Anda di halaman 1dari 29

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)

USAHA ITIK PETELUR


(Pola Pembiayaan Konvensional)

BANK INDONESIA
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM

Telepon : (021) 3818043 Fax : (021) 3518951, Email : tbtlkm@bi.go.id


DAFTAR ISI

1. Pendahuluan ................................ ................................ ............... 2


a. Latar Belakang ...................................................................................................... 2
b. Tujuan ..................................................................................................................... 2
c. Metode Penelitian ................................................................................................. 3

2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan................................ ............... 4

3. Aspek Pemasaran................................ ................................ ........ 7


a. Permintaan ............................................................................................................. 7
b. Penawaran ............................................................................................................. 8
c. Pemasaran Produk.............................................................................................. 10

4. Aspek Produksi ................................ ................................ .......... 11


a. Lokasi Usaha dan Fasilitas Produksi .............................................................. 11
b. Bahan Baku.......................................................................................................... 11
c. Tenaga Kerja dan Teknis Budidaya ................................................................ 13
d. Produksi dan Kendala Produksi ....................................................................... 13

5. Aspek Keuangan ................................ ................................ ........ 15


a. Asumsi .................................................................................................................. 15
b. Komponen dan Struktur Biaya ........................................................................ 17
c. Pendapatan .......................................................................................................... 20
d. Modal dan Kredit ................................................................................................ 21
e. Aliran Laba-Rugi ................................................................................................. 21
f. Analisis BEP .......................................................................................................... 23
g. Analisis Sensitivitas dan Kendala Keuangan................................................ 23

6. Aspek Sosial Ekonomi ................................ ................................ 24

7. Penutup ................................ ................................ ..................... 26


a. Kesimpulan .......................................................................................................... 26
b. Saran ..................................................................................................................... 26

LAMPIRAN ................................ ................................ ..................... 28

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 1


1. Pendahuluan

a. Latar Belakang

Usaha ternak itik petelur mempunyai potensi yang besar untuk


dikembangkan di daerah dengan kondisi alam tropis seperti di Indonesia.
Peternakan itik petelur membutuhkan sumber protein yang lebih sedikit
dibandingkan dengan peternakan ayam petelur. Dengan demikian usaha
ternak itik petelur menjanjikan peluang keuntungan yang lebih besar
dibandingkan dengan usaha ternak ayam pedaging.

Kisah sukses usaha ternak itik petelur di Desa Kroya, Kecamatan Kapetakan,
Kabupaten Cirebon seperti dikemukakan dalam SINAR TANI Edisi 11/17 Juli
2001 telah mampu meningkatkan kemakmuran para peternak itik petelur.
Dikemukakan juga bahwa peternak, yang menghasilkan itik umur satu hari
(DOD) berhasil memperoleh pendapatan hingga mencapai rata-rata sekitar
Rp. 7.000.000 per bulan.

Dengan demikian ternak itik petelur dapat dijadikan sebagai usaha unggulan
bagi rakyat Indonesia. Sedikitnya terdapat tiga alasan utama, mengapa
usaha ternak itik petelur dijadikan sebagai usaha unggulan, yaitu:

1. Usaha ternak itik petelur merupakan jenis usaha yang sudah dikenal
secara luas oleh rakyat Indonesia.
2. Usaha ternak itik petelur membutuhkan pakan (khususnya protein)
yang lebih efisien dibandingkan dengan usaha ternak ayam pedaging.
3. Usaha ternak itik petelur telah terbukti mampu memberikan
pendapatan yang relatif besar.

b. Tujuan

Tujuan dari penyusunan pola pembiayaan ini adalah:

1. Menyediakan rujukan bagi perbankan dalam rangka meningkatkan


realisasi kredit usaha kecil, khususnya bagi pengembangan usaha itik
petelur.
2. Menyediakan informasi dan pengetahuan untuk mengembangkan
usaha itik petelur terutama tentang aspek keuangan, produksi, dan
pemasaran.

Ruang lingkup dari studi ini meliputi:

1. Komoditi yang akan diteliti dalam kajian ini adalah itik petelur di
Daerah Mataram Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan jenis Itik
Mojosari.
2. Aspek-aspek yang diteliti dalam pola pembiayaan usaha itik petelur
adalah :

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 2


a. Aspek pemasaran meliputi antara lain kondisi permintaan yaitu
pasar domestik dan ekspor, penawaran, persaingan, harga,
proyeksi permintaan pasar dll,
b. Aspek Produksi meliputi gambaran komoditi, persyaratan teknis
produk, proses pengolahan dan penanganannya,
c. Aspek Keuangan meliputi perhitungan kebutuhan biaya
investasi, dan kelayakan keuangan. Perhitungan kelayakan
keuangan menggunakan analisis yang disesuaikan dengan jenis
usaha yang dapat meliputi rugi laba, cash flow, net present
value, pay back ratio, benefit cost ratio dan internal rate of
return, termasuk analisa sensitivitas,
d. Aspek Sosial Ekonomi meliputi pengaruh pengembangan usaha
komoditi yang diteliti terhadap perekonomian, penciptaan
lapangan kerja dan pengaruh terhadap sektor lain, dan
e. Aspek Dampak Lingkungan

c. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan survei di wilayah yang selama


ini mempunyai potensi pengembangan usaha ternak itik petelur cukup baik,
yaitu di Kota Mataram, Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Survei lapang dilakukan untuk memperoleh data sebagai berikut:

1. Data primer dari pengusaha kecil (peternak itik petelur);


2. Data sekunder dari perbankan umum dan instansi terkait (Dinas
Peternakan, dan BPS Kota Mataram);
3. Tokoh masyarakat setempat (tokoh formal dan tokoh informal).
Atas hasil pengumpulan data tersebut di atas selanjutnya dilakukan
analisa atas hal-hal sebagai berikut:
a. Analisa usaha, dilakukan untuk mengetahui bagaimana
pengaruh komoditi yang diteliti dilihat dari aspek-aspek
pemasaran, produksi, sosial-ekonomi, dan dampak
lingkungannya;
b. Analisa pembiayaan, dilakukan untuk mengetahui bagaimana
pembiayaan proyek dan kelayakan usaha dilihat dari aspek
keuangannya.

