UsahaItikPetelurKonvensional PDF
UsahaItikPetelurKonvensional PDF
BANK INDONESIA
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM
a. Latar Belakang
Kisah sukses usaha ternak itik petelur di Desa Kroya, Kecamatan Kapetakan,
Kabupaten Cirebon seperti dikemukakan dalam SINAR TANI Edisi 11/17 Juli
2001 telah mampu meningkatkan kemakmuran para peternak itik petelur.
Dikemukakan juga bahwa peternak, yang menghasilkan itik umur satu hari
(DOD) berhasil memperoleh pendapatan hingga mencapai rata-rata sekitar
Rp. 7.000.000 per bulan.
Dengan demikian ternak itik petelur dapat dijadikan sebagai usaha unggulan
bagi rakyat Indonesia. Sedikitnya terdapat tiga alasan utama, mengapa
usaha ternak itik petelur dijadikan sebagai usaha unggulan, yaitu:
1. Usaha ternak itik petelur merupakan jenis usaha yang sudah dikenal
secara luas oleh rakyat Indonesia.
2. Usaha ternak itik petelur membutuhkan pakan (khususnya protein)
yang lebih efisien dibandingkan dengan usaha ternak ayam pedaging.
3. Usaha ternak itik petelur telah terbukti mampu memberikan
pendapatan yang relatif besar.
b. Tujuan
1. Komoditi yang akan diteliti dalam kajian ini adalah itik petelur di
Daerah Mataram Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan jenis Itik
Mojosari.
2. Aspek-aspek yang diteliti dalam pola pembiayaan usaha itik petelur
adalah :
c. Metode Penelitian
Tabel 2.1.
Perbedaan Pemeliharaan Itik secara Tradisional, Semi Intensif dan Intensif
Dari Tabel 2.1 tersebut di atas tampak pemeliharaan itik petelur cara semi
intensif merupakan peralihan dari tradisional menuju intensif. Tampak pula
pemeliharaan itik petelur intensif memerlukan sarana dan prasarana yang
relatif besar dibandingkan dengan beternak itik petelur tradisional. Sebagai
contoh, dalam pemeliharaan itik petelur intensif diperlukan makanan buatan
100 persen, karena itik tidak pernah digembalakan dan begitu pula halnya
dengan pembuatan kandang yang lebih baik serta pencegahan terhadap
penyakit. Tabel 2.2 memperlihatkan kelebihan dan kekurangan pemeliharaan
itik petelur tradisional dan intensif.
Dari berbagai aspek yang dibahas pada Tabel 2.2, aspek investasi dan
teknologi merupakan faktor kunci yang membuat peternak memilih cara
pemeliharaan itik petelur tradisional. Pemeliharaan tradisional memerlukan
modal rendah dan teknologi lebih mudah dibandingkan dengan pemeliharaan
itik petelur intensif. Namun apabila modal untuk investasi tersedia dan
teknologi mampu dikuasai, maka dipastikan peternak memilih pemeliharaan
itik petelur intensif. Dengan pemeliharaan itik petelur intensif, akan diperoleh
kelebihan-kelebihan yang sangat diperlukan dalam keberhasilan usaha.
Pemeliharaan itik petelur selama ini masih didominasi oleh cara tradisional
dengan pembiayaan bersumber dari pribadi, dan berdasarkan pengamatan
masih sedikit sekali yang memanfaatkan jasa perbankan untuk menambah
modalnya. Peternak itik petelur dengan pemeliharaan semi intensif dan
intensif selama ini belum memperoleh kredit dari bank. Para peternak itik
petelur semi intensif baru mendapatkan kredit program P4K (Program
Peningkatan Pendapatan Petani Kecil) dan KPKU (Kredit Pengembangan
a. Permintaan
Pemeliharaan itik petelur akan menghasilkan telur untuk konsumsi dan juga
faeces (kotoran) yang berguna untuk pupuk. Telur untuk konsumsi
diperdagangkan dalam bentuk segar dan olahan. Telur asin adalah
merupakan bentuk olahan dari telur itik yang diperdagangkan di Indonesia.
