I. PERITONITIS
DEFINISI
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga abdomen dan organ-organ abdomen
di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun
umum, melalui proses infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada ruptur appendiks atau divertikulum kolon, maupun
non infeksi, misalnya akibat keluarnya asam lambung pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada perforasi
kandung empedu. Pada wanita peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur ovarium.
ANATOMI
Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling komleks yang terdapat dalam tubuh. Membran serosa
tersebut membentuk suatu kantung tertutup (coelom) dengan batas-batas:
* anterior dan lateral : permukaan bagian dalam dinding abdomen
* posterior : retroperitoneum
* inferior : struktur ekstraperitoneal di pelvis
* superior : bagian bawah dari diafragma
Peritoneum dibagi atas :
peritoneum parietal
peritoneum viseral
peritoneum penghubung yaitu mesenterium, mesogastrin, mesocolon, mesosigmidem, dan mesosalphinx.
Lapisan parietal dari peritoneum membungkus organ-organ viscera membentuk peritoneum visera, dengan demikian
menciptakan suatu potensi ruang diantara kedua lapisan yang disebut rongga peritoneal.
Normalnya jumlah cairan peritoneal kurang dari 50 ml. Cairan peritoneal terdiri atas plasma ultrafiltrasi dengan
elektrolit serta mempunyai kadar protein kurang dari 30 g/L, juga mempunyai sejumlah kecil sel mesotelial deskuamasi
dan bermacam sel imun.
KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI
Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara lain:
1. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan ektopik terganggu
2. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab obstruksi vena porta pada sirosis hati, malignitas.
3. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus alienum, misalnya kain kassa yang tertinggal saat
operasi, perforasi, radang, trauma
4. Radang, yaitu pada peritonitis
Peritonitis diklasifikasikan menjadi:
A. Menurut agens
1. Peritonitis kimia,
misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan empedu, cairan pankreas yang masuk ke rongga
abdomen akibat perforasi.
2. Peritonitis septik,
merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat
sampai ke peritonium dan menimbulkan peradangan.
B. Menurut sumber kuman
1. Peritonitis primer
Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran secara hematogen. Sering disebut juga sebagai
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh
perforasi atau nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan inokulasi bakterial pada rongga
peritoneum.
Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh bakteri gram negatif ( E.coli, klebsiella pneumonia,
pseudomonas, proteus) , bakteri gram positif ( streptococcus pneumonia, staphylococcus).
Peritonitis primer dibedakan menjadi:
*Spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya kuman tuberkulosa.
* Non- spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik, misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, diantaranya adalah:
invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau
traktus genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada : perforasi appendiks, perforasi gaster, perforasi kolon
oleh divertikulitis, volvulus, kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk.
Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi pankreatitis, atau keluarnya asam
empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters
Terapi dilakukan dengan pembedahan untuk menghilangkan penyebab infeksi (usus, appendiks, abses), antibiotik,
analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri, dan cairan intravena untuk mengganti kehilangan cairan.
Mengetahui sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun non operatif
secara non operatif
dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat digunakan dengan efektif sebagai terapi, bila suatu abses dapat
dikeringkan tanpa disertai kelainan dari organ visera akibat infeksi intra-abdomen
cara operatif
dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ visera akibat infeksi intra abdomen
Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder antara lain adalah syok septik, abses, perlengketan
intraperitoneal.
3. Peritonitis tersier
biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien
imunokompromise. Organisme penyebab biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative
Staphylococcus, S.Aureus, gram negative bacili, dan candida, mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah dengan
ditemukannya cairan keruh pada dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan
diberikan dengan antibiotika IV atau ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan berdasarkan tipe kuman
yang didapat pada tes laboratorium.
Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis berulang, abses intraabdominal. Bila terjadi peritonitis
tersier ini sebaiknya kateter dialisis dilepaskan.
FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor berikut dapat meningkatkan resiko kejadian peritonitis, yaitu:
penyakit hati dengan ascites
kerusakan ginjal
compromised immune system
pelvic inflammatory disease
appendisitis
ulkus gaster
infeksi kandung empedu
colitis ulseratif / chron’s disease
trauma
CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis)
pankreatitis
PATOFISIOLOGI
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka
tembus abdomen. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-
kantong
nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus.
Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan
tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan usus.
Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan
terjadi perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya perlengketan
ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat dirasakan terus-menerus selama beberapa
jam, dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen. Dan makin hebat nyerinya dirasakan saat
penderita bergerak.
Gejala lainnya meliputi:
Demam
Temperatur lebih dari 380 C, pada kondisi sepsis berat dapat hipotermia
Mual dan muntah
Timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat iritasi peritoneum
Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma mengakibatkan kesulitan bernafas.
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut
dapat terjadi hipotensi, penurunan output urin dan syok.
Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar bising usus
Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat kontraksi otot dinding abdomen secara volunter
sebagai respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun involunter sebagai respon terhadap
iritasi peritoneum
Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
Tidak dapat BAB/buang angin.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada peritonitis dilakukan dengan cara yang sama seperti pemeriksaan fisik lainnya yaitu dengan:
1. inspeksi
pasien tampak dalam mimik menderita
tulang pipi tampak menonjol dengan pipi yang cekung, mata cekung
lidah sering tampak kotor tertutup kerak putih, kadang putih kecoklatan
pernafasan kostal, cepat dan dangkal. Pernafasan abdominal tidak tampak karena dengan pernafasan abdominal akan
terasa nyeri akibat perangsangan peritoneum.
Distensi perut
2. palpasi
Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah dengan USG abdomen, CT scan, dan MRI.
Diagnosis Peritoneal Lavage (DPL)
Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan cedera intra abdomen setelah trauma tumpul yang disertai
dengan kondisi:
Hilangnya kesadaran, intoksikasi alkohol, perubahan sensori, misalnya pada cedera medula spinalis, cedera pada costae
atau processus transversus vertebra.
Tehnik ini adalah suatu tindakan melakukan bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis sampai
1.000 ml melalui kanul, setelah sebelumnya pada pengisapan tidak ditemukan darah atau cairan.
Pada DPL dilakukan analisis cairan kualitatif dan kuantitatif, hal-hal yang perlu dianalisis antara lain: kadar pH, glukosa,
protein, LDH, hitung sel, gram stain, serta kultur kuman aerob dan anaerob. Pada peritonitis bakterialis, cairan
peritonealnya menunjukkan kadar pH ≤ 7 dan glukosa kurang dari 50 mg/dL dengan kadar protein dan LDH yang
meningkat.
Tehnik ini dikontraindikasikan pada kehamilan, obesitas, koagulopati dan hematom yang signifikan dengan dinding
abdomen.
TERAPI
Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip
utama terapi pada infeksi intra abdomen adalah:
Bila semua langkah-langkah terapi di atas telah dilaksanakan, pemberian suplemen, antara lain glutamine, arginine,
asam lemak omega-3 dan omega-6, vitamin A, E dan C, Zinc dapat digunakan sebagai tambahan untuk mempercepat
proses penyembuhan.
TERAPI ANTIBIOTIK
Pada SBP (Spontaneus Bacterial Peritonitis), pemberian antibiotik terutama adalah dengan Sefalosporin gen-3, kemudian
diberikan antibiotik sesuai dengan hasil kultur. Penggunaan aminolikosida sebaiknya dihindarkan terutama pada pasien
dengan gangguan ginjal kronik karena efeknya yang nefrotoksik. Lama pemberian terapi biasanya 5-10 hari.
Pada peritonitis sekunder dan tersier, terapi antibiotik sistemik ada pada urutan ke-dua. Untuk infeksi yang
berkepanjangan, antibiotik sistemik tidak efektif lagi, namun lebih berguna pada infeksi akut.
Pada infeksi inta-abdominal berat, pemberian imipenem, piperacilin/tazobactam dan kombinasi metronidazol dengan
aminoglikosida.
INTERVENSI NON-OPERATIF
Dapat dilakukan drainase percutaneus abses abdominal dan ekstraperitoneal. Keefektifan teknik ini dapat menunda
pembedahan sampai proses akut dan sepsis telah teratasi, sehingga pembedahan dapat dilakukan secara elektif. Hal-hal
yang menjadi alasan ketidakberhasilan intervensi non-operatif ini antara lain fistula enteris, keterlibatan pankreas, abses
multipel. Terapi intervensi non-operatif ini umumnya berhasil pada pasien dengan abses peritoneal yang disebabkan
perforasi usus (misalnya apendisitis, divertikulitis).
Teknik ini merupakan terapi tambahan. Bila suatu abses dapat di akses melalui drainase percutaneus dan tidak ada
gangguan patologis dari organ intraabdomen lain yang memerlukan pembedahan, maka drainase perkutaneus ini dapat
digunakan dengan aman dan efektif sebagai terapi utama. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan, luka
dan erosi, fistula.
TERAPI OPERATIF
Cara ini adalah yang paling efektif. Pembedahan dilakukan dengan dua cara, pertama, bedah terbuka, dan kedua,
laparoskopi.
PROGNOSA
Tergantung dari umur penderita, penyebab, ketepatan dan keefektifan terapi. Prognosa baik pada peritonitis lokal dan
ringan. Prognosa buruk pada peritonitis general.
DEFENISI
Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan di mana usus gagal / tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik
untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik ini bukan suatu penyakit primer usus melainkan akibat dari berbagai penyakit
primer, tindakan (operasi) yang berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-obatan yang dapat mempengaruhi
kontraksi otot polos usus. Gerakan peristaltik merupakan suatu aktivitas otot polos usus yang terkoordinasi dengan baik
diatur oleh neuron inhibitory dan neuron exitatory dari sistim enteric motor neuron. Kontraksi otot polos usus ini
dipengaruhi dan dimodulasi oleh berbagai faktor seperti sistim saraf simpatik – parasimpatik, neurotransmiter
(adrenergik, kolinergik, serotonergik,dopaminergik, hormon intestinal, keseimbangan elektrolit dan sebagainya. Ileus
paralitik hampir selalu dijumpai pada pasien pasca operasi abdomen. Keadaan ini biasanya hanya berlangsung antara 24-
72 jam. Beratnya ileus paralitik pasca operasi bergantung pada lamanya operasi/narkosis, seringnya manipulasi usus dan
lamanya usus berkontak dengan udara luar. Pencemaran peritoneum oleh asam lambung, isi kolon, enzim pankreas,
darah, dan urin akan menimbulkan paralisis usus. Kelainan retroperitoneal seperti hematoma retroperitoneal, terlebih
lagi bila disertai fraktur vertebra sering menimbulkan ileus paralitik yang berat. Demikian pula kelainan pada rongga
dada seperti pneumonia paru bagian bawah, empiema, dan infark miokard dapat disertai
paralisis usus. Gangguan elektrolit terutama hipokalemia, hiponatremia, hipomagnesemia atau hipermagnesemia
memberikan gejala paralisis usus. Penyakit / keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan seperti
yang tercantum di bawah ini :
ETIOLOGI
Penyebab Ileus Paralitik :
1. Neurologik:
- Pasca operasi
- Kerusakan medula spinalis
- Keracunan timbal kolik ureter
- Iritasi persarafan splanknikus - Pankreatitis
2. Metabolik :
- Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia)
- Uremia - Komplikasi DM
- Penyakit sistemik seperti SLE, sklerosis multipel
3. Obat-obatan
- Narkotik
- Antikolinergik
- Katekolamin
- Fenotiasin
- Antihistamin
4. Infeksi
- Pneumonia
- Empiema
- Urosepsis
- Peritonitis
- Infeksi sistemik berat lainnya
5. Iskemia usus
MANIFESTASI KLINIS
Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (abdominal distention), anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah
mungkin ada mungkin pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan keluhan
perut kembung pada ileus obstruksi. Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai nyeri kolik
abdomen yang paroksismal. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien bervariasi dari ringan sampai berat
bergantung pada penyakit yang mendasarinya, didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan bising
usus yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan
tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila
penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran peritonitis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium mungkin dapat membantu mencari kausa penyakit. Pemeriksaan yang penting untuk
dimintakan yaitu leukosit darah, kadar elektrolit, ureum, glucosa darah, dan amilase. Foto polos abdomen sangat
membantu menegakkan diagnosis. Pada ileus paralitik akan ditemukan distensi lambung usus halus dan usus besar
memberikan gambaran herring bone, selain itu bila ditemukan air fluid level biasanya berupa suatu gambaran line up
(segaris). Hal ini berbeda dengan air fluid level pada ileus obstruktif yang memberikan gambaran stepladder (seperti
anak tangga). Apabila dengan pemeriksaan foto polos abdomen masih meragukan adanya suatu obstruksi, dapat
dilakukan pemeriksaan foto abdomen dengan mempergunakan kontras kontras yang larut air. Pemeriksaan penunjang
lainnya yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin ( Hb, lekosit,hitung jenis dan trombosit), elektrolit, BUN
dan kreatinin, sakar darah, foto dada, EKG, bila
diangap perlu dapat dilakukan pemeriksaan lainnya atas indikasi seperti amilase,lipase, analisa gas darah , ultrasonografi
abdomen bahkan CT scan.
