42
Maret 2004
Maret 2004
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menggambarkan keragaan agribisnis cabai merah, (2)
menganalisis nilai tukar penerimaan, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar penerimaan,
(4) nilai tukar barter komoditas cabai merah, dan (5) dampak kebijaksanaan pembangunan
pertanian terhadap nilai tukar komoditas cabai merah. Penelitian dilakukan di Kecamatan
Wanasari, Kabupaten Brebes Jawa Tengah, pada bulan Juli-Agustus 2000. Pengambilan contoh
dilakukan secara acak berlapis (berdasarkan strata pemilikan/ penggarapan lahan) dengan jumlah
responden sebanyak 60 petani, dan menggunakan metode survai. Analisis data menggunakan
konsep nilai tukar penerimaan dan nilai tukar barter untuk mengukur nilai tukar komoditas
pertanian, serta metode regresi sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) dari hasil
analisis biaya dan pendapatan, usahatani cabai merah layak secara ekonomi untuk
dikembangkan dalam skala yang lebih luas; (2) nilai tukar penerimaan terhadap sarana produksi
lebih kecil dibanding dengan nilai tukar penerimaan terhadap tenaga kerja, berarti tingkat
pengeluaran untuk pembelian sarana produksi lebih tinggi dibanding untuk membayar upah
tenaga kerja; (3) faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar penerimaan berupa (a) faktor
internal, yaitu tingkat penerapan teknologi budidaya cabai merah, penggunaan sarana produksi,
tingkat produktivitas dan posisi tawar petani yang lemah; serta (b) faktor eksternal, yaitu sistem
pasar yang sangat menentukan harga jual cabai merah; (4) pada periode 1992-2000, nilai tukar
barter terhadap pupuk Urea dan beras relatif lebih tinggi dibanding dengan nilai tukar barter
terhadap upah, makanan dan non-makanan; (5) perkembangan harga cabai merah mengikuti
perkembangan tingkat inflasi, sehingga harga riil yang diterima petani cenderung meningkat.
Kata kunci : cabai merah, nilai tukar, penerimaan, barter
ABSTRACT
The objectives of the research were to: (1) describe chili agribusiness performance, (2)
analyze return terms of trade, (3) influencing factors on return terms of trade, (4) chili terms of
trade and (5) identify impact of agricultural development on farmer’s terms of trade and chili terms
of trade. The study was conducted in Wanasari Sub-district, Brebes District, Central Java District
in July-August 2000. Survey method with stratified random sampling based on land holding and
ownership stratification was applied in this research. The collected data were analyzed by
applying return terms of trade and barter terms of trade methods to measure commodity terms of
trade while simple regression was also applied to measure impact of agricultural development on
prices. The study revealed the following items: (1) the R/C ratio showed that the chili farming
would be more beneficial if it was developed in a larger scale; (2) return terms of trade on
production inputs was smaller compared to that of return terms of trade on labor, this meant that
the expenditure for purchasing production inputs was higher compared to that of labor wage; (3)
influencing factors on return terms of trade were as follows: (a) internal factors such as level of
adopted chili farming technology, production input used, productivity level and farmer’s weak
bargaining position; (b) external factor such as market system; (4) during 1992-2000, the barter
terms of trades of urea and rice were relatively higher than that of food and non-food; (5) chili price
growth was in line to inflation growth rate.
Key words : chili, terms of trade, return, barter
1
PENDAHULUAN
2
dan nilai tukar komoditas adalah: (1) bagaimana kekuatan nilai tukar penerimaan dari
setiap kelompok masyarakat di pedesaan, antara petani berlahan sempit dan berlahan
luas, serta (2) apa dan bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar dari
setiap kelompok masyarakat tertentu.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menggambarkan keragaan agribisnis cabai
merah, (2) menganalisis nilai tukar penerimaan komoditas cabai merah, (3) menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar penerimaan komoditas cabai merah, (4)
menganalisis nilai tukar barter komoditas cabai merah, dan (5) menganalisis dampak
kebijaksanaan pembangunan pertanian terhadap nilai tukar petani dan nilai tukar
komoditas cabai merah.