Subsititusi telur itik adalah telur ayam (ayam kampung dan ayam ras).
Ternyata kandungan telur itik ditinjau dari kandungan lemak, protein,
kalsium, besi dan Vitamin A per butirnya lebih tinggi dibandingkan dengan
kandungan telur ayam.
Hanya kandungan kalori telur itik lebih rendah dibandingkan dengan telur
ayam. Dengan demikian kandungan nilai gizi telur itik secara umum lebih
tinggi dibandingkan dengan telur ayam. Perbandingan nilai gizi telur itik dan
telur ayam dapat dilihat dalam Tabel 3.1 di bawah ini.
Tabel 3.1.
Nilai Gizi Telur Itik dan Telur Ayam Per 100 Gram Telur
Jumlah permintaan secara nyata sulit untuk diketahui (Suharno dan Amri,
2000). Namun, Suharno dan Amri (2000) telah melakukan penelitian
dibeberapa kota sebagai berikut: Bogor dengan jumlah permintaan 230.000
butir per bulan (Mei 1994), DKI Jakarta dengan jumlah permintaan
1.716.000 butir per bulan (Mei 1994), dan Tegal dengan jumlah permintaan
230.000 butir per bulan (1992).
Dari Tabel 3.2 di atas tampak bahwa pengeluaran per bulan untuk telur dan
susu tahun 1993, 1996 dan 1999 selalu meningkat. Namun, meskipun
pengeluaran tersebut dalam rupiah selalu meningkat tajam, persentasenya
terhadap pengeluaran relatif stabil.
Tabel 3.2.
Pengeluaran Rata-Rata Per Kapita Per Bulan untuk Telur dan Susu Penduduk
Indonesia
Pengeluaran Pengeluaran
Tahun
(Rp) (%) *
1993 1.264 2,90
1996 2.070 2,96
1999 4.004 2,91
*) Persentase terhadap total pengeluaran
Sumber : BPS (2000)
b. Penawaran
Populasi Itik di Indonesia dalam tiga tahun terakhir relatif tidak stabil.
Jumlah populasi itik (dalam ribu ekor) tahun 1997, 1998 dan 1999 adalah
berturut-turut 30.320, dan 25.950 dan 26.254. (BPS, 2000) Tabel 3.3
menunjukkan populasi itik dimasing-masing propinsi di Indonesia.
Tahun
No Propinsi
1997 1998 1999
Nangroe Aceh
1 3.399,2 3.418,9 3.438,7
Darussalam (NAD)
2 Sumatra Utara 2.265,3 2.129,5 2.254,5
3 Sumatra Barat 1.659,0 1.676,8 1.694,7
4 Riau 270,4 274,5 278,6
5 Jambi 552,1 632,3 723,8
6 Sumatra Selatan 1.705,1 1252 1302
7 Bengkulu 654,8 229,2 80,2
8 Lampung 387,8 418,3 439,2
9 D.K.I Jakarta 50,0 61,5 70,8
10 Jawa Barat 3.603,4 2.905,9 2938
11 Jawa Tengah 3.781,2 3.781,2 3.507,8
12 D.I. Yogyakarta 231,8 202,1 210
13 Jawa Timur 2.986,2 2.252,5 2.286,3
14 Bali 713,3 534,2 539,5
Nusa Tenggara
15 594,1 382,6 388,3
Barat
Nusa Tenggara
16 161,2 183,0 191,7
Timur
17 Kalimantan Barat 326,1 264,3 420,8
18 Kalimantan Tengah 147,4 153,8 154,9
19 Kalimantan Selatan 3.116,3 1.497,3 1.610,1
20 Kalimantan Timur 324,2 227,7 230,4
21 Sulawesi Utara 417,6 417,6 426
22 Sulawesi Tengah 145,3 148,2 151,8
23 Sulawesi Selatan 2.322,3 2.308,5 2.384,9
24 Sulawesi Tenggara 262,4 273,7 279,1
25 Maluku 109,4 121,4 135,7
26 Irian Jaya 105,6 110,9 116,5
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan
Perkembangan harga telur itik relatif stabil. Harga telur itik mengalami
lonjakan musiman, yaitu pada saat menjelang hari-hari besar seperti Hari
Raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Pada waktu tersebut jumlah
permintaan melonjak, namun penawaran (jumlah produksi) relatif stabil
sehingga mengakibatkan kenaikan harga rata-rata sekitar 10%.