PENATALAKSANAAN
Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya berupa dekompresi, menjaga keseimbangan
cairan dan elektrolit, mengobati kausa atau penyakit primer dan pemberian nutrisi yang adekuat. Beberapa obat-obatan
jenis penyekat simpatik (simpatolitik) atau obat parasimpatomimetik pernah dicoba, ternyata hasilnya tidak konsisten.
Untuk dekompresi dilakukan pemasangan pipa nasogastrik (bila perlu dipasang juga rectal tube). Pemberian cairan,
koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral hendaknya diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip pemberian
nutrisi parenteral. Beberapa obat yang dapat dicoba yaitu metoklopramid bermanfaat untuk gastroparesis, sisaprid
bermanfaat untuk ileus paralitik pasca-operasi, dan klonidin dilaporkan bermanfaat untuk mengatasi ileus paralitik
karena obat-obatan. Neostigmin sering diberikan pada pasn ileus paralitik pasca operasi. Bila bising usu sudah mulai ada
dapat dilakukan test feeding, bila tidak ada retensi,dapat dimulai dengan diit cair kemudian disesuaikan sejalan dengan
toleransi ususnya
PROGNOSIS
Prognosis ileus paralitik baik bila penyakit primernya dapat diatasi.
DEFINISI
Ileus adalah gangguan/hambatan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut yang segera
membutuhkan pertolongan atau tindakan. Ileus ada 2 macam, yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik.
Ileus obstruktif atau disebut juga ileus mekanik adalah keadaan dimana isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke
distal atau anus karena adanya sumbatan/hambatan mekanik yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding usus
atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen
usus tersebut.
ETIOLOGI
Penyebab terjadinya ileus obstruksi pada usus halus antara lain :
1. Hernia inkarserata : usus masuk dan terjepit di dalam pintu hernia. Pada anak dapat dikelola secara konservatif
dengan posisi tidur Trendelenburg. Namun, jika percobaan reduksi gaya berat ini tidak berhasil dalam waktu 8 jam,
harus diadakan herniotomi segera.
2. Non hernia inkarserata, antara lain :
a. Adhesi atau perlekatan usus
Di mana pita fibrosis dari jaringan ikat menjepit usus. Dapat berupa perlengketan mungkin dalam bentuk tunggal
maupun multiple, bisa setempat
atau luas. Umunya berasal dari rangsangan peritoneum akibat peritonitis setempat atau umum. Ileus karena adhesi
biasanya tidak disertai strangulasi.
b. Invaginasi
Disebut juga intususepsi, sering ditemukan pada anak dan agak jarang pada orang muda dan dewasa. Invaginasi pada
anak sering bersifat idiopatik karena tidak diketahui penyebabnya. Invaginasi umumnya berupa intususepsi ileosekal
yang masuk naik ke kolon ascendens dan mungkin terus sampai keluar dari rektum. Hal ini dapat mengakibatkan
nekrosis iskemik pada bagian usus yang masuk dengan komplikasi perforasi dan peritonitis. Diagnosis invaginasi dapat
diduga atas pemeriksaan fisik, dan dipastikan dengan pemeriksaan Roentgen dengan pemberian enema barium.
Invaginasi pada orang muda dan dewasa jarang idiopatik, umumnya ujung invaginatum merupakan polip atau tumor lain
di usus halus. Pada anak, apabila keadaan umumnya mengizinkan, maka dapat dilakukan reposisi hidrostatik yang dapat
dilakukan sekaligus sewaktu diagnosis Roentgen ditegakkan. Namun, apabila tidak berhasil, harus dilakukan reposisi
operarif. Sedangkan pada orang dewasa, terapi reposisi hidrostatik umumnya tidak mungkin dilakukan karena jarang
merupakan invaginasi ileosekal.
c. Askariasis
Cacing askaris hidup di usus halus bagian yeyunum, biasanya jumlahnya puluhan hingga ratusan ekor. Obstruksi bisa
terjadi di mana-mana di usus halus, tetapi biasanya di ileum terminal yang merupakan tempat lumen paling sempit.
Obstruksi umumnya disebabkan oleh suatu gumpalan padat terdiri atas sisa makanan dan puluhan ekor cacing yang mati
atau hampir mati akibat pemberian obat cacing. Segmen usus yang penuh dengan cacing berisiko tinggi untuk
mengalami volvulus, strangulasi, dan perforasi.
d. Volvulus
Merupakan suatu keadaan di mana terjadi pemuntiran usus yang abnormal dari segmen usus sepanjang aksis
longitudinal usus sendiri, maupun
pemuntiran terhadap aksis radii mesenterii sehingga pasase makanan terganggu. Pada usus halus agak jarang ditemukan
kasusnya. Kebanyakan volvulus didapat di bagian ileum dan mudah mengalami strangulasi. Gambaran klinisnya berupa
gambaran ileus obstruksi tinggi dengan atau tanpa gejala dan tanda strangulasi.
e. Tumor
Tumor usus halus agak jarang menyebabkan obstruksi usus, kecuali jika ia menimbulkan invaginasi. Proses keganasan,
terutama karsinoma ovarium dan karsinoma kolon, dapat menyebabkan obstruksi usus. Hal ini terutama disebabkan
oleh kumpulan metastasis di peritoneum atau di mesenterium yang menekan usus.
f. Batu empedu yang masuk ke ileus.
Inflamasi yang berat dari kantong empedu menyebabkan fistul dari saluran empedu ke duodenum atau usus halus yang
menyebabkan batu empedu masuk ke traktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit di usus halus,
umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang menyebabkan obstruksi.
Penyebab obstruksi kolon yang paling sering ialah karsinoma, terutama pada daerah rektosigmoid dan kolon kiri distal.
Selain itu, obstruksi dapat pula disebabkan oleh divertikulitis, striktur rektum, stenosis anus, volvulus sigmoid, dan
penyakit Hirschprung.
PATOGENESIS
Usus di bagian distal kolaps, sementara bagian proksimal berdilatasi. Usus yang berdilatasi menyebabkan penumpukan
cairan dan gas, distensi yang menyeluruh menyebabkan pembuluh darah tertekan sehingga suplai darah berkurang
(iskemik), dapat terjadi perforasi. Dilatasi dan dilatasi usus oleh karena obstruksi menyebabkan
perubahan ekologi, kuman tumbuh berlebihan sehingga potensial untuk terjadi translokasi kuman. Gangguan
vaskularisasi menyebabkan mortalitas yang tinggi, air dan elektrolit dapat lolos dari tubuh karena muntah. Dapat terjadi
syok hipovolemik, absorbsi dari toksin pada usus yang mengalami strangulasi.
Dinding usus halus kuat dan tebal, karena itu tidak timbul distensi berlebihan atau ruptur. Dinding usus besar tipis,
sehingga mudah distensi. Dinding sekum merupakan bagian kolon yang paling tipis, karena itu dapat terjadi ruptur bila
terlalu tegang. Gejala dan tanda obstruksi usus halus atau usus besar tergantung kompetensi valvula Bauhini. Bila terjadi
insufisiensi katup, timbul refluks dari kolon ke ileum terminal sehingga ileum turut membesar.
Pengaruh obstruksi kolon tidak sehebat pengaruh pada obstruksi usus halus karena pada obstruksi kolon, kecuali pada
volvulus, hampir tidak pernah terjadi strangulasi. Kolon merupakan alat penyimpanan feses sehingga secara relatif
fungsi kolon sebagai alat penyerap sedikit sekali. Oleh karena itu kehilangan cairan dan elektrolit berjalan lambat pada
obstruksi kolon distal.
MANIFESTASI KLINIS
1. Obstruksi sederhana
Obstruksi usus halus merupakan obstruksi saluran cerna tinggi, artinya disertai dengan pengeluaran banyak cairan dan
elektrolit baik di dalam lumen usus bagian oral dari obstruksi, maupun oleh muntah. Gejala penyumbatan usus meliputi
nyeri kram pada perut, disertai kembung. Pada obstruksi usus halus proksimal akan timbul gejala muntah yang banyak,
yang jarang menjadi muntah fekal walaupun obstruksi berlangsung lama. Nyeri bisa berat dan menetap. Nyeri abdomen
sering dirasakan sebagai perasaan tidak enak di perut bagian atas. Semakin distal sumbatan, maka muntah yang
dihasilkan semakin fekulen.
Tanda vital normal pada tahap awal, namun akan berlanjut dengan dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit.
Suhu tubuh bisa normal sampai demam. Distensi abdomen dapat dapat minimal atau tidak ada pada obstruksi proksimal
dan semakin jelas pada sumbatan di daerah distal. Bising usus yang meningkat dan “metallic sound” dapat didengar
sesuai dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di daerah distal.
2. Obstruksi disertai proses strangulasi
Gejalanya seperti obstruksi sederhana tetapi lebih nyata dan disertai dengan nyeri hebat. Hal yang perlu diperhatikan
adalah adanya skar bekas operasi atau hernia. Bila dijumpai tanda-tanda strangulasi berupa nyeri iskemik dimana nyeri
yang sangat hebat, menetap dan tidak menyurut, maka dilakukan tindakan operasi segera untuk mencegah terjadinya
nekrosis usus.