Kerangka Pemikiran
Penelaahan terhadap nilai tukar pertanian dan nilai tukar komoditas pertanian di
tingkat petani tidak terlepas dari pengkajian terhadap kegiatan petani/rumah tangga
petani yang berkaitan dengan upaya petani/rumah tangga petani dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang mencakup perolehan pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi. Jika proporsi pendapatan rumah tangga petani dari sektor
pertanian dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya, maka nilai tukar pertanian
relatif besar. Sebaliknya jika proporsi pendapatan dari pertanian relatif kecil, maka nilai
tukar pertanian relatif kecil. Dengan demikian kekuatan nilai tukar pertanian tersebut
sangat berkaitan dengan peran pertanian dalam pendapatan rumah tangga petani.
Perbedaan peran pertanian tersebut berbeda menurut kelompok petani, yaitu antara
petani berlahan luas, petani berlahan sempit dan buruh tani.
Selain skala pemilikan penguasaan lahan, proporsi pendapatan dari sektor
pertanian juga dipengaruhi oleh tingkat profitabilitas usaha pertanian, kekuatan-kekuatan
yang bekerja di pasar dan kebijaksanaan pemerintah. Berarti nilai tukar pertanian terben-
tuk oleh mekanisme yang kompleks berkaitan dengan sistem permintaan, penawaran
dan kebijaksanaan. Pembentukan harga tersebut tidak hanya ditentukan oleh sektor per-
tanian, namun juga perilaku sektor diluar pertanian baik sektor riil, fiskal dan moneter
(Killick, 1983; Timmer et al., 1983). Hal ini diperkuat oleh Anwar et al., (1980) bahwa
kebijaksanaan harga pemerintah juga berpengaruh terhadap nilai tukar, misalnya
kebijaksanaan harga beras. Dengan menentukan harga dasar dan harga tertinggi beras
akan berpengaruh negatif terhadap nilai tukar hasil pertanian terutama kebijaksanaan
3
yang berorientasi pada kepentingan konsumen komoditas pertanian atau masyarakat
kota.
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu
mencakup:
(1) Nilai Tukar Penerimaan/Pendapatan (NTI) Komoditas Pertanian merupakan daya
ukur dari nilai hasil komoditas pertanian yang dihasilkan petani per unit (hektar)
terhadap nilai korbanan untuk memproduksi hasil tersebut.
NTI = PxQx/ PyQy
dimana : Px = harga pertanian; Py = harga non pertanian
Qx = volume produk pertanian; Qy = volume produk non pertanian
NTI menggambarkan tingkat profitabilitas dari usahatani komoditas tertentu. Namun
demikian NTI hanya menggambarkan nilai tukar dari komoditas tertentu, belum
mencakup keseluruhan komponen pendapatan petani dan pengeluaran petani.
(2) Nilai Tukar Barter Komoditas Pertanian
Dalam penelitian ini nilai tukar barter di dekomposisi terhadap harga makanan, non-
makanan, beras, pupuk urea dan tingkat upah.
a. Nilai tukar komoditas i terhadap makanan (NTP-KiMAK) merupakan nisbah
antara harga yang diterima petani komoditas i, yaitu harga komoditas i (HKi)
terhadap harga makanan (HMAK),
NTP - Ki MAK = HKi/HMAK;
b. Nilai tukar komoditas i terhadap non-makanan (NTP-KiNMAK), merupakan nisbah
antara harga yang diterima petani komoditas i yaitu harga komoditas i (HKi)
terhadap harga non-makanan (HNMAK),
NTP-Ki NMAK = HKi / HNMAK
c. Nilai tukar komoditas i terhadap input produksi (NTP-KiINPUT, merupakan nisbah
antara harga yang diterima petani komoditas i yaitu harga komoditas i (HKi)
terhadap harga input (HINPUT),
NTP-Ki INPUT = HKi / HINPUT
Sebagai input produksi adalah pupuk urea dan tenaga kerja.
(3) Pembentukan Harga
Dalam penelitian ini, dampak kebijaksanaan pertanian diukur melalui harga
komoditas tingkat produsen. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga yang diterima
petani dapat dirumuskan sebagai berikut:
4
HKOMjt = f (PRKOMjt, INFt)
Dimana: HKOMjt = harga komoditas j pada waktu t
PRKOMjt = produksi komoditas j waktu t
INFt = inflasi waktu t (diproksi dengan IHK pedesaan).