Sebagian besar telur itik yang dihasilkan oleh peternak dibeli oleh pedagang
pengumpul. Dengan demikian dapat dikatakan tidak dikeluarkan biaya
pemasaran oleh para peternak. Selanjutnya para pedagang pengumpul tadi
menjual telur itik kepada pembeli berikutnya dan selanjutnya dijual kembali
untuk langsung dikonsumsi dan sebagian lagi diolah untuk menjadi telur
asin.
Pemasaran telur itik selama ini belum menunjukkan fluktuasi produksi yang
besar. Hal ini menunjukkan bahwa kendala pemasaran belum dijumpai.
Akan tetapi, hal yang harus diperhatikan adalah masalah lingkungan. Itik
tidak cocok untuk hidup di daerah yang bising, seperti lapangan terbang dan
lapangan tembak. Begitu juga tempat yang ramai dengan lalu lalang
kendaraan bermotor atau tempat yang gaduh, lingkungan ini tidak cocok
untuk itik. Keadaan ini akan membuat itik menjadi stress sehingga malas
untuk bertelur. Dengan demikian itik dapat hidup di lokasi manapun asal
tidak berisik dan aman dari lalu lalang orang atau kendaraan. Selain itu,
perlu juga dipertimbangkan sebaiknya lokasi peternakan itik tidak terlalu
dekat dengan pemukiman penduduk, karena ternak itik (dan ternak pada
umumnya) mengeluarkan bau dan debu.
b. Bahan Baku
Pemeliharaan itik petelur membutuhkan bahan baku bibit, pakan dan obat-
obatan. Pemilihan bibit harus dipertimbangkan secara baik, karena bibit ini
merupakan keputusan awal yang akan berpengaruh pada tahap-tahap
Itik Tegal
Itik Mojosari
Itik Alabio
Itik Bali
Itik BPT KA
Tabel 4.1.
Kemampuan Produksi Telur dan Bobot Beberapa Jenis Itik Petelur Unggas.
Jumlah
Telur Bobot Telur
Jenis Itik
(butir- (gram/butir)
Tahun)
Itik Mojosari 200-265 70
Itik Tegal 150-250 65-70
Itik Alabio 130-250 65-70
Itik Bali 153-250 59-65
Itik BPT KA 274 70
Sumber: Suharno dan Amri (2000 diolah)
Selanjutnya sarana produksi lainnya yang dibutuhkan yaitu pakan dan obat-
obatan. Jenis pakan adalah: starter (untuk anak itik), grower (untuk itik
dara) dan layer (untuk itik dewasa). Ketiga jenis pakan ini dapat dengan
mudah dibeli di toko. Pakan ini dapat dibuat sendiri dengan alternatif bahan-
bahan yang paling murah dan mudah diperoleh di sekitar lokasi usaha.
Adapun bahan alternatif pakan ternak itik adalah jagung kuning,
dedak/bekatul, tepung ikan, tepung daging bekicot, tepung tulang, tepung
kerang, bungkil kelapa, tepung gaplek, tepung daun pepaya, tepung daun
turi, dan tepung daun lamtoro. Komposisi bahan-bahan tersebut tergantung
pada jenis pakan yang akan dibuat.
Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk beternak itik petelur relatif tidak besar.
