kesehatan yang
didapat pada saat melakukan tindakan perawatan pasien (Akib et al, 2008).
Mencegah atau membatasi penularan infeksi di sarana pelayanan
kesehatan memerlukan penerapan prosedur dan protokol yang disebut
sebagai "pengendalian". Secara hirarkis hal ini telah ditata sesuai dengan
efektivitas pencegahan dan pengendalian infeksi (Infection Prevention and
Control– IPC), yang meliputi: pengendalian bersifat administratif,
pengendalian dan rekayasa lingkungan, dan alat pelindung diri (Slamet et al,
2013). Program yang termasuk pencegahan dan pengendalian infeksi yaitu,
(1) Tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi; (2) Surveilans (HAIs dan
Proses: audit kepatuhan petugas untuk cuci tangan dan memakai APD); (3)
Penerapan kewaspadaan isolasi; (4) Pendidikan dan pelatihan PPI; (5)
Penggunaan antimikroba rasional; (6) Kesehatan karyawan (Rosa, 2015).
Tujuan dari Pencegahan dan Pengendalian Infeksi adalah untuk
membantu mengurangi penyebaran infeksi yang terkait dengan pelayanan
kesehatan, dengan penilaian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi oleh
National Infection Control Policies. Tujuan utamanya adalah untuk
mendukung promosi kualitas pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien,
petugas kesehatan, dan orang lain dalam perawatan kesehatan dan lingkungan
dengan cara yang hemat biaya (WHO, 2014).
2. Kewaspadaan Isolasi

Kewaspadaan isolasi adalah tindakan pencegahan atau


pengendalian infeksi yang disusun oleh CDC dan harus diterapkan di

10
rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya. Kewaspadaan isolasi
diterapkan untuk menurunkan resiko trasmisi penyakit dari pasien ke
pasien lain atau ke pekerja medis. Kewaspadaan isolasi memiliki 2 pilar
atau tingkatan, yaitu Kewaspadaan Standar (Standard/Universal
Precautions) dan Kewaspadaan berdasarkan cara transmisi (Transmission
based Precautions) (Akib et al, 2008).

a. Kewaspadaan Standar (Standard/Universal Precautions)


Kewaspadaan standar adalah kewaspadaan dalam pencegahan dan
pengendalian infeksi rutin dan harus diterapkan terhadap semua pasien
di semua fasilitas kesehatan. Kewaspadaan standar/universal yaitu
tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga
kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dan didasarkan
pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan
penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam,
2007). Tindakan dalam kewaspadaan standar meliputi:
1. Kebersihan tangan.
2. APD : sarung tangan, masker, goggle, face shield , gaun.
3. Peralatan perawatan pasien.
4. Pengendalian lingkungan.
5. Penatalaksanaan Linen.
6. Pengelolaan limbah tajam/ Perlindungan & Kesehatan karyawan.
7. Penempatan pasien
8. Hygiene respirasi/Etika batuk
9. Praktek menyuntik aman
10. Praktek pencegahan infeksi unt prosedur lumbal pungsi
Berdasarkan Association for Professionals in Infection Control and
Epidemiology (APIC) kepatuhan kewaspadaan standard terdapat 8 indikator
yang terdiri dari:
1. Mencuci tangan sebelum memberikan perawatan kepada pasien.

11
2. Gunakan sarung tangan apabila kontak dengan darah/cairan tubuh,
membrane mukosa atau kulit yang tidak utuh pada semua pasien.
3. Lepas sarung tangan sebelum meninggalkan area perawatan pasien.
4. Mencuci tangan setelah melepaskan sarung tangan.
5. Buang jarum pada tempat pembuangan tanpa menutup kembali.
6. Gunakan gaun, kacamata atau pelindung wajah ketika adanya percikan
atau semprotan dari cairan tubuh.
7. Ketika menggunakan sarung tangan kotor jangan menyentuh area bersih
dari ruangan/pasien.
8. Needleboxes tidak terisi dengan penuh.
b. Kewaspadaan berdasarkan transmisi (Transmission based Precautions).
Kewaspadaan berdasarkan transmisi merupakan tambahan untuk
kewaspadaan standar, yaitu tindakan pencegahan atau pengendalian
infeksi yang dilakukan setelah jenis infeksinya sudah terdiagnosa atau
diketahui (Akib et al, 2008). Tujuannya untuk memutus mata rantai
penularan mikroba penyebab infeksi, jadi kewaspadaan ini diterapkan
pada pasien yang memang sudah terinfeksi kuman tertentu yang bisa
ditransmisikan lewat udara, droplet, kontak kulit atau lain-lain.
Berdasarkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di
Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya tahun 2008, jenis
kewaspadaan berdasarkan transmisi:
1. Kewaspadaan transmisi kontak
Transmisi kontak merupakan cara transmisi yang terpenting dan tersering
menimbulkan HAIs. Kewaspadaan transmisi kontak ini ditujukan untuk
menurunkan resiko transmisi mikroba yang secara epidemiologi
ditransmisikan melalui kontak langsung atau tidak langsung.
a) Kontak langsung
Meliputi kontak permukaan kulit terluka/abrasi orang yang
rentan/petugas dengan kulit pasien terinfeksi atau kolonisasi. Misal
perawat membalikkan tubuh pasien, memandikan, membantu pasien