Subsistem Produksi
Secara umum petani di lokasi contoh telah mengetahui teknik budidaya cabai
merah. Usahatani cabai merah dilakukan di sawah irigasi dengan sistem tumpangsari
dengan bawang merah. Terjadi kecenderungan semakin sempit luas lahan garapan
maka biaya yang diperlukan untuk pembelian bibit semakin besar. Hal ini disebabkan
5
kekhawatiran petani terhadap resiko kegagalan, sehingga petani beranggapan bahwa
semakin banyak bibit yang digunakan, semakin tinggi produksi yang dicapai.
Penggunaan tenaga sangat terkait dengan cara penanaman yang dibedakan dalam dua
cara. Cara pertama, melalui persemaian (biji ditanam di lahan lain) yang memerlukan
waktu antara 25-30 hari. Cara tersebut memerlukan curahan tenaga untuk menyemai,
mencabut tanaman dan memindahkan tanaman untuk selanjutnya ditanam pada lahan
sawah (sekitar 23 HOK/ha) dengan sistem tumpangsari dengan bawang merah yang
telah berumur 30 hari. Cara kedua, biji cabai yang digunakan sebagai benih langsung
ditanam dengan sistem tumpangsari dengan bawang merah yang baru berumur 30 hari
(TK yang diperlukan hanya 5 HOK/ha). Pada Tabel 1 ditampilkan rincian rata-rata
penggunaan sarana produksi dan produktivitas usahatani cabai merah per hektar di
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah pada MK-I 2000.
Tabel 1. Rata-rata penggunaan sarana produksi dan produktivitas cabai merah per hektar di
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, MK-I 2000.
- Pemeliharaan
DK 10-15 17-49 20-53
LK 35-62 37-49 55-67
- Panen dan angkut
DK - 17-31 29-63
LK 20-55 35-46 24-43
5. Sewa tanah (Rp000) 750-1000 1000-2150 887-1200
II. Produktivitas (ku/ha) 19-23 15-30 12-22
6
Dari hasil analisis biaya dan pendapatan usahatani cabai merah per hektar
(Tabel 2), tampak bahwa nilai R/C untuk strata luas lahan garapan ≥ 0,5 ha, (0,25 - <0,5)
ha dan < 0,25 ha bernilai >1,00 berarti usahatani cabai merah di lokasi contoh layak
secara ekonomi untuk dikembangkan dalam skala yang lebih luas.
Tabel 2. Analisis biaya dan pendapatan usahatani cabai merah per hektar di Kabupaten
Brebes, Jawa Tengah, MK-I 2000
Sistem Pemasaran
Komoditas cabai merah dipasarkan dalam bentuk segar tanpa ada proses
pengolahan. Petani menjual produknya kepada pedagang tingkat desa yang biasa
menjadi pelanggannya, meskipun tidak tertutup kemungkinan petani menjual produknya
secara bebas. Dalam hal ini harga beli di tingkat pedagang ditentukan oleh pedagang
sehingga posisi petani terlihat lemah. Terutama pada petani yang telah terikat hutang
permodalan kepada pedagang, sehingga produk cabai merah yang dihasilkan harus
dijual kepada pedagang yang bersangkutan. Cara pembayaran dilakukan 1-2 hari
kemudian setelah barang laku dijual oleh pedagang. Petani pada waktu menyerahkan
barang hanya diberi nota oleh pedagang yang berisi catatan mengenai jumlah barang,
harga dan nilai. Cara ini biasanya dilakukan oleh pedagang yang telah memberikan
hutang permodalan kepada petani. Bagi petani yang tidak terikat hutang kepada
pedagang, dapat bebas menjual kepada siapapun dan mencari pedagang yang berani
membeli dengan harga yang lebih tinggi dan umumnya dibayar secara tunai pada saat
transaksi. Namun terdapat kecenderungan harga beli di semua pedagang pengumpul di
tingkat desa (lokasi contoh) sama.