Sebagai contoh, untuk memelihara sejumlah 100 ekor itik, biasanya
dilakukan oleh suami dan istri, dimana suami yang menyediakan pakan dan
istrinya yang memelihara dan memberikan pakan. Sedangan untuk jumlah
mulai 300 ekor, diperlukan tenaga kerja khusus yang menangani ternak itik
petelur. Tenaga kerja ini hendaknya mempunyai keterampilan untuk
membersihkan kandang, membuat pakan dan menanggulangi penyakit.
Tenaga kerja biasanya berasal dari penduduk lokal.
Mutu telur itik dibedakan berdasarkan penilaian terhadap kulit telur, kantong
udara pada telur, putih telur dan kuning telur. Telur itik biasanya dibedakan
mutunya berdasarkan berat, > 65 gr (besar), berat 60 - 65 gr (sedang) dan
< 65 (kecil).
Seperti telah diuraikan dalam Bab 2, cara pengusahaan ternak itik petelur
masih didominasi oleh cara tradisional. Hingga saat ini belum dilakukan studi
skala usaha optimum untuk peternakan itik petelur. Akan tetapi, berdasarkan
pengamatan di lapang, dapat diajukan suatu skala usaha tradisional adalah
dari puluhan hingga 200 ekor. Sedangkan untuk skala usaha semi intensif
antara 300 hingga di bawah 900 ekor. Sedangkan pada skala usaha mulai
900 ekor sudah dapat dikategorikan sebagai usaha intensif. Dalam pola
pembiayaan ini, untuk analisa keuangan, skala usaha ditetapkan sejumlah
Tabel 5.1.
Asumsi dan Parameter Perhitungan Itik Petelur dari DOD (Kategori I)
No Asumsi Nilai Satuan
1 Periode Produksi 30 Bulan
Rp/1000
2 Bangunan (kandang) 2.000.000
ekor itik
3 Tenaga kerja 4 Orang
4 Tenaga Ahli 1 Orang
5 Harga jual
5.1. Telur per butir 600
5.2. Pupuk kandang
180000
(karung/100kg)
5.3. Itik tua per ekor 12500
Pemeliharaan itik umur
6 1000 DOD
1hari
7 Itik mulai bertelur 6 bulan
- Itik 6-8 bulan 50% bertelur
- Itik 8-24 bulan 75% bertelur
- Itik 24-30 bulan 50% bertelur
8 Pakan
Alternatif I (Konsentrat:
1.150 Rp/kg
Dedak = 1:4)
Alternatif II (Konsentrat:
1.040 Rp/kg
Dedak = 1:5)
Alternatif III (Keong:
715 Rp/kg
Dedak = 2:3)
9 Mortalitas 7%
10 Lama 1 bulan 30 hari
Sumber: Pengolahan Data Primer (2001)
Komponen biaya investasi usaha itik petelur terdiri dari sewa tanah, biaya
pembuatan kandang, biaya pembelian air dan listrik, peralatan penunjang
lainnya, pembelian bibit itik DOD (Day Old Duck), sekop, wadah pakan, dan
tempat penampungan telur. Biaya operasi adalah untuk pembelian pakan
dan obat-obatan. Porsi biaya terbesar usaha itik petelur adalah untuk pakan,
seperti dapat terlihat pada Tabel 5.3, Tabel 5.4, Tabel 5.5 dan Tabel 5.6.
Tabel 5.3.