12
bergerak, dokter bedah dengan luka basah saat mengganti verband,
petugas tanpa sarung tangan merawat oral pasien HSV atau scabies.
b) Transmisi kontak tidak langsung
Terjadi kontak antara orang yang rentan dengan benda yang
terkontaminasi mikroba infeksius di lingkungan, instrumen yang
terkontaminasi, jarum, kasa, tangan terkontaminasi dan belum dicuci
atau sarung tangan yang tidak diganti saat menolong pasien satu
dengan yang lainnya, dan melalui mainan anak. Kontak dengan cairan
sekresi pasien terinfeksi yang ditransmisikan melalui tangan petugas
atau benda mati dilingkungan pasien. Petugas harus menahan diri
untuk menyentuh mata, hidung, mulut saat masih memakai sarung
tangan terkontaminasi ataupun tanpa sarung tangan. Hindari
mengkontaminasi permukaan lingkungan yang tidak berhubungan
dengan perawatan pasien misal: pegangan pintu, tombol lampu,
telepon.
2. Kewaspadaan transmisi droplet
Diterapkan sebagai tambahan kewaspadaan standar terhadap pasien
dengan infeksi diketahui atau suspek mengidap mikroba yang dapat
ditransmisikan melalui droplet ( > 5μm). Droplet yang besar terlalu berat
untuk melayang di udara dan akan jatuh dalam jarak 1 m dari sumber.
Transmisi droplet melibatkan kontak konjungtiva atau mukus membran
hidung/mulut, orang rentan dengan droplet partikel besar mengandung
mikroba berasal dari pasien pengidap atau carrier dikeluarkan saat batuk,
bersin, muntah, bicara, selama prosedur suction, bronkhoskopi.
Transmisi droplet langsung, dimana droplet mencapai mucus
membrane atau terinhalasi. Transmisi droplet ke kontak, yaitu droplet
mengkontaminasi permukaan tangan dan ditransmisikan ke sisi lain misal:
mukosa membran. Transmisi jenis ini lebih sering terjadi daripada
transmisi droplet langsung, misal: commoncold, respiratory syncitial virus
(RSV). Dapat terjadi saat pasien terinfeksi batuk, bersin, bicara, intubasi

13
endotrakheal, batuk akibat induksi fisioterapi dada, resusitasi
kardiopulmoner.
3. Kewaspadaan transmisi melalui udara ( Airborne Precautions )
Kewaspadaan transmisi melalui udara diterapkan sebagai tambahan
kewaspadaan standar terhadap pasien yang diduga atau telah
diketahui terinfeksi mikroba yang secara epidemiologi penting dan
ditransmisikan melalui jalur udara. Seperti transmisi partikel terinhalasi
(varicella zoster) langsung melalui udara.
Ditujukan untuk menurunkan resiko transmisi udara mikroba
penyebab infeksi baik yang ditransmisikan berupa droplet nuklei (sisa
partikel kecil < 5μm evaporasi dari droplet yang bertahan lama di
udara) atau partikel debu yang mengandung mikroba penyebab infeksi.
Mikroba tersebut akan terbawa aliran udara > 2m dari sumber, dapat
terinhalasi oleh individu rentan di ruang yang sama dan jauh dari pasien
sumber mikroba, tergantung pada faktor lingkungan, misal penanganan
udara dan ventilasi yang penting dalam pencegahan transmisi melalui
udara, droplet nuklei atau sisik kulit luka terkontaminasi (S. aureus).
3. Alat Pelindung Diri (APD)
a. Pengertian APD
Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
mendefinisikan Alat Pelindung Diri (APD) adalah pakaian khusus atau
peralatan yang digunakan oleh karyawan untuk perlindungan diri dari
bahan yang menular (Centers for Disease Control and Prevention). APD
merupakan suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri terhadap bahaya-
bahaya kecelakaan kerja, dimana secara teknis dapat mengurangi tingkat
keparahan dari kecelakaan kerja yang terjadi. Meskipun tidak
menghilangkan ataupun mengurangi bahaya yang ada dengan
menggunakan APD (Mulyanti, 2008).
Berdasarkan Panduan Pemakaian Alat Pelindung Diri di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Gamping tahun 2015. APD merupakan solusi

