Anda di halaman 1dari 10

ISLAM - MESJID

Masjid Istiqlal
Masjid Istiqlal (arti harfiah: Masjid Merdeka) adalah masjid nasional negara Republik Indonesia yang
terletak di bekas Taman Wilhelmina, di Timur Laut Lapangan Medan Merdeka yang di tengahnya
berdiri Monumen Nasional (Monas), di pusat ibukota Jakarta. Di seberang Timur masjid ini berdiri Gereja
Katedral Jakarta. Imam besarnya adalah Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A. dan Ketua Badan Pelaksana
Pengelola Masjid Istiqlalsekarang adalah K.H. Muhammad Muzammil Basyuni.[5][6]
Pembangunan masjid ini diprakarsai oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir. Soekarno. Peletakan
batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Istiqlal dilakukan oleh Ir. Soekarno pada
tanggal 24 Agustus 1951. Arsitek Masjid Istiqlal adalah Frederich Silaban, seorang Kristen Protestan.[7]
Masjid ini memiliki gaya arsitektur modern dengan dinding dan lantai berlapis marmer, dihiasi ornamen
geometrik dari baja antikarat. Bangunan utama masjid ini terdiri dari lima lantai dan satu lantai dasar.
Bangunan utama itu dimahkotai satu kubah besar berdiameter 45 meter yang ditopang 12 tiang
besar. Menara tunggal setinggi total 96,66 meter menjulang di sudut Selatan selasar masjid. Masjid ini
mampu menampung lebih dari 200.000 jamaah.[8]
Selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam, masjid ini juga digunakan sebagai kantor
berbagai organisasi Islam di Indonesia, aktivitas sosial, dan kegiatan umum. Masjid ini juga menjadi salah
satu daya tarik wisata yang terkenal di Jakarta. Kebanyakan wisatawan yang berkunjung umumnya
wisatawan domestik di samping sebagian wisatawan asing yang beragama Islam. Masyarakat non-Muslim
juga dapat berkunjung ke masjid ini setelah sebelumnya mendapat pembekalan informasi mengenai Islam
dan Masjid Istiqlal, meskipun bagian yang boleh dikunjungi kaum non-Muslim terbatas dan harus
didampingi pemandu.
Pada tiap hari besar Islam seperti Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, Tahun Baru Hijriyah, Maulid Nabi
Muhammad serta Isra dan Mi'raj, Presiden Republik Indonesia selalu mengadakan kegiatan keagamaan di
masjid ini yang disiarkan secara langsung melalui televisi nasional (TVRI) dan sebagian televisi swasta.
Nama masjid
Masjid Istiqlal [9] merupakan masjid negara Indonesia, yaitu masjid yang mewakili umat muslim Indonesia.
Karena menyandang status terhormat ini maka masjid ini harus dapat menjadi kebanggaan bangsa
Indonesia sekaligus menggambarkan semangat perjuangan dalam meraih kemerdekaan. Masjid ini
dibangun sebagai ungkapan dan wujud dari rasa syukur bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam,
atas berkat dan rahmat Allah SWT yang telah menganugerahkan nikmat kemerdekaan, terbebas dari
cengkraman penjajah. Karena itulah masjid ini dinamakan "Istiqlal" yang dalam bahasa Arab berarti
"Merdeka".[10][11]

Sejarah
Proyek pembangunan Masjid Istiqlal.

Setelah perang kemerdekaan Indonesia, mulai berkembang gagasan besar untuk mendirikan masjid
nasional. Ide pembangunan masjid tercetus setelah empat tahun proklamasi kemerdekaan. Gagasan
pembangunan masjid kenegaraan ini sejalan dengan tradisi bangsa Indonesia yang sejak zaman kerajaan
purba pernah membangun bangunan monumental keagamaan yang melambangkan kejayaan negara.
Misalnya pada zaman kerajaan Hindu-Buddha bangsa Indonesia telah berjaya membangun
candi Borobudur dan Prambanan. Karena itulah pada masa kemerdekaan Indonesia terbit gagasan
membangun masjid agung yang megah dan pantas menyandang predikat sebagai masjid negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia.[12]
AGAMA KHONGHUCU -KLENTENG

Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang


Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang adalah yang pertama berdiri diantara tiga kelenteng tertua di
Tangerang. Kelenteng ini telah berumur lebih dari tiga abad, meski sejauh ini tidak ada data pasti
dalam bentuk dokumen tentang kapan persis berdirinya kelenteng yang berada di dalam kawasan
Pasar Lama Tangerang ini.

