Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN LAPORAN KASUS


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA 16 DESEMBER 2017

TB PARU ANAK

Oleh:

M.Farhan

111 2016 2122

Pembimbing:

dr. Kartini Badaruddin, Sp.A, M.kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Hasil ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada
tahun 1882. Penyakit ini mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama di
negara berkembang. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
oleh Mycobacterium tuberculosis.1
Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada
negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak
dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB
adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun).
Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3
sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah
tangganya sekitar 20 – 30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga
memberikan dampak buruk lainnya secara sosial sampai dikucilkan oleh masyarakat.2
Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak
yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22
negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada
tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).3
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah
pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina
dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan
pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang.
Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk.3
TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Di negara-
negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40−50% dari

2
jumlah seluruh populasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita
TB setiap tahun.
Proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%,
kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011, 8,2% pada tahun 2012, 7,9% pada tahun
2013, 7,16% pada tahun 2014 dan 9% di tahun 2015. Apabila dilihat data per provinsi,
menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Variasi proporsi ini mungkin
menunjukkan endemisitas yang berbeda antara provinsi, tetapi bisa juga karena
perbedaan kualitas diagnosis TB anak pada level provinsi.5

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : An. A


No. RekamMedik : 33-05-69
Umur : 17 tahun 8 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Lingkingan Lelong
Tanggal lahir : 01/04/2000
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Tanggal masuk : 15/11/2017
Perawatan/ kamar : Dahlia/ G
DPJP : dr. Kartini Badruddin, M.Kes, Sp.A

2.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama : Batuk darah

Anamnesis Terpimpin :

Pasien dibawa ke RS dengan keluhan Batuk darah yang dialami tadi sore, batuk
lama ± 1 bulan yang lalu disertai lendir, demam (+), kadang disertai sesak, BB
menurun, nafsu makan menurun, keringat malam (+), nyeri badan (+), Riw. OAT (-),
buang air kecil lancar, kuning, buang air besar belum sejak kemarin pagi.

4
Berdasarkan alloanamnesis diketahui bahwa pasien sebelumnya memiliki riwayat
kontak dengan kakaknya yang menderita TB paru dan sementara pengobatan OAT ± 1
bulan.

Riwayat Penyakit Sebelumnya:


Dari Anamnesis diketahui bahwa pasien tidak memiliki riwayat demam lama
sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada riwayat penyakit dalam keluarga, kecuali kakak pasien yang sementara
menderita TB Paru dan tinggal bersama dengan pasien. (Riwayat kontak (+))

Riwayat Imunisasi
Imunisasi Belum Pernah 1 2 3 4 5 Tidak Tahu
BCG √
Hep B √ √ √
Polio √ √ √ √
DPT √ √ √
Campak √
Thyphoid √

2.3 PEMERIKSAAN FISIS

Keadaan umum
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Sadar, GCS 15 (E4M6V5)
Status Gizi : Gizi kurang
Berat Badan : 41,9 kg
Tinggi Badan : 171 cm

5
Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 90 kali / menit
Pernapasan : 24 kali / menit
Suhu : 37,4 oC

 Tonsil : T1/T1 Hiperemis (-)

 Faring : Hiperemis (-)

 Paru : Bunyi Pernapasan : Vesikuler

Bunyi Tambahan : Rh -/- Wh -/-

 Jantung : Bj I/II murni regular

Bising (-)

 Abdomen : Peristaltik (+) Kesan normal

Hepar/Lien teraba (hepatomegali)

Skor TB : 7

 Demam :1
 Batuk :1
 Kontak :3
 Gizi :1
 Limfadenopati: 0
 Pembengkakan sendi : 0
 Foto thorax :1
 Mantoux test : belum

6
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Foto Thoraks AP
- Tampak bercak-bercak berawan dan cavitas pada lapangan atas kedua paru dan
lapangan paru tengah kanan dengan garis-garis fibrosis yang meretraksi hilus
- Cor : dalam batas normal
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak
Kesan : Gambaran KP duplex lama aktif

 Tes Cepat Molekuler


Kesan : - Ditemukan DNA Micobacterium Tuberculosis
- Resistensi Rifampisin tidak ditemukan

2.5 RESUME

Seorang pasien laki-laki anak usia 17 tahun 7 bulan dibawa ke RS Sawarigading


dengan keluhan Batuk darah yang dialami tadi sore, batuk lama ± 1 bulan yang lalu
disertai lendir, demam (+), kadang disertai sesak, BB menurun, nafsu makan menurun,
keringat malam (+), nyeri badan (+), Riw. OAT (-), buang air kecil lancar, kuning,
buang air besar belum sejak kemarin pagi.
Berdasarkan alloanamnesis diketahui bahwa pasien sebelumnya memiliki riwayat
kontak dengan kakaknya yang menderita TB paru dan sementara pengobatan OAT ± 1
bulan.
Dari Alloanamnesis diketahui bahwa pasien tidak memiliki riwayat demam
lama sebelumnya. Dan tidak ada riwayat penyakit dalam keluarga, kecuali kakak
pasien yang menderita TB Paru.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan status generalis, sakit sedang, gizi kurang,
dan sadar GCS 15. Status vitalis didapatkan TD: 100/70 mmHg, P: 24x/menit, N:
90x/menit, suhu 37,4oC. Pada pemeriksaan fisis lain yaitu thorax didapatkan bunyi