3. Obstruksi mekanis di kolon timbul perlahan-lahan dengan nyeri akibat sumbatan biasanya terasa di epigastrium. Nyeri
yang hebat dan terus menerus menunjukkan adanya iskemia atau peritonitis. Borborygmus dapat keras dan timbul
sesuai dengan nyeri. Konstipasi atau obstipasi adalah gambaran umum obstruksi komplit. Muntah lebih sering terjadi
pada penyumbatan usus besar. Muntah timbul kemudian dan tidak terjadi bila katup ileosekal mampu mencegah
refluks. Bila akibat refluks isi kolon terdorong ke dalam usus halus, akan tampak gangguan pada usus halus. Muntah
fekal akan terjadi kemudian. Pada keadaan valvula Bauchini yang paten, terjadi distensi hebat dan sering mengakibatkan
perforasi sekum karena tekanannya paling tinggi dan dindingnya yang lebih tipis. Pada pemeriksaan fisis akan
menunjukkan distensi abdomen dan timpani, gerakan usus akan tampak pada pasien yang kurus, dan akan terdengar
metallic sound pada auskultasi. Nyeri yang terlokasi, dan terabanya massa menunjukkan adanya strangulasi.
DIAGNOSIS
Pada anamnesis obstruksi tinggi sering dapat ditemukan penyebab misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah
dioperasi atau terdapat hernia. Gejala umum berupa syok, oliguri dan gangguan elektrolit. Selanjutnya ditemukan
meteorismus dan kelebihan cairan di usus, hiperperistaltis berkala berupa kolik yang disertai mual dan muntah. Kolik
tersebut terlihat pada inspeksi perut sebagai gerakan usus atau kejang usus dan pada auskultasi sewaktu serangan kolik,
hiperperistaltis kedengaran jelas sebagai bunyi nada tinggi. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu kolik dan
setelah satu dua kali defekasi tidak ada lagi flatus atau defekasi. Pemeriksaan dengan meraba dinding perut bertujuan
untuk mencari adanya nyeri tumpul dan pembengkakan atau massa yang abnormal. Gejala permulaan pada obstruksi
kolon adalah perubahan kebiasaan buang air besar terutama berupa obstipasi dan kembung yang kadang disertai kolik
pada perut bagian bawah. Pada inspeksi diperhatikan pembesaran perut yang tidak pada tempatnya misalnya
pembesaran setempat karena peristaltis yang hebat sehingga terlihat gelombang usus ataupun kontur usus pada dinding
perut. Biasanya distensi terjadi pada sekum dan kolon bagian proksimal karena bagian ini mudah membesar.
Dengan stetoskop, diperiksa suara normal dari usus yang berfungsi (bising usus). Pada penyakit ini, bising usus mungkin
terdengar sangat keras dan bernada tinggi, atau tidak terdengar sama sekali.
Nilai laboratorium pada awalnya normal, kemudian akan terjadi hemokonsentrasi, leukositosis, dan gangguan elektrolit.
Pada pemeriksaan radiologis, dengan posisi tegak, terlentang dan lateral dekubitus menunjukkan gambaran anak tangga
dari usus kecil yang mengalami dilatasi dengan air fluid level. Pemberian kontras akan menunjukkan adanya obstruksi
mekanis dan letaknya. Pada ileus obstruktif letak rendah jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan rektosigmoidoskopi
dan kolon (dengan colok dubur dan barium in loop) untuk mencari penyebabnya. Periksa pula kemungkinan terjadi
hernia.
Pada saat sekarang ini radiologi memainkan peranan penting dalam mendiagnosis secara awal ileus obstruktifus secara
dini.
DIAGNOSIS BANDING
Pada ileus paralitik nyeri yang timbul lebih ringan tetapi konstan dan difus, dan terjadi distensi abdomen. Ileus paralitik,
bising usus tidak terdengar dan tidak terjadi ketegangan dinding perut. Bila ileus disebabkan oleh proses inflamasi akut,
akan ada tanda dan gejala dari penyebab primer tersebut. Gastroenteritis akut, apendisitis akut, dan pankreatitis akut
juga dapat menyerupai obstruksi usus sederhana.
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi.
Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan. Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang
suatu penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan.
Penderita penyumbatan usus harus di rawat di rumah sakit.
1. Persiapan
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi dan mengurangi distensi abdomen
(dekompresi). Pasien dipuasakan, kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan
umum. Setelah keadaan optimum tercapai barulah dilakukan laparatomi. Pada obstruksi parsial atau karsinomatosis
abdomen dengan pemantauan dan konservatif.
2. Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang
paling sering dilakukan adalah pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila :
- Strangulasi
- Obstruksi lengkap
- Hernia inkarserata
- Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan pemasangan NGT, infus, oksigen dan kateter)
3. Pasca Bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan elektrolit. Kita harus mencegah terjadinya gagal
ginjal dan harus memberikan kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah usus pasien masih dalam keadaan
paralitik.
KOMPLIKASI
Pada obstruksi kolon dapat terjadi dilatasi progresif pada sekum yang berakhir dengan perforasi sekum sehingga terjadi
pencemaran rongga perut dengan akibat peritonitis umum.
PROGNOSIS
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti umur, etiologi, tempat dan lamanya obstruksi. Jika umur
penderita sangat muda ataupun tua maka toleransinya terhadap penyakit maupun tindakan operatif yang dilakukan
sangat
rendah sehingga meningkatkan mortalitas. Pada obstruksi kolon mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi usus
halus.
Obstruksi yang terjadi karena suplai saraf otonom mengalami paralisis dan peristaltik usus terhenti sehingga tidak
mampu mendorong isi usus. Contohnya amiloidosis, distropi otot, gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, atau
gangguan neurologis seperti penyakit Parkinson.11
Ileus Obstruktif disebut juga Ileus Mekanis (Ileus Dinamik).15 Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan tidak dapat
diatasi oleh peristaltik baik sebahagian maupun total. Ileus obstruktif ini dapat akut seperti pada hernia stragulata atau
kronis akibat karsinoma yang melingkari.11,30,31
2.5. Klasifikasi Ileus Obstruktif
2.5.1. Menurut sifat sumbatannya
Menurut sifat sumbatannya, ileus obstruktif dibagi atas 2 tingkatan32 :
a) Obstruksi biasa (simple obstruction) yaitu penyumbatan mekanis di dalam lumen usus tanpa gangguan pembuluh
darah, antara lain karena atresia usus dan neoplasma
b) Obstruksi strangulasi yaitu penyumbatan di dalam lumen usus disertai oklusi pembuluh darah seperti hernia
strangulasi, intususepsi, adhesi, dan volvulus.
2.5.2. Menurut letak sumbatannya
Menurut letak sumbatannya, maka ileus obstruktif dibagi menjadi 2 : 33
a) Obstruksi tinggi, bila mengenai usus halus
b) Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar
a) Lesi ekstrinsik (ekstraluminal) yaitu yang disebabkan oleh adhesi (postoperative), hernia (inguinal, femoral, umbilical),
neoplasma (karsinoma), dan abses intraabdominal.
b) Lesi intrinsik yaitu di dalam dinding usus, biasanya terjadi karena kelainan kongenital (malrotasi), inflamasi (Chron’s
disease, diverticulitis), neoplasma, traumatik, dan intususepsi.
c) Obstruksi menutup (intaluminal) yaitu penyebabnya dapat berada di dalam usus, misalnya benda asing, batu empedu.
nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan
bakteriemia.23
Segera setelah timbulnya ileus obstruktif pada ileus obstruktif sederhana, distensi timbul tepat di proksimal dan
menyebabkan muntah refleks. Setelah mereda, peristaltik melawan obstruksi dalam usaha mendorong isi usus
melewatinya yang menyebabkan nyeri episodik kram dengan masa relatif tanpa nyeri di antara episode. Gelombang
peristaltik lebih sering timbul setiap 3 sampai 5 menit di dalam jejunum dan setiap 10 menit di didalam ileum. Aktivitas
peristaltik mendorong udara dan cairan melalui gelung usus, yang menyebabkan gambaran auskultasi khas terdengar
dalam ileus obstruktif. Dengan berlanjutnya obstruksi, maka aktivitas peristaltik menjadi lebih jarang dan akhirnya tidak
ada.27
Jika ileus obstruktif kontinu dan tidak diterapi, maka kemudian timbul muntah dan mulainya tergantung atas tingkat
obstruksi. Ileus obstruktif usus halus menyebabkan muntahnya lebih dini dengan distensi usus relatif sedikit, disertai
kehilangan air, natrium, klorida dan kalium, kehilangan asam lambung dengan konsentrasi ion hidrogennya yang tinggi
menyebabkan alkalosis metabolik. Berbeda pada ileus obstruktif usus besar, muntah bisa muncul lebih lambat (jika ada).
Bila timbul, biasanya kehilangan isotonik dengan plasma. Kehilangan cairan ekstrasel tersebut menyebabkan penurunan
volume intravascular, hemokonsentrasi dan oliguria atau anuria. Jika terapi tidak diberikan dalam perjalanan klinik,
maka dapat timbul azotemia, penurunan curah jantung, hipotensi dan syok.27
Pada ileus obstruktif strangulata yang melibatkan terancamnya sirkulasi pada usus mencakup volvulus, pita lekat, hernia
dan distensi. Disamping cairan dan gas
yang mendistensi lumen dalam ileus obstruksi sederhana, dengan strangulasi ada juga gerakan darah dan plasma ke
dalam lumen dan dinding usus. Plasma bisa juga dieksudasi dari sisi serosa dinding usus ke dalam cavitas peritonealis.
Mukosa usus yang normalnya bertindak sebagai sawar (penghambat) bagi penyerapan bakteri dan produk toksiknya,
merupakan bagian dinding usus yang paling sensitif terhadap perubahan dalam aliran darah. Dengan strangulasi yang
memanjang maka timbul iskemik dan sawar rusak. Bakteri (bersama dengan endotoksin dan eksotoksin) bisa masuk
melalui dinding usus ke dalam cavitas peritonealis.27
Disamping itu, kehilangan darah dan plasma maupun air ke dalam lumen usus cepat menimbulkan syok. Jika kejadian ini
tidak dinilai dini, maka dapat menyebabkan kematian.27
Ileus obstruktif gelung tertutup timbul bila jalan masuk dan jalan keluar suatu gelung usus tersumbat. Jenis ileus
obstruktif ini lebih bahaya dibandingkan ileus obstruksi yang lainnya, karena ia berlanjut ke strangulasi dengan cepat
sebelum terbukti tanda klinis dan gejala ileus obstruktif. Penyebab ileus obstruktif gelung tertutup mencakup pita lekat
melintasi suatu gelung usus, volvulus atau distensi sederhana. Pada keadaan terakhir ini, sekresi ke dalam gelung
tertutup dapat menyebabkan peningkatan cepat tekanan intalumen, yang menyebabkan obstruksi aliran keluar ke vena.