Untuk kepentingan pengumpulan dan analisa data tersebut di atas, sampel


usaha kecil di wilayah penelitian diambil secara purposive dengan
persyaratan bahwa usaha kecil tersebut yang paling banyak terdapat di
wilayah studi, dengan mengutamakan mereka yang mendapat kredit bank
untuk usaha taninya.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 3


2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

Usaha ternak itik petelur biasanya dilaksanakan secara tradisional. Sebagai


contoh di Propinsi Nusa Tenggara Barat, sebagian besar atau bahkan hampir
60% adalah peternak itik tradisional. Ciri peternak itik tradisional pada
umumnya digembalakan dengan makanan seluruhnya diperoleh waktu
digembalakan, kandang seadanya tanpa kolam dan tidak mengenal
penanganan kesehatan sama sekali. Sedangkan bentuk pemeliharaan itik
petelur lainnya adalah semi intensif dan intensif. Perbedaan pemeliharaan itik
petelur tradisional, semi intensif dan intensif dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1.
Perbedaan Pemeliharaan Itik secara Tradisional, Semi Intensif dan Intensif

Tradisional Semi intensif Intensif


Sekali-kali
Digembalakan Tidak digembalakan
digembalakan
100% makanan 50% makanan
100% makanan
dari buatan50 % dari
buatan
penggembalaan penggembalaan
Kandang
Kandang dilengkapi Kandang sistem kering
seadanya,
kolam seperti ayam ras
tanpa kolam
Tanpa Kadang ada
Penggunaan obat dan
penggunaan pengobatan dan
vaksin secara intensif
obat dan vaksin vaksinasi
Sumber: Suharno dan Setiawan (2001)

Dari Tabel 2.1 tersebut di atas tampak pemeliharaan itik petelur cara semi
intensif merupakan peralihan dari tradisional menuju intensif. Tampak pula
pemeliharaan itik petelur intensif memerlukan sarana dan prasarana yang
relatif besar dibandingkan dengan beternak itik petelur tradisional. Sebagai
contoh, dalam pemeliharaan itik petelur intensif diperlukan makanan buatan
100 persen, karena itik tidak pernah digembalakan dan begitu pula halnya
dengan pembuatan kandang yang lebih baik serta pencegahan terhadap
penyakit. Tabel 2.2 memperlihatkan kelebihan dan kekurangan pemeliharaan
itik petelur tradisional dan intensif.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 4


Tabel 2.2.
Kelebihan dan Kekurangan Pemeliharaan Itik Petelur secara Tradisional dan
Intensif

Aspek Kegiatan Tradisional Intensif


1. Investasi yang
Rendah Tinggi
dibutuhkan
2. Teknologi yang
Mudah Sulit
dipakai
3. Efisiensi tenaga
Rendah Tinggi
kerja
4. Produktivitas Sangat
Lebih tinggi
pekerja rendah
5. Efisiensi lahan Rendah Tinggi
6. Penanggulangan
Sulit Mudah
penyakit
7. Pengembangan
Sulit Mudah
usaha
Sumber: Wasito dan Siti Rohani (1994) dalam
Suharno dan Setiawan (2001)

Dari berbagai aspek yang dibahas pada Tabel 2.2, aspek investasi dan
teknologi merupakan faktor kunci yang membuat peternak memilih cara
pemeliharaan itik petelur tradisional. Pemeliharaan tradisional memerlukan
modal rendah dan teknologi lebih mudah dibandingkan dengan pemeliharaan
itik petelur intensif. Namun apabila modal untuk investasi tersedia dan
teknologi mampu dikuasai, maka dipastikan peternak memilih pemeliharaan
itik petelur intensif. Dengan pemeliharaan itik petelur intensif, akan diperoleh
kelebihan-kelebihan yang sangat diperlukan dalam keberhasilan usaha.

Beberapa aspek penting yang merupakan kelebihan pemeliharaan itik petelur


intensif adalah efisiensi tenaga kerja dan produktivitas pekerja yang lebih
tinggi serta penanggulangan penyakit yang lebih mudah dibandingkan
dengan pemeliharaan itik petelur tradisional. Kelebihan-kelebihan ini
tentunya akan menghasilkan biaya produksi pemeliharaan intensif yang lebih
rendah dibandingkan dengan pemeliharaan tradisional dan pada akhirnya
pemeliharaan itik petelur intensif akan lebih menguntungkan daripada
pemeliharaan itik petelur tradisional.

Pemeliharaan itik petelur selama ini masih didominasi oleh cara tradisional
dengan pembiayaan bersumber dari pribadi, dan berdasarkan pengamatan
masih sedikit sekali yang memanfaatkan jasa perbankan untuk menambah
modalnya. Peternak itik petelur dengan pemeliharaan semi intensif dan
intensif selama ini belum memperoleh kredit dari bank. Para peternak itik
petelur semi intensif baru mendapatkan kredit program P4K (Program
Peningkatan Pendapatan Petani Kecil) dan KPKU (Kredit Pengembangan

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 5


Kemitraan Usaha), yang merupakan kredit program. Namun diperoleh
informasi terdapat peternak itik petelur yang mengajukan kredit dengan
tingkat suku bunga komersial dari Bank Umum.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 6


3. Aspek Pemasaran

a. Permintaan

Pemeliharaan itik petelur akan menghasilkan telur untuk konsumsi dan juga
faeces (kotoran) yang berguna untuk pupuk. Telur untuk konsumsi
diperdagangkan dalam bentuk segar dan olahan. Telur asin adalah
merupakan bentuk olahan dari telur itik yang diperdagangkan di Indonesia.
Subsititusi telur itik adalah telur ayam (ayam kampung dan ayam ras).
Ternyata kandungan telur itik ditinjau dari kandungan lemak, protein,
kalsium, besi dan Vitamin A per butirnya lebih tinggi dibandingkan dengan
kandungan telur ayam.

Hanya kandungan kalori telur itik lebih rendah dibandingkan dengan telur
ayam. Dengan demikian kandungan nilai gizi telur itik secara umum lebih
tinggi dibandingkan dengan telur ayam. Perbandingan nilai gizi telur itik dan
telur ayam dapat dilihat dalam Tabel 3.1 di bawah ini.

Tabel 3.1.
Nilai Gizi Telur Itik dan Telur Ayam Per 100 Gram Telur

Jenis Kalori Lemak Protein Kalsium Besi


Vit.A(SI)
Telur (kkal) (g) (g) (mg) (mg)
Telur
163 14.3 13.1 56 2.8 1 230
itik
Telur
189 11.5 12.8 54 2.7 900
ayam
Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan (1972)
dalam Suharno dan Amri (2000)

Berdasarkan kenyataan yang ada saat ini, perkembangan permintaan


terhadap telur itik selalu meningkat dari tahun ke tahun (Suharno dan Amri,
2000 dan Windhyarti, 2000). Sebagian besar konsumen telur itik adalah
penduduk di kota-kota besar. Disamping untuk konsumsi rumah tangga,
konsumen lainnya yang sangat potensial adalah restoran, rumah makan,
kapal-kapal laut, rumah sakit, asrama-asrama, perusahaan-perusahaan
tertentu, dan juga konsumen jamu.