7
pernafasan vesicular, dan bunyi tambahan berupa wheezing (-/-) dan ronchi (-/-)
disemua lapangan paru, retraksi suprasternal (-) dan peristaltik kesan normal.

Dari anamnesa dan pemeriksaan fisis yang dilakukan, maka pasien diatas
diagnosis sementara susp. TB Paru.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Foto thorax AP
2. TB TCM

2.7 DIAGNOSIS

TB Paru

2.8 DIAGNOSIS BANDING

1. Bronkitis kronik

2.9 PENATALAKSANAAN/TERAPI

 Inj (Chrom + As. Tradeksamat ) drips/24 jam


 Inj Dexametasone 1 amp/ 12 jam/ IV
 Inj Ranitidin 1 amp/ 12 jam
 Ambroxol tab 3x30 mg
 PCT tab 3x500 mg
 Inj Cefotaxime 1 g/ 12 jam/ IV
 Isoniazid 1x300 mg
 Rifampisin 1x450 mg
 Pirazinamid 2x500 mg

8
Follow up 16-11-2017

subjective objective Assesment Instruksi


Demam (+) KU : SS/GK/CM Susp. TB Paru  IVFD RL 20 tpm
kejang (-) sesak TD : 110/80  Paracetamol 3x500
(-) batuk (+) mmHg mg
mual(-) Muntah N : 88x/menit  Cefotaxime
(-) Anak malas P : 28x/menit 1g/12jam/iv
makan/minum, S : 36,7 oC  Ambroxol 3x30 mg
keringat malam Tonsil : T1/T1  Makanan biasa
(+) hiperemis(-)
BAB:belum 2 Faring :
hari Hiperemis (-) Periksa:
BAK: biasa, Paru : BP : Foto Thorax AP
kuning Vesikuler
BT : Rh-/- Wh-/-
Cor : Bj I/II
murni reguler
Bising (-)
Abdomen :
Peristaltik (+)
kesan normal
Hepar/lien tidak
teraba
Skor TB : 6
Demam :1
Batuk :1
Kontak :3
Gizi :1
Limfadenopati : 0
Pembengkakan
sendi :0
Foto thorax :
belum
Mantoux test :
belum

9
Follow up 17-11-2017
subjective objective Assesment Instruksi
Demam (+), KU : SS/GK/CM Susp. TB Paru  IVFD RL 20 tpm
kejang (-) sesak TD : 110/80  Paracetamol 3x500
(-) batuk (+) mmHg mg
mual(-) Muntah N : 88x/menit  Cefotaxime
(-) Anak malas P : 20x/menit 1g/12jam/iv
makan/minum, S : 36,8 oC  Ambroxol 3x30 mg
keringat malam Tonsil : T1/T1  Makanan biasa
(+) hiperemis(-)
BAB: biasa Faring :
BAK: biasa Hiperemis (-)
Paru : BP :
Vesikuler
BT : Rh-/- Wh-/-
Cor : Bj I/II
murni reguler
Bising (-)
Abdomen :
Peristaltik (+)
kesan normal
Hepar/lien tidak
teraba
Skor TB : 6
Demam :1
Batuk :1
Kontak :3
Gizi :1
Limfadenopati : 0
Pembengkakan
sendi :0
Foto thorax :
belum
Mantoux test :
belum

10
Follow up 18-11-2017
subjective objective Assesment Instruksi
Demam (+) KU : SS/GK/CM TB Paru  Boleh Pulang
berkurang, TD : 100/80 mmHg  INH 1x300 mg
kejang (-) sesak N : 88x/menit  Rifampisin 1x450
(-) batuk (+) P : 28x/menit mg
mual(-) Muntah S : 36,6 oC  Pirazinamid 2x500
(-) Anak malas Tonsil : T1/T1 mg
makan/minum, hiperemis(-)
keringat malam Faring : Hiperemis
(+) (-)
BAB: biasa Paru : BP :
BAK: biasa Vesikuler
BT : Rh-/- Wh-/-
Cor : Bj I/II murni
regular, Bising (-)
Abdomen :
Peristaltik (+) kesan
normal
Hepar/lien tidak
teraba
Skor TB : 7
Demam :1
Batuk :1
Kontak :3
Gizi :1
Limfadenopati: 0
Pembengkakan
sendi :0
Foto thorax : 1
Mantoux test :
belum