Rincian Biaya Investasi (Kategori I)
Jumlah Harga Jumlah Umur Nilai
Spesifikasi
No Uraian Satuan persatuan Nilai Ekonomis Penyusutan
No Teknis
Fisik Fisik (Rp (Rp) (th) (Rp)
1 2 3 4 5 6 7
Sewa
1 375.000
rumah/Tanah
2 Kandang Paket 1.000 250 2.000.000 5 400.000
Utk
Sumber air
3 sejumlah 250.000 15 16.667
dan listrik
ekor
Peralatan
4 penunjang 250.000 15 16.667
lainnya
100 %
5 DOD betina 1.000 4.500 4.500.000 2,50 1.800.000
umur 1 hari
6 Sekop 5 20.000 100.000 5,00 20.000
7 Wadah pakan 10 21.000 210.000 5,00 42.000
Tempat
8 penampungan 240.000 5,00 48.000
telur
c. Pendapatan
Pendapatan bersih yang dihasilkan dari usaha itik petelur dari tahun pertama
hingga berakhirnya masa proyek rinciannya dapat dilihat dalam Lampiran 3.2
dan Lampiran 4.2. Sedangkan pendapatan bersih dapat dilihat pada Tabel
5.7 di bawah ini. Khusus pada tahun ke empat pada kategori I pendapatan
bersih karena adanya pembelian baru DOD.
Tabel 5.8.
Kebutuhan Modal dan Kredit Usaha Itik Petelur
Rincian Biaya Kategori I
No
Proyek (DOD)
1 Biaya Investasi 7.925.000
2 Biaya Modal Kerja 41.957.742
3 Total Biaya Proyek 49.882.742
a. Bersumber dari 32.423.782
kredit
b. Bersumber dari 17.458.960
dana sendiri
Sumber : Data Primer (2001)
e. Aliran Laba-Rugi
Aliran laba-rugi untuk usaha itik petelur kategori I dan kategori II dapat
dilihat dalam Lampiran 3.4. dan Lampiran 4.4.
1. Arus Kas
Arus kas untuk usaha itik petelur kategori I dan kategori II secara
terperinci dapat dilihat dalam Lampiran 3.5. dan Lampiran 4.5.
Perhitungan net B/C, IRR dan NPV dan Pay Back Period untuk usaha itik
petelur kategori I dan kategori II menggunakan rumus dan cara
perhitungan seperti yang diuraikan pada Lampiran 5.
Tabel 5.9.
Evaluasi Profibilitas Rencana Investasi Usaha Ternak Itik Petelur
Kriteria Kategori I Kategori II
NPV Rp. 19.695.093 Rp. 179.405.378
Net B/C 1,42 1,42 5,94
IRR 34,76% 159%
PBP 2 tahun 7 bulan 8 bulan
Sumber: Hasil pengolahan data primer (2001)
Tabel 5.10.
Analisa Sensitifitas Usaha Ternak Itik Petelur
Kategori I Kategori II
Kriteria Biaya naik Harga Biaya naik Harga turun
10% turun 10% 10% 10%
Rp.- Rp. - Rp. Rp.
NPV
3.485.447 2.428.746 155.602.809 137.000.573
Net B/C 0,94 0,95 5,24 4,77
IRR 15% 16% 140% 127%
6 tahun 11 6 tahun 11
PBP 9 bulan 10 bulan
bulan bulan
Sumber : Data Primer (2001)
Tampak bahwa usaha ternak itik petelur lebih sensitif terhadap perubahan
harga daripada perubahan biaya. Usaha ternak itik petelur kategori I tidak
layak lagi untuk diusahakan apabila terjadi kenaikan biaya produksi sebesar
10% atau penurunan harga jual sebesar 10%, sedangkan usaha ternak itik
petelur kategori II tetap layak untuk diusahakan meskipun terjadi kenaikan
biaya produksi sebesar 10% atau penurunan harga jual sebesar 10%.
Dalam pelaksanaan usaha ternak itik petelur, meskipun tenaga kerja yang
dibutuhkan relatif kecil, namun seluruh kebutuhan tenaga kerja tersebut
dapat dipenuhi dari dalam daerah itu sendiri. Dengan demikian, usaha ternak
itik petelur mempunyai potensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat. Hal ini mengingat pelaksanaan usaha peternak itik
petelur memerlukan teknologi yang sederhana, sehingga persyaratan
rekruitmen tenaga kerja menjadi lebih mudah.