14
pencegahan yang paling mendasar dari segala macam kontaminasi dan
bahaya akibat bahan kimia. APD digunakan untuk melindungi kulit dan
membran mukosa petugas kesehatan dari resiko terpaparnya darah, sekret,
ekskreta, kulit yang tidak utuh, dan selaput lendir pasien serta semua jenis
cairan tubuh pasien. Jenis-jenis tindakan beresiko yang menggunakan alat-
alat seperti perawatan gigi, tindakan bedah tulang, otopsi dan tindakan
rutin (KEMENKES, 2010).
b. Tujuan menggunakan APD
Alat pelindung diri bertujuan untuk melindungi dirinya dari sumber
bahaya tertentu, yang berasal dari pekerjaan maupun lingkungan pekerjaan
dan sebagai usaha untuk mencegah atau mengurangi kemungkinana cedera
atau sakit (Siburian, 2012). Alat pelindung diri merupakan komponen utama
personal precaution beserta penggunaannya yang biasa digunakan perawat
sebagai kewaspadaan standar (standard precaution) dalam melakukan
tindakan keperawatan menurut Departemen Kesehatan RI, 2007 yang
bekerjasama dengan Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia
(PERDALIN) tahun 2008.
4. Sterilisasi Alat
Menurut Depkes (2003) pengelolaan alat-alat kesehatan bertujuan
untuk mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan atau untuk
menjamin alat tersebut dalam keadaan steril dan siap pakai. WHO (2010)
bahwa pengolahan ulang instrumen dan peralatan, berisiko infeksi
mentransfer dari instrumen dan peralatan tergantung pada faktor-faktor
berikut :
a. Adanya mikro-organisme, jumlah dan virulensi organisme
b. Jenis prosedur yang akan dilakukan (invasif atau non-invasif)
c. Bagian tubuh mana instrumen atau peralatan yang akan digunakan
(menembus jaringan mukosa atau kulit atau digunakan pada kulit
utuh).

15
Pengolahan ulang instrumen dan peralatan dengan cara yang efektif
meliputi:

1. Pembersihan instrumen dan peralatan segera setelah digunakan untuk


menghapus semua bahan organik, bahan kimia,
2. Disinfeksi (oleh panas dan air atau disinfektan kimia)
3. Sterilisasi

Sterilisasi alat/instrumen kesehatan pasca pakai di RS dilakukan


dengan 2 cara yaitu secara fisika atau kimia, melalui tahapan pencucian
(termasuk perendaman dan pembilasan), pengeringan, pengemasan,
labeling, indikatorisasi, sterilisasi, penyimpanan, distribusi diikuti dengan
pemantauan dan evaluasi proses serta kualitas/mutu hasil sterilisasi secara
terpusat melalui lnstalasi Pusat Pelayanan Sterilisasi/Central Sterile Supply
Department (CSSD).

Pemrosesan alat instrumen pasca pakai dipilih berdasarkan kriteria


alat, dilakukan dengan sterilisasi untuk alat kritikal, sterilisasi atau
Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT) untuk alat semi kritikal, disinfeksi
tingkat rendah untuk non kritikal. Kriteria pemilihan desinfektan didasari
secara cermat terkait kriteria memiliki spektrum luas dengan daya bunuh
kuman yang tinggi dengan toksisitas rendah, waktu disinfeksi singkat,
stabil dalam penyimpanan, tidak merusak bahan dan efisien. CSSD
bertanggungjawab menyusun panduan dan prosedur tetap,
mengkoordinasikan, serta melakukan monitoring dan evaluasi proses serta
kualitas hasil sterilisasi dengan persetujuan Komite PPI RS.

Alur kerja penyediaan barang steril sebagai berikut :

a. Pengumpulan dan serah terima/pencatatan alat/bahan non steril


b. Pengumpulan linen kotor dan di distribusikan ke laundry
c. Dekontaminasi adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan
kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya.