27
Ileus obstruktif kolon biasanya kurang akut (kecuali bagi volvulus) dibandingkan ileus obstruksi usus halus. Karena kolon
bukan organ pensekresi cairan dan hanya menerima sekitar 500 ml cairan tiap hari melalui valva ileocaecalis, maka tidak
timbul penumpukan cairan yang cepat. Sehingga dehidrasi cepat bukan suatu
bagian sindroma yang berhubungan dengan ileus obstruksi kolon. Bahaya paling mendesak karena obstruksi itu karena
distensi. Jika valva ileocaecalis inkompeten maka kolon terdistensi dapat didekompresi ke dalam usus halus. Tetapi jika
valva ini kompeten, maka kolon terobstruksi membentuk gelung tertutup dan distensi kontinu menyebabkan ruptura
pada tempat berdiameter terlebar, biasanya di sekum. Hal didasarkan atas hukum Laplace, yang mendefinisikan
tegangan di dalam dinding organ tubular pada tekanan tertentu apapun berhubungan langsung dengan diameter tabung
itu. Sehingga karena diameter kolon melebar di dalam sekum, maka area ini yang biasanya pecah pertama.27
Ileus Obstruktif
Akumulasi gas dan cairan di dalam lumen sebelah proksimal dari letak obstruksi
Distensi
Kehilangan H2O dan elektrolit
Proliferasi bakteri
yang berlangsung cepat
Tekanan intralumen
Volume ECF
Iskemia dinding usus
Kehilangan cairan menuju
ruang peritoneum
Pelepasan bakteri dari toksin dari usus yang nekrotik ke dalam peritoneum dan sirkulasi sistematik
Peritonitis septikemia
Syok Hipovolemik
Bagan 1. Patofisiologi Ileus Obstruktif 23
Klasifikasi Apendisitis
Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal.
Apendisitis purulenta difusi yaitu sudah bertumpuk nanah (Docstoc, 2010).
Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal.
Apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua (Docstoc, 2010).
2.1.3. Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen
apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya
apendisitis akut (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
2.1.4. Morfologi Apendisitis
Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrofil ditemukan di seluruh mukosa, submukosa, dan muskularis
propria. Pembuluh subserosa mengalami bendungan dan sering terdapat infiltrat neutrofilik perivaskular ringan. Reaksi
peradangan mengubah serosa yang normalnya berkilap menjadi membran yang merah, granular, dan suram. Perubahan
ini menandakan apendisitis akut dini bagi dokter bedah. Kriteria histologik untuk diagnosis apendisitis akut adalah
infiltrasi neutrofilik muskularis propria. Biasanya neutrofil dan ulserasi juga terdapat di dalam mukosa (Crawford, Kumar,
2007).
2.1.5. Patofisiologi
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit.
Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam
makanan yang rendah (Burkitt, Quick, Reed, 2007).
Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke
submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada
permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding
abdomen, menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, Quick, Reed, 2007).
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus.
Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis
atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus
oleh omentum, abses lokal akan terjadi (Burkitt, Quick, Reed, 2007).
2.1.6. Gambaran Klinis
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan
tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai
mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan
bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat
pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi (Sjamsuhidajat, De Jong,
2004).
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah
tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada
saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau
rektum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks
tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
2.1.7. Diagnosis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi
obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau
rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut
jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih
tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit,
kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses (Departemen
Bedah UGM, 2010).
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-
hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan
bawah:
• Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan
ini merupakan tanda kunci diagnosis.
• Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di
abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan
dalam di titik Mc. Burney.
• Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan
abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
• Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada
abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi
yang berlawanan.
• Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada
apendiks.
• Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian
dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium.
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado, yaitu:
Tabel 2.1. Skor Alvarado Skor
Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke 1
fossa iliaka kanan
Anoreksia 1
Mual atau Muntah 1
Nyeri di fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan temperatur (>37,5C) 1
Peningkatan jumlah leukosit ≥ 10 x 109/L 2
Neutrofilia dari ≥ 75% 1
Total 10
Pasien dengan skor awal ≤ 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.
2.1 Definisi
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan
demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu yang berada di
duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.1
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis kronik. Pembagian ini juga
berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut
pada kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan
sangat erat hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.1
2.2 Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan
iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di
duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa
adanya batu empedu. Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu yang
menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan drainase limfatik menurun dan menyebabkan
iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu,
kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi
inflamasi dan supurasi.1,2
Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan empedu, stasis empedu, dan infeksi
kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan
kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti
sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan
unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan
stasis. Faktor hormonal terutama pada kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih
lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan
deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu empedu
daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.4
Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa teori telah diajukan untuk
menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini. Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan
peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih mungkin terkena kolesistitis karena
meningkatnya viskositas empedu akibat demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral
dalam jangka waktu lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin untuk
kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan hasil dari tertahannya
empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan puasa yang berkepanjangan, kandung
empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung
empedu, sehingga empedu pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat
lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam patogenesis kolesistitis
akalkulus.5
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan endotoksin dalam menyebabkan
nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang luas, dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut
yang menyertai. Endotoksin juga menghilangkan respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga
menyebabkan stasis kandung empedu.5
2.3 Diagnosis
Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian atas yang bertahan dalam beberapa
jam hingga akhirnya mereka mencari pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut juga
sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan adanya demam. Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat
muncul, dan pada beberapa pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari
regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai
nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit
yang didapatkan sangat terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik) dan
tidak bisa menceritakan riwayat atau gejala yang muncul.6,7
Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan atas abdomen, dan seringkali teraba
massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran kanan atas saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang
berat yang menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda Murphy positif. Terdapat
tanda-tanda peritonitis lokal dan demam.6,7
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan kadar
C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien, ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST),
alanine aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di duktus biliaris.2,6,7
Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi (USG), computed tomography
scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran empedu. Pada USG, dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding
kandung empedu, adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat kontak antara probe USG dengan
abdomen kuadran kanan atas. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.1,7
Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu memperlihatkan adanya abses
perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat dengan pemeriksaan USG. Skintigrafi saluran empedu
mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99m Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih
rendah daripada USG dan juga lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya
gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut.1,3
Gambar 2.3 Koleskintigram normal9
Gambar 2.4 Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak adanya pengisian kandung empedu akibat
obstruksi duktus sitikus9
2.5 Komplikasi
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang tersumbat. Pasien dengan
empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan ditandai dengan lebih tingginya demam dan
leukositosis. Adanya empiema kadang harus mengubah metode pembedahan dari secara laparoskopik
menjadi kolesistektomi terbuka.
Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu berukuran besar yang keluar
dari kandung empedu dan menyumbat di ileum terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.
Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan adanya udara di dinding
kandung empedu akibat invasi organisme penghasil gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens,
dan Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes, lebih sering pada
laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%). Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan
perforasi, diperlukan kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.
Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis. 3
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan ada tidaknya komplikasi. Kolesistitis
tanpa komplikasi seringkali dapat diterapi rawat jalan, sedangkan pada pasien dengan komplikasi membutuhkan
tatalaksana pembedahan. Antibiotik dapat diberikan untuk mengendalikan infeksi. Untuk kolesistitis akut, terapi awal
yang diberikan meliputi mengistirahatkan usus, diet rendah lemak, pemberian hidrasi secara intravena, koreksi
abnormalitas elektrolit, pemberian analgesik, dan antibiotik intravena. Untuk kolesistitis akut yang ringan, cukup
diberikan terapi antibiotik tunggal spektrum luas. Pilihan terapi yang dapat diberikan:3
Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem. Pada kasus berat yang
mengancam nyawa direkomendasikan imipenem/cilastatin.
Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah dengan metronidazol.
Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.
Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin intravena.3
Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat jalan dengan syarat:
1. Tidak demam dan tanda vital stabil
2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.
3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.
4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi imunokompromis.
5. Analgesik yang diberikan harus adekuat.
6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas medik.
7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.3
Gambar 2.5 Algoritma penatalaksanaan kolesistitis akut8
2.7 Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh
dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut
berkembang menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum secara
cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada
pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca
bedah.1
BAB III
PANKREATITIS
Pankreatitis adalah suatu penyakit inflamasi pankreas yang identik menyebabkan nyeri perut dan terkait dengan
fungsinya sebagai kelenjar eksokrin, (meskipun pada akhirnya fungsi sebagai kelenjar endokrin juga terganggu akibat
kerusakan organ pankreas).
The Second International Symposium on The Classification of Pancreatitis, (Marseille,1980) membuat klasifikasi sebagai
berikut:
1.
Pankreatitis akut
Pankreatitis kronik
1. Obstruksi duktus pankreatikus. Penyebab tersering obstruksi adalah batu empedu kecil (microlithiasis) yang terjebak
dalam duktus. Sebab lain adalah karena plug protein (stone protein) dan spasme sfingter Oddi pada kasus pankreatitis
akibat konsumsi alkohol,
2. Stimulasi hormon cholecystokinin (CCK) sehingga akan mengaktivasi enzim pankreas. Hormon CCK terstimulasi akibat
diet tinggi protein dan lemak (hipertrigliseridemia) dapat juga karena alkohol,
3. Iskemia sesaat dapat meningkatkan degradasi enzim pankreas. Keadaan ini dapat terjadi pada prosedur operatif atau
karena aterosklerosis pada arteri di pankreas
Gangguan di sel asini pankreas akan diikuti dengan pelepasan enzim pankreas, yang selanjutnya akan merangsang sel-sel
peradangan (makrofag, neutrofil, sel-sel endotel, dsb) untuk mengeluarkan mediator inflamasi (bradikinin, platelet
activating factor [PAF]) dan sitokin proinflammatory (TNF-_, IL-1 beta, IL-6, IL-8 dan intercellular adhesive molecules
(ICAM 1) dan vascular adhesive molecules (VCAM) sehingga menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat,
teraktivasinya sistem komplemen dan ketidakseimbangan sistem trombo-fibrinolitik. Kondisi tersebut akhirnya memicu
terjadinya gangguan mikrosirkulasi, stasis mikrosirkulasi, iskemia dan nekrosis sel-sel pankreas. Kejadian di atas tidak
saja terjadi lokal di pankreas tetapi dapat pula terjadi di jaringan/organ vital lainnya sehingga dapat menyebabkan
komplikasi lokal maupun sistemik.
Dengan kata lain pankreatitis akut dimulai oleh adanya keadian yang menginisiasi luka kemudian diikuti kejadian
selanjutnya memperberat luka, yang dapat digambarkan secara lebih jelas pada skema di bawah ini (Gambar 3.1). .
Secara ringkas progresi pankreatitis akut dapat dibagi menjadi 3 fase berurutan, yaitu:
1.
inflamasi lokal pankreas,
Berat ringannya pankreatitis akut tergantung dari respons inflamasi sistemik yang diperantarai oleh keseimbangan
sitokin proinflammatory dan antiinflammatory, dan ada tidaknya infeksi baik lokal maupun sistemik. Pada keadaan
dimana
sitokin proinflammatory lebih dominan daripada sitokin antiinflammatory (IL-10, IL-1 receptor antagonist (IL- 1ra) dan
soluble TNF receptor (sTNFR) keadaan yang terjadi adalah pankreatitis akut berat.
C.