Jumlah permintaan secara nyata sulit untuk diketahui (Suharno dan Amri,
2000). Namun, Suharno dan Amri (2000) telah melakukan penelitian
dibeberapa kota sebagai berikut: Bogor dengan jumlah permintaan 230.000
butir per bulan (Mei 1994), DKI Jakarta dengan jumlah permintaan
1.716.000 butir per bulan (Mei 1994), dan Tegal dengan jumlah permintaan
230.000 butir per bulan (1992).

Ilustrasi jumlah permintaan di tiga kota tersebut di atas tentunya hanya


merupakan sebagian kecil saja jika dibandingkan dengan jumlah kota dan

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 7


kabupaten yang lebih dari 300. Segi potensial dari permintaan telur itik
adalah adanya kecenderungan sebagian orang yang menganggap telur itik
lebih berkhasiat untuk campuran jamu godokan dibanding dengan telur
ayam. Begitu juga untuk pembuatan martabak, disebutkan telur itik mutlak
diperlukan dan bahkan ada yang berpendapat tidak dapat digantikan dengan
telur ayam.

Sebagai informasi tambahan, selain untuk dikonsumsi, telur itik juga


dipergunakan oleh industri. Industri yang mempunyai kecenderungan untuk
menggunakan telur itik adalah industri kosmetik dan farmasi. Bahkan, telur
itik mempunyai potensi besar untuk dijadikan tepung telur.

Gambaran permintaan telur itik nasional tidak diperoleh. Namun, tersedia


data pengeluaran per kapita per bulan untuk susu dan telur penduduk
Indonesia yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik, data tersebut dapat
dipergunakan sebagai "proxy" atau dugaan bagi permintaan telur itik
nasional. Tabel 3.2 berikut menunjukkan pengeluaran rata-rata per kapita
per bulan untuk susu dan telur penduduk Indonesia.

Dari Tabel 3.2 di atas tampak bahwa pengeluaran per bulan untuk telur dan
susu tahun 1993, 1996 dan 1999 selalu meningkat. Namun, meskipun
pengeluaran tersebut dalam rupiah selalu meningkat tajam, persentasenya
terhadap pengeluaran relatif stabil.

Tabel 3.2.
Pengeluaran Rata-Rata Per Kapita Per Bulan untuk Telur dan Susu Penduduk
Indonesia

Pengeluaran Pengeluaran
Tahun
(Rp) (%) *
1993 1.264 2,90
1996 2.070 2,96
1999 4.004 2,91
*) Persentase terhadap total pengeluaran
Sumber : BPS (2000)

b. Penawaran

Populasi Itik di Indonesia dalam tiga tahun terakhir relatif tidak stabil.
Jumlah populasi itik (dalam ribu ekor) tahun 1997, 1998 dan 1999 adalah
berturut-turut 30.320, dan 25.950 dan 26.254. (BPS, 2000) Tabel 3.3
menunjukkan populasi itik dimasing-masing propinsi di Indonesia.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 8


Tabel 3.3.
Populasi Itik Masing-Masing Propinsi di Indonesia Tahun 1997 - 1999 (dalam
000)

Tahun
No Propinsi
1997 1998 1999
Nangroe Aceh
1 3.399,2 3.418,9 3.438,7
Darussalam (NAD)
2 Sumatra Utara 2.265,3 2.129,5 2.254,5
3 Sumatra Barat 1.659,0 1.676,8 1.694,7
4 Riau 270,4 274,5 278,6
5 Jambi 552,1 632,3 723,8
6 Sumatra Selatan 1.705,1 1252 1302
7 Bengkulu 654,8 229,2 80,2
8 Lampung 387,8 418,3 439,2
9 D.K.I Jakarta 50,0 61,5 70,8
10 Jawa Barat 3.603,4 2.905,9 2938
11 Jawa Tengah 3.781,2 3.781,2 3.507,8
12 D.I. Yogyakarta 231,8 202,1 210
13 Jawa Timur 2.986,2 2.252,5 2.286,3
14 Bali 713,3 534,2 539,5
Nusa Tenggara
15 594,1 382,6 388,3
Barat
Nusa Tenggara
16 161,2 183,0 191,7
Timur
17 Kalimantan Barat 326,1 264,3 420,8
18 Kalimantan Tengah 147,4 153,8 154,9
19 Kalimantan Selatan 3.116,3 1.497,3 1.610,1
20 Kalimantan Timur 324,2 227,7 230,4
21 Sulawesi Utara 417,6 417,6 426
22 Sulawesi Tengah 145,3 148,2 151,8
23 Sulawesi Selatan 2.322,3 2.308,5 2.384,9
24 Sulawesi Tenggara 262,4 273,7 279,1
25 Maluku 109,4 121,4 135,7
26 Irian Jaya 105,6 110,9 116,5
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan

Daerah sentra ternak itik (yang memiliki sekurang-kurangnya 1 juta ekor


itik) di Indonesia adalah propinsi-propinsi: Nangroe Aceh Darussalam (NAD),
Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Dengan
demikian masih tersedia peluang bagi propinsi lain untuk mengembangkan
ternak itik.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 9


c. Pemasaran Produk

Perkembangan harga telur itik relatif stabil. Harga telur itik mengalami
lonjakan musiman, yaitu pada saat menjelang hari-hari besar seperti Hari
Raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Pada waktu tersebut jumlah
permintaan melonjak, namun penawaran (jumlah produksi) relatif stabil
sehingga mengakibatkan kenaikan harga rata-rata sekitar 10%.

Tingkat persaingan peternak itik di daerah survei (Propinsi Nusa Tenggara


Barat) relatif rendah. Dengan demikian peluang pasar masih terbuka untuk
para peternak baru. Diperoleh keterangan bahwa ada permintaan untuk
sejumlah 5000-an butir telur per hari dari super market terkenal, namun hal
ini masih sulit untuk dipenuhi. Sedangkan data ekspor telur itik dari
Indonesia hingga saat ini belum tersedia. Data ekspor tersedia untuk telur
unggas dan berbagai produk olahannya. Tujuan ekspor adalah Negara
Singapura, Saudi Arabia, Hongkong, Amerika Serikat dan Malaysia (Data
selengkapnya dalam Lampiran 1.)