16
d. Perendaman/Desinfeksi yang merupakan proses fisik atau kimia untuk
membersihkan benda-benda yang terkontaminasi oleh mikroba dengan
melakukan perendaman sesuai label dan instruksi produsen
e. Pencucian semua alat-alat pakai ulang harus dicuci hingga benar-benar
bersih sebelum disterilkan
f. Pengeringan, sebelum dilakukan setting alat dan packing alat terlebih
dahulu alat-alat dikeringkan yang dilakukan dengan secara manual atau
secara mekanikal
g. Packing alat/bahan, semua material yang tersedia untuk fasilitas
kesehatan yang didesain untuk membungkus mengemas dan
menampung alat - alat yang dipakai ulang untuk sterilisasi,
penyimpanan dan pemakaian
h. Labelling, proses identifikasi alat/instrumen sebulum dilakukan proses
sterilisasi (Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).

5. Pengendalian Lingkungan
Menurut WHO (2010) sebuah lingkungan yang bersih memainkan
peranan penting dalam pencegahan dari Hospital Associated Infeksi (HAI).
Pengendalian lingkungan RS meliputi penyehatan air, pengendalian
serangga dan binatang pengganggu, penyehatan ruang dan bangunan,
pemantauan hygiene sanitasi makanan, pemantauan penyehatan linen,
disinfeksi permukaan udara, lantai, pengelolaan limbah cair, limbah B3
limbah padat medis, non medis dikelola oleh lnstalasi Kesehatan
Lingkungan dan Sub Bagian Rumah Tangga bekerjasama dengan pihak
ketiga, berkoordinasi dengan komite PPI RS, sehingga aman bagi
lingkungan.
Pengelolaan limbah padat medis dipisahkan dan dikelola khusus
sampai dengan pemusnahannya sesuai persyaratan Kementerian
Lingkungan Hidup sebagai limbah infeksius (ditempatkan dalam kantong
plastik berwarna kuning berlogo infeksius), limbah padat tajam

17
(ditempatkan dalam wadah tahan tusuk, tidak tembus basah dan tertutup).
Pengelolaan limbah padat non medis ditempatkan dalam kantong plastik
berwarna hitam. Prinsip metode pembersihan ruang perawatan dan
lingkungan, pemilihan bahan desinfektan, cara penyiapan dan
penggunaannya dilaksanakan berdasarkan telaah Komite PPI RS untuk
mencapai efektivitas yang tinggi.
Pembersihan lingkungan ruang perawatan diutamakan dengan metode
usap seluruh permukaan lingkungan menggunakan bahan desinfektan yang
efektif, Pelaksanaan Panduan PPI RS dan standar prosedur operasional
tentang pengendalian lingkungan, monitoring dan evaluasinya dilaksanakan
oleh Instalasi Kesehatan Lingkungan bersama sub Bagian Rumah Tangga
berkoordinasi dengan komite PPI. Baku mutu berbagai parameter
pengendalian lingkungan dievaluasi periodik dengan pemeriksaan
parameter kimia, biologi surveilans angka dan pola kuman lingkungan
berdasarkan standar Kepmenkes Rl No.416/MenKes/Per/|x1990 tentang
persyaratan Kualitas Air Bersih dan Air Minum, Kepmenkes Rl No.
492lMenKes/sKA/ll/2010 tentang persyaratan Kualitas Air Minum,
Kepmenkes Rl No, l204/Menkes/X/2004 tentang persyaratan kesehatan
lingkungan RS.
Tahap Pengelolaan Limbah sebagai berikut :
a. Identifikasi Limbah : padat, cair, tajam, infeksius, non infeksius
b. Pemisahan : pemisahan dimulai dari awal penghasil limbah, pisahkan
limbah sesuai dengan jenis limbah, tempatkan limbah sesuai dengan
jenisnya, limbah cair segera dibuang ke wastafel di spoelhok
c. Labeling : limbah padat infeksius, plastik kantong kuning yang diberi
symbol biohazard, limbah padat non infeksius, plastik kantong warna
hitam, limbah benda tajam, wadah tahan tusuk dan air /jerigen yang
diberi symbol biohazard