11
BAB III
DISKUSI

3.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ
tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.4

3.2 Epidemiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada
anak usia 0-14 tahun. Di negara-negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15
tahun adalah 40−50% dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak
di dunia menderita TB setiap tahun.
Proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%,
kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011, 8,2% pada tahun 2012, 7,9% pada tahun
2013, 7,16% pada tahun 2014 dan 9% di tahun 2015. Apabila dilihat data per provinsi,
menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Variasi proporsi ini mungkin
menunjukkan endemisitas yang berbeda antara provinsi, tetapi bisa juga karena
perbedaan kualitas diagnosis TB anak pada level provinsi.5

3.3 Faktor Risiko


Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang yang
rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB (infectious
TB), dan setelah beberapa lama kemudian baru menjadi sakit. Terdapat beberapa faktor
yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak.
Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko
progresifitas infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).6

12
1. Risiko Infeksi Tuberkulosis
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan
orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan,
lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat
penampungan umum, yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber
infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang
infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA
sputum positif memiliki risiko tinggi ternfeksi TB.6 Pada pasien ini terdapat
riwayat kontak dengan kakak yang sedang pengobatan OAT dengan TB Paru
sehingga pasien ini memiliki risiko terinfeksi tuberkulosis.
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi
jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif , infiltrat luas atau
kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan
kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara
yang tidak baik. Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau
orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang
ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Beberapa hal yang dapat
menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah kuman pada TB anak pada umumnya
sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang
sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer
yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah
parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga,
tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di
daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.6
2. Risiko Sakit Tuberkulosis
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut
ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB
menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak berusia < 5 tahun
mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena

13
imunitas selularnya belum berkembang sempurna (imatur). Risiko sakit TB akan
berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Resiko tertinggi
terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB selama satu tahun pertama
setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara
terjadi infeksi dan timbul sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan timbul gejala
akut. Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir.
Faktor risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes
melitus dan gagal ginjal kronik.6

3.4 Cara Penularan7


1. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
2. Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya , kecuali
anak tersebut BTA positif atau menderita adult type B.
3. Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama
pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA
negatif.
4. Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65 % pasien BTA
negatif dengan hasil kultur positif adalah 26 % sedangkan pasien TB dengan hasil
kultur negatif dan foto thorax positif adalah 17 %.

3.5 Patogenesis5
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil (< 5 mm), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada

14
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TB
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan
paru disebut fokus primer Ghon.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis)
dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus terletak di lobus bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang
cukup untuk merangsang respon imunitas seluler.
Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks
primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons
positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik,
begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun,

15
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus
atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar
karena reaksi inflamasi yang berlanjut, bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial
pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflamasi di segmen distal
paru. Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami
inflamasi dan nekrosis perkejuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa keju
dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.

16
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ
yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak,
tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai
lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum
terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya
oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umunya
tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus
reaktivasi. Fokus potensial di apeks paru disebut sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun
kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami
reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang,
dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut
TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar
serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread
dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini
akan mempunyai ukuran yang kurang lebih sama. Istilah milier berasal dari gambaran
lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara
patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara
histologik merupakan granuloma.

17
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkejuan menyebar ke saluran
vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam
darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan
acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak,
yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak
0,5-3 %, penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal
ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi
segmentel yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional), dapat terjadi dalam waktu
yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung
pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang
terjadi pada anak tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

3.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Manifestasi klinis penyakit TB ada dua yaitu gejala umum dan gejala spesifik
sesuai organ yang terkena. Gejala umum penyakit TB tidak khas, dalam arti gejala
tersebut dapat disebabkan oleh berbagai kelainan/penyakit lain. Gejala yang
membuat dokter perlu mempertimbangkan TB sebagai penyebab adalah masalah
makan dan berat badan. Nafsu makan yang kurang, berat badan yang sulit naik,
menetap, atau malah turun merupakan gejala penyakit TB. Kemungkinan masalah
gizi sebagai penyebab harus disingkirkan dulu dengan tatalaksana yang adekuat
selama minimal 1 bulan. Pasien sakit TB dapat memberi gejala demam subfebris
berkepanjangan. Etiologi demam kronik yang lain perlu disingkirkan dahulu,
seperti misalnya infeksi saluran kemih, tifus atau malaria. Pembesaran kelenjar
superfisial di daerah leher, aksila, inguinal atau tempat lain tidak jarang menjadi