Sebagian besar telur itik yang dihasilkan oleh peternak dibeli oleh pedagang
pengumpul. Dengan demikian dapat dikatakan tidak dikeluarkan biaya
pemasaran oleh para peternak. Selanjutnya para pedagang pengumpul tadi
menjual telur itik kepada pembeli berikutnya dan selanjutnya dijual kembali
untuk langsung dikonsumsi dan sebagian lagi diolah untuk menjadi telur
asin.

Pemasaran telur itik selama ini belum menunjukkan fluktuasi produksi yang
besar. Hal ini menunjukkan bahwa kendala pemasaran belum dijumpai.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 10


4. Aspek Produksi

a. Lokasi Usaha dan Fasilitas Produksi

Lokasi usaha peternakan itik petelur dapat dilaksanakan hampir di semua


jenis lokasi. Lokasi peternakan itik dilaksanakan didekat pantai, di
pegunungan, di tempat yang terlindung matahari, di tempat terbuka dan
terkena panas matahari penuh, daerah berbatu-batu dan berumput. Bahkan
dalam keadaan apapun itik dapat hidup (Windhyarti, 2000). Dengan
demikian itik dapat hidup hampir di seluruh lokasi.

Akan tetapi, hal yang harus diperhatikan adalah masalah lingkungan. Itik
tidak cocok untuk hidup di daerah yang bising, seperti lapangan terbang dan
lapangan tembak. Begitu juga tempat yang ramai dengan lalu lalang
kendaraan bermotor atau tempat yang gaduh, lingkungan ini tidak cocok
untuk itik. Keadaan ini akan membuat itik menjadi stress sehingga malas
untuk bertelur. Dengan demikian itik dapat hidup di lokasi manapun asal
tidak berisik dan aman dari lalu lalang orang atau kendaraan. Selain itu,
perlu juga dipertimbangkan sebaiknya lokasi peternakan itik tidak terlalu
dekat dengan pemukiman penduduk, karena ternak itik (dan ternak pada
umumnya) mengeluarkan bau dan debu.

Untuk memelihara itik petelur diperlukan kandang. Kandang terbuat dari


bahan tahan lama dan tersedia di lokasi dengan harga semurah mungkin.
Sebagai salah satu alternatif, dapat pula dipergunakan bahan bekas namun
berkualitas tinggi.

Berdasarkan pengalaman yang dijumpai di lapangan, bahan yang tersedia,


kuat dan murah adalah bambu yang cukup tua. Bambu dapat dipergunakan
untuk kerangka bangunan, pagar dan lantai. Selain dari bambu, lantai
kandang dapat berupa tanah biasa, di semen, atau diberi batu-batu. Lantai
kandang yang terlindung sebaiknya diberi alas jerami, sekam, serbuk gergaji
atau bahan lainnya. Sedangkan atap bangunan kandang dapat dipergunakan
bahan dari alang-alang, ijuk, rumbia, genteng, lembaran plastik atau bahan
lainnya.

Peralatan yang diperlukan di dalam kandang adalah tempat pakan dan


tempat minum. Kedua jenis peralatan tersebut dapat terbuat dari plastik,
kayu atau bahan lainnya. Selain itu, diperlukan juga sapu, sekop dan alat
lainnya untuk membersihkan kandang.

b. Bahan Baku

Pemeliharaan itik petelur membutuhkan bahan baku bibit, pakan dan obat-
obatan. Pemilihan bibit harus dipertimbangkan secara baik, karena bibit ini
merupakan keputusan awal yang akan berpengaruh pada tahap-tahap

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 11


pemeliharaan berikutnya. Beberapa jenis bibit unggul itik petelur yang
dijumpai di pasar adalah sebagai berikut:

 Itik Tegal
 Itik Mojosari
 Itik Alabio
 Itik Bali
 Itik BPT KA

Bibit unggul tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam


menghasilkan telur baik jumlah telur yang dihasilkan per tahun maupun rata-
rata berat telur dapat dilihat dalam Tabel 4.1. Tampak bahwa jenis itik
Mojosari menghasilkan jumlah telur per tahun tertinggi (200-265 butir),
dengan bobot per butirnya juga tinggi (70 gr). Urutan berikutnya adalah
jenis itik Tegal yang menghasilkan jumlah telur per tahun 150-250 butir
dengan bobot per butir antara 65 - 70 gram.

Tabel 4.1.
Kemampuan Produksi Telur dan Bobot Beberapa Jenis Itik Petelur Unggas.

Jumlah
Telur Bobot Telur
Jenis Itik
(butir- (gram/butir)
Tahun)
Itik Mojosari 200-265 70
Itik Tegal 150-250 65-70
Itik Alabio 130-250 65-70
Itik Bali 153-250 59-65
Itik BPT KA 274 70
Sumber: Suharno dan Amri (2000 diolah)

Selanjutnya sarana produksi lainnya yang dibutuhkan yaitu pakan dan obat-
obatan. Jenis pakan adalah: starter (untuk anak itik), grower (untuk itik
dara) dan layer (untuk itik dewasa). Ketiga jenis pakan ini dapat dengan
mudah dibeli di toko. Pakan ini dapat dibuat sendiri dengan alternatif bahan-
bahan yang paling murah dan mudah diperoleh di sekitar lokasi usaha.
Adapun bahan alternatif pakan ternak itik adalah jagung kuning,
dedak/bekatul, tepung ikan, tepung daging bekicot, tepung tulang, tepung
kerang, bungkil kelapa, tepung gaplek, tepung daun pepaya, tepung daun
turi, dan tepung daun lamtoro. Komposisi bahan-bahan tersebut tergantung
pada jenis pakan yang akan dibuat.

Obat-obatan dibutuhkan karena untuk mendapatkan produksi yang baik dan


bermutu tinggi, salah satunya adalah ternak harus sehat. Oleh karena itu,
sudah menjadi kewajiban peternak untuk menjaga agar itik petelur terhindar
dari segala macam serangan penyakit. Cara terbaik untuk menghindar dari
serangan penyakit adalah dengan memelihara itik dalam kandang yang

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 12


memadai, baik sanitasi maupun luasannya, selain pakan yang mencukupi
jumlah, nilai gizi, dan kesegarannya. Berdasarkan pengalaman, vaksinasi
yang perlu diberikan pada itik adalah vaksinasi untuk mencegah penyakit
fowl cholera atau duck cholera. Sedangkan penyakit yang dapat menyerang
unggas (umumnya) adalah virus, bakteri, dan parasit (cacing, protozoa, dan
kutu). Beberapa penyakit itik terpenting adalah: coccidiosis, coryza, infeksi
salmonella, lumpuh, dan kolera.

c. Tenaga Kerja dan Teknis Budidaya

Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk beternak itik petelur relatif tidak besar.
Sebagai contoh, untuk memelihara sejumlah 100 ekor itik, biasanya
dilakukan oleh suami dan istri, dimana suami yang menyediakan pakan dan
istrinya yang memelihara dan memberikan pakan. Sedangan untuk jumlah
mulai 300 ekor, diperlukan tenaga kerja khusus yang menangani ternak itik
petelur. Tenaga kerja ini hendaknya mempunyai keterampilan untuk
membersihkan kandang, membuat pakan dan menanggulangi penyakit.
Tenaga kerja biasanya berasal dari penduduk lokal.