18
d. Packing : tempatkan dalam wadah limbah tertutup, tutup mudah
dibuka, kontainer dalam keadaan bersih, kontainer terbuat dari bahan
yang kuat, ringan dan tidak berkarat
e. Tempatkan setiap kontainer limbah pada jarak 10 - 20 meter, ikat
limbah jika sudah terisi 3/4 penuh, kontainer limbah harus dicuci
setiap hari
f. Penyimpanan : simpan limbah di tempat penampungan sementara
khusus, tempatkan limbah dalam kantong plastik dan ikat dengan kuat,
beri label pada kantong plastik limbah, setiap hari limbah diangkat
dari tempat penampungan sementara
g. Pengangkutan : mengangkut limbah harus menggunakan kereta
dorong khusus, kereta dorong harus kuat, mudah dibersihkan, tertutup,
tidak boleh ada yang tercecer, sebaiknya lift pengangkut limbah
berbeda dengan lift pasien, gunakan alat pelindung diri ketika
menangani limbah, tempat penampungan sementara harus di area
terbuka, terjangkau (oleh kendaraan), aman dan selalu dijaga
kebersihannya dan kondisi kering
h. Treatment : limbah infeksius dimasukkan dalam incenerator, limbah
non infeksius dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), limbah
benda tajam dimasukkan dalam incenerator, limbah cair dalam
wastafel di ruang spoelhok, limbah feces dan urine ke dalam WC
yang langsung dialirkan ke IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah)
i. Penanganan Limbah Benda Tajam : jangan menekuk atau mematahkan
benda tajam, jangan meletakkan limbah benda tajam sembarang
tempat, segera buang limbah benda tajam ke kontainer yang tersedia
tahan tusuk dan tahan air dan tidak bisa dibuka lagi, selalu buang
sendiri oleh si pemakai, tidak menyarungkan kembali jarum suntik
habis pakai, kontainer benda tajam diletakkan dekat lokasi tindakan,
j. Penanganan Limbah Pecahan Kaca : gunakan sarung tangan rumah
tangga, gunakan kertas koran untuk mengumpulkan pecahan benda

19
tajam tersebut, kemudian bungkus dengan kertas, masukkan dalam
kontainer tahan tusukan beri label
k. Unit Pengelolaan Limbah Cair : pengolahan limbah cair dengan sistim
bakteri Aerob di IPAL (Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).
6. Pengelolaan Linen
Manajemen linen yang baik merupakan salah satu upaya untuk
menekan kejadian infeksi nosokomial. Selain itu pengetahuan dan perilaku
petugas kesehatan juga mempunyai peran yang sangat penting. Pengelolaan
linen bertujuan mencegah kontaminasi linen kotor atau infeksius kepada
petugas, pasien dan lingkungan, meliputi proses pengumpulan, pemilahan,
pengangkutan linen kotor, pemilahan dan teknik pencucian sampai dengan
pengangkutan dan distribusi linen bersih.
Pengelolaan linen kotor dan bersih secara terpisah untuk mengurangi
risiko infeksi pada pasien, petugas dan lingkungan dilakukan menyeluruh
dan sistematis agar mencegah kontaminasi, di bawah tanggung jawab
lnstalasi Laundry berkoordinasi dengan Komite PPI RS. Jenis linen di RS
diklasifikasikan menjadi linen bersih, linen steril, linen kotor infeksius,
linen kotor non infeksius (linen kotor berat dan linen kotor ringan).
Pencegahan kontaminasi lingkungan maupun pada petugas dilakukan
dengan disinfeksi kereta linen, pengepelan/disinfeksi lantai, implementasi
praktik kebersihan tangan, penggunaan APD sesuai potensi risiko selama
bekerja (Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).
Prinsip-prinsip dasar pengelolaan linen adalah sebagai berikut: linen
yang sudah digunakan tempatkan di tas yang tepat, linen kotor dengan
cairan tubuh atau cairan lain tempatkan dalam tas kedap air yang cocok dan
aman untuk transportasi untuk menghindari tumpahan atau menetes darah,
cairan tubuh, sekresi atau ekskresi. Jangan membilas atau memilah linen di
daerah perawatan pasien. Handle semua linen dengan agitasi minimum
untuk menghindari aerosolisation dari patogen mikro-organisme. Separate
bersih dari linen kotor dan transportasi secara terpisah.Pencucian linen