18
keluhan orang tua pasien. Keluhan respiratorik dapat berupa batuk kronik lebih
dari 3 minggu, atau nyeri dada. Dapat pula dijumpai gejala gastrointestinal seperti
diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku, perut membesar
karena cairan, atau teraba massa dalam perut.4
Keluhan spesifik organ dapat terjadi bila TB mengenai organ ekstrapulmonal
seperti ditemukannya benjolan di punggung (gibbus), sulit membungkuk, pincang
atau pembengkakan sendi. Bila mengenai susunan saraf pusat, dapat terjadi gejala
iritabel, leher kaku, muntah-muntah dan kesadaran menurun. Gambaran kelainan
kulit yang khas yaitu skrofuloderma dan lesi flikten di mata.4
Sesuai dengan teori di atas, pasien ini memiliki keluhan ± 2 minggu demam
yang terus menerus, ada batuk sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, ada
lendir, anak malas makan dan minum.
2. Pemeriksaan Fisis
Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.
Biasanya sesuai dengan keluhan masalah makan dan berat badan, pada
pemeriksaan antropometri dijumpai gizi kurang dengan grafik berat badan dan
tinggi badan pada posisi di daerah bawah atau di bawah P5. Suhu subfebris dapat
ditemukan pada sebagian pasien.4
Kelainan pada pemeriksaan fisis baru dijumpai jika TB mengenai organ
tertentu. Pada TB vertebra dapat dijumpai gibbus, kifosis, paraparesis, atau
paraplegia. Jalan pincang, nyeri pada pangkal paha atau lutut dapat terjadi pada
TB koksae atau TB genu. Pembesaran kelenjar getah bening dicurigai ke arah TB
jika bersifat multipel, tidak nyeri tekan, dan konfluens (saling menyatu). Jika
terjadi Meningitit TB, dapat ditemukan kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal
lain. Ulkus kulit dengan skinbridge yang merupakan ciri khas skorfuloderma
biasanya terjadi di daerah leher, aksila, atau inguinal. Skrofuloderma ditandai oleh
massa yang padat atau fluktuatif, sinus yang mengeluarkan cairan, ulkus dengan
dasar bergranulasi dan tidak beraturan serta tepi bergaung, serta sikatriks yang

19
menyerupai jembatan. Pada mata dapat dijumpai konjungtivitis fliktenularis yaitu
bintik putih di limbus kornea yang sangat nyeri.4
Pada pasien ini pemeriksaan fisis yang ditemukan adalah demam yang dialami
pasien selama ± 2 minggu terus menerus, sehingga dokter menyarakan untuk
dilakukan beberapa tes agar penyebab dari demam pasien dapat diketahui.
3. Pemeriksaan Penunjang4
a. Uji tuberkulin : dengan cara Mantoux yaitu penyuntikan 0,1 ml tuberkulin
PPD secara intrakutan di bagian volar lengan dengan arah suntikan
memanjang lengan (longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam setelah
penyuntikan. Indurasi tranversal diukur dan dilaporkan dalam mm berapapun
ukurannya, termasuk cantumkan 0 mm jika tidak ada indurasi sama sekali.
Indurasi 10 mm ke atas dinyatakan positif. Indurasi < 5 mm dinyatakan
negatif, sedangkan indurasi 5-9 mm meragukan dan perlu diulang, dengan
jarak waktu minimal 2 minggu. Uji tuberkulin positif menunjukkan adanya
infeksi TB dan kemungkinan TB aktif (sakit TB) pada anak. Reaksi uji
tuberkulin positif biasanya bertahan lama hingga bertahun-tahun walau
pasiennya sudah sembuh, sehingga uji tuberkulin tidak digunakan untuk
memantau pengobatan TB.
Pada pasien ini, uji tuberkulin tidak dilakukan
b. Foto toraks antero-posterior (AP) dan lateral kanan. Gambaran radiologis
yang sugestif TB di antaranya : pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal,
konsolidasi segmen/lobus paru, milier, kavitas, efusi pleura, atelektasis, atau
kalsifikasi.
Pada pasien ini, foto toraks dilakukan dan memberikan gambaran sugestif
(mendukung TB).
c. Pemeriksaan mikrobiologik dari bahan bilasan lambung atau sputum, untuk
mencari basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung dan
Mycobacterium tuberculosis dari biakan. Hasil biakan positif merupakan
diagnosis pasti TB. Hasil BTA atau biakan negatif tidak menyingkirkan