Dalam beternak itik, tidak dikenal tingkat teknologi, melainkan cara


pengusahaannya. Cara pengusahaan ternak itik petelur, sebagaimana sudah
dikemukakan dalam Bab 2, terbagi atas tiga jenis, yaitu tradisional, semi
intensif dan intensif. Peternakan itik tradisional menerapkan teknologi paling
sederhana, sedangkan semi intensif dan intensif menerapkan teknologi lebih
tinggi. Teknologi dalam kaitan ini misalnya dalam pengolahan pakan dan
penanggulangan penyakit.

Tahapan produksi itik petelur adalah dimulai dari pembibitan, penetasan,


pemeliharaan mulai dari anak itik berumur satu hari (DOD-day old duck),
dara, hingga dewasa (mulai bertelur), hingga akhirnya afkir. Peternak itik
petelur dapat melakukan kegiatan usahanya dari mulai penetasan, dari DOD
atau dari dara.

d. Produksi dan Kendala Produksi

Mutu telur itik dibedakan berdasarkan penilaian terhadap kulit telur, kantong
udara pada telur, putih telur dan kuning telur. Telur itik biasanya dibedakan
mutunya berdasarkan berat, > 65 gr (besar), berat 60 - 65 gr (sedang) dan
< 65 (kecil).

Seperti telah diuraikan dalam Bab 2, cara pengusahaan ternak itik petelur
masih didominasi oleh cara tradisional. Hingga saat ini belum dilakukan studi
skala usaha optimum untuk peternakan itik petelur. Akan tetapi, berdasarkan
pengamatan di lapang, dapat diajukan suatu skala usaha tradisional adalah
dari puluhan hingga 200 ekor. Sedangkan untuk skala usaha semi intensif
antara 300 hingga di bawah 900 ekor. Sedangkan pada skala usaha mulai
900 ekor sudah dapat dikategorikan sebagai usaha intensif. Dalam pola
pembiayaan ini, untuk analisa keuangan, skala usaha ditetapkan sejumlah

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 13


1.000 ekor dengan cara pengusahaan terbagi atas dua kategori yaitu
pengusahaan mulai dari DOD dan pengusahaan mulai dari dara.

Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 362/Kpts/TN.120/5/1990 berisi


tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pemberian ijin dan pendaftaran
usaha peternakan. Jika populasi ternak itik dalam suatu peternakan lebih
dari 15.000 ekor, maka harus mengajukan ijin usaha peternakan.

Produksi telur itik utamanya tergantung pada bibit dan pemeliharaan


(pemberian pakan khususnya). Dengan demikian perlu sekali mendapatkan
bibit yang terjamin mutunya. Ketersediaan pakan yang terjamin berikut
pemberiannya sesuai dengan jadwal dan dosis juga merupakan pangkal
beberapa keberhasilan ternak itik petelur. Untuk mendapatkan itik petelur
yang berkualitas dan mempunyai jaminan dapat dihubungi beberapa alamat
yang ada pada Lampiran 2.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 14


5. Aspek Keuangan
a. Asumsi

Aspek keuangan akan membahas komponen dan struktur biaya, pendapatan,


kebutuhan modal dan investasi, aliran laba-rugi, arus kas dan evaluasi
profitabilitas rencana investasi, analisa Break Even Point (BEP) dan analisa
sensitivitas. Seperti telah dibahas dalam bab terdahulu, analisa aspek
keuangan akan dibahas dalam dua kategori, yaitu pemeliharaan mulai dari
DOD (kategori I) dan pemeliharaan mulai dari itik dara (kategori II). Guna
perhitungan analisa keuangan ditetapkan beberapa asumsi dan parameter
teknis seperti Tabel 5.1 dan Tabel 5.2

Tabel 5.1.
Asumsi dan Parameter Perhitungan Itik Petelur dari DOD (Kategori I)
No Asumsi Nilai Satuan
1 Periode Produksi 30 Bulan
Rp/1000
2 Bangunan (kandang) 2.000.000
ekor itik
3 Tenaga kerja 4 Orang
4 Tenaga Ahli 1 Orang
5 Harga jual
5.1. Telur per butir 600
5.2. Pupuk kandang
180000
(karung/100kg)
5.3. Itik tua per ekor 12500
Pemeliharaan itik umur
6 1000 DOD
1hari
7 Itik mulai bertelur 6 bulan
- Itik 6-8 bulan 50% bertelur
- Itik 8-24 bulan 75% bertelur
- Itik 24-30 bulan 50% bertelur
8 Pakan
Alternatif I (Konsentrat:
1.150 Rp/kg
Dedak = 1:4)
Alternatif II (Konsentrat:
1.040 Rp/kg
Dedak = 1:5)
Alternatif III (Keong:
715 Rp/kg
Dedak = 2:3)
9 Mortalitas 7%
10 Lama 1 bulan 30 hari
Sumber: Pengolahan Data Primer (2001)

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 15


Tabel 5.2.
Asumsi dan Parameter Perhitungan Itik Petelur dari Dara (Kategori II)
No Asumsi Nilai Satuan
1 Periode Produksi 24 Bulan
Rp/1000
2 Bangunan (kandang) 2.000.000
ekor itik
3 Tenaga kerja 4 Orang
4 Tenaga Ahli 1 Orang
5 Harga jual
5.1. Telur per butir 600 Rupiah
5.2. Pupuk kandang
2.500 Rupiah
(karung/100kg)
5.3. Itik tua per ekor 12.500 Rupiah
Pemeliharaan itik umur 5
6 1.000 Dara
bulan 3 minggu
7 Itik mulai bertelur 6 bulan
- Itik 6-8 bulan 50% bertelur
- Itik 8-24 bulan 75% bertelur
- Itik 24-30 bulan 50% bertelur
8 Pakan
Alternatif I (Konsentrat:
1.150 Rp/kg
Dedak = 1:4)
Alternatif II (Konsentrat:
1.040 Rp/kg
Dedak = 1:5)
Alternatif III (Keong: Dedak
715 Rp/kg
= 2:3)
9 Mortalitas 2%
10 Lama 1 bulan 30 hari
Itik Dara Betina (5 bulan 3
11 30.000 Rp/ekor
minggu)
Sumber: Pengolahan Data Primer (2001)