20
(seprai, selimut kapas) dalam air panas (70 ° C hingga 80 ° C) dan deterjen,
bilas dan keringkan sebaiknya dalam pengeringan atau di bawah sinar
matahari. Autoclave linen sebelum dipasok ke kamar operasi. Pencucian
selimut wol dalam air hangat dan keringkan di bawah sinar matahari, di
pengering pada suhu dingin atau kering-bersih (WHO, 2010).
7. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) petugas di RS
Kesehatan dan keselarnatan kerja petugas di RS terkait risiko
penularan infeksi karena merawat pasien maupun identifikasi risiko petugas
yang mengidap penyakit menular dilaksanakan oleh Unit K3RS
berkoordinasi dengan Komite PPI RS. Pencegahan penularan infeksi pada
dan dari petugas dilakukan dengan pengendalian administratif untuk
petugas yang rentan tertular infeksi ataupun berisiko menularkan infeksi
dikoordinasikan Unit K3 RS bersama Komite PPI RS dan Bagian Sumber
Daya Manusia (SDM) berupa penataan penempatan SDM, pemberian
imunisasi, dan sosialisasi PPI berkala khususnya di tempat risiko tinggi
infeksi.
Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kondisi kesehatan petugas
dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan prakarya dan berkala sesuai faktor
risiko di tempat kerja. Perencanaan, pengadaan dan pengawasan
penggunaan alat pelindung diri petugas dari risiko infeksi yang berupa alat/
bahan tidak habis pakai dikelola Unit K3 RS berkoordinasi dengan Komite
PPI RS. Unit K3RS berkoordinasi dengan Komite PPI RS mengembangkan
panduan dan menyusun standar pelaporan dan penanganan kejadian
kecelakaan kerja terkait pajanan infeksi, mensosialisasikan, memonitor
pelaksanaan, serta melakukan evaluasi kasus dan menyusun rekomendasi
tindaklanjutnya. Surveilans pada petugas dan pelaporannya dilakukan
secara teratur, berkesinambungan, periodik oleh unit K3RS berkoordinasi
dengan PPI RS. Petugas kesehatan berada pada risiko tertular infeksi
melalui karyawan Rumah Sakit. Ketika bekerja juga dapat menularkan
infeksi ke pasien dan karyawan lainnya.

21
Dengan demikian, program kesehatan karyawan harus berada di
tempat untuk mencegah dan mengelola infeksi pada staf rumah sakit.
kesehatan karyawan harus ditinjau pada perekrutan, termasuk riwayat
imunisasi dan penyakit menular sebelumnya (Misal TBC) dan status
kekebalan. Beberapa infeksi sebelumnya seperti virus varicella-zoster dapat
dinilai dengan uji serologis. Imunisasi dianjurkan untuk staf meliputi:
hepatitis A dan B, influenza, campak, gondok, rubella, tetanus, dan difteri.
Imunisasi terhadap varicella, rabies dapat dipertimbangkan dalam kasus-
kasus tertentu. Mantoux tes kulit akan mendokumentasikan tuberkulosis
sebelumnya (TB).
Kebijakan pasca-paparan spesifik harus dikembangkan, dan kepatuhan
dipastikan untuk sejumlah penyakit menular misalnya : Human
Immunodeficiency Virus (HIV), virus hepatitis, sindrom pernapasan akut
parah (SARS), varicella, rubella dan TBC. Pekerja perawatan kesehatan
dengan infeksi harus melaporkan penyakit mereka/insiden untuk staf klinik
untuk evaluasi dan pengelolaan selanjutnya (WHO 2010). Depkes RI,
(2007) menyatakan bahwa petugas kesehatan saat menjadi karyawan baru
harus diperiksa riwayat pernah infeksi apa dan status imunisasinya.
Imunisasi yang dianjurkan untuk petugas kesehatan adalah Hepatitis B,
dan bila memungkinkan A, influenza, campak, tetanus, difteri, dan
rubella.

8. Penempatan pasien/Kewaspadaan pasien

Penanganan pasien dengan penyakit menular/suspek sebagai berikut :

a. Terapkan dan lakukan pengawasan terhadap kewaspadaan standar.


Untuk kasus/dugaan kasus penyakit menular melalui udara
b. Letakkan pasien di dalam satu ruangan tersendiri. Jika ruangan tersendiri
tidak tersedia, kelompokkan kasus yang telah dikonfirmasi secara
terpisah di dalam ruangan atau bangsal dengan beberapa tempat tidur

22
dari kasus yang belum dikonfirmasi atau sedang didiagnosis (kohorting).
Bila ditempatkan dalam 1 ruangan, jarak antar tempat tidur harus lebih
dari 2 meter dan diantara tempat tidur harus ditempatkan penghalang
fisik seperti tirai atau sekat
c. Jika memungkinkan, upayakan ruangan tersebut dialiri udara bertekanan
negatif yang di monitor (ruangan bertekanan negatif) dengan 612
pergantian udara per jam dan sistem pembuangan udara keluar atau
menggunakan saringan udara partikufasi efisiensi tinggi (filter HEPA)
yang termonitor sebelum masuk ke sistem sirkulasi udara lain di rumah
sakit
d. Jika tidak tersedia ruangan bertekanan negatif dengan sistem
penyaringan udara partikulasi efisiensi tinggi, buat tekanan negatif di
dalam ruangan pasien dengan memasang pendingin ruangan atau kipas
angin di jendela sedemikian rupa agar aliran udara ke luar gedung
melalui jendela. Jendela harus membuka keluar dan tidak mengarah ke
daerah publik. Uji untuk tekanan negatif dapat dilakukan dengan
menempatkan sedikit bedak tabur dibawah pintu dan amati apakah
terhisap ke dalam ruangan. Jika diperlukan kipas angin tambahan di
dalam ruangan dapat meningkatkan aliran udara
e. Jaga pintu tertutup setiap saat dan jelaskan kepada pasien mengenai
perlunya tindakan- tindakan pencegahan ini
f. Pastikan setiap orang yang memasuki ruangan memakai APD yang
sesuai, masker (bila memungkinkan masker efisiensi tinggi harus
digunakan, bila tidak, gunakan masker bedah sebagai alternatif), gaun,
pelindung wajah atau pelindung mata dan sarung tangan
g. Pakai sarung tangan bersih, non-steril ketika masuk ruangan
h. Pakai gaun yang bersih, non-steril ketika masuk ruangan jika akan
berhubungan dengan pasien atau kontak dengan permukaan atau barang-
barang di dalam ruangan.