Komunitas Tionghoa di Petak Sembilan mendirikan kelenteng ini pada sekitar tahun 1684, waktu itu
dalam bentuk yang masih sangat sederhana. Kemudian pada tahun 1844 kelenteng mengalami
renovasi dengan mendatangkan ahli bangunan dan kelengkapan kelenteng dari Tiongkok. Kelenteng
Boen Tek Bio Tangerang, yang berarti tempat ibadah sastra kebajikan, merupakan kelenteng
berpengaruh bersama dengan Kelenteng Boen Hay Bio (berdiri 1694) dan Kelenteng Boen San
Bio (1689).
Hiasan pada hiolo di altar utama Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang dengan latar belakang arca Bie
Lek Hud. Hiolo dari bahan kuningan itu dibuat pada tahun 1805. Hiolo merupakan bagian penting
yang selalu ada di setiap kelenteng sebagai tempat menancapkan hio bakar, dengan bentuk
kebanyakan bulat atau persegi dan berhias ukiran naga.

Keberadaan tempat ibadah ini tidak lepas dari sejarah kedatangan orang Tionghoa di Tangerang pada
abad ke-15. Pada 1407, seperti dicatat dalam buku sejarah Sunda Tina Layang Parahyang (Catatan
dari Parahyangan), rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) dengan tujuh kepala keluarga dan sembilan
orang gadis, terdampar di daerah yang sekarang dikenal sebagai Kampung Teluk Naga. Tujuan
mereka semula adalah ke Jayakarta. Pada waktu mereka meminta pertolongan kepada Sanghyang
Anggalarang, yang ketika itu menjadi penguasa daerah di bawah Sanghyang Banyak Citra dari
Parahyangan, konon para pegawai penguasa jatuh cinta pada gadis-gadis itu. Kesembilan gadis itu
pun mereka kawini. Rombongan itu kemudian mendapat sebidang tanah di daerah Kampung Teluk
Naga itu.

Alunan asap hio di Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang melambai indah dari ujung batang hio yang
tengah terbakar. Batang hio yang membara dan berasap itu ditancapkan pada hiolo setelah selesai
dipakai untuk sembahyang. Bentuk asap yang membubung dari hio konon bisa memberi petunjuk
tentang diterima langsung atau tidaknya permintaan dari orang yang membakarnya. Di awal abad ke
18 kaum Tionghoa menyebut Tangerang dengan nama "Boen-Teng", sehingga orang Tionghoa yang
tinggal di sana disebut sebagai Cina Boen Teng, yang lama kelamaan sebutan itu kemudian berubah
menjadi Cina Benteng.

Versi lain menyebutkan kahwa saat itu di tepi Sungai Cisadane, dekat pusat Kota Tangerang
sekarang, pernah berdiri Benteng Makassar. Orang-orang Tionghoa yang kurang mampu terpaksa
harus tinggal di luar Benteng Makassar itu, yaitu di daerah yang disebut Sewan (berada di sebelah
belakang Bendungan Pintu Air Sepuluh) dan Kampung Melayu. Dari sana kemudian muncul istilah
Cina Benteng, yaitu keturunan orang Tionghoa yang menghuni daerah di luar benteng.

Sebuah lonceng tua yang elok di halaman Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang ini konon berasal dari
negeri Tiongkok dan dibuat tahun 1835. Di halaman depan juga ada patung singa penjaga (Ciok-say).
Di halaman depan kelenteng ada pula tempat pembakaran kertas sembahyang (Kim Lo) berbentuk
cukup antik yang dibuat pada sekitar abad ke-19.