20
diagnosis TB. Pada pasien, pemeriksaan tes cepat molekuler di lakukan dan
hasilnya di temukan DNA micobakterium tuberculosis (mendukung TB)
d. Pemeriksaan patologi dilakukan dari biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan lain
yang dicurigai TB. Pada pasien, pemeriksaan ini tidak dilakukan.
e. Pemeriksaan serologi seperti PAP TB, ICT, Mycodot dan lain-lain, nilai
diagnostiknya tidak lebih unggul daripada uji tuberkulin sehingga tidak
dianjurkan. Sampai saat ini semua pemeriksaan diagnostik TB hanya dapat
mendeteksi adanya infeksi TB, tapi tidak dapat membedakan ada tidaknya
penyakit TB. Pada pasien, pemeriksaan ini tidak dilakukan.
f. Funduskopi perlu dilakukan pada TB milier dan Meningitis TB. Pada pasien,
pemeriksaan ini tidak dilakukan.
g. Pungsi lumbal harus dilakukan pada TB milier untuk mengetahui ada tidaknya
meningitis TB. Pada pasien, pemeriksaan ini tidak dilakukan.
h. Foto tulang dan pungsi pleura dilakukan atas indikasi. Pada pasien,
pemeriksaan ini tidak dilakukan.
i. Pemeriksaan darah tepi, laju endap darah, urin dan feses rutin, sebagai
pelengkap data namun tidak berperan penting dalam diagnostik TB. Pada
pasien, pemeriksaan ini tidak dilakukan.
Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang, seperti uji tuberkulin, pemeriksaan laboratorium, dan foto rontgen
dada. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tes cepat
molekuler ditemukan DNA micobakterium tuberkulosis, dan foto paru yang
mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan anak
telah sakit TB.8

Berdasarkan dari gejala klinis yang dialami pasien dan hasil foto toraks yang
memberi gambaran sugestif (mendukung TB) serta riwayat kontak positif
merupakan bukti bahwa pasien ini sakit TB.

21
Tabel 1. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB anak9,10
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak Tidak Laporan Kontak
dengan jelas keluarga, dengan
pasien TB kontak dengan pasien
pasien BTA BTA
negatif atau positif
tidak tahu, atau
BTA tidak
jelas
Uji Negative Positif
tuberkulin (≥10 mm,
atau ≥ 5
mm pada
pasien
imunosupr
esi)
Berat Gizi kurang : Gizi buruk :
badan/keada BB/TB<90 % BB/TB <70%
an gizi atau BB/U < atau BB/U <
(dengan 80 % 60%
KMS atau
tabel)
Demam ≥ 2 minggu
tanpa sebab
jelas
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran ≥ 1 cm
kelenjar Jumlah ≥
limfe koli, 1,tidak nyeri
aksila,inguin
al
Pembengkak Ada
an pembengkakan
tulang/sendi
panggul,
lutut, falang
Foto dada Normal/ Sugestif TB
tidak jelas
JUMLAH SKOR (maksimal 13)

22
Catatan : 9,10
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
b. Jika dijumpai skrofuloderma, pasien dapat langsung didiagnosis
tuberkulosis.
c. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
d. Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
e. Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem
skoring TB anak.
f. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)
g. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut.
Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, rujuk ke rumah sakit : 9,10
1. Foto rontgen yang mendukung TB berupa pembesaran kelenjar hilus atau
paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental
atau lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrate ataupun tuberkuloma, efusi
pleura.
2. Gibbus, koksitis.
3. Tanda bahaya :
a. Kejang, kaku kuduk.
b. Penurunan kesadaran.
c. Kegawatan lain, misalnya sesak napas.

3.7 Penatalaksanaan11
1. Medikamentosa
Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu :
a. Fase intensif : 3-5 OAT selama 2 bulan awal
b. Fase lanjutan dengan paduan 2 OAT (INH-rifampisin) hingga 6-12 bulan.
Pada anak, obat TB diberikan secara harian (daily) baik pada fase intensif
maupun fase lanjutan.9

23
1. TB paru : INH, rifampisin, dan pirazinamid selama 2 bulan fase intensif,
dilanjutkan INH dan rifampisin hingga genap 6 bulan terapi (2HRZ-4HR).
2. TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstra paru : 4-5 OAT selama
2 bulan fase intensif, dilanjutkan dengan INH dan rifampisin hingga genap 9-
12 bulan terapi.
3. TB kelenjar superfisial : terapinya sama dengan TB paru.
4. TB milier dan efusi pleura TB diberikan prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama
2 minggu, kemudian dosis diturunkan bertahap (tappering off) selama 2
minggu, sehingga total waktu pemberian 1 bulan.

Tabel 2 : Obat yang lazim digunakan dalam terapi TB pada bayi, anak, dan
remaja9
Obat Sediaan Dosis Dosis Efek samping
mg/kgBB maksimal
Isoniazid Tablet 100 dan 5-15 300 mg Peningkatan
(INH/H) 300 mg; sirup 10 transaminase,
mg/ml hepatitis, neuritis
perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin Kapsul/tablet 10-15 600 mg Urin/sekresi
(RIF/R) 150,300,450,600 warna kuning,
mg, sirup 20 mual-muntah,
mg/ml hepatitis, flu-like
reaction.
Pirazinamid Tablet 500 mg 25-35 2g Hepatotoksisitas,
(PZA/P) hipersensitivitas
Etambutol Tablet 500 mg 15-20 2,5 g Neuritis optikal
(EMB/E) (reversibel),
gangguan visus,
gangguan warna,
gangguan
saluran cerna
Streptomisin Vial 1 g 15-30 1g Ototoksisitas,
(SM/S) nefrotoksisitas

24
Catatan:
a. Menurut WHO, IUATLD, dan ERS, dosis INH 5 mg/kgBB adekuat dan
aman.
b. Jika INH dipadu dengan rifampisin, dosis INH tidak lebih dari 10 mg/kgBB
dan rifampisin 15 mg/kgBB untuk mengurangi insidens hepatitis.