Klasifikasi
Bradley membagi pankreatitis berdasarkan fisiologik, tes laboratorium, dan parameter klinis menjadi:
Pankreatitis Akut Ringan; Biasanya tidak disertai komplikasi atau disfungsi organ
Pankreatitis Akut Berat; disertai gangguan fungsi pankreas, terjadi komplikasi lokal atau sistemik
Pankreatitis akut berat dapat didefinisikan sebagai pankreatitis akut yang disertai dengan gagal organ dan atau dengan
komplikasi lokal (pembentukan abses, nekrosis dan pseudocyst). Menurut klasifikasi Atlanta, pankreatitis akut
dikategorikan sebagai pankreatitis akut berat apabila memenuhi beberapa kriteria dari 4 kriteria:
1. Gagal organ, apabila dijumpai satu atau lebih, adanya: syok (tekanan sistolik <90 mmHg), insufisiensi pulmonal (PaO2
<60 mmHg), gagal ginjal (kreatinin >2 mg/dl),perdarahan gastrointestinal (>500 ml/24 jam);
2. Komplikasi lokal, seperti: pseudocyst, abses atau pankreatitis nekrotika;
3. Kriteria Ranson, paling tidak dijumpai 3 dari 11 kriteria (tabel 3);
4. APACHE II, paling tidak nilai skor >8 (tabel 3).
Pankreatitis Akut Nekrosis Hemoragik. Secara makroskopik, tampak nekrosis jaringan pankreas (lemak di tepi pankreas,
parenkim) disertai perdarahan dan inflamasi yang dapat mengisi ruang retroperitoneal. Bila penyakit berlanjut, tampak
abses dan timbulnya bakteri di jaringan nekrosis yang berdinding (abses purulen). Secara mikroskopik, adanya nekrosis
lemak dan jaringan pankreas, kantong infiltrat yang meradang dan berdarah. Pembuluh darah di dalam dan di sekitar
daerah nekrotik menunjukkan kerusakan mulai dari inflamasi perivaskular, vaskulitis, dan trombosis pembuluh darah.
Bentuk pankreatitis ini lebih fatal dibanding pankreatitis akut interstisial
D. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat bersifat lokal maupun sistemik, komplikasi lokal meliputi kumpulan cairan akut,
nekrosis,abses, dan pseudosit (kumpulan getah pankreas dan pecahan jaringan yang selaputi dengan dinding berserat
atau jaringan berbentuk granul) yang berkembang sekitar 4 – 6 minggu setelah serangan awal. Abses pankreatik
biasanya merupakan infeksi sekunder dari
nekrosis jaringan atau pseudosit dan terkait dengan keparahan penyakit. Kematian biasanya disebabkan nekrosis infeksi
dan sepsis. Asites pankreatik terjadi ketika sekresi pankreas menyebar ke rongga peritoneal.
Komplikasi sistemik meliputi gangguan kardiovaskular, renal, pulmonary, metabolik, hemoragik, abnormalitas sistem
saraf pusat. Shock adalah penyebab utama kematian. Hipotensi terjadi akibat hipovolemia, hypoalbuminemia, da rilis
kinin serta sepsis. Komplikasi renal biasanya disebabkan hipovolemia. Komplikasi pulmonary berkembang ketika terjadi
akumulasi cairan diantara rongga pleura dan menekan paru, acute respiratory distress syndrome (ARDS) ini akan
menahan pertukaran gas, yang dapat menyebabkan hipoksemia. Pendarahan gastrointestinal terjadi akibat ruptur
pseudosit. Pankreatitis akut berat biasanya diserta kebingungan dan koma.
Zhu et al, melaporkan frekuensi terjadinya gagal organ pada pasien dengan pankreatitis akut berat: gagal organ multipel
(27%), gagal respirasi (46%), gagal ginjal (16,2%), gagal jantung (17,6%), gagal hati (18,9%) dan perdarahan saluran cerna
(10,8%), dengan angka mortalitas akibat gagal organ multipel sebesar 45%. Lebih jelasnya bagaimana komplikasi dapat
terjadi diperlihatkan pada Tabel 3.3 dan Gambar 3.2.
Tabel 3.3 Mekanisme terjadinya komplikasi pankreatitis akut berat
epigastrium, dapat men- jalar ke punggung, kadang-kadang ke perut bagian bawah, nyeri berlanngsung beberapa hari.
Gejala lain yakni mual, muntah-muntah dan demam.
Pada pemeriksaan jasmani didapatkan nyeri tekan di perut bagian atas, tanda-tanda peritonitis lokal, kadang-kadang
bahkan peritonitis umum.
F.
Diagnosis
Diagnosis: yang paling tepat adalah histologi pankreas, jika tidak diagnosis berdasarkan faktor etiologi, gejala, tes
laboratorium, dan imaging technology.
a.
Tes Laboratorium
Amylase
.
Total serum amylase adalah tes yang paling sering digunakan.
Nilainya meningkat pada 6 - 12 jam setelah onset of symptoms dan tetap tinggi selama 3 - 5 hari pd kebanyakan kasus,
kembali normal setelah 8-14 hari. Jika tetap tinggi kemungkinan terjadi nekrosis pankreas dan komplikasi lain
Lipase
Serum lipase assays, spesifik untuk pankreas. Peningkatan Level serum lipase bertahan lebih lama dibanding amilase
.
Tes Lain
Serum immunoreactive cationic trypsin, elastase, dan phospholipase A2 ,trypsin activation peptide dan serum anionic
trypsinogen
Diagnosis urin: rasio amylase dan creatinine clearance ratio (Cam/Ccr) tidak memberikan keuntungan
Hypocalcemia terjadi pada lebih dari 30% pasien akibat kombinasi hypoalbuminemia dan pengendapa kalsium di area
nekrosis lemak.
Berbagai jenis pemeriksaan laboratorium tersebut memiliki sensitivitas yang beragam yang dapat dilihat pada Gambar
3.3.
.
Pemeriksaan foto rontgen perut standar bisa memperlihatkan pelebaran usus atau memperlihatkan satu atau lebih batu
empedu.
Pemeriksaan USG bisa menunjukkan adanya batu empedu di kandung empedu dan kadang-kadang dalam saluran
empedu, selain itu USG juga bisa menemukan adanya pembengkakan pankreas.
.
CT scan bisa menunjukkan perubahan ukuran dari pankreas dan digunakan pada kasus-kasus yang berat dan kasus-kasus
dengan komplikasi (misalnya penurunan tekanan darah yang hebat).
ERCP (tehnik sinar X yang menunjukan struktur dari saluran empedu dan saluran pankreas) biasanya dilakukan hanya
jika penyebabnya adalah batu empedu pada saluran empedu yang besar.
Endoskopi dimasukkan melalui mulut pasien dan masuk ke dalam usus halus lalu menuju ke sfingter Oddi. Kemudian
disuntikkan zat warna radioopak ke dalam saluran tersebut. Zat warna ini terlihat pada foto rontgen. Bila pada rontgen
tampak batu empedu, bisa dikeluarkan dengan menggunakan endoskop.
G. Indikator Keparahan
a. Menurut kriteria prognostik Ranson
Saat masuk RS
1.
Usia >55 tahun
Lekosit >16000/mL
1.
PO2 arteri <60 mmHg
BUN meningkat >1.8 mmol/L (>5 mg%) setelah pemberian cairan i.v.
Hipoalbuminemia <3.2 g%
3.2
PANKREATITIS KRONIK
Pankreatitis kronik merupakan peradangan pankreas menahun yang biasanya menyebabkan kerusakan struktur dan
fungsi pankreas. Pada kebanyakan pasien bersifat irreversible. Terjadi kerusakan permanen sehingga menyebabkan
gangguan fungsi eksokrin dan endokrin.
A.
Etiologi
Di Amerika Serikat, penyebab paling sering dari pankreatitis kronis adalah alkoholisme. Penyebab lainnya adalah faktor
keturunan dan penyumbatan saluran pankreas yang disebabkan oleh penyempitan saluran atau kanker pankreas.
Pankreatitis akut jarang menyebabkan penyempitan pada saluran pankreas yang akan mengarah pada terjadinya
pankreatitis kronis. Pada banyak kasus, penyebab pankreatitis kronis tidak diketahui. Di negara-negara tropis (Indonesia,
India, Nigeria), pankreatitis kronis dengan sebab yang tidak diketahui yang terjadi pada anak-anak dan dewasa muda,
bisa menyebabkan diabetes dan penumpukan kalsium di pankreas. Keseluruhan penyebab pankreatitis kronik
ditunjukkan
pada Tabel 3.4.
B. Patofisiologi
Sebagian besar kasus pankreatitis kronis disebabkan oleh alkohol, tetapi mekanisme pasti bagaimana alkohol
menyebabkan pankreatitis kronis belu diketahui. Sepertinya alkohol menginduksi pankreatitis bermula dari inflamasi
yang berkembang menjadi nekrosis selular dengan tahapan seperti yang ditunjukkan pada skema di bawah ini (Gambar
3.4).
Gambar 3.4 Patogeneis alkohol menginduksi Pankreatitis kronis
Kerusakan jaringan pankreas menyebabkan berkurangnya sekresi enzim pankreas dan hormon-hormon seperti insulin.
Malabsorpsi lemak dan protein terjadi jika sekresi enzim berkurang sampai 90%
C. Manifestasi Klinis
Gejala pankreatitis kronis umumnya terbagi dalam dua pola. Yang pertama, penderita mengalami nyeri perut bagian
tengah yang menetap, yang beratnya bervariasi. Yang kedua, penderita mengalami episode pankreatitis yang hilang
timbul, dengan gejala yang mirip dengan pankreatitis akut ringan sampai sedang. Nyerinya kadang-kadang berat dan
berlangsung selama beberapa jam atau beberapa hari.
Pada kedua pola tersebut, sejalan dengan perkembangan penyakitnya, sel-sel yang menghasilkan enzim pencernaan,
secara perlahan mengalami kerusakan, sehingga akhirnya rasa nyeri tidak timbul. Dengan menurunnya jumlah enzim
pencernaan, makanan tidak diserap secara optimal, dan penderita akan
mengeluarkan tinja yang banyak dan berbau busuk. Tinja bisa berwarna terang dan berminyak dan bahkan bisa
mengandung tetesan-tetesan minyak. Gangguan penyerapan juga menyebabkan turunnya berat badan.
Secara ringkas, terdapat empat gejala klasik pada pankreatitis kronis, yaitu:
.
Nyeri perut
Malabsorpsi
Diabetes
D. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala atau adanya riwayat pankreatitis akut. Pemeriksaan darah kurang bermanfaat
dalam mendiagnosis pankreatitis kronis, tetapi bisa menunjukan adanya peningkatan kadar amilase dan lipase.
Pemeriksaan darah juga dapat digunakan untuk mengetahui kadar gula darah , yang mungkin akan meningkat.
Foto rontgen perut dan pemeriksaan USG bisa menunjukan adanya batu pada pankreas. Endoskopi pankreatografi
retrograd (tehnik sinar X yang memperlihatkan struktur dari saluran pankreas) bisa memperlihatkan saluran yang
melebar, penyempitan saluran atau batu pada saluran. CT scan bisa memperlihatkan adanya perubahan ukuran, bentuk
dan tekstur dari pankreas.
Malabsorpsi lemak dapat diketahui dengan sudan staining pada feses. Pemeriksaan adanya kalsifikasi, steatorrhea, dan
diabetes dikenal sebagai diagnosis triad. Biopsi jaringan pankreas melalui laparoskopi atau laparotomi adalah cara
terbaik untuk menegaskan diagnosis pankreatitis kronik. Jika tidak
ada sampel histologi, teknik imaging sangat membantu mendeteksi kalsifikasi, penyebab nyeri lainnya, dan untuk
membedakan pankreatitis kronik dengan kanker pankreas.