Kedatangan orang-orang Tionghoa di kawasan Pasar Lama Tangerang ini berlangsung setelah
terjadinya peristiwa pembantaian ribuan orang Tionghoa di tempat yang sekarang bernama Taman
Fatahillah, di kawasan Kota Tua Jakarta. Kejadian itu berlangsung pada 1740, dalam sebuah usaha
pemberontakan oleh kaum Tionghoa terhadap Belanda yang gagal dilakukan. Setelah peristiwa itu,
penguasa Belanda di Batavia kemudian mengirimkan orang-orang Tionghoa untuk bertani ke daerah
Tangerang dan mendirikan permukiman di sana berupa pondok-pondok. Oleh karena itu sekarang
dikenal daerah dengan nama Pondok Cabe, Pondok Aren, Pondok Jagung, selain perkampungan di
Petak Sembilan di kawasan Pasar Lama ini.

1 album (5 foto) Kelenteng Boen Tek Bio lainnya ada di sini. Upacara besar yang banyak dikunjungi
orang di Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang adalah Gotong Toapekong yang diarak mengelilingi
Pasar Lama dan dihadiri perwakilan seluruh kelenteng di Indonesia. Upacara ini pertama kali
berlangsung di Tangerang pada 1856, dan dilakukan setiap 12 tahun sekali, bertepatan Tahun Naga.
Saat itu juga ada pertunjukan Wayang Poteh
AGAMA HINDU - PURA TANAH LOT

Informasi umum
Jenis Pura
Gaya arsitektur Candi Hindu
Lokasi Kabupaten Tabanan, Bali
Alamat Desa Beraban. Kecamatan Kediri
Negara Indonesia
Koordinat 8,621066°LS 115,087025°BT
Mulai dibangun Abad ke-15 Masehi
Desain dan konstruksi

Sejarah
Sejarah Pura Tanah Lot Bali Indonesia berdasarkan legenda, dikisahkan pada abad ke -15, Bhagawan Dang
Hyang Nirartha atau dikenal dengan nama Dang Hyang Dwijendra melakukan misi penyebaran agama
Hindu dari pulau Jawa ke pulau Bali.
Pada saat itu yang berkuasa di pulau Bali adalah Raja Dalem Waturenggong. Beliau sangat menyambut
baik dengan kedatangan dari Dang Hyang Nirartha dalam menjalankan misinya, sehingga penyebaran
agama Hindu berhasil sampai ke pelosok – pelosok desa yang ada di pulau Bali.
Dalam sejarah Tanah Lot, dikisahkan Dang Hyang Nirartha, melihat sinar suci dari arah laut selatan Bali,
maka Dang Hyang Nirartha mencari lokasi dari sinar tersebut dan tibalah beliau di sebuah pantai di desa
yang bernama desa Beraban Tabanan.
Pada saat itu desa Beraban dipimpin oleh Bendesa Beraban Sakti, yang sangat menentang ajaran dari Dang
Hyang Nirartha dalam menyebarkan agama Hindu. Bendesa Beraban Sakti, menganut aliran monotheisme.
Dang Hyang Nirartha melakukan meditasi di atas batu karang yang menyerupai bentuk burung beo yang
pada awalnya berada di daratan.
Dengan berbagai cara Bendesa Beraban ingin mengusir keberadaan Dang Hyang Nirartha dari tempat
meditasinya.
Menurut sejarah Tanah Lot berdasarkan legenda Dang Hyang Nirartha memindahkan batu karang (tempat
bermeditasinya) ke tengah pantai dengan kekuatan spiritual. Batu karang tersebut diberi nama Tanah Lot
yang artinya batukarang yang berada di tengah lautan.
Semenjak peristiwa itu Bendesa Beraban Sakti mengakui kesaktian yang dimiliki Dang Hyang Nirartha
dengan menjadi pengikutnya untuk memeluk agama Hindu bersama dengan seluruh penduduk setempat.
Dikisahkan di sejarah Tanah Lot, sebelum meninggalkan desa Beraban, Dang Hyang Nirartha memberikan
sebuah keris kepada bendesa Beraban. Keris tersebut memiliki kekuatan untuk menghilangkan segala
penyakit yang menyerang tanaman.
Keris tersebut disimpan di Puri Kediri dan dibuatkan upacara keagamaan di Pura Tanah Lot setiap enam
bulan sekali. Semenjak hal ini rutin dilakukan oleh penduduk desa Beraban, kesejahteraan penduduk
sangat meningkat pesat dengan hasil panen pertanian yang melimpah dan mereka hidup dengan saling
menghormati.
Vihara - Buddh