Kombinasi Dosis Tetap OAT (FDC)


Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak. Satu paket
kombipak dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Kombipak dan
pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg
dalam satu paket.8
Di tempat dengan sarana kesehatan yang lebih memadai, untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama
dengan jumlah obat yang banyak, dalam program penanggulangan TB anak
telah dibuat obat TB dalam bentuk kombinasi dosis tetap (Fixed Dose
Combination=FDC).8

Tabel 3. Dosis Kombinasi Pada TB Anak8


Berat badan 2 bulan 4 bulan
(kg) RHZ (75/50/150) (RH(75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan :8
R : Rifampisin, H: Isoniasid, Z: Pirazinamid
a. Bayi di bawah 5 kg, pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS tipe C atau lebih tinggi.

25
b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
c. Anak dengan BB ≥ 33 kg dosisnya sama dengan dosis dewasa.
d. Tablet obat harus diberikan secara utuh.
e. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah, atau dimasukkan
air dalam sendok.
Kelompok risiko tinggi memerlukan medikamentosa profilaksis.11
1. Profilaksis primer untuk mencegah tertular/infeksi pada kelompok yang
mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa dengan uji BTA positif.
2. Profilaksis sekunder untuk mencegah terjadinya sakit TB pada kelompok
yang telah terinfeksi TB tapi belum sakit TB.
Konsep dasar profilaksis primer dan sekunder berbeda, namun obat dan
dosis yang digunakan sama yaitu INH 5-10 mg/kgBB/hari. Profilaksis primer
diberikan pada balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa
dengan BTA sputum positif, namun pada evaluasi dengan sistem skoring,
didapatkan skor ≤ 5. Profilaksis primer diberikan selama kontak masih ada,
minimal selama 3 bulan. Pada akhir 3 bulan dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika
hasilnya negatif, dan kontak tidak ada, profilaksis dihentikan. Jika terjadi
konversi tuberkulin menjadi positif, dievaluasi apakah hanya terinfeksi atau
sudah sakit TB. Jika hanya infeksi profilaksis primer dilanjutkan sebagai
profilaksis sekunder. Profilaksis sekunder diberikan selama 6-12 bulan yang
merupakan waktu risiko tertinggi terjadinya sakit TB pada pasien yang baru
terinfeksi TB.8,11
2. Bedah11
a. TB paru berat dengan destroyed lung untuk lobektomi atau
pneumektomi.
b. TB tulang seperti spondilitis TB, koksitis TB, atau gonitis TB.
c. Tindakan bedah dapat dilakukan setelah terapi OAT selama minimal 2
bulan, kecuali jika terjadi kompresi medula spinalis atau ada abses
paravertebra tindakan bedah perlu lebih awal.

26
3. Suportif 11
Asupan gizi yang adekuat sangat penting untuk keberhasilan terapi TB. Jika
ada penyakit lain juga perlu mendapat tata laksana memadai. Fisioterapi
dilakukan pada kasus pasca bedah.

3.8 Pemantauan

Terapi
a. Respon klinis
Respon yang baik dapat dilihat dari perbaikan semua keluhan awal. Nafsu
makan yang membaik, berat badan yang meningkat dengan cepat, hilangnya
keluhan demam, batuk lama, tidak mudah sakit lagi. Respon yang nyata
biasanya terjadi dalam 2 bulan awal (fase intensif). Setelah itu perbaikan klinis
tidak lagi sedramatis fase intensif.11
b. Evaluasi radiologi
Dilakukan pada akhir pengobatan, kecuali jika ada perburukan klinis. Jika
gambaran radiologis juga memburuk, evaluasi kepatuhan minum obat, dan
kemungkinan kuman TB resisten obat. Terapi TB dimulai lagi dari awal
dengan paduan 4 OAT.11
c. Efek samping OAT
Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara
pemberiannya benar. Efek samping yang kadang muncul adalah
hepatotoksisitas, dengan gejala ikterik yang bisa disertai keluhan
gastrointestinal lainnya. Keluhan ini biasanya muncul dalam fase intensif.
Pada kasus yang dicurigai adanya kelainan fungsi hepar, maka pemeriksaan
transaminase serum dilakukan sebelum pemberian OAT, dan dipantau
minimal tiap 2 minggu dalam fase intensif.11
d. Jika timbul ikterus OAT dihentikan, dan dilakukan uji fungsi hati (bilirubin
dan transaminase). Bila ikterus telah menghilang dan kadar transaminase < 3x

