Anda di halaman 1dari 2

Perayaan Ramadhan

Lazim dan jamak kita temui bahwa pada awal memasuki bulan Ramadhan, dimana-
mana umat islam menyambut dengan gembira. Bahkan saking rindu dan antusiasnya
untuk menjalani hari-hari dalam Ramadhan, terkadang sering di tambahi dengan
ungkapan-ungkapan doa, berita kata-kata indah dan puitis yang di share di berbagai
social media. Berbagai spanduk atas nama Ramadhan semerbak di sudut-sudut kota.
Puji Tuhan, pastinya itu di lakukan karena kecintaan mendalam menyambut datangnya
Ramadhan.
Begitu pula atmosfer menjelang Ramadhan di sebuah kampung di kota kecil itu. Tidak
jauh berbeda dengan kampung yang lain.
Tema Ramadhan tidak hanya ramai di media sosial, namun juga di langgar-langgar, di
masjid, di musola para kaum muslimin beramai-ramai menyesaki tempat ibadahnya
untuk ikut Salat Isya dan Tarawih berjamaah. Fenomena yang harus di syukuri. Masjid
yang sebelumnya kosong melompong, tiba-tiba menjadi penuh. Berderet-deret para
jamaah sampai meluber ke teras depan masjid. Anak-anak berlari-lari dan saling
bercanda, menambah keceriaan Ramadhan.
Ah sungguh menyejukkan.
Namun, dalam perjalanan waktu ketika memasuki minggu kedua, perubahan suasana
Ramadhan di kampung itu mulai tampak. Jamaah tarawih mulai berkurang. Suasana
tadarusan menjadi sepi di isi dengan beberapa gelintir manusia yang rata-rata sudah
uzur.
Keriuhan dan semangat Ramadhan berpindah ke tempat-tempat belanja, terminal,
tempat nongkrong, atau pusat keramaian lain.
Hari akhir itu di isi dengan obrolan-obrolan dengan tema, “kapan mudik lebaran?”,
besok beli baju di mana?”, THR nya kapan cair? dlsb yang sesungguhnya tidak memiliki
substansi terhadap makna Ramadhan tersebut.
Ramadhan, memang menjanjikan kenikmatan dan “sedikit kemewahan” di banding
dengan bulan-bulan yang lain. Bayangkan betapa pusingnya Pemerintah Republik
Indonesia akhir-akhir ini menghadapi daya beli masyarakat yang terus turun. Namun
dengan adanya Ramadhan sampai dengan hari raya, daya beli masyarakat naik secara
signifikan. Konstelasi ekonomi di masyarakat menjelang lebaran tidak mengenal
namanya ekonomi lesu. Lesu atau tidak, masyarakat mendambakan pada saat lebaran
dapat membeli baju baru, membagikan amplop-amplop uang pecahan puluhan ribu
kepada anak-anak. Menyuguhkan berbagai macam panganan yang terbaik.
Dan tinggallah suasana sepi, marginal menghampiri mushola-mushola kecil di
pinggiran kota itu. Yang tersisa dari akhir Ramadhan itu adalah beberapa bapak, mbah,
sesepuh yang memakmurkan masjid. Anak muda, setengah baya sudah hilang terseret
materialisme dunia, yang secara substansinya harusnya di kendalikan oleh puasa itu
sendiri. Ceramah ustadz di televisi tidak mempan menangkal arus budaya perayaan
Ramadhan. Makna puasa itu sendiri sudah tidak relevan.
Puasa yang di tujukan untuk mengendalikan nafsu manusia serta mengambil jarak dari
hedonisme, seakan menjadi tidak berfungsi. Karena makna puasa tidak pernah di gali
pemaknaan substansialnya, dan sering terjebak hanya kepada tidak makan dan minum
saja.
Benarlah apa yang di sabdakan Rasullah Muhammad tiga belas abad silam, bahwa
“kelak akan datang suatu masa, dimana kebanyakan kaum muslimin berpuasa namun
hanya mendapatkan lapar dan dahaga”.
Tapi semoga Ramadhan tahun ini tidak seperti yang Muhammad Saw prediksikan. []

Anda mungkin juga menyukai