BAB IV
MANAJEMEN TERAPI PANKREATITIS
4.1 PANKREATITIS AKUT
Tujuan pengobatan adalah menghentikan proses peradangan dan antodigesti atau menstabilkan sedikitnya keadaan
klinis sehingga memberi kesempatan resolusi penyakit. Pasien pankreatitis menerima terapi suportif yang teridiri dari
kontrol nyeri secara efektif, penggantian cairan, dan nutrisi pendukung. Oleh karena itu manajemen pankreatitis akut,
biasanya terdiri dari:
§
Manajemen Cairan
§
Nutrisi Pendukung
Selain itu dapat juga dilakukan intervensi radiologi dan ERCP atau terapi bedah. Manajemen terapi yang diberikan
tersebut dibagi dalam terapi farmakologi dan non farmakologi.
A. Terapi Non Farmakologi
a. Nutrisi Pendukung
Pemberian nutrisi pendukung dilakukan untuk mengistirahatkan saluran cerna sehingga mengurangi stimulasi terhadap
pankreas juga karena terjadinya malnutrisi. Malnutrisi diakibatkan metabolisme pada pasien dengan pankreatitis
akut berat menyerupai keadaan sepsis, yang ditandai dengan hiperdinamik, hipermetabolik, dan hiperkatabolik.
Dalam beberapa tahun lalu pemberian nutrisi yang direkomendasikan adalah nutrisi parenteral melalui vena sentral. Hal
ini didasarkan pada pemikiran bahwa pemberian nutrisi per-oral akan merangsang produksi enzim pankreas sehingga
justru akan memperberat penyakit. Namun seiring dengan penelitian klinis konsep telah berubah, justru sebaiknya
nutrisi diberikan secara enteral.
Berdasarkan penelitian, pemberian nutrisi parenteral dapat mengakibatkan:
1. Atrofi jaringan limfoid usus (GALT/gut associated lymphoid tissue) yang merupakan sumber utama imunitas mukosa,
2. Terganggunya fungsi limfosit Sel T dan sel B, menurunnya aktivitas kemotaksis leukosit dan fungsi fagositosis sehingga
memudahkan pertumbuhan bakteri (bacterial overgrowth),
3. Meningkatnya permeabilitas dinding usus yang dapat mempermudah terjadinya translokasi bakteri, endotoksin, dan
antigen masuk ke dalam sirkulasi.
Pemberian nutrisi enteral berdasarkan penelitian lebih menguntungkan karena:
1. Dapat melindungi fungsi barrier usus,
2. Menurunkan produksi mediator proinflamatori sehingga risiko translokasi bakterial dan endotoksin menurun.
Nutrisi yang diberikan secara oral, nasogatrik maupun melalui duodenum dapat meningkatkan produksi enzim pankreas.
Namun nutrisi enteral melalui nasojejunal tube (NJT) tidak merangsang produksi enzim. Hal ini dibuktikan oleh Zhao et
al, pada pasien dengan pankreatitis akut berat, pemberian nutrisi enteral dikombinasi dengan nutrisi parenteral vs
dengan nutrisi parenteral saja
disimpulkan: kadar TNF-_, IL-6, kadar CRP lebih rendah pada kelompok nutrisi enteral, dan kadar enzim pankreas tidak
terpacu dengan pemberian nutrisi enteral.
Nutrisi enteral diberikan segera setelah dilakukan resusitasi cairan, dapat diberikan 48 jam pertama bila kondisi sudah
stabil, dan tidak ada kontraindikasi seperti: adanya syok, perdarahan gastrointestinal masif, obstruksi intestinal, fistula
jejunum atau enteroparalisis berat. Ada tiga alternatif pemberian nutrisi enteral pada pankreatitis akut berat:
(1) nasojejunal tube,
(2) gastrostomy/jejunostomy tube,
(3) jejunostomi secara bedah.
Pemberian secara NJT lebih terpilih karena lebih aman, non-invasif dan lebih mudah dikerjakan dengan bantuan
endoskopi/fluoroskopi.
b. Intervensi radiologi dan ERCP
Mengangkat batu empedu dengan ERCP atau pembedahan biasanya dapat mengatasi Pankreatitis akut dan mencegah
kambuh kembali. Meskipun demikian pada saat ini terapi pankreatitis akut berat telah bergeserdari tindakan
pembedahan awal ke perawatan intensif agresif. Seiring dengan berkembangnya radiologi dan endoskopi intervensi,
tindakan bedah dapat diminimalisasi.
Tindakan ERCP, drainase endoskopis dan perkutaneus baik dengan panduan USG maupun CT scan dapat diindikasikan
pada komplikasi pankreatitis berat seperti: timbunan cairan peripankreatik, pseudocyst dan abses lambat. Pseudocyst
yang didefinisikan sebagai adanya timbunan cairan yang menetap
lebih dari 4 minggu, terjadi akibat rupturnya duktus pankreatikus dapat didrainase secara endoskopis dengan
keberhasilan sekitar 83%.
Batu empedu yang bermigrasi dan terjebak di ampula merupakan penyebab tersering pankreatitis akut (acute biliary
pancreatitis). Batu empedu ditemukan pada tinja sebesar 85-95% pada pasien yang menderita pankreatitis akut. ERCP
merupakan prosedur endoskopik untuk mengevaluasi sistem bilier dan sistem duktus pankreatikus. Beberapa studi
membuktikan bahwa ERCP yang dilakukan pada 24–72 jam dari onset klinis pada pasien pankreatitis akut berat yang
terbukti dengan obstruksi bilier, kolangitis dan peningkatan bilirubin dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Pasien yang menjalani ERCP seringkali dikombinasi dengan tindakan sfingterotomi endoskopis tanpa memandang
ada/tidaknya batu di duktus biliaris. Pada pasien dengan kolangitis memerlukan tindakan sfingterotomi endoskopis atau
drainase duktus dengan stent perlu dilakukan untuk menghilangkan obstruksi bilier.
c.
Terapi Bedah
Tindakan bedah diindikasikan pada pankreatitis akut berat:
1. Pankreatitis nekrotik akut terinfeksi,
2. Pankreatitis nekrotik steril dengan pankreatitis akut fulminan (ditandai dengan menurunnya kondisi pasien akibat
gagal organ multipel yang muncul dalam beberapa hari sejak onset gejala),
3. Pankreatitis akut dengan perdarahan usus.
Tujuan tindakanbedah adalah untuk membersihkan jaringan nekrotik sebersih mungkin dengan menyisakan jaringan
pankreas yang masih viabel.
Tindakan debridement (necrotomy) merupakan gold standard pada pankreatitis nekrosis akut terinfeksi dan nekrosis
peripankreatik. Pankreatitis nekrotik akut steril tidak perlu tindakan bedah, cukup konservatif kecuali terjadi pankreatitis
akut fulminan. Berdasarkan penelitian, dari 172 pasien dengan nekrosis steril mortalitas terjadi sebanyak 13,1% pada
kelompok yang menjalani pembedahan dibandingkan yang konservatif hanya 6,2%. Tindakan bedah dilakukan pada
minggu ke 3-4 setelah onset gejala karena intervensi pada minggu awal meningkatkan risiko mortalitas >65% karena
komplikasi pulmonal/kardial.
B. Terapi Farmakologi
a. Manajemen Nyeri
Untuk mengatasi nyeri perut diberikan analgesik. Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam memilih analgetik
adalah efikasi dan keamanan. Dahulu tritmen biasanya diawali dengan pemberian meperidine secara parenteral (50-100
mg tiap 3-4 jam), karena tidak mengakibatkan pankreatitis. Sekarang ini, banyak rumah sakit yang membatasi atau
malah tidak menggunakannya lagi karena tidak seefektif narkotik lainnya dan dikontraindikasikan pada pasien gangguan
ginjal. Selain kurang efekif, juga dibutuhkan dosis dan frekuensi yang lebih tinggi. Hal yang terpenting adalah bahwa
metabolit aktif meperidine berakumulasi pada pasien gagal ginjal dan dapat menyebabkan kejang atau psikosis.
Parenteral morfin lebih direkomendasikan. Tetapi penggunaannya terkadang harus dihindari karena dapat
menyebabkan spasm sphincter of Oddi, meningkatkan serum amylase, dan (jarang) pankreatitis. Hidromorfon lebih
disukai karena memiliki waktu paruh yang lebih panjang. Belum ada bukti bahwa obat antsekretori dapat mencegah
eksaserbasi nyeri perut.
b. Pembatasan Komplikasi Sistemik Dan Pencegahan Nekrosis Pankres
.
Manajemen Cairan
Penggantian cairan dan suport sistem pernafasan, kariovaskular, hepatobiliary dapat mengurangi komplikasi. Meskipun
belum ada bukti metode untuk mencegah komplikasi, terdapat hubungan erat antara hemokonsentrasi dengan nekrosis
pankreas. Oleh karena itu penggantian cairan sangat penting utuk mengkoreksi volume intravaskular. Selain itu
prognosis pasien sangat tergantung dengan restorasi cairan yang cepat dan adekuat, sesuai dengan jumlah cairan yang
masuk ke rongga peritoneal. Pasien pankreatitis akut mungkin terjadi penyisipan cairan 4-12 L ke rongga peritoneal
akibat inflamasi.
Vasodilatasi akibat respons inflamasi, muntah, dan nasogastrik juga menyebabkan hypovolemia dan kehilangan cairan
dan elektrolit. Pada pankreatitis berat pembuluh darah di dan sekitar pankreas mungkin ruptur dan menyebabkan
perdarahan. Pemberian koloid secara intravena mungkin diperlukan untuk mempertahankan volume dan tekanan darah
karena kehilangan cairan kaya protein.
Obat-obatan
Sejumlah obat diteliti efikasinya dalam mencegah komplikasi pankreas diantaranya adalah:
pertumbuhan bakteri yang sangat besar akibat perubahan motilitas tersebut dan imunosupresi akan meningkatkan
kontaminasi pankreas oleh translokasi bakteri pada pasien pankreatitis akut berat.
Pemberian antibiotika profilaksis pada pankreatitis nekrotika akut masih kontroversial. Salah satu keberatannya adalah
meningkatnya resistensi mikroba dan risiko meningkatnya infeksi nosokomial akibat organisme nonenterik. melaporkan
pemberian antibiotika awal pada pasien yang mengalami nekrosis pankreas akut dengan cefuroxime 4,5 g/hari
dibandingkan dengan plasebo dapat menurunkan mortalitas dan risiko sepsis (p=0,01).
Untuk efektivitas pengobatan antibiotika yang diberika adalah antibiotika broad spectrum yang dapat menembus barier
sehingga mencapai tempat infeksi, seperti metronidazole, cefotaxime, piperacillin, mezlocillin,ofloxacin, and
ciprofloxacin. Apabila diberikan secara profilaktik disarankan lama pemberian berkisar antara 7-14 hari.
Pemeriksaan aspirasi jarum halus yang dipandu dengan USG/CT scan sebaiknya dilakukan untuk membedakan nekrosis
pankreas akut bersifat steril atau terinfeksi dan melakukan kultur dan sensitivitas sebagai pedoman pemberian
antibiotika yang tepat. Aspirasi jarum halus relatif aman dan memberikan hasil yang akurat, dengan tingkat sensitivitas
dan spesifisitas untuk menegakkan nekrosis pankreas terinfeksi sebesar masing masing 90% dan 96%.
d.