27
batas atas normal, paduan OAT dapat dimulai lagi dengan dosis terendah.
Yang perlu diingat, reaksi hepatotoksisitas biasanya muncul karena kombinasi
dengan berbagai obat lain yang bersifat hepatotoksik seperti parasetamol,
fenobarbital, dan asam valproat.11
e. Dalam pemberian terapi dan profilaksis TB evaluasi dilakukan tiap bulan. Bila
pada evaluasi profilaksis TB timbul gejala klinis TB, profilaksis diubah
menjadi terapi TB.11

Tumbuh Kembang
Pertumbuhan pasien akan mengalami perbaikan nyata. Data berat badan
dicatat tiap bulan dan dimasukkan dalam grafik tumbuh untuk memantau pola
tumbuh pasien selama menjalani terapi. Walau berat badan belum mencapai ideal,
namun pola grafiknya sudah menaik dan memasuki ‘pita’ di atasnya, sudah dinilai
sebagai respon yang baik.11
TB anak umumnya tidak menular, sehingga pasien TB anak tidak perlu
dikucilkan, agar tidak mengganggu aspek kembang dan kejiwaan pasien.
KIE untuk orang tua pasien.11
a. Pengobatan TB berlangsung lama, minimal 6 bulan, tidak boleh terputus, dan
harus kontrol teratur tiap bulan.
b. Obat rifampisin dapat menyebabkan cairan tubuh (air seni, air mata, keringat,
ludah) berwarna merah.
c. Secara umum obat sebaiknya diminum dalam keadaan perut kosong yaitu 1
jam sebelum makan/minum susu, atau 2 jam setelah makan. Khusus untuk
rifampisin harus diminum dalam keadaan perut kosong.
d. Bila timbul keluhan kuning pada mata, mual, dan muntah, segera periksa ke
dokter walau belum waktunya.

28
3.9 Pencegahan Tuberkulosis pada Anak
Diagnosis penyakit TB pada anak sangat sulit, karena gejala umumnya yang tidak
khas dan sulit untuk mendapatkan spesimen diagnostik. Oleh karena itu, upaya deteksi
dini dan terapi yang adekuat merupakan bagian terpadu dari upaya promotif-preventif.
Imunisasi BCG hingga saat ini masih dilakukan, walau oleh sebagian kalangan
efektivitasnya diragukan. Diharapkan dalam waktu dekat sudah ditemukan vaksin TB
yang lebih efektif. Asupan gizi yang baik akan meningkatkan daya tahan anak terhadap
risiko infeksi dan sakit TB. Upaya pelacakan tidak boleh diabaikan. Bila tenaga medis
menemukan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif maka lacak sentrifugal
harus dilakukan, yaitu mencari orang terutama anak yang memiliki kontak erat dengan
pasien tersebut, untuk mencari kemungkinan apakah orang tersebut telah terinfeksi atau
bahkan sakit TB. Deteksi infeksi TB dilakukan dengan menggunakan uji tuberkulin
cara Mantoux. Pada anak yang didiagnosis TB, lacak sentripetal juga harus dilakukan,
yaitu mencari orang dewasa sebagai sumber penularannya.4
1. Vaksinasi BCG (Bacillus Celmette Guerin)
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi perlindungan terhadap
penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB
berat (meningitis TB dan TB milier), yang sangat mengancam nyawa. Vaksin BCG
dapat memakan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek (perlindungan)
kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara 50-80
% terhdap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi anak,
sedangkan bagi orang dewasa manfaatnya masih kurang jelas.12
Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah.
Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya diberikan pada umur
sebelum 2 bulan. Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun yang
belum divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak ada skar), imigran, komunitas
travelling, dan pekerja di bidang kesehatan yang belum divaksinasi (tidak ada
catatan atau skar). Setelah vaksinasi, papul (bintik) merah yang kecil timbul dalam
waktu 1-3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan menimbulkan parut.