Vihara Buddhagaya

Pagoda Avalokitesvara, Buddhagaya Watugong


Informasi umum
Jenis Tempat ibadah
Gaya Tiongkok & Thailand
arsitektur
Lokasi Semarang, Jawa Tengah
Alamat Jl. Perintis
Kemerdekaan Pudakpayung, Banyumanik, Semarang Jawa
Tengah
Koordinat 7°05′10″LU 110°24′32″BTKoordinat:
7°05′10″LU 110°24′32″BT
Mulai 19 Oktober 1955[1]
dibangun

Vihara Buddhagaya Watugong atau juga dikenal dengan nama Vihara Buddhagaya merupakan salah
satu tempat ibadah agama Buddha yang terletak di Pudakpayung, Banyumanik, Semarang Jawa Tengah.
Lokasi tepatnya berada di depan Markas Kodam IV/Diponegoro. Komplek Vihara Buddhagaya Watugong
tersebut terdiri dari dua bangunan induk utama yaitu Pagoda Avalokitesvara dan Dhammasala serta
beberapa bangunan lain. Pagoda Avalokitesvara adalah bangunan yang mempunyai nilai artistik tinggi,
dengan tinggi mencapai 45 meter dan ditetapkan sebagai pagoda tertinggi di Indonesia. Di dalamnya
terdapat patung Dewi Kwan Im dengan tinggi lima meter. Sedangkan Dhammasala terdiri dari dua lantai
yang mana lantai dasar digunakan sebagai ruang aula serbaguna untuk kegiatan pertemuan dan lantai atas
digunakan untuk upacara keagamaan yang terdapat patung Sang Buddha. Bangunan lain yang terdapat di
dalam vihara yaitu Watugong, Plaza Borobudur, Kuti Meditasi, Kuti Bhikku, Taman bacaan masyarakat,
Buddha Parinibana, Abhaya Mudra dan Pohon Bodhi.
Pada mulanya Vihara Buddhagaya hanya digunakan sebagai tempat ibadah. Namun, dengan melihat
arsitektur bangunan yang sangat kental dengan etnik Tiongkok dan Thailand, sehingga akhirnya Vihara ini
juga dikembangkan menjadi obyek dan daya tarik wisata. Vihara ini menjadi salah satu kebanggaan bagi
warga Kota Semarang pada khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya.

Sejarah

Pohon bodhi yang ditanam pada tahun 1955 di Vihara Buddhagaya Watugong.