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 16


b. Komponen dan Struktur Biaya

Komponen biaya investasi usaha itik petelur terdiri dari sewa tanah, biaya
pembuatan kandang, biaya pembelian air dan listrik, peralatan penunjang
lainnya, pembelian bibit itik DOD (Day Old Duck), sekop, wadah pakan, dan
tempat penampungan telur. Biaya operasi adalah untuk pembelian pakan
dan obat-obatan. Porsi biaya terbesar usaha itik petelur adalah untuk pakan,
seperti dapat terlihat pada Tabel 5.3, Tabel 5.4, Tabel 5.5 dan Tabel 5.6.

Tabel 5.3.
Rincian Biaya Investasi (Kategori I)
Jumlah Harga Jumlah Umur Nilai
Spesifikasi
No Uraian Satuan persatuan Nilai Ekonomis Penyusutan
No Teknis
Fisik Fisik (Rp (Rp) (th) (Rp)
1 2 3 4 5 6 7
Sewa
1 375.000
rumah/Tanah
2 Kandang Paket 1.000 250 2.000.000 5 400.000
Utk
Sumber air
3 sejumlah 250.000 15 16.667
dan listrik
ekor
Peralatan
4 penunjang 250.000 15 16.667
lainnya
100 %
5 DOD betina 1.000 4.500 4.500.000 2,50 1.800.000
umur 1 hari
6 Sekop 5 20.000 100.000 5,00 20.000
7 Wadah pakan 10 21.000 210.000 5,00 42.000
Tempat
8 penampungan 240.000 5,00 48.000
telur

Jumlah Ekor 2.000 7.925.000 2.343.334


Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer (2001)

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 17


Tabel 5.4.
Biaya Operasi Per Periode (Kategori I)
Harga
Spesifikasi Jumlah Jumlah Jumlah nilai
No. Uraian per
Teknis satuan Nilai (Rp) (Rp)
satuan
1 Pakan
0-1 minggu gr/ekor/hr 20 1.040 145.600 48.300
1 minggu -1
gr/ekor/hr 40 873.600 289.800
bln 1.040
1-6 bulan gr/ekor/hr 120 1.040 18.720.000 9.832.500
6-30 bulan gr/ekor/hr 160 1.040 119.808.000 49.680.000
Obat dan
2 Ekor 1.000 1.500 1.500.000 450.000
vaksin
3 Tenaga kerja Orang 4 300.000 36.000.000
Tenaga Ahli
4 Orang 1 15.000.000 100.000
(Koordinator) 500.000
Keranjang
5 telur dan Ekor 1.000 4.500.000 900.000
4.500
transport
6 Air dan Listrik Bulan 30 900.000 90.000
30.000
Penunjang
7 Ekor 1.000 300 300.000 10.500.000
Produksi
Pemeliharaan
8 Ekor 1.000 1.000 1.000.000 10.500.000
dan perbaikan

JUMLAH Ekor 2.000 198.747.200 82.390.600


Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer (2001)
Asumsi :
1. Penjualan tiap hari tetapi pendapatan di peroleh tiap 10 hari sekali
2. Modal Kerja = biaya operasi per 10 hari (= total biaya/360 x 10 )

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 18


Tabel 5.5.
Rincian Biaya Investasi (Kategori II)
Jumlah Harga Umur Nilai
Spesifikasi Jumlah
No Uraian Satuan persatuan Ekonomis Penyusutan
Teknis Nilai (Rp)
Fisik Fisik (Rp) (th) (Rp)
Sewa
1 375.000
rumah/Tanah
2 Kandang Paket 2.000.000 5 400.000
Utk
Sumber air
3 sejumlah 1.000 250 250.000 15 16.667
dan listrik
ekor
Peralatan
4 penunjang 250.000 15 16.667
lainnya
100 %
betina
5 DOD 1.000 30.500 30.000.000 2,00 15.000.000
umur 5
bulan
6 Sekop 5 20.000 100.000 5,00 20000
7 Wadah pakan 10 21.000 210.000 5,00 42.000
Tempat
8 penampungan 240.000 5,00 48000
telur
JUMLAH Ekor 2.000 33.425.000 15.543.334
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer (2001)

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 19


Tabel 5.6.
Biaya Operasi Per Periode (Kategori II)
Harga
Jumlah Jumlah
No Uraian Spesifikasi Teknis per
satuan Nilai (Rp)
satuan
1 Pakan
6-30 bulan gr/ekor/hr 160 1.040 119.808.000
2 Obat dan vaksin Ekor 1.000 1.500 1.500.000
3 Tenaga kerja Orang 4 300.000 28.800.000
Tenaga Ahli
4 Orang 1 500.000 12.000.000
(Koordinator)
Keranjang telur dan
5 Ekor 1.000 4.500 4.500.000
transport
6 Air dan Listrik Bulan 30 30.000 900.000
7 Penunjang Produksi Ekor 1.000 300 300.000
Pemeliharaan dan
8 Ekor 1.000 1.000 1.000.000
perbaikan

JUMLAH Ekor 2.000 168.808.000


Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer
Asumsi :
1. Penjualan tiap hari tetapi pendapatan di peroleh tiap 10 hari sekali
2. Modal Kerja = biaya operasi per 10 hari (= total biaya/360 x 10 )

c. Pendapatan

Pendapatan bersih yang dihasilkan dari usaha itik petelur dari tahun pertama
hingga berakhirnya masa proyek rinciannya dapat dilihat dalam Lampiran 3.2
dan Lampiran 4.2. Sedangkan pendapatan bersih dapat dilihat pada Tabel
5.7 di bawah ini. Khusus pada tahun ke empat pada kategori I pendapatan
bersih karena adanya pembelian baru DOD.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 20


Tabel 5.7.
Pendapatan Bersih Usaha Ternak Itik Petelur
Kategori
Kategori I
Tahun II (Itik
(DOD)
Dara)
-
Tahun Ke 1 63.026.000
39.590.607
Tahun Ke 2 33.603.697 65.489.480
Tahun Ke 3 40.405.088 71.759.010
-
Tahun Ke 4 66.851.000
19.430.567
Tahun Ke 5 30.678.697 40.453.480
Tahun Ke 6 40.030.088 63.412.690
Rata-rata per tahun 14.282.732 61.831.943
Sumber: Hasil pengolahan data primer
(2001)

d. Modal dan Kredit

Kebutuhan modal kerja dan investasi dengan pembiayaan, kredit dan


angsuran untuk usaha itik kategori I dan II dapat dilihat dalam Lampiran 3.3.
dan Lampiran 4.3., sedangkan kebutuhan modal dan kredit dapat dilihat
dalam Tabel 5.8. di bawah ini.