Pankreatitis Post-ERCP
Pankreatitis yang terjadi akibat trauma setelah ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography) biasanya
ringan dan dapat sembuh
sendiri. Jika memerlukan pengobatan yang diberikan adalah Somatostatin dan gabexate
Tetapi pereda nyeri golongan narkotik, masih sering diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri. Bila penderita terus
menerus merasakan nyeri dan tidak ada komplikasi, biasanya dokter menyuntikan penghambat nyeri ke saraf pankreas
sehingga rangsangannya tidak sampai ke otak. Bila cara ini gagal, mungkin diperlukan pembedahan. Jika saluran
pankreasnya melebar, pembuatan jalan pintas dari pankreas ke usus halus, akan mengurangi rasa nyeri pada sekitar 70-
80% penderita. Jika salurannya tidak melebar, sebagian dari pankreas mungkin harus diangkat. Bila kepala pankreas
terkena, bagian ini diangkat bersamaan dengan usus dua belas jari. Pembedahan ini dapat mengurangi nyeri pada 60-
80% penderita.
Dengan meminum tablet atau kapsul yang mengandung ekstrak enzim pankreas pada saat makan, dapat membuat tinja
menjadi kurang berlemak dan memperbaiki penyerapan makanan, tapi masalah ini jarang dapat teratasi. Bila perlu,
larutan antasid atau penghambat H2 dapat diminum bersamaan dengan enzim pankreas. Dengan pengobatan tersebut,
berat badan penderita biasanya akan meningkat, buang air besarnya menjadi lebih jarang, tidak lagi terdapat tetesan
minyak pada tinjanya dan secara umum akan merasa lebih baik.
Jika pengobatan diatas tidak efektif, penderita dapat mencoba mengurangi asupan lemak. Mungkin juga dibutuhkan
tambahan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K).
turunnya testis (buah zakar) dari perut ke dalam skrotum (kantung zakar) sesaat sebelum bayi dilahirkan
2.1.3. Etiologi Hernia inguinalis
Biasanya tidak ditemukan sebab yang pasti, meskipun kadang sering di hubungkan dengan angkat berat. Hernia
inguinalis lateralis dapat terjadi karena anomaly congenital atau sebab yang didapat, hernia inguinalis lateralis dapat di
jumpai pada semua usia, lebih banyak pada pria dari pada wanita. Berbagai faktor penyebab berperan pada
pembentukan pintu masuk pada annulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantong dan isi hernia.
Disamping itu diperlukan pula faktor yang dapat mendorong isi hernia untuk melewati pintu yang cukup lebar tersebut.
Faktor yang dipandang berperan kausal adalah, adanya prosesus vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan dalam
rongga perut dan kelemahan otot dinding perut karena usia (karnadihardja, 2005)
Proses turunnya testis mengikuti prosesus vaginalis, pada neonatus kurang lebih 90% prosesus vaginalis tetap terbuka,
sedangkan pada bayi umur satu tahun sekitar 30% prosesus vaginalis belum tertutup. Tapi kejadian hernia inguinalis
lateralis pada anak usia ini hanya beberapa persen. Umumnya disimpulkan bahwa adanya prosesus vaginalis yang patent
bukan merupakan penyebab tunggal terjadinya hernia inguinalis lateralis, tetapi diperlukan faktor lain, seperti anulus
inguinalis yang cukup besar (karnadihardja, 2005)
Sebagian besar tipe hernia inguinalis adalah hernia inguinalis lateralis, dan laki-laki lebih sering terkena dari pada
perempuan (9:1), hernia dapat terjadi pada waktu lahir dan dapat terlihat pada usia berapa pun. Insidensi pada bayi
populasi umum 1% dan pada bayi-bayi prematur dapat mendekati 5 %, hernia inguinal dilaporkan kurang lebih 30%
kasus terjadi pada bayi laki-laki dengan berat badan 1000 gr atau kurang.
Pada orang yang sehat, ada tiga mekanisme yang dapat mencegah terjadinya hernia inguinalis, yaitu kanalis inguinalis
yang berjalan miring, adanya struktur muskulus oblikus internus abdominis yang menutup anulus inguinalis internus
ketika berkontraksi dan adanya fasia transversa yang kuat yang menutupi
trigonum Hasselbach yang umumnya hampir tidak berotot. Gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan
terjadinya hernia inguinalis lateralis. (Jong, 2004).
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hernia inguinalis lateralis, antara lain: kelemahan aponeurosis
dan fasia tranversalis, prosesus vaginalis yang terbuka (baik kongenital maupun didapat), tekanan intra abdomen yang
meninggi secara kronik, hipertrofi prostat, konstipasi, dan asites, kelemahan otot dinding perut karena usia, defisiensi
otot, dan hancurnya jaringan penyambung oleh karena merokok, penuaan atau penyakit sistemik. (Jong, 2004 dan
Schwartz, 2000).
2.1.4. Klasifikasi Hernia Inguinalis
Hernia inguinalis indirek, disebut juga hernia inguinalis lateralis, karena keluar dari rongga peritoneum melalui annulus
inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh epigastrika inferior, kemudian hernia masuk kedalam kanalis
inguinalis, dan jika cukup panjang, menonjol keluar dari annulus inguinalis ekternus. Apabial hernia inguinalis lateralis
berlanjut, tonjolan akan sampai ke skrotum, ini disebut hernia skrotalis. Kantong hernia berada dalam muskulus
kremaster terlatak anteromedial terhadap vas deferen dan struktur lain dalam funikulus spermatikus. Pada anak hernia
inguinalis lateralis disebabkan oleh kelainan bawaan berupa tidak menutupnya prosesus vaginalis peritoneum sebagai
akibat proses penurunan testis ke skrotum (karnadihardja, 2005)
Hernia inguinalis indirek (lateralis) merupakan bentuk hernia yang paling sering ditemukan dan diduga mempunyai
penyebab kongenital. (Snell, 2006).
Hernia inguinalis lateralis adalah hernia yang melalui anulus inguinalis internus yang terletak di sebelah lateral vasa
epigastric inferior, menyusuri kanalis inguinalis dan keluar dari rongga perut melalui anulus inguinalis eksternus.
(Mansjoer, 2000).
Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus. Pada bulan ke-8 kehamilan, terjadi desensus testis melalui kanal
tersebut. Penurunan testis tersebut akan menarik peritonium ke daerah skrotum sehingga terjadi penonjolan
peritoneum yang disebut prosesus vaginalis peritonei. Pada bayi yang sudah lahir, umumnya prosesus ini sudah
mengalami obliterasi sehingga isi rongga perut tidak dapat melalui kanalis tersebut. Namun dalam beberapa hal, sering
kali kanalis ini tidak menutup. Karena testis kiri turun lebih dahulu maka kanalis kanan lebih sering terbuka. Dalam
keadaan normal kanalis yang terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan. (Mansjoer, 2000).
Bila prosesus terbuka terus (karena tidak mengalami obliterasi), akan timbul hernia inguinalis kongenital. Pada orang
tua, kanalis tersebut telah menutup namun karena lokus minoris resistensie maka pada keadaan yang menyebabkan
peninggian tekanan intra abdominal meningkat, kanal tersebut dapat terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis
lateralis akuisita. (Mansjoer, 2000).
.
( gambar 1)
Penampilan khas seorang bayi dengan hernia inguinalis lateralis kanan. Kantung buah zakar kanan diperbesar dan berisi
loop gamblang dan cairan usus.
Hernia inguinalis direk, disebut juga hernia inguinalis medialis, menonjol langsung kedepan melalui segitiga Hesselbach,
daerah yang dibatasi ligamentum inguinal dibagian inferior, pembuluh epigastrika inferior dibagian lateral dan tepi otot
rektus dibagian medial. Dasar segitiga hasselbach dibentuk oleh fasia transversal yang diperkuat oleh serat aponeurisis
m.tranversus abdominis yang kadang-kadang tidak sempurna sehingga daerah ini potensial untuk menjafi
lemah. Hernia medialis, karena tidak keluar melalui kanalis inguinalis dan tidak keskrotum, umumnya tidak disertai
strangulasi karena cincin hernia longgar (karnadihardja, 2005)
Hernia inguinalis direk terjadi sekitar 15% dari semua hernia inguinalis. Kantong hernia inguinalis direk menonjol
langsung ke anterior melalui dinding posterior kanalis inguinais medial terhadap arteria, dan vena epigastrika inferior,
karena adanya tendo conjunctivus (tendo gabungan insersio musculus obliquus internus abdominis dan musculus
transversus abdominis) yang kuat, hernia ini biasanya hanya merupakan penonjolan biasa, oleh karena itu leher kantong
hernia lebar. (Snell, 2006).
Hernia inguinalis direk jarang pada perempuan, dan sebagian besar bersifat bersifat bilateral. Hernia ini merupakan
penyakit pada laki-laki tua dengan kelemahan otot dinding abdomen. (Snell, 2006).
2.1.5. embriologi dan patogenesis
mayoritas hernia inguinalis pada anak adalah hernia inguinalis lateralis akibat dari prosesus vaginalis yang patent. Pada
janin gonad mulai berkembang selama 5 minggu kehamilan, ketika sel benih primordial berpindah dari kantung telur
(yolk sac) ke rigi gonad. Gubernakulum ligamentosa terbentuk dan turun pada salah satu sisi abdomen pada kutub
inferior gonad dan melekat pada permukaan dalam lipatan labium-skrotum. Selama perjalanan turun, gubernakulum
melalui dinding anterior abdomen pada tempat cincin inguinalis interna dan kanalis inguinalis. Prosesus vaginalis
merupakan penonjolan di vertikulum peritoneum yang terbentuk tepat sebelah ventral gubernakulum dan berherniasi
melalui dinding abdomen dengan gubernakulum kedalam kanalis inguinalis. Testis yang pada mulanya terletak didalam
rigi urogenital di retroperitoneum, turun ke daerah cincin dalam pada sekitar umur kehamilan 28 minggu. Penurunan
testis melalui kanalis inguinalis diatur oleh hormon androgen dan faktor mekanis (meningkatkan tekanan abdomen),
testis turun kedalam skrotum pada umur kehamilan 29 minggu. Setiap testis turun melalui kanalis inguinalis eksterna ke
prosesus vaginalis (shochat, 2000).
Ovarium juga turun kedalam pelvis dari rigi urogenital tetapi tidak keluar dari rongga abdomen. Bagian kranial
gubernakulum berdiferensiasi menjadi ligamentum ovarii, dan bagian inferior gubernakulum menjadi ligamentum teres
uteri, yang masuk melalui cincin dalam, ke dalam labia mayor, prosesus vaginalis pada anak wanita meluas kedalam
labia mayor melalui kanalis inguinalis, yang juga dikenal sebagai kanal nuck (shochat, 2000).
Selama beberapa minggu terakhir kahamilan atau segera setelah, lapisan prosesus vaginalis secara normal berfusi
bersama dan berobliterasi masuk ke dalam saluran inguinal di sekitar cincin interna. Kegagalan obliterasi mengakibatkan
berbagai anomali inguinal. Kegagalan total obliterasi akan menghasilkan hernia inguinalis total. Obliterasi distal dengan
bagian distal patensi akan menghasilkan hernia inguinalis lateralis (shochat, 2000)
(gambar 2)
2.1.6. Manifestasi Klinis
Hernia inguinalis lateralis biasanya terlihat sebagai benjolan pada daerah inguinal dan meluas ke depan atau ke dalam
skrotum. Kadang-kadang, anak akan datang dengan bengkak skrotum tanpa benjolan sebelumnya pada daerah inguinal.