7
Pada saat petani menjual produknya dalam jumlah relatif sedikit (<25 kg), maka
petani akan membawa hasil panen ke tempat pedagang (“lampak”). Bila hasil panen
terlihat banyak (>25 kg), maka petani akan mendatangi pedagang dan menyampaikan
bahwa cabai yang ditanam akan dipanen. Pedagang akan memberikan karung dan hasil
panen akan diambil oleh tenaga yang diupah pedagang, sehingga biaya panen dan
pengangkutan tidak dibebankan petani.
Dari Gambar 1 terlihat bahwa rantai pemasaran dari mulai produsen (petani)
sampai pada konsumen relatif pendek. Mengingat cabai merah dipasarkan dalam bentuk
segar, mudah busuk sehingga harus cepat didistribusikan karena tidak dapat disimpan
lama. Pemasaran cabai merah yang berasal dari Brebes hanya terbatas memasok
wilayah Jawa (seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang dan Tegal).
Pedagang besar yang ada di Kabupaten Brebes juga memperoleh pasokan cabai
merah dari Jawa Timur. Pada waktu panen raya ketersediaan cabai merah melimpah,
sehingga pedagang pengumpul tingkat kecamatan dan pedagang besar memasok cabai
merah ke perusahaan pengolahan untuk dikeringkan.
Petani
Pedagang Pengumpul
Tingkat Desa
Pedagang Pengumpul
Tingkat Kecamatan
Pedagang Besar
Tingkat Kabupaten
8
Harga cabai merah di pasaran terlihat fluktuatif seperti halnya komoditas
hortikultura lainnya. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh faktor musim dan tingkat
serangan hama/penyakit. Ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan juga
merupakan faktor penentu harga. Sebagai gambaran, pada bulan Agustus 2000 harga
cabai merah di tingkat petani Rp 3000,00/kg dan cabai hijau Rp 1.000,00/kg. Sementara
harga cabai merah di tingkat pedagang pengecer Rp 3.500,00/kg sedangkan cabai hijau
Rp 1.750,00/kg. Analisis terhadap pemasaran cabai merah (di tingkat pedagang
pengecer) ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisis pemasaran cabai merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Agustus 2000
Nilai tukar penerimaan (NTP) merupakan ratio antara penerimaan dari suatu
komoditas terhadap biaya produksi yang dikeluarkan. NTP dapat digunakan sebagai
indikator untuk melihat kinerja usahatani cabai merah.
9
NTP terhadap sarana produksi lebih kecil dibanding tenaga kerja (Tabel 4). Indikasi ini
menggambarkan bahwa usahatani cabai merah merupakan usahatani padat modal
dengan tingkat pengeluaran untuk pembelian saprodi lebih tinggi dibanding untuk
membayar upah tenaga kerja yang dihitung berdasarkan HOK. Selisih upah antara
tenaga kerja pria dan wanita sebesar Rp 2.500,00/ HOK dengan jumlah jam kerja yang
sama. Alokasi biaya untuk tenaga kerja yang relatif lebih rendah dibanding pembelian
sarana produksi disebabkan tanaman cabai merah merupakan tanaman tumpangsari
dengan bawang merah, sehingga biaya pemeliharaan lebih banyak diperuntukkan
tanaman bawang merah.
Tabel 4. Analisis biaya usahatani cabai merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, MK-2000
Luas garapan
Uraian
≥ 0,5 ha (0,25-< 0,5) ha < 0,25 ha
I. Biaya (Rp 000) 4.764 6.222 3.955
1. Sarana produksi 2.018 2.789 1.564
- Bibit 180 193 260
- Pupuk 908 1.752 948
- Obat-obatan 930 844 356
2. Tenaga kerja 1.216 1.845 1.389
3. Sewa tanah 1.550 1.588 915
4. Pengairan - - 87
II. Penerimaan (Rp 000) 8.250 8.855 6.829
R/C 1,72 1,42 1,73
III. Nilai tukar penerimaan
1. Terhadap sarana prod. 4,09 3,18 4,37
2. Terhadap bibit 45,83 45,88 26,27
3. Terhadap pupuk 9,09 5,05 7,20
4. Terhadap obat-obatan 8,87 10,49 19,18
5. Terhadap tenaga kerja 6,78 4,80 4,92
Dari hasil dekomposisi NTP terhadap sarana produksi, tampak bahwa NTP
terhadap bibit, pupuk dan obat-obatan bervariasi berdasarkan luas lahan garapan.