23
Pertimbangan pada saat penempatan pasien antara lain :

1. Kamar terpisah bila dimungkinkan kontaminasi luas terhadap


lingkungan, misal: luka lebar dengan cairan keluar, diare, perdarahan
tidak terkontrol
2. Kamar terpisah dengan pintu tertutup diwaspadai transmisi melalui
udara ke kontak, misal: luka dengan infeksi kuman gram positif
3. Kamar terpisah atau kohort dengan ventilasi dibuang keluar dengan
exhaust ke area tidak ada orang lalu lalang, misal : TBC,
4. Kamar terpisah dengan udara terkunci bila diwaspadai transmisi
airborne luas, misal: varicella
5. Kamar terpisah bila pasien kurang mampu menjaga kebersihan (anak,
gangguan mental)
6. Bila kamar terpisah tidak memungkinkan dapat kohorting. Bila
pasien terinfeksi dicampur dengan non infeksi maka pasien, petugas
dan pengunjung menjaga kewaspadaan untuk mencegah transmisi
infeksi (Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).
7.
9. Hygiene respirasi/Etika batuk
Etika batuk merupakan suatu teknik yang dirancang untuk
meminimalkan penularan patogen pernapasan melalui rute droplet atau
udara (CDC, 2012). Kebersihan pernafasan dan etika batuk adalah dua cara
penting untuk mengendalikan penyebaran infeksi di sumbernya. Semua
pasien, pengunjung dan petugas kesehatan harus dianjurkan untuk selalu
mematuhi etika batuk dan kebersihan pernafasan untuk mencegah sekresi
pernafasan.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan saat batuk atau bersin yaitu :

a. Tutup hidung dan mulut dengan tisu


b. Buang jaringan yang digunakan dalam wadah limbah terdekat

24
c. Lakukan kebersihan tangan dengan sabun dan air atau larutan antiseptik
(Depkes RI, 2008).
10. Praktek menyuntik yang aman
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam praktek menyuntik yang
aman berdasarkan WHO (2010) sebagai berikut :
a. Berhati-hati untuk mencegah cedera saat menggunakan jarum, pisau
bedah dan instrumen atau peralatan tajam lainnya
b. Gunakan jarum suntik sekali pakai, pisau bedah dan benda tajam lainnya,
c. Tempatkan item benda tajam dalam wadah tahan tusukan dengan tutup
yang menutup dan terletak dekat dengan daerah di mana item tersebut
digunakan,
d. Berhati-hati ketika membersihkan instrumen atau peralatan tajam yang
dapat digunakan kembali
e. Benda tajam harus tepat desinfeksi dan dimusnahkan sesuai pedoman
atau standar nasional.

Sedangkan untuk penanganan benda tajam menurut Tietjen (2004) yaitu:

1. Tidak disarankan untuk menyarungkan kembali atau melepaskan spuit


2. Memasukkan benda- benda tajam tersebut ke dalam wadah sebelum
diinsersi.

Daley & Karen (2004) menjelaskan Center for Disease Control (CDC)
memperkirakan setiap tahun terjadi 385.000 kejadian luka akibat benda tajam
yang terkontaminasi darah pada tenaga kesehatan di rumah sakit di Amerika.
Pekerja kesehatan beresiko terpapar darah dan cairan tubuh yang terinfeksi
(bloodborne pathogen) yang dapat menimbulkan infeksi HBV (Hepatitis B
Virus), HCV (Hepatitis C Virus) dan HIV (Human Imunodefisiensi Virus)
melalui berbagai cara, salah satunya melalui luka tusuk jarum atau yang
dikenal dengan istilah Needle Stick Injury (NSI).

11. Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi.

25
Pemakaian masker pada insersi cateter atau injeksi suatu obat kedalam
area spinal epidural melalui prosedur lumbal punksi misal saat melakukan
anastesi spinal dan epidural, myelogram, untuk mencegah transmisi droplet
flora orofaring (WHO, 2010). Schulz-Stubnerr (2008) dalam Masloman
(2015) menyatakan infeksi yang terjadi akibat pemberian anestesi spinal di
kamar operasi sangat berbahaya dari 100.000 prosedur anestesi spinal
didapatkan angka kejadian meningitis yang berhubungan dengan pemberian
anestesi spinal sebesar 3,7-7,2.

Sedangkan kejadian epidural abses berkisar antara 0,2 sampai 83/100.000


prosedur anestesi spinal. Kebersihan tangan dan pemakaian alat pelindung
diri sebelum melakukan pemberian anestesi spinal merupakan salah satu
cara yang penting untuk menekan angka kejadian infeksi saat pemberian
anestesi spinal.

26
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit yang
terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien tersebut tidak
menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit. Secara
umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial terdiri dari
dua bagian yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen
meliputi umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, daya tahan tubuh dan
kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan faktor eksogen meliputi lama penderita
dirawat, kelompok yang merawat, alat medis serta lingkungan.

Semua manusia rentan terhadap infeksi bakteri dan sebagian besar


jenis virus. Jumlah (dosis) mikroorganisme yang diperlukan untuk
menyebabkan infeksi pada pejamu/host yang rentan bervariasi sesuai dengan
lokasi. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan di
dunia, termasuk Indonesia. Ditinjau dari asal atau didapatnya infeksi dapat
berasal dari komunitas (Community acquired infection) atau berasal dari
lingkungan rumah sakit (Hospital acquired infection) yang sebelumnya
dikenal dengan istilah infeksi nosokomial. Cara pencegahan infeksi
nosokomial adalah dengan menggunakan APD adalah pakaian khusus atau
peralatan yang digunakan oleh karyawan untuk perlindungan diri dari bahan
yang menular (Centers for Disease Control and Prevention). Sterilisasi alat
dan pengendalian lingkungan. Jadi sebagai seorang tenaga kesehatan harus
tetap memperhatikan kebersihan, menerapkan pencegahan terutama pada
saat menangani seorang pasien agar terhindar dari infeksi nosokomial

B. Saran
1. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan bisa menambah
pengetahuan tentang Konsep Manajemen infeksi Nosokomial .
2. Semoga makalah kami ini, dapat dijadikan referensi bagi penulis

27
selanjutnya.
3. Diharapkan para pembaca bisa memberikan kami kritik dan saran untuk
dapat menjadikan kami lebih baik lagi dalam penulisan makalah-
makalah kami selanjutnya.

28
DAFTAR PUSTAKA

Akib K, M., et al. 2008 . Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah
Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI dan PERDALIN

Brooker. (2008). Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC.

Darmadi, 2008. Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta : Salemba


Medika.

Depkes RI. 2010. The World Health Report 2009. http://www.litbang.depkes.go.id


diakses pada 20 November 2017.

Husain, Farid. 2010. Petunjuk Praktis Surveilans Infeksi Rumah Sakit. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Kementrian Kesehatan RI, 2010. Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun


2010- 2014. Jakarta.

Mulyanti, Dedek.2008. Faktor Predisposing, Enembling, dan Rainforcing Terhadap


Penggunaan APD dalam Asuhan Persalinan Normal di RS. Meuraxa Banda
Aceh tahun 2008. Tesis USU.

Nursalam. 2007. Manajemen Keperawatan: Aplikasi Dalam Praktik. Jakarta:


Rhineka Cipta Potter, P.A, Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Edisi 4. Vol. 2. Jakarta: EGC

Slamet et al. 2013. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infesi Kasus Konfirmasi
atau Probable Infeksi Virus Middle East Respiratory Syndrom- Corona Virus
(Mers-Cov). Kementrian Kesehatan RI. http://www.Depkes.go.id/resources
/download/puskes- haji/5-pedoman-pencegahan-dan-pengendalian-infeksi-mers-
cov. Diakses pada 20 November 2017.

29
WHO.2010. The World Health Report 2010.
http://www.who.int./whr/2010/en/index.html diakses pada 20 November 22,
2017.

WHO.2014. The World Health Report 2010.


http://www.who.int./whr/2010/en/index.html diakses pada 20 November 22,
2017

30

Anda mungkin juga menyukai