29
Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk sembuh. Biarkan tempat
vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan kering. Jangan
menggunakan krim atau salep, plester yang melekat, kapas atau kain langsung
pada tempat vaksinasi. Vaksinasi BCG tidak terlepas memberikan efek samping,
maka perlu diketahui bahwa vaksin ini tidak dianjurkan pada seseorang yang
mengalami penurunan status kekebalan tubuh dan uji tuberkulin positif. Vaksin
BCG dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lain. Misalnya Dtap/IPV/Hib. Saat
memberikan vaksin BCG, imunisasi primer lain juga diberikan. Lengan yang
digunakan untuk imunisasi BCG jangan digunakan untuk imunisasi lain selama
minimal 3 bulan, agar tidak terjadi limphadenitis.12
Imunisasi BCG terbaik diberikan pada usia 2-3 bulan karena pada bayi usia <
2 bulan sistem imun anak belum matang. Pemberian imunisasi penyokong
(booster) tidak dianjurkan.13
2. Skrining dan Manajemen Kontak7
Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan
secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu anak yang mengalami
paparan dari pasien TB BTA positif, dan orang dewasa yang menjadi sumber
penularan bagi anak yang didiagnosis TB.
Latar belakang perlunya investigasi kontak :
a. Konsep infeksi dan sakit pada TB.
b. Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA positif sangat berisiko
infeksi TB dibanding yang tidak kontak yaitu sebesar 24,4-69,2 %.
c. Bayi dan anak usia < 5 tahun, mempunyai risiko sangat tinggi untuk
berkembangnya sakit TB, terutama pada 2 tahun pertama setelah infeksi,
bahkan pada bayi dapat terjadi sakit TB dalam beberapa minggu.
d. Pemberian terapi pencegahan pada anak infeksi TB, sangat mengurangi
kemungkinan berkembangnya sakit TB.
Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB dengan
BTA positif dan semua kasus anak yang didiagnosis.

30
3. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid7
Sekitar 50-60 % anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA
sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10 % dari jumlah tersebut akan
mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat
(misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian
kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.

Tabel 4. Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel


berikut:7
Umur HIV Hasil pemeriksaan Tatalaksana
Balita (+)/(-) Infeksi laten TB INH profilaksis
Balita (+)/(-) Kontak (+), uji INH profilaksis
tuberkulin (-)
>5 tahun (+) Infeksi laten TB INH profilaksis
>5 tahun (+) Sehat INH profilaksis
>5 tahun (-) Infeksi laten TB Observasi
>5 tahun (-) Sehat Observasi

Keterangan :7
a. Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15
mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.
b. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap
adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau
ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB,
pengobatan harus segera ditukar ke regimenterapi TB anak dimulai dari awal.
c. Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama
6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan.
d. Bila anak tersebut belum pernah mendapatkan imunisasi BCG, perlu diberikan
BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.

31
3.10 Prognosis
Tergantung dari luas proses, saat mulai pengobatan, kepatuhan penderita,
mengikuti aturan penggunaan, dan cara pengobatan yang digunakan.1

32
KESIMPULAN

Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Diagnosis TB pada anak dimulai dari
anamnesis, pada pasien ini didapatkan pasien mengalami demam ± 2 minggu terus
menerus, ada batuk sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, ada lendir, anak malas
makan dan minum. Kemudian pemeriksaan fisis ditemukan suhu tubuh yang tidak
pernah normal selama di rumah sakit. Serta pemeriksaan penunjang, pemeriksaan foto
toraks yang memberikan gambaran sugestif (mendukung TB). Berdasarkan
alloanamnesis diketahui bahwa pasien sebelumnya memiliki riwayat kontak dengan
kakak nya yang menderita tb paru dan sementara pengobatan OAT ± 1 bulan.

Berdasarkan dari gejala klinis yang dialami pasien dan hasil foto toraks serta
riwayat kontak positif merupakan bukti bahwa pasien ini sakit TB sesuai dengan teori
yang telah dijelaskan pada laporan kasus ini sehingga dokter memberikan pengobatan
OAT kepada pasien.

33
Daftar Pustaka

1. Amin Zulkifli, Bahar Asril. Tuberkulosis Paru Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi V. Indonesia : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.
2. Aditama Tjandra Yoga, Kamso Sudijanto, Basri Carmelia, Surya Asik, editors.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Indonesia : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2011.
3. Helmia Hasan, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya :
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair. 2012.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS. Standar Pelayanan Medis
Kesehatan Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS. 2013. Hal 40-
46.
5. Rahajoe. N. N. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI. 2016.
6. Cissy B. Kartasasmita. Epidemiologi Tuberkulosis. Jurnal Sari Pediatri Volume
11. 2009.
7. Rahajoe. N. N. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI. 2013.
8. Kelompok Kerja TB Anak. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak.
Departemen Kesehatan-IDAI. 2008. Hal 1-15.
9. World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta
: WHO Indonesia. 2009.
10. Indarto, W. Skoring TB pada Anak.
http://www.idaijogja.or.id/skoring-tb-pada-anak/ (Akses pada tanggal 19
Maret 2017).
11. Pudjiaji, Antonius H, dkk (ed). Pedoman Peyanan Medis Ikatan Dokter Anak
Edisi II. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Hal 325-
328.

34
12. Cahyono, Lusi, dkk (ed). Vaksinasi. Yogyakarta : Kanisus. 2010. Hal 51-52.
13. Rusmil, K. Imunisasi
http://idai.or.id/publicarticles/klinik/imunisasi/melengkapi-mengejar-
imunisasi-bagian-ii.html (Akses pada tanggal 19 Maret 2017).

35

Anda mungkin juga menyukai