Namun demikian terdapat kecenderungan yang sama bahwa NTP terhadap bibit relatif
lebih tinggi dibanding terhadap pupuk dan obat-obatan. Hal ini mengindikasikan bahwa
pada semua strata lahan garapan, petani relatif memperhatikan faktor-faktor yang dapat
meningkatkan produksi termasuk upaya mempertahankan tanaman dari serangan
hama/penyakit. Semakin luas lahan garapan, NTP terhadap obat-obatan cenderung
semakin kecil, artinya intensitas serangan hama/penyakit pada lahan garapan ≥ 0,5 ha
10
lebih tinggi dibanding lahan garapan (0,25 - < 0,5) ha dan < 0,25 ha, sehingga biaya
yang dikeluarkan juga semakin besar.
Sementara faktor eksternal merupakan faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh
petani, seperti halnya musim, serangan hama/penyakit, mekanisme pasar yang sulit
diprediksi petani, modal yang dimiliki petani dan resiko kegagalan panen yang
sepenuhnya ditanggung petani. Selama ini posisi tawar petani yang lemah menyebabkan
petani menerima harga jual, yang semata-mata keputusannya ditentukan oleh pedagang.
Kesamaan harga cabai merah yang ditawarkan pedagang-pedagang tingkat desa
mengakibatkan petani tidak mempunyai pilihan dalam mencari alternatif harga jual yang
lebih tinggi, sehingga terjadi kecenderungan untuk menjual produknya pada pedagang
yang sama. Terlebih lagi pada petani dengan luas lahan garapan < 0,25 ha bersikap
lebih pasif dibandingkan petani dengan luas lahan garapan ≥ 0,5 ha, karena cabai merah
yang dihasilkan lebih sedikit. Disamping itu sifat kondisi cabai yang mudah busuk dan
selama ini petani belum berinisiatif untuk melakukan pengolahan cabai merah,
merupakan faktor penekan harga jual yang diperoleh petani. Hal ini perlu mendapat
perhatian karena NTP sangat ditentukan oleh harga jual yang diterima petani.
Nilai tukar barter merupakan ratio antara harga komoditas pertanian terhadap
harga sarana produksi dan barang konsumsi. Dalam kajian ini, nilai tukar barter
komoditas cabai merah dihitung berdasarkan ratio antara harga cabai merah terhadap
harga pupuk Urea, tingkat upah, harga makanan, harga non-makanan dan beras. Berarti
nilai tukar barter cabai merah menggambarkan tingkat daya tukar harga cabai merah
terhadap sarana produksi dan barang konsumsi.
Pada periode 1992-2000 nilai tukar barter cabai merah terhadap pupuk Urea di
Propinsi Jawa Tengah, terlihat berfluktuasi (Tabel 5). Dari tahun 1996-1997, di Propinsi
11
Jawa Tengah cenderung terjadi penurunan nilai tukar barter yang relatif tajam. Hal ini
kemungkinan terjadi karena meningkatnya harga pupuk Urea sebagai dampak dari
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, sehingga beberapa harga
saprodi mengalami kenaikan harga untuk mengimbangi terjadinya kenaikan biaya
produksi. Sementara itu, nilai tukar barter cabai merah terhadap upah di Jawa Tengah
relatif lebih rendah dibanding pupuk Urea. Daya tukar harga cabai merah terhadap
makanan di Propinsi Jawa Tengah juga menunjukkan adanya fluktuasi, pada tahun
1992-1994 cenderung meningkat, berarti harga cabai merah meningkat lebih tinggi
dibanding harga makanan.
Tabel 5. Perkembangan nilai tukar barter cabai merah di Jawa Tengah, 1992-2000
2000 - - - - 4,59
Sumber : Badan Pusat Statistik (data diolah)
Adapun daya tukar harga cabai merah terhadap harga non-makanan di Jawa
Tengah menunjukkan pola yang sama. Artinya terjadi kecenderungan pada petani cabai
merah dalam mengkonsumsi non-makanan lebih tinggi harganya dibanding dengan
harga jual cabai merah, sehingga perolehan nilai tukar barter cabai merah relatif kecil.