Tabel 5.8.
Kebutuhan Modal dan Kredit Usaha Itik Petelur
Rincian Biaya Kategori I
No
Proyek (DOD)
1 Biaya Investasi 7.925.000
2 Biaya Modal Kerja 41.957.742
3 Total Biaya Proyek 49.882.742
a. Bersumber dari 32.423.782
kredit
b. Bersumber dari 17.458.960
dana sendiri
Sumber : Data Primer (2001)

e. Aliran Laba-Rugi

Aliran laba-rugi untuk usaha itik petelur kategori I dan kategori II dapat
dilihat dalam Lampiran 3.4. dan Lampiran 4.4.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 21


Arus Kas dan Evaluasi Profitabilitas Rencana Investasi

1. Arus Kas

Arus kas untuk usaha itik petelur kategori I dan kategori II secara
terperinci dapat dilihat dalam Lampiran 3.5. dan Lampiran 4.5.

2. Net B/C, IRR, NPV, dan Pay Back Period

Perhitungan net B/C, IRR dan NPV dan Pay Back Period untuk usaha itik
petelur kategori I dan kategori II menggunakan rumus dan cara
perhitungan seperti yang diuraikan pada Lampiran 5.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa usaha ternak itik petelur pada


kategori II lebih menguntungkan dibandingkan dengan pengusahaan itik
petelur pada kategori I. Nilai IRR untuk Kategori I sebesar 35% berarti
usaha itu masih layak secara finansial untuk terus diusahakan sampai
tingkat suku bunga yang berlaku masih dibawah 35%. Demikian juga
untuk Kategori II, usaha tersebut masih layak untuk diusahakan secara
finansial sampai tingkat suku bunga yang berlaku masih dibawah 159%.
Hasil perhitungan lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.9.

Tabel 5.9.
Evaluasi Profibilitas Rencana Investasi Usaha Ternak Itik Petelur
Kriteria Kategori I Kategori II
NPV Rp. 19.695.093 Rp. 179.405.378
Net B/C 1,42 1,42 5,94
IRR 34,76% 159%
PBP 2 tahun 7 bulan 8 bulan
Sumber: Hasil pengolahan data primer (2001)

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 22


f. Analisis BEP
Analisis titik pulang pokok/impas atau Break Even Point dari usaha itik
petelur dengan mempertimbangkan besarnya biaya tetap, biaya variabel dan
tingkat harga jual, selama umur proyek didapatkan nilai rata-rata untuk
skala usaha kategori I sebesar Rp 31.003.288, atau sebesar 49.502 kg telur
itik, sedangkan untuk skala usaha kategori II sebesar Rp 45.022.355 atau
sebesar 73.411 kg telur itik.

g. Analisis Sensitivitas dan Kendala Keuangan

Perhitungan sensitivitas berdasarkan asumsi dua skenario, yaitu skenario 1


naiknya biaya produksi sebesar 10% dan skenario 2 turunnya harga produksi
sebesar 10%. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran
3.6.a. dan Lampiran 3.6.b. untuk skala usaha Kategori I dan Lampiran 4.6.a.
dan Lampiran 4.6.b. untuk skala usaha Kategori II , sedangkan hasil
ringkasnya dapat dilihat pada Tabel 5.10.

Tabel 5.10.
Analisa Sensitifitas Usaha Ternak Itik Petelur
Kategori I Kategori II
Kriteria Biaya naik Harga Biaya naik Harga turun
10% turun 10% 10% 10%
Rp.- Rp. - Rp. Rp.
NPV
3.485.447 2.428.746 155.602.809 137.000.573
Net B/C 0,94 0,95 5,24 4,77
IRR 15% 16% 140% 127%
6 tahun 11 6 tahun 11
PBP 9 bulan 10 bulan
bulan bulan
Sumber : Data Primer (2001)

Tampak bahwa usaha ternak itik petelur lebih sensitif terhadap perubahan
harga daripada perubahan biaya. Usaha ternak itik petelur kategori I tidak
layak lagi untuk diusahakan apabila terjadi kenaikan biaya produksi sebesar
10% atau penurunan harga jual sebesar 10%, sedangkan usaha ternak itik
petelur kategori II tetap layak untuk diusahakan meskipun terjadi kenaikan
biaya produksi sebesar 10% atau penurunan harga jual sebesar 10%.

Berdasarkan analisis keuangan yang telah dipaparkan dalam Bab ini


menunjukkan bahwa usaha ternak itik petelur mampu memberikan
pendapatan yang relatif besar. Bahkan pengusaha ternak itik petelur kategori
II (itik dara) telah mampu memberikan pendapatan yang sangat besar Rp
61.831.943 per tahun atau lebih dari Rp 5 juta per bulan. Kendala utama
adalah tersedianya bantuan modal bagi para peternak secara tepat waktu
dan jumlah.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 23


6. Aspek Sosial Ekonomi
Usaha ternak itik petelur adalah merupakan usaha yang berbasis
sumberdaya lokal. Usaha yang berbasis sumberdaya lokal tentu saja akan
mampu menjadi sektor yang tangguh, karena tidak tergantung pada pasokan
dari luar, baik pasokan dari propinsi lain dan bahkan negara asing.

Dalam pelaksanaan usaha ternak itik petelur, meskipun tenaga kerja yang
dibutuhkan relatif kecil, namun seluruh kebutuhan tenaga kerja tersebut
dapat dipenuhi dari dalam daerah itu sendiri. Dengan demikian, usaha ternak
itik petelur mempunyai potensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat. Hal ini mengingat pelaksanaan usaha peternak itik
petelur memerlukan teknologi yang sederhana, sehingga persyaratan
rekruitmen tenaga kerja menjadi lebih mudah.