Vihara Buddhagaya Watugong mempunyai sejarah panjang hingga perkembangan yang besar pada saat
ini. Kurang lebih 500 tahun sesudah keruntuhan Kerajaan Majapahit, muncul lah berbagai kegiatan dan
peristiwa yang menyadarkan berbagai kalangan penduduk akan warisan luhur nenek moyang
yaitu Buddha Dhamma agar dapat kembali dipraktekkan oleh para pemeluknya. Usaha yang semula
banyak digagas di zaman Hindia-Belanda. Akhirnya harapan akan adanya orang yang mampu untuk
mengajarkan Buddha Dhamma pada para umat dapat terwujud dengan kehadiran Bhikkhu Narada Maha
Thera dari Srilanka pada tahun 1934. Gayung pun bersambut, kehadiran Dhammaduttatersebut
dimanfaatkan oleh umat dan simpatisan untuk mengembangkan diskusi dan memohon
penjabaran Dhamma secara lebih luas lagi. Puncaknya muncul putra pertama Indonesia yang mengabdikan
diri secara penuh pada penyebaran Buddha Dhamma, yakni pemuda Bogor bernama The Boan An yang
kemudian menjadi Bhikkhu Ashin Jinarakkhita.
Pada tahun 1955 Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin perayaan Waisak 2549 di Candi Borobudur, pada
saat itu juga ada seorang hartawan yang menjadi tuan tanah dari Semarang yang bernama Goei Thwan
Ling dengan latar belakang agama Buddha yang terkesan pada kepiawan dan kepribadian
dari Bhikku Ashin Jinarakkhita, maka Goei Thwan Ling menghibahkan dan mempersembahkan sebagian
tanah miliknya untuk digunakan sebagai pusat dan pengembangan Buddha Dhamma. Tempat itulah yang
kemudian diberi nama Vihara Buddhagaya. Pada 19 Oktober 1955 didirikan Yayasan Buddhagaya untuk
menaungi aktivitas vihara. Dari vihara inilah kemudian satu episode baru pengembangan Buddha Dhamma
berlanjut.
Mulai tahun 1955, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sang pelopor kebangkitan Buddha Dhamma di nusantara
menetap di Vihara Buddhagaya Semarang. Banyak sejarah besar yang beliau torehkan bersama Vihara
Buddhagaya, seperti Upasika Indonesia saat perayaan Asidha pada bulan Juli 1955, menggagas perayaan
Buddha Jayanti yang diperingati oleh umat Buddha di seluruh dunia tahun 1956, penanaman pohon Bodhi
pada tanggal 24 Mei 1956 dan pendirian Sima Internasional pertama di KASAP (belakang Makodam
IV/Diponegoro) untuk penahbisan Bhikkhu.[2]
Kemudian beberapa saat selama kurang lebih delapan tahun vihara ini sempat terlantar, namun sekarang
bangkit kembali di bawah binaan Sangha Theravada. Maka pada bulan Februari 2001 dilakukan
revitalisasi dan renovasi pada vihara ini yang dimulai terlebih dahulu dengan pembangunan Gedung
Dhammasala yang diresmikan pada tanggal 3 November 2002 oleh Gubernur Jawa
Tengah yaitu H.Mardiyanto. Selanjutnya dibangun pula bangunan yang lain yaitu Pagoda Avalokitesvara
pada bulan November 2004 dan diresmikan pada tanggal 14 Juli 2005 oleh Gubernur Jawa
Tengah yaitu H.Mardiyanto. [3]
KRISTEN - GEREJA KATEDRAL

Gereja Katedral Jakarta (nama resmi: Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga, De Kerk van Onze
Lieve Vrouwe ten Hemelopneming) adalah sebuah gereja di Jakarta. Gedung gereja ini diresmikan
pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat lazim
digunakan untuk membangun gedung gereja beberapa abad yang lalu.
Gereja yang sekarang ini dirancang dan dimulai oleh Pastor Antonius Dijkmans dan peletakan batu
pertamanya dilakukan oleh Pro-vikaris, Carolus Wenneker. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan
oleh Cuypers-Hulswit ketika Dijkmans tidak bisa melanjutkannya, dan kemudian diresmikan dan diberkati
pada 21 April 1901 oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, S.J., Vikaris Apostolik Jakarta.
Katedral yang kita kenal sekarang sesungguhnya bukanlah gedung gereja yang asli di tempat itu, karena
Katedral yang asli diresmikan pada Februari 1810, namun pada 27 Juli 1826 gedung Gereja itu terbakar
bersama 180 rumah penduduk di sekitarnya. Lalu pada tanggal 31 Mei 1890 dalam cuaca yang cerah,
Gereja itu pun sempat roboh.
Pada malam natal, 24 Desember 2000, Gereja ini menjadi salah satu lokasi yang terkena serangan ledakan
bom.

Anda mungkin juga menyukai