Fenomena ini merupakan suatu indikator bahwa petani cabai merah di Jawa Tengah
telah banyak dipengaruhi oleh promosi produk non-makanan yang pada dekade tersebut
telah gencar merambah ke daerah pedesaan melalui media elektronik, baik radio
maupun televisi.
12
Nilai tukar barter cabai merah terhadap beras tampak berfluktuasi, namun secara
keseluruhan harga cabai merah selalu lebih tinggi daripada harga beras. Adanya
intervensi pemerintah terhadap kebijakan perberasan ikut mempengaruhi nilai tukar
barter komoditas pertanian lain terhadap beras.
13
menunjukkan bahwa di Jawa Tengah, peningkatan produksi mengakibatkan penurunan
harga secara nyata. Jawa Tengah termasuk sebagai salah satu sentra produksi dan
cabai merah merupakan komoditas yang mudah rusak, sehingga peningkatan produksi
secara langsung akan menurunkan harga.
Tabel 6. Nilai dugaan regresi dan faktor-faktor yang mempengaruhi harga cabai merah
tingkat produsen
Intercept 12,9502***
Produksi -0,5868***
Adj. R2 0,6467
Keterangan: *** = Nyata pada tingkat kepercayaan 99%
Kesimpulan
1. Dari hasil analisis biaya dan pendapatan, usahatani cabai merah di Kecamatan
Wanasari, Kabupaten Brebes layak secara ekonomi untuk dikembangkan dalam
skala yang lebih luas.
2. Nilai tukar penerimaan terhadap sarana produksi lebih kecil dibanding dengan nilai
tukar penerimaan terhadap tenaga kerja, berarti tingkat pengeluaran untuk pembelian
sarana produksi lebih tinggi dibanding untuk membayar upah tenaga kerja.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar penerimaan berupa (1) faktor internal,
yaitu tingkat penerapan teknologi budidaya cabai merah, penggunaan sarana
produksi, tingkat produktivitas dan posisi tawar petani yang lemah; serta (2) faktor
eksternal, yaitu sistem pasar yang sangat menentukan harga jual cabai merah.
14
4. Pada periode 1992-2000, nilai tukar barter terhadap pupuk Urea dan beras relatif
lebih tinggi dibanding dengan nilai tukar barter terhadap upah, makanan dan non-
makanan.
Implikasi Kebijaksanaan
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, E., F. Kasryno, S. Ibrahim dan B. Bachtiar. 1980. Laporan Hasil Penelitian Studi
Kebijaksanaan Nilai Tukar Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi
bekerjasama dengan Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Biro Pusat Statistik. 1989. Nilai Tukar Petani Jawa Madura (1983=100) dan sepuluh propinsi di
Luar Jawa (1987=100).
Hadi, PU., H. Mayrowani, Supriyati dan Sumedi. 2000. Reviev dan Outlook Pengembangan
Komoditas Hortikultura. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perspektif
Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Bogor, 9-10 Nopember
2000.
15
Killick, T. 1981. Policy Economics. A Textbook of Applied Economics on Developing Countries.
The English Language Book Society.
Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Propinsi Dati I Jawa
Tengah Semarang.
Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Kabupaten Dati II Brebes.
Brebes.
Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian. Jurnal Agro
Ekonomi, 11 (1): 37-50.
Sudaryanto, T., Prayogo U. Hadi, SH. Susilowati dan E. Suryani. 1999. Perkembangan
Kebijaksanaan Harga dan Perdagangan Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Pengkajian.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Petanian. Bogor.
Sukarja, R., Sendjaja, T. dan A. Sudradjat. 1981. Studi Kebijaksanaan Nilai Tukar Komoditi
Pertanian. Kerjasama Pusat Penelitian Agro Ekonomi dengan Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran. Bandung
Supriyati, M. Rachmat, K.S. Indraningsih, T. Nurasa, Roosgandha dan R. Sayuti. 2000. Laporan
Hasil Penelitian Studi Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Pertanian.
Timmer, C.P., W.P. Falcon, and S.R. Pearson. 1983. Food Policy Analysis. Johns Hopkins
University Press. Baltimore.
16