Orang tuanya biasanya sebagai orang pertama yang melihat benjolan ini, yang mungkin muncul hanya saat menangis
atau mengejan. Selama tidur atau apabila pada keadaan istirahat atau santai, hernia menghilang spontan tanpa adanya
benjolan atau pembesaran skrotum. Riwayat bengkak pada pangkal paha, labia, atau skrotum berulang-ulang yang
hilang secara spontan adalah tanda klasik untuk hernia inguinalis lateralis (shochat, 2000)
Pemeriksaan fisik akan menunjukkan benjolan inguinal pada setinggi cincin interna atau eksterna atau pembengkakan
skrotum yang ukurannya dapat berkurang atau berfluktuasi. Cara klasik memeriksa hernia inguinalis orang dewasa
dengan menempatkan jari telunjuk pada kanalis inguinalis, yang sebenarnya pada bayi tidak perlu dilakukan, dan
ternyata bisa menyebabkan perasaan tidak enak. Hal ini karena cincin interna dan eksterna pada dan anak paralel.
Hernia inguinalis lateralis dapat diketahui dengan meletakkan bayi tidur telentang dengan kaki lurus dan tangan diatas
kepala. Posisi. Posisi ini dapat menyebabkan bayi menangis menangis, dan dapat meningkatkan tekanan intra abdomen
dan akan memperlihatkan benjolan di tuberkulum pubis (cincin eksterna) atau pembengkakan di dalam skrotum. Anak
yang lebih tua dapat diperiksa dengan berdiri, yang juga akan meningkatkan tekanan intra abdomen dan
memperlihatkan hernia tersebut. Testis yang retraksi sering terjadi pada bayi dan anak-anak daan bisa menyerupai
hernia inguinalis dengan benjolan di atas cincin eksterna. Karena itu sangat penting meraba testis sebelum meraba
benjolan inguinal. Hal ini akan memungkinkan diferensiasi antara keduanya dan menghindari tindakan bedah yang tidak
perlu (shochat, 2000).
Pada diagnosa yang sulit, pemeriksaan rektum bisa membantu membedakan kelainan pangkal paha akut, pemeriksa
awalnya memeriksa cincin interna pada sisi yang tidak terlihat dan kemudian dapat mengusapkan jari telunjuk atau jari
kelima ke cincin interna pada daerah yang terlibat. Pada kasus
dengan hernia inguinalis lateralis organ dalam abdomen bisa di palpasi secara menyeluruh melalui cincin interna. Cara
ini sangat mebantu dalam membedakan hernia inkarserasi dengan hidrokel tali akut atau kelainan linguinal lain seperti
adenitis inguinalis (shochat, 2000)
Kadang sulit membedakan hernia inguinalis total dengan hidrokel murni. Dua keadaan ini biasanya dapat di bedakan
dengan anamnesis yang cermat. Pada bayi dengan hernia inguinalis total pembengkakan skrotum bervariasi selam satu
hari, biasanya cukup besar apabila bayi menangis atau mengejan, dan menghilang atau kembali menjadi kecil selama
relaksasi. Hidrokel murni tidak berubah besarnya selam sehari tetapi bisa secara bertahap menghilang selama usia tahun
pertama. Hidrokel dan hernia inguinalis total ini keduanya tembus pandang dan mungkin sulit dibedakan satu sama lain
karena kadang-kadang hernia inguinalis total tidak dapat berkurang secara manual karena penyempitan di dalam kanalis
inguinalis kecil. Pada keadaan ini, anamnesis sangat di perlukan untuk melakukan operasi. Pada beberapa keadaan anak
dengan hernia inguinalis, benjolan inguinal atau pembengkakan skrotum mungkin tidak ada pada saat pemeriksaan fisik,
dan satu-satunya temuan mungkin penebalan funikulus spermatikus dengan disertai tanda ”sutra”. Tanda sutra ini di
dapat dengan meraba funikulus spermatikus di atas tuberkulum pubis. Dua lapisan peritoneum yang melekat satu sama
lain akan terasa seperti sutra. Tanda sutra yang di temukan, serta anamnesis yang baik dapat membantu mendiagnosis
hernia ingunalis. Kadang-kadang, kandung kemih yang penuh akan mengoklusi cincin inguinal eksterna sehingga henia
tidak dapat ditunjukkan. Pengosongan kandung kencing mungkin membantu pada keadaan ini (shochat, 2000).
Sejumlah keadaan disertai dengan kenaikan risiko terjadinya hernia inguinalis lateralis. Meningkatnya insiden hernia
inguinalis lateralis terlihat pada keluarga dengan riwayat keluarga positif hernia inguinalis lateralis, kistik fibrosis,
dislokasi pinggul kongenital, testis tidak turun, kelamin tidak jelas (shochat, 2000).
Bayi wanita dengan hernia inguinalis lateralis seharusnya dicurigai menderita feminisasi testikuler, karena lebih dari 50%
penderita dengan
feminisasi testikuler akan menderita hernia inguinalis. Sebaliknya, insiden feminisasi testikuler pada wanita sulit
ditentukan tetapi ada sekitar 1%. Diagnosis feminisasi testikuler dapat di buat pada saat operasi dengan mengenali
kelainan gonad dalam kantung hernia atau dengan melakukan pemeriksaan rektum, dengan meraba uterus. Pada bayi
wanita normal, uterus dengan mudah diraba sebagai struktur linea mediana yang terpisah di bawa simfisis pubis pada
pemeriksaan rektum (shochat, 2000)
2.1.7. Tatalaksana
Terapi pililihan untuk hernia inguinalis lateralis adalah operasi, karena hernia inguinalis lateralis tidak bisa sembuh
secara spontan. Operasi ini harus segera dilakukan secera elektif setelah diagnosis di tentukan, karena akan beresiko
tinggi terjadinya inkarserata di kemudian hari setelah terutama selama tahun pertama kehidupan. Perbaikan elektif
hernia inguinalis lateralis dapat dilakukan pada penderita rawat jalan (shochat, 2000).
Ada kontroversi tentang kapan dilakukan eksplorasi pangkal paha kontralateral pada bayi dan anak dengan hernia
inguinalis lateralis unilateral. Insiden prosesus vaginalis yang terbuka sekitar 60% pada bayi 2 bulan dan sekitar 40%
pada umur 2 tahun. Prosesus vaginalis yang terbuka di temukan pada 30% populasi umum. Setelah perbaikan hernia
unilateral pada anak, hernia kontralateral menjadi 30% kasus. Jika perbaikan unilateral pada sisi kiri, peluang terjadinya
hernia sisi kanan 40%, kemungkinan karena penurunan testis pada sisi kanan lebih lambat. Resiko terjadinya inkarserata
lebih tinggi pada anak umur 1 tahun tahun, biasanya terjadi pada umur 6 bulan (shochat, 2000).
Berdasarkan data ini, kebanyakan ahli bedah anak menganjurkan eksplorasi inguinal bilateral pada semua anak laki-laki
kurang dari 1 tahun, anak wanita dengan umur kurang dari 2 tahun. Anak laki-laki dan wanita yang datang dengan hernia
inguinalis sisi kiri beresiko terjadi hernia kontralateral dan harus dilakukan eksplorasi sisi kanan, (shochat, 2000).
Manual reduction hernia inguinalis lateralis yang terinkarserasi dapat dilakukan setelah bayi tenang, bayi dalam posisi
trendelenburg, dengan
menggunakan kantong es diletakkan pada posisi yang terserang. Ini di kontraindikasikan pada inkarserasi yang lebih dari
12 jam atau adanya buang air besar bercanpur darah (stool), (shocat, 2000).
Pembedahan efektif untuk hernia inguinalis lateralis di anjurkan pada saat kondisi anak dalam keadaan baik, dan koreksi
pada sisi asimptomatis sering dilakukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun, terutama pada perempuan.
Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya, kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan
kalau ada perlekatan kemudian direposisi. Kantong diajahit-ikat setinggi mungkin lalu dipotong (karnadihardja, 2005).
Pada herniaplastik dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis
inguinalis (karnadihardja, 2005).
Strangulasi di tangani dengan nasogastric suction, rehisdrasi, perbaikan defisiensi elektrolit, dan operasi dapat di lakukan
setelah kondisi pasien stabil.
2.1.8. komplikasi
Komplikasi hernia inguinalis lateralis bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia. Isi hernia dapat tertahan
dalam kantong hernia inguinalis lateralis, pada hernia ireponibel: ini dapat terjadi kalau isi hernia terlalu besar, misalnya
terdiri atas omentum, organ ekstraperitoneal atau merupakan hernia akreta. Di sini tidak timbul gejala klinis kecuali
benjolan. Dapat pula terjadi isi hernia tercekik oleh cincin hernia sehingga terjadi hernia strangulata/ inkarserasi yang
menimbulkan gejala obstruksi usus yang sederhana. Bila cincin hernia sempit, kurang elastis, atau lebih kaku seperti
pada hernia hernia femoralis dan hernia obturatoria, lebih sering terjadi jepitan parsial. (Jong, 2004 ; Girl dan Mantu,
1992).
Jepitan cincin hernia inguinalis lateralis akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan isi hernia. Pada permulaan terjadi
bendungan vena sehingga terjadi udem organ atau struktur di dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong hernia.
Timbulnya udem menyebabkan jepitan pada cincin hernia makin
bertambah sehingga akhirnya peredaran darah jaringan terganggu. Isi hernia menjadi nekrosis dan kantong hernia akan
berisi transudant berupa cairan serosanguinus. Kalau isi hernia terdiri usus, dapat terjadi perforasi yang akhirnya dapat
menimbulkan abses lokal, fistel, atau peritonitis jika terjadi hubungan dengan rongga perut. (Wim de Jong, 2004). Akibat
penyumbatan usus terjadi aliran balik berupa muntah-muntah sampai dehidrasi dan shock dengan berbagai macam
akibat lain. (Girl dan Mantu, 1992).
Hernia inkarserata inai dapat terjadi apabila isi kantong hernia tidak dapat kembali lagi ke rongga abdomen. Organ yang
terinkarserasi biasanya usus, yang ditandai dengan gejala obstruksi usus, yang disertai muntah, perut kembung,
konstipasi, dan terlihat adanya batas udara-air pada saat foto polos abdomen. Setiap anak dengan gejala obstruksi usus
yang tidak jelas sebabnya harus dicurigai hernia inkarseta. Pada anak wanita organ yang sering terinkarserasi adalah
ovarium. Apabila aliran darah ke dalam organ berkurang, terjadilah hernia strangulasi, yang menjadi indikasi pasti untuk
operasi (shochat, 2000)
2.1.9. prognosis
Prognosis hernia inguinalis lateralis pada bayi dan anak sangat baik. Insiden terjadinya komplikasi pada anak hanya
sekitar 2%. Insiden infeksi pascah bedah mendekati 1%, dan recurent kurang dari 1%. Meningkatnya insiden recurrent
ditemukan bila ada riwayat inkarserata atau strangulasi (shochat, 2000)