Pengusahaan ternak itik petelur bila dilaksanakan dengan cara semi intensif
dapat memberikan pendapatan bagi masyarakat yang sangat nyata, apalagi
jika diusahakan dengan cara intensif. Sebagai contoh, pada Bab 5 dalam
buku ini, diperlihatkan contoh analisis finansial untuk pengusahaan semi
intensif dan intensif. Pengelolaan itik petelur cara kategori I akan
menghasilkan pendapatan bersih rata-rata per tahun sebesar Rp 14.383.732,
sedangkan kategori II menghasilkan pendapatan rata-rata per tahun sebesar
Rp 61.831.943. Dilihat dari besarnya pendapatan bersih tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengusahaan ternak itik petelur mampu memberikan
pendapatan yang relatif besar.

Usaha ternak itik petelur juga mempunyai potensi untuk menyumbangkan


pajak baik bagi pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Pajak bagi
pemerintah daerah berupa Pajak Bumi dan Bangunan dan pungutan lain
sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan usaha ternak, khususnya bagi
peternak itik petelur yang diusahakan dengan cara intensif.

Pelaksanaan usaha ternak itik petelur adalah merupakan suatu usaha yang
mempunyai keterkaitan dengan sektor hulu dan hilir yang sangat erat. Hal ini
mengingat dalam agribisnis perunggasan, usaha itik petelur merupakan salah
satu sub-sistem yang sangat berkaitan erat dengan sub-sistem lainnya.
Dalam pendekatan sistem, agribisnis perunggasan (usaha peternak itik
petelur khususnya) sekurang-kurangnya terdiri dari sub-sistem: penyediaan
sarana produksi (bibit, pakan, obat-obatan, dan kandang), budidaya ternak
(itik petelur), pengolahan (telur itik menjadi telur asin, telur beku dan tepung
telur), pemasaran, dan kebijakan pemerintah (misalnya penyediaan kredit
dan pembangunan sarana dan prasarana perekonomian yang menunjang
pengusahaan itik petelur). Dengan demikian, pengusahaan ternak itik petelur
akan meningkatkan kebutuhan pada bibit (anak itik, yang disebut juga
DOD), pakan, industri pengolahan telur, para pedagang telur, dan juga
penyedia jasa permodalan. Dapat juga dikatakan usaha ternak itik petelur
mempunyai keterkaitan erat antara industri hulu dan hilirnya.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 24


Berdasarkan studi pustaka selama ini, Indonesia belum pernah mengekspor
telur segar dan olahan. Potensi pasar ekspor telur utama adalah ke Jepang,
Hongkong dan Singapura. Selama ini pemasok utama bagi ketiga negara
tersebut adalah Taiwan, Thailand dan Malaysia. Indonesia belum menggarap
pasar ekspor mengingat selama ini pemasaran telur itik di dalam negeri
masih mampu menyerap produksi yang dihasilkan oleh peternak (Suharno
dan Amri, 2000 dan Windhyarti, 2000).

Berdasarkan uraian di atas, dampak yang dihasilkan dari usaha peternak itik
petelur baik dari segi ekonomi maupun sosial adalah positif. Lebih lanjut,
mengingat keterkaitan antar subsistem dalam pengusahaan ini sangat erat,
maka perkembangan usaha ternak itik petelur ini akan mampu
menggerakkan industri hulu dan hilir secara nyata.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 25


7. Penutup
a. Kesimpulan
Usaha ternak itik petelur dapat dilaksanakan di seluruh lokasi, kecuali lokasi
yang gaduh dan lalu lalang kendaraan bermotor serta dekat dengan
pemukiman. Usaha ternak itik petelur umumnya masih dilakukan secara
tradisional. Sedangkan cara pengusahaan itik petelur yang semi intensif dan
intensif akan memberikan peluang menciptakan keuntungan lebih baik dan
kepastian usaha yang tinggi.

Usaha ternak itik petelur memerlukan sarana produksi yang sebagian besar
berasal dari daerah setempat. Dengan demikian kelancaran produksinya
dapat lebih terjamin. Selanjutnya, mengingat tenaga kerja yang dibutuhkan
dapat juga dipenuhi dari daerah setempat, maka usaha ternak itik petelur
tidak akan mengakibatkan gangguan sosial dan keamanan di lokasi usaha ini
dilaksanakan.

Pemasaran telur hingga saat ini tidak dijumpai masalah, artinya pasar masih
mampu menyerap telur yang dihasilkan oleh peternak itik. Bahkan dijumpai
adanya gejala pihak peternak tidak mampu menjawab tantangan pasar agar
memasok lebih banyak lagi.

Dari hasil analisis finansial yang telah dilakukan, menunjukkan usaha ternak
itik petelur memberikan tingkat profitabilitas yang tinggi, sehingga layak
untuk mendapatkan pinjaman dari Bank. Pada skala usaha kategori I nilai
NPV pada tingkat suku bunga 18% Rp. 19.695.093, BC ratio 1,42, IRR 35%,
PBP 2 tahun 7 bulan. Sedangkan pada skala usaha kategori II nilai NPV Rp.
179.405.378, BC ratio 5,94, IRR 159%, dan PBP 8 bulan. Akan tetapi, usaha
ternak itik petelur dengan skala kategori I tidak layak diusahakan apabila
terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 10% atau penurunan harga jual
sebesar 10%, sedangkan untuk skala usaha kategori II tetap layak
diusahakan meskipun terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 10% atau
penurunan harga jual sebesar 10%.

b. Saran

Ketersediaan pakan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam usaha


ternak itik petelur. Penentu keberhasilan usaha ternak itik petelur adalah
pemilikan bibit (baik DOD maupun itik dara), oleh karena itu peternak perlu
untuk mendapatkan informasi pembibitan itik berkualitas tinggi, seperti dari
Balai Penelitian Ternak di Bogor serta Dinas Peternakan setempat.
Disarankan agar peternak dapat diberikan keterampilan cara-cara
pembuatan pakan dengan mempergunakan bahan baku yang tersedia di
daerah itu. Hal ini untuk lebih meningkatkan kesempatan kerja bagi
masyarakat setempat dan juga untuk lebih menjamin kontinuitas
ketersediaan pakan.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 26


Meskipun hingga saat ini usaha ternak itik petelur belum memerlukan
pengobatan seperti pada usaha ternak ayam ras, namun ada baiknya untuk
memperhatikan hal ini. Langkah yang disarankan adalah dengan
menyediakan biaya untuk pengobatan dan memeriksa secara rutin keadaan
kesehatan itik.

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 27


LAMPIRAN

Bank Indonesia – Usaha Itik Petelur (Konvensional) 28

Anda mungkin juga menyukai