Pengusahaan ternak itik petelur bila dilaksanakan dengan cara semi intensif
dapat memberikan pendapatan bagi masyarakat yang sangat nyata, apalagi
jika diusahakan dengan cara intensif. Sebagai contoh, pada Bab 5 dalam
buku ini, diperlihatkan contoh analisis finansial untuk pengusahaan semi
intensif dan intensif. Pengelolaan itik petelur cara kategori I akan
menghasilkan pendapatan bersih rata-rata per tahun sebesar Rp 14.383.732,
sedangkan kategori II menghasilkan pendapatan rata-rata per tahun sebesar
Rp 61.831.943. Dilihat dari besarnya pendapatan bersih tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengusahaan ternak itik petelur mampu memberikan
pendapatan yang relatif besar.
Pelaksanaan usaha ternak itik petelur adalah merupakan suatu usaha yang
mempunyai keterkaitan dengan sektor hulu dan hilir yang sangat erat. Hal ini
mengingat dalam agribisnis perunggasan, usaha itik petelur merupakan salah
satu sub-sistem yang sangat berkaitan erat dengan sub-sistem lainnya.
Dalam pendekatan sistem, agribisnis perunggasan (usaha peternak itik
petelur khususnya) sekurang-kurangnya terdiri dari sub-sistem: penyediaan
sarana produksi (bibit, pakan, obat-obatan, dan kandang), budidaya ternak
(itik petelur), pengolahan (telur itik menjadi telur asin, telur beku dan tepung
telur), pemasaran, dan kebijakan pemerintah (misalnya penyediaan kredit
dan pembangunan sarana dan prasarana perekonomian yang menunjang
pengusahaan itik petelur). Dengan demikian, pengusahaan ternak itik petelur
akan meningkatkan kebutuhan pada bibit (anak itik, yang disebut juga
DOD), pakan, industri pengolahan telur, para pedagang telur, dan juga
penyedia jasa permodalan. Dapat juga dikatakan usaha ternak itik petelur
mempunyai keterkaitan erat antara industri hulu dan hilirnya.
Berdasarkan uraian di atas, dampak yang dihasilkan dari usaha peternak itik
petelur baik dari segi ekonomi maupun sosial adalah positif. Lebih lanjut,
mengingat keterkaitan antar subsistem dalam pengusahaan ini sangat erat,
maka perkembangan usaha ternak itik petelur ini akan mampu
menggerakkan industri hulu dan hilir secara nyata.
Usaha ternak itik petelur memerlukan sarana produksi yang sebagian besar
berasal dari daerah setempat. Dengan demikian kelancaran produksinya
dapat lebih terjamin. Selanjutnya, mengingat tenaga kerja yang dibutuhkan
dapat juga dipenuhi dari daerah setempat, maka usaha ternak itik petelur
tidak akan mengakibatkan gangguan sosial dan keamanan di lokasi usaha ini
dilaksanakan.
Pemasaran telur hingga saat ini tidak dijumpai masalah, artinya pasar masih
mampu menyerap telur yang dihasilkan oleh peternak itik. Bahkan dijumpai
adanya gejala pihak peternak tidak mampu menjawab tantangan pasar agar
memasok lebih banyak lagi.
Dari hasil analisis finansial yang telah dilakukan, menunjukkan usaha ternak
itik petelur memberikan tingkat profitabilitas yang tinggi, sehingga layak
untuk mendapatkan pinjaman dari Bank. Pada skala usaha kategori I nilai
NPV pada tingkat suku bunga 18% Rp. 19.695.093, BC ratio 1,42, IRR 35%,
PBP 2 tahun 7 bulan. Sedangkan pada skala usaha kategori II nilai NPV Rp.
179.405.378, BC ratio 5,94, IRR 159%, dan PBP 8 bulan. Akan tetapi, usaha
ternak itik petelur dengan skala kategori I tidak layak diusahakan apabila
terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 10% atau penurunan harga jual
sebesar 10%, sedangkan untuk skala usaha kategori II tetap layak
diusahakan meskipun terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 10% atau
penurunan harga jual sebesar 10%